Share

Tertipu Masa Lalu
Tertipu Masa Lalu
Author: Lia Lintang

Delano yang Malang

BRUK!

Pagi ini lagi-lagi pria kecil itu tersungkur di lantai. Beberapa orang tertawa melihat hal itu, beberapa lainnya mencibirnya dengan kata makian.

Bukan tanpa alasan, tubuhnya memiliki warna kulit yang berbeda. Sawo matang dan putih albino. Inilah yang membuatnya terlihat berbeda. 

Siapa yang menyukai warna kulit seperti ini? Tidak ada, bahkan Delano membencinya. 

Pemuda kecil itu bangkit, mengepalkan tinju dengan amarah yang meluap-luap. 

Delano tidak suka dirinya dihina, apa lagi dipandang rendah oleh orang lain. Karena hal inilah membuat karakter Delano menjadi pemberani. 

Plak. Pukulan mendarat di wajah teman-temannya, pukulan marah bercampur sedih menjadi satu. 

"Ada yang berkelahi!" para murid mulai berteriak. 

"Delano! Delano mulai menghajar murid yang lain!" 

Teriakan para murid membuat sebagian guru datang untuk melerai. Satu guru menarik tangan Delano sambil berteriak, "Hentikan! Hentikan Delano!"

Semua guru dan juga kepala sekolah selalu geram dengan tingkah Delano. Tetapi, bukan tanpa alasan ia melakukan hal itu. Semua karena ia selalu diejek sebagai anak aneh, kurang waras.

Pantas saja teman-teman Delano berkata demikian. Dari segi penampilan dan juga caranya bergaul, Delano memanglah tidak terlihat wajar seperti anak kebanyakan. Ia lebih cerdas, meski terbilang lebih kasar dan sulit mengendalikan amarahnya.

Tidak hanya sekali, setiap hari ia memberikan perlakuan yang sama terhadap teman yang selalu mengejek dan menggangunya. Tak jarang, beberapa guru berpikir jika Delano adalah pengganggu berjalannya proses pelajaran berlangsung.

Delano kecil adalah anak yang unik, ia terlahir berbeda dengan anak-anak lainnya. Ia memiliki mimpi sebagai seorang pelukis ternama. Meski sering dicemooh, ia memiliki sisi lain yang cerdas. Di waktu senggang ia lebih suka menyendiri, menghabiskan waktu dengan menggambar di berbagai media, kertas, tembok, kanvas. Semua hasil karyanya begitu indah.

Namun, karena kenakalannya, guru dan juga kepala sekolah tidak begitu menyukainya. Bahkan mereka sengaja mencari alasan untuk mengeluarkan Delano dari sekolahnya.

***

Pagi itu, Delano berangkat ke sekolah dengan tergesa-gesa. Sang ibu pun membuat sarapan disela-sela kesibukannya. Sang ibu yang merupakan pekerja serabutan, harus mampu membagi waktu dengan baik. Antara mengurus Delano dan juga bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Suasana dapur begitu riuh dengan suara perabot dapur yang beradu. Terlihat sang ibu berkutat memanggang roti kesukaan putranya sembari bersiap untuk kerja.

"Delano! Siapkan kotak makanmu, makanlah serealnya, rotinya untuk bekal di sekolah ya!" teriak sang ibu.

Mendengar suara keras yang menggema di seluruh seisi rumah, Delano berlari menuruni anak tangga, ia bahkan berseluncur menggunakan pegangan tangga sembari merapikan tas dan seragamnya.

Penampilannya acak-acakan. Namun sembari berlari ia berusaha menyelesaikan ritual mengenakan seragam. Meski tidak terlihat rapi, setidaknya semua kancing tertutup rapi.

Tak butuh waktu lama, Delano segera menyantap sereal yang sudah disajikan sang ibu, dan memasukkan bekal ke dalam kotak makannya. Bahkan, sang ibu menangkap Delano makan tanpa mengunyah terlebih dahulu. Ia tidak ingin membuang waktu dan membuat sang ibu terlambat bekerja. Sungguh anak cerdas, ia begitu memahami kondisi sang ibu.

Di sepanjang perjalanan, Delano selalu menyempatkan diri bercengkrama dengan sang ibu. Karena hanya waktu itu yang dia punya ketika bersama. 

Delano begitu menyayangi ibunya. Seringkali ia bergelayut manja. Sedangkan sang ibu selalu menatapnya penuh cinta sembari memperingati Delano agar bisa mengendalikan emosi.

"Delano, dengarkan ibu. Berusahalah membaur, bersikaplah yang baik dan ramah. Karena jika tidak, ibu terpaksa harus memindahkan sekolahmu di kota lain. Berjanjilah pada ibu bahwa semua akan baik-baik saja. Berjanjilah kamu akan menepati janjimu pada ibu untuk mewujudkan impian kamu," ucap sang ibu di sela-sela mengemudi.

Ketika itu, Delano hanya mengangguk setuju, sembari menyunggingkan senyuman yang melengkung sempurna. Membuat mata sang ibu berembun dan mulai mengelus kepala dengan sebelah telapak tangannya.

***

Mentari pagi telah menampakkan sinarnya. Rasa hangat saat sinarnya mulai terasa menyentuh kulit. Bayu pun menyapa dengan semilirnya yang menerpa wajah diikuti debu yang beterbangan ke sana kemari.

Setelah beberapa saat kemudian, Delano kembali menapakkan kaki di sekolah kesayangannya.

Seorang pria kecil berambut ikal, pemilik sepatu hitam yang nyaris usang itu, kini sedang berjalan dengan santai memasuki pintu gerbang sekolah dasar.

Tiba-tiba, langkahnya terhenti saat dihadang segerombolan anak nakal, yang selalu menggodanya. Delano mengerucutkan bibirnya. Ia berusaha mengingat ucapan sang ibu, dan memilih menghindari para kawanan begundal kecil. 

Namun naas, seseorang telah menarik tas punggung yang sedari tadi di gendongnya hingga robek. Buku-buku yang bertengger di dalamnya pun kini jatuh berserak di lantai. Bahkan ada beberapa yang menyerupai sampah karena diinjak oleh pemilik sepatu yang telah dicelupkan ke dalam lumpur sebelumnya. Bukan itu saja, dua orang begundal kecil juga membuat Delano terjatuh hingga hidungnya yang runcing menyentuh bukunya yang terjatuh.

Mata Delano refleks memanas. Emosinya membuncah, rahangnya mengeras. Menunjukkan garis tegas kemarahan di wajahnya.

Delano meronta-ronta sekuat tenaga, hingga ia mampu berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Lalu ia mulai kembali memberikan pelajaran pada pada kawanan begundal kecil yang selalu membuat onar. 

Menit kemudian. Beberapa guru telah berdiri diantara mereka. Delano terperanjat. Namun ia menyadari, jika dirinya memang tidak pernah diinginkan di sekolah tersebut. 

Wajah Delano berubah mendung, terlebih ketika para guru menyuruhnya memasuki ruangan kepala sekolah pagi itu.

Dunia serasa hancur baginya. Ucapan sang ibu kembali berdengung di telinganya. Ia hanya bisa duduk tertunduk sambil menunggu.

Terdengar samar-samar kepala sekolah sedang menelepon ibunya. Jantung Delano semakin bergemuruh tak karuan. Ia merasa bersalah, untuk hidup saja pas-pasan. Ibunya harus membanting tulang. Ia sendiri heran, selama ini belum pernah melihat siapa sosok ayahnya.

"Hari ini, kamu tamat! Tidak lagi ada pelajaran yang bisa kamu ikuti!" seloroh seorang guru yang memang tidak menyukai Delano sejak lama.

Saat itu, Delano hanya membalasnya dengan senyuman kecut dan tatapan matanya yang tajam mengiris.

Hatinya mungkin sedih, tetapi tidak mungkin Delano membiarkan siapapun yang telah menghina mengetahui perasaannya, hingga mereka semakin tertawa dan memandang rendah.

Semua guru mulai meninggalkan ruangan kepala sekolah satu persatu. Sementara Delano, ia memilih membuang muka saat mereka melintasinya.

Pintu ruangan kepala sekolah kini ditutup rapat. Di dalamnya hanya tersisa seorang Delano, bersama kepala sekolah yang terlihat sibuk mengerjakan rutinitasnya. Delano tetap menunggu dalam ketidakpastian.

Hingga beberapa menit kemudian, terdengar suara langkah kaki yang berjalan berdentum kemudian mengetuk pintu dengan begitu keras.

Tok ... tok ... tok!

"Masuk," ucap kepala sekolah tak acuh. Netranya tetap terfokus pada tumpukan lembaran kertas di atas meja.

Kedua pasang bola mata kini saling bertatapan. Ibu Delano sudah memikirkan kemungkinan terburuk ini jauh hari sebelum hal ini terjadi.

Tatapan mata ibu Delano berpindah pada bibir kepala sekolah, seakan berusaha menerka apa yang akan diucapkan pria berbadan gemuk di depannya.

"Dia dikeluarkan!" teriakan itu baru saja keluar dari bibir kepala sekolah, namun kalah cepat dengan ucapan ibu Delano ,"Putraku akan pindah".

Ibu Delano menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan kasar. 

"Aku yang lebih dulu mengatakan pengajuan pindah, jadi kamu tidak berhak mengeluarkan anak yang mengajukan permohonan pindah, atau aku akan mengatakan pada para orang tua jika reputasi sekolah ini amat buruk," ucap ibu Delano berkilah. 

Delano tersenyum lega setelah mengetahui sang ibu mengerti dan berpihak kepadanya.

— To be continued

— Hola semua, ini karya keduaku di platform ini, jangan lupa favorit dan tinggalkan jejak review sebagai apresiasi terhadap penulis. Salam cinta. Lia Lintang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status