Setelah berhasil mengurus surat pindah sekolah, akhirnya mereka meninggalkan tempat itu.
Tepat di depan pintu gerbang, Delano kembali menoleh menatap gedung kelasnya dengan raut wajah sendu.
Bangunan tua berderet namun masih tampak berkelas. Bangunan penuh dengan kenangan dan juga meninggalkan bekas luka di benak bocah kecil bernama Delano
Dia hanya bisa pasrah. Tidak ada yang menginginkan keberadaannya di tempat itu. Mengingat kejadian sebelumnya, seketika membuat Delano memantapkan diri untuk pergi.
Delano berjalan sambil menggenggam tangan sang ibu menuju mobilnya yang tua dan usang. Bahkan lebih pantas disebut sebagai rongsokan berjalan oleh netra yang menangkap keberadaannya.
Sesampainya di dalam mobil, keduanya saling bertatapan mata. Delano menatap lekat sang ibu dengan rasa bersalah. Sementara sang ibu menatap sendu raut wajah Delano yang masih terlihat polos namun menjengkelkan.
Sang ibu yang merasa gagal, sejenak terdiam. Sang ibu menghela napasnya yang semula tidak teratur hingga beritme lalu membuangnya dengan kasar. Menit setelahnya, dia memilih memejamkan sepasang kelopak matanya diikuti bulir bening yang mengalir deras.
"Maafkan aku, Bu. Aku tidak bisa menjadi anak yang ibu inginkan," ucap Delano dengan suara lirih.
Sang ibu ternyum ramah, setelah ia membuka mata dan menghapus bulir bening yang terus saja lolos melewati pipi mulusnya tanpa terbendung. Ia berusaha terlihat tegar meskipun sebenarnya sedikit menahan rasa kesal dan sesak di dada.
"Tidak masalah, kita akan pindah. Kita akan memulai hidup baru di sana," balas sang ibu sembari menyalahkan mesin mobil.
"D-di mana Bu?" tanya Delano dengan suara terbata.
Raut wajahnya berubah gelisah. Ia bahkan tidak pandai membaur dan bergaul. Kali ini justru dipaksa kembali beradaptasi dengan lingkungan baru, orang-orang yang baru.
"Di sebuah kota yang sejak lama kamu impikan," jawab wanita paruh baya yang masih terlihat menarik itu.
Delano terkesiap. Dalam beberapa menit ia mengerjapkan matanya berulang kali, mencoba mencerna ucapan sang ibu.
"Kota yang ada di foto?" tanya Delano. Lagi. Ia berusaha memastikan jika ibunya benar-benar akan mewujudkan impiannya.
Delano memiliki kota impian. Kota yang selalu ia tatap dari sebuah potret usang yang tersimpan rapi dalam sebuah kotak di setiap menantikan jam tidurnya.
Kota B memanglah ibukota dari negara yang mereka tinggali selama ini. Namun, keduanya selama ini memilih hidup jauh dari tempat itu. Hanya sang ibu yang mengetahui alasannya.
"Ya, kita akan ke sana. Kita akan bahagia di sana. Kita mulai awal, kamu sekolah di sana dan wujudkan impianmu menjadi pelukis terkenal," sahut sang ibu, sementara tatapan matanya tetap fokus lurus ke depan.
"Aku senang mendengarnya, apa kita mampir dulu ke rumah lama?" tanya Delano yang masih memikirkan barang-barang miliknya.
"Tidak," balas ibunya, irit.
"Tapi aku perlu berkemas, Bu. Aku membutuhkan beberapa barang milikku di tempat hidup baru," Delano menukas sambil menunjukkan sikapnya yang berubah dingin.
"Sudah ibu bawa semua saat akan menjemput kamu tadi," ujar sang ibu sambil terus melaju kencang melewati jalanan yang kini mulai ramai.
Suara deru mobil tua yang mereka naiki terlalu bising, lajunya yang lamban membuat pejalan kaki dan pengguna jalan lainnya merasa terganggu ketika mobil tersebut melintas.
Bahkan hampir semua pasang mata menatap tidak suka ke arah mereka yang dirasa mengganggu jalan.
Sang ibu refleks menoleh memperhatikan raut Delano yang berubah murung melihat situasi sekeliling tempat tidak sesuai keinginannya. Dalam bayangan Delano, tempat di potret yang disimpannya adalah tempat yang indah, penduduknya ramah, meski itu adalah kota besar. Namun kenyataannya berbeda.
Tak lama kemudian Delano yang menyadari tatapan mata sang ibu membalasnya dengan senyuman kecil. Hanya kecil. Namun mampu mencairkan hati seorang ibu yang mulai terlihat cemas.
"Setibanya di kota, tempat apa yang ingin sekali kamu singgahi pertama kali?" tanya ibu Delano ragu-ragu.
Delano tersenyum, "Pancuran taman kota," ucapannya melegakan hati sang ibu.
"Ummm ... kamu boleh pergi ke manapun nanti, tapi sebelum itu ikut ibu dulu pergi ke suatu tempat." Ibu Delano seketika menghentikan laju mobilnya, tepat di depan sebuah gedung megah. Terpampang banner besar "pagelaran seni lukis" netranya sejenak menatap, lalu segera turun dari mobil dan membanting daun pintu mobil dengan keras.
Braaak! ....
Usai pintu dibanting, sang ibu mencondongkan tubuhnya dengan wajah setengah terlihat dari kaca jendela mobil seraya berkata, "Tunggu ibu di sini, jangan keluar atau berkeliaran ke manapun sampai ibu kembali."
Tak perlu menunggu jawaban Delano, ia kemudian berjalan menuju gedung yang ramai pengunjung tersebut, semakin lama semakin menjauhi Delano.
Seketika netra Delano mengekor, mengikuti ke manapun langkah ibunya pergi. Tatapan matanya terhenti pada banner besar bergambarkan pelukis legendaris yang sejak lama ia idolakan. Jeff Hilton.
Seakan lupa akan pesan sang ibu, yang semula menyuruhnya hanya boleh menunggu dalam mobil miliknya. Delano seketika membuka daun pintu mobil reotnya, lalu melangkah menuju tempat yang memiliki daya tarik besar ibarat magnet raksasa.
Langkahnya semakin cepat, membelah kerumunan pengunjung yang ramai berdatangan. Kemudian, langkahnya terhenti ketika melihat dua orang bertubuh besar sedang berjaga di ambang pintu dengan seragam serba hitam. Membuat siapapun yang melihat pasti ketakutan.
Delano yang cerdas meski ia masih kecil memperhatikan sekeliling, para pengunjung yang datang hanya diperbolehkan masuk jika mengenakan pakaian formal yang sopan. Ide gila tiba-tiba melintas di benak Delano ketika melihat beberapa mobil yang memamerkan pakaian formal yang tertata rapi dengan pintu mobil serba terbuka di jarak yang tak begitu jauh dari pijakannya.
Seketika dengan cepat ia segera mengganti pakaiannya dengan jas tergantung di salah satu mobil yang terbuka tersebut. Tentu saja sang pemilik segera mengejar. Namun, dengan langkah seribu Delano berhasil memasuki aula gedung pameran seni lukis.
Delano memperlambat langkahnya, mengamati satu persatu keindahan karya Jeff Hilton.
Lukisan wanita dengan berbagai pose menawan, terukir indah. Membuat siapapun yang menatap terpukau dengan goresan cat yang tertuang dalam seni rupa tersebut.
Netra Delano tidak berhenti mengedar, menelusuri koridor yang amat panjang, lengkap dengan karya seni yang begitu indah terpampang rapi di setiap dindingnya.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah kawanan anjing yang berlari ke arahnya. Mata Delano seketika membola. Ia yang begitu terperanjat refleks berlari ke arah sisi lain gedung di lantai tiga. Langkahnya terhenti setelah mengetahui sang anjing ternyata justru hanya melintasinya. Seketika Delano bangkit dengan tubuh gemetar ia melangkah sementara netranya terus menyapu sekeliling. Pandangannya terhenti ketika menemukan sosok wanita paruh baya yang ternyata adalah ibunya.
"Ibu," panggil Delano dari jarak kira-kira dua puluh meter dari tempatnya berpijak.
Delano melihat sang ibu sedang berbincang serius dengan seorang pria misterius lengkap dengan jas merah yang dikenakannya.
Menit kemudian, sang ibu jatuh dari gedung berlantai tiga. Mata Delano nyaris mencelos menyaksikan hal itu. Bibirnya terbuka lebar. Seketika dunianya hancur. Ia yatim piatu dalam sekejap.
Tanpa siapapun di kota besar yang bahkan pertama kalinya ia menginjakkan kaki. Bulir kristal seketika lolos begitu saja melewati pipinya. Belum usai deritanya, sekumpulan lelaki berpakaian serba hitam yang bertubuh gempal berlari mendekat ke arahnya.
Delano terus berlari menjauh, dan berusaha keluar dari gedung. Ia terus menerobos dan membelah kerumunan pengunjung yang ramai menyaksikan pameran seni rupa milik Jeff Hilton. Tanpa disadari, kalung pemberian sang ibu dengan leontin yang dihiasi batu safir berwarna merah terjatuh di sana.
— To Be Continued
— Follow me on IG: @lia_lintang08
— Baca juga karyaku yang lain: Memilih Menjemput Cinta.
Kesedihan yang dirasakan Delano benar-benar kesedihan yang tak berujung. Pikirannya kalut. Dalam rasa pilu yang menyayat jiwanya begitu dalam, Delano terus berlari di bawah guyuran hujan lebat. Netranya menemukan sebuah truk angkutan barang yang sedang berhenti di ujung jalan. Dengan sekuat tenaga, kakinya yang mungil terus memanjat dan diam lalu bernaung di dalam bak bagian belakang truk. "Ibu ... kau bahkan belum membawaku ke air mancur pusat kota," lirih Delano dalam tangisnya. Ia berusaha menahan isakan tangisnya, saat mengetahui sang sopir naik dan mulai melajukan truk pengangkut barang tersebut. Delano duduk meringkuk di bak bagian belakang truk, sementara sebelah tangannya merogoh gambar potret kebersamaan dengan sang ibu yang selalu ia simpan di jaket yang ia kenakan. Dan sekarang, potret itu akan menjadi kenangan sekaligus pengingat luka baginya. Entah be
Delano masih diam. Berusaha mencerna dua orang yang baru saja ia kenal dan kini telah menjadi bagian keluarganya. "Jika aku menolak keinginan mereka, aku tinggal di mana?" Batin Delano, pikirannya melayang, menerawang ke segala arah adalah segala kemungkinan yang mulai bermunculan di benaknya.
Delano tidak menunggu para sahabatnya membuka dompet hasil mereka mencopet di jalanan. Melainkanmemilih menyendiri di dalam kamar. Berbaring nyalang, menatap langit-langit kamar adalah caranya untuk berusaha berdamai dengan amarah. Meski sebenarnya justru mengingatkannya dengan masa lalunya.***Waktu berjalan begitu cepat, Delano kini mulai terbiasa dengan rutinitas sehari-hari. Ia bahkan ikut mahir juga seperti dua sahabatnya. Bahkan Delano menjalani semua seolah tidak memiliki beban.
Hendri yang merasa bersalah, akhirnya memikirkan banyak hal agar mendapatkan maaf dari Delano. Meskipun Delano sebenarnya telah mengucapkan kalimat 'memafkan' sebelumnya. Siapa sangka jika ternyata Hendri sangat suka memasak. Sebelum jam makan siang, ia segera menuju dapur dan mulai menyiapkan beberapa menu untuk disantap bersama. Tentu saja bukan tanpa alasan, melainkan ingin mengambil hati sahabatnya kembali setelah melakukan kesalahan. Di ruangan yang berbeda, Bob masih setia duduk di hadapan Delano yang masih sibuk membuat sketsa berwarna hitam putih dengan kertas gambar ber
Waktu berlalu begitu cepat. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Tak terasa ketiga kawanan begundal kini telah tumbuh dewasa. *** Hari itu hujan lebat, ketiganya memutuskan untuk berdiam diri di rumah. Tidak melakukan aktivitas seperti biasa. Hanya berdiam dan bersantai, jarang-jarang mereka bisa seperti itu. Perawakan mereka tak jauh berbeda dengan saat mereka masih kecil. Hendri masih sama kurusnya, yang membedakan adalah Hendri dewasa memiliki rambut sebahu berwajah dingin. Sementara Bob, adalah kebalikan dari Hendri. Tubuhnya jauh lebih bugar bahkan tiga kali ukuran Hendri. Pipinya masih sama, seperti roti sobek yang ketika ditarik elastis dengan coklat lelehnya. Begitulah panggilan sayang Hendri untuknya yang begitu suka makan. Dari ketiganya, yang berbeda memanglah Delano. Penampilannya begitu kontras. Terlihat jelas jika di kedua sisi kulit tubuhnya memiliki dua warna yang berbeda. Namun, Delano dewasa
Pagi hari pukul 06.00Delano sudah bersiap dengan penampilan menawan. Balutan pakaian formal yang disiapkan kedua sahabatnya, mampu menutupi kekurangan-kekurangan Delano.Sesekali, ia menatap wajahnya di pantulan cermin. Hanya dalam hitungan menit, selanjutnya ia tertunduk dan mengelus kedua punggung tangannya bergantian. Ya, kulitnya masih sama. Memilih warna berbeda, sawo matang dan albino."Delano, apa kamu sudah siap?" tanya Hendri memastikan di ambang pintu.Suaranya mengejutkan Delano yang saat itu sedang mematung, memikirkan masa lalu yang kenyataannya tidak bisa lepas dari belenggu hidupnya."Sudah, aku berangkat sekarang," balas Delano, sambil melangkah menuju lift yang sama. Lift tua yanga masih berfungsi sempurna.Kakinya melangkah lebar memasuki lift, "Kamu mau pergi tanpa kami?"Suara bariton Bob terdengar menggema memenuhi ruangan. Delano menghen
Delano bangkit dan perlahan menyandarkan tubuhnya di tembok bagian depan galeri. Ia adalah seorang yang pendedam. Meski begitu ia bukan pria yang mudah menyerah atas keadaan.Pandangan Delano mulai nanar, perutnya yang mulai keroncongan membuat kesadarannya menurun. "Sial, jika saja ini bukan galeri lukisan, aku tidak akan memaksa bertahan di tempat ini," gerutunya. Berdecak kesal.Saat akan mencoba bangkit dan berniat pergi mencari makanan. Delano dikejutkan dengan kedua pasang kaki yang sudah berdiri di hadapannya."Delano, makanlah dulu. Kamu pasti lapar," ujar Hendri yang merasa bersalah sambil menyodorkan sebungkus roti.Seharusnya, Hendri dan Bob menyampaikan pada Delano jika sebenarnya lowongan pekerjaan di tempat tersebut hanyalah sebagai petugas kebersihan. Seandainya semua itu terjadi, mungkin Delano tidak akan sekecewa ini.Delano menyambar roti yang diulurkan He
Seluruh penghuni terlihat begitu riuh. Mereka disibukkan dengan berbagai kegiatan yang luar biasa setelah mendapat kabar, jika Jeff Hilton akan datang berkunjung ke galeri. Bahkan ada juga yang berhamburan ke sana kemari.Sementara di sebuah koridor yang lumayan panjang. Delano kembali terlelap dengan kondisi yang acak-acakan.Suara pintu yang terbuka berderit mengagetkan dirinya yang baru saja membuka kelopak matanya.Delano segera bangkit dari tempat duduknya. Ia yang semula berjongkok membersihkan lantai berpindah mendekati lukisan di dinding. Lukisan yang tak sadar ia buat sebagai bentuk protesnya pada Calista.Niat Delano ingin mengacaukan semua lukisan, agar Calista merasa dipermalukan ketika saat pameran berlangsung.Akan tetapi, keadaan justru membuat siapapun terpana melihat lukisan yang diperbaiki Delano."Delano!