Share

Kembalikan Dia

Penulis: Lia Lintang
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-08 21:36:38

Setelah berhasil mengurus surat pindah sekolah, akhirnya mereka meninggalkan tempat itu. 

Tepat di depan pintu gerbang, Delano kembali menoleh menatap gedung kelasnya dengan raut wajah sendu.

Bangunan tua berderet namun masih tampak berkelas. Bangunan penuh dengan kenangan dan juga meninggalkan bekas luka di benak bocah kecil bernama Delano

Dia hanya bisa pasrah. Tidak ada yang menginginkan keberadaannya di tempat itu. Mengingat kejadian sebelumnya, seketika membuat Delano memantapkan diri untuk pergi.

Delano berjalan sambil menggenggam tangan sang ibu menuju mobilnya yang tua dan usang. Bahkan lebih pantas disebut sebagai rongsokan berjalan oleh netra yang menangkap keberadaannya.

Sesampainya di dalam mobil, keduanya saling bertatapan mata. Delano menatap lekat sang ibu dengan rasa bersalah. Sementara sang ibu menatap sendu raut wajah Delano yang masih terlihat polos namun menjengkelkan.

Sang ibu yang merasa gagal, sejenak terdiam. Sang ibu menghela napasnya yang semula tidak teratur hingga beritme lalu membuangnya dengan kasar. Menit setelahnya, dia memilih memejamkan sepasang kelopak matanya diikuti bulir bening yang mengalir deras. 

"Maafkan aku, Bu. Aku tidak bisa menjadi anak yang ibu inginkan," ucap Delano dengan suara lirih.

Sang ibu ternyum ramah, setelah ia membuka mata dan menghapus bulir bening yang terus saja lolos melewati pipi mulusnya tanpa terbendung. Ia berusaha terlihat tegar meskipun sebenarnya sedikit menahan rasa kesal dan sesak di dada.

"Tidak masalah, kita akan pindah. Kita akan memulai hidup baru di sana," balas sang ibu sembari menyalahkan mesin mobil.

"D-di mana Bu?" tanya Delano dengan suara terbata.

Raut wajahnya berubah gelisah. Ia bahkan tidak pandai membaur dan bergaul. Kali ini justru dipaksa kembali beradaptasi dengan lingkungan baru, orang-orang yang baru. 

"Di sebuah kota yang sejak lama kamu impikan," jawab wanita paruh baya yang masih terlihat menarik itu.

Delano terkesiap. Dalam beberapa menit ia mengerjapkan matanya berulang kali, mencoba mencerna ucapan sang ibu.

"Kota yang ada di foto?" tanya Delano. Lagi. Ia berusaha memastikan jika ibunya benar-benar akan mewujudkan impiannya.

Delano memiliki kota impian. Kota yang selalu ia tatap dari sebuah potret usang yang tersimpan rapi dalam sebuah kotak di setiap menantikan jam tidurnya.

Kota B memanglah ibukota dari negara yang mereka tinggali selama ini. Namun, keduanya selama ini memilih hidup jauh dari tempat itu. Hanya sang ibu yang mengetahui alasannya.

"Ya, kita akan ke sana. Kita akan bahagia di sana. Kita mulai awal, kamu sekolah di sana dan wujudkan impianmu menjadi pelukis terkenal," sahut sang ibu, sementara tatapan matanya tetap fokus lurus ke depan.

"Aku senang mendengarnya, apa kita mampir dulu ke rumah lama?" tanya Delano yang masih memikirkan barang-barang miliknya.

"Tidak," balas ibunya, irit.

"Tapi aku perlu berkemas, Bu. Aku membutuhkan beberapa barang milikku di tempat hidup baru," Delano menukas sambil menunjukkan sikapnya yang berubah dingin.

"Sudah ibu bawa semua saat akan menjemput kamu tadi," ujar sang ibu sambil terus melaju kencang melewati jalanan yang kini mulai ramai.

Suara deru mobil tua yang mereka naiki terlalu bising, lajunya yang lamban membuat pejalan kaki dan pengguna jalan lainnya merasa terganggu ketika mobil tersebut melintas.

Bahkan hampir semua pasang mata menatap tidak suka ke arah mereka yang dirasa mengganggu jalan.

Sang ibu refleks menoleh memperhatikan raut Delano yang berubah murung melihat situasi sekeliling tempat tidak sesuai keinginannya. Dalam bayangan Delano, tempat di potret yang disimpannya adalah tempat yang indah, penduduknya ramah, meski itu adalah kota besar. Namun kenyataannya berbeda.

Tak lama kemudian Delano yang menyadari tatapan mata sang ibu membalasnya dengan senyuman kecil. Hanya kecil. Namun mampu mencairkan hati seorang ibu yang mulai terlihat cemas.

"Setibanya di kota, tempat apa yang ingin sekali kamu singgahi pertama kali?" tanya ibu Delano ragu-ragu.

Delano tersenyum, "Pancuran taman kota," ucapannya melegakan hati sang ibu.

"Ummm ... kamu boleh pergi ke manapun nanti, tapi sebelum itu ikut ibu dulu pergi ke suatu tempat." Ibu Delano seketika menghentikan laju mobilnya, tepat di depan sebuah gedung megah. Terpampang banner besar "pagelaran seni lukis" netranya sejenak menatap, lalu segera turun dari mobil dan membanting daun pintu mobil dengan keras.

Braaak! ....

Usai pintu dibanting, sang ibu mencondongkan tubuhnya dengan wajah setengah terlihat dari kaca jendela mobil seraya berkata, "Tunggu ibu di sini, jangan keluar atau berkeliaran ke manapun sampai ibu kembali."

Tak perlu menunggu jawaban Delano, ia kemudian berjalan menuju gedung yang ramai pengunjung tersebut, semakin lama semakin menjauhi Delano.

Seketika netra Delano mengekor, mengikuti ke manapun langkah ibunya pergi. Tatapan matanya terhenti pada banner besar bergambarkan pelukis legendaris yang sejak lama ia idolakan. Jeff Hilton.

Seakan lupa akan pesan sang ibu, yang semula menyuruhnya hanya boleh menunggu dalam mobil miliknya.  Delano seketika membuka daun pintu mobil reotnya, lalu melangkah menuju tempat yang memiliki daya tarik besar ibarat magnet raksasa.

Langkahnya semakin cepat, membelah kerumunan pengunjung yang ramai berdatangan. Kemudian, langkahnya terhenti ketika melihat dua orang bertubuh besar sedang berjaga di ambang pintu dengan seragam serba hitam. Membuat siapapun yang melihat pasti ketakutan.

Delano yang cerdas meski ia masih kecil memperhatikan sekeliling, para pengunjung yang datang hanya diperbolehkan masuk jika mengenakan pakaian formal yang sopan. Ide gila tiba-tiba melintas di benak Delano ketika melihat beberapa mobil yang memamerkan pakaian formal yang tertata rapi dengan pintu mobil serba terbuka di jarak yang tak begitu jauh dari pijakannya.

Seketika dengan cepat ia segera mengganti pakaiannya dengan jas tergantung di salah satu mobil yang terbuka tersebut. Tentu saja sang pemilik segera mengejar. Namun, dengan langkah seribu Delano berhasil memasuki aula gedung pameran seni lukis.

Delano memperlambat langkahnya, mengamati satu persatu keindahan karya Jeff Hilton. 

Lukisan wanita dengan berbagai pose menawan, terukir indah. Membuat siapapun yang menatap terpukau dengan goresan cat yang tertuang dalam seni rupa tersebut.

Netra Delano tidak berhenti mengedar, menelusuri koridor yang amat panjang, lengkap dengan karya seni yang begitu indah terpampang rapi di setiap dindingnya.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah kawanan anjing yang berlari ke arahnya. Mata Delano seketika membola.  Ia yang begitu terperanjat refleks berlari ke arah sisi lain gedung di lantai tiga. Langkahnya terhenti setelah mengetahui sang anjing ternyata justru hanya melintasinya. Seketika Delano bangkit dengan tubuh gemetar ia melangkah sementara netranya terus menyapu sekeliling. Pandangannya terhenti ketika menemukan sosok wanita paruh baya yang ternyata adalah ibunya.

"Ibu," panggil Delano dari jarak kira-kira dua puluh meter dari tempatnya berpijak.

Delano melihat sang ibu sedang berbincang serius dengan seorang pria misterius lengkap dengan jas merah yang dikenakannya.

Menit kemudian, sang ibu jatuh dari gedung berlantai tiga. Mata Delano nyaris mencelos menyaksikan hal itu. Bibirnya terbuka lebar. Seketika dunianya hancur. Ia yatim piatu dalam sekejap.

Tanpa siapapun di kota besar yang bahkan pertama kalinya ia menginjakkan kaki. Bulir kristal seketika lolos begitu saja melewati pipinya. Belum usai deritanya, sekumpulan lelaki berpakaian serba hitam yang bertubuh gempal berlari mendekat ke arahnya.

Delano terus berlari menjauh, dan berusaha keluar dari gedung. Ia terus menerobos dan membelah kerumunan pengunjung yang ramai menyaksikan pameran seni rupa milik Jeff Hilton. Tanpa disadari, kalung pemberian sang ibu dengan leontin yang dihiasi batu safir berwarna merah terjatuh di sana.

— To Be Continued

— Follow me on IG: @lia_lintang08

— Baca juga karyaku yang lain: Memilih Menjemput Cinta.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tertipu Masa Lalu   Terkurung Mimpi

    Delano terbaring di ranjang pasien, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak mata tertutup, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan. Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari koma panjang yang telah lama menahannya."Delano, bangunlah! Tolong bangun!" suara lembut namun tegas memanggilnya.Perlahan, Delano membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Matanya kemudian fokus pada sosok di sisi ranjangnya. "Papa?" Delano berkata dengan suara serak, penuh ketidakpercayaan. "Papa Hilton?"Jeff Hilton, ayahnya yang sudah lama ia kira meninggal, duduk di sana dengan senyuman penuh kelegaan."Ya, Nak. Ini Papa," jawab Jeff dengan suara lembut, menyentuh tangan Delano dengan lembut.Delano menatap sekeliling, melihat wajah-wajah yang begitu akrab namun terasa seperti dari dunia lain. Di dekat pintu, seorang pria botak berdiri denga

  • Tertipu Masa Lalu   Bab 159. Kekuatan Batu Mera Safir

    "Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh

  • Tertipu Masa Lalu   Mencari Lukisan Misterius

    Cahaya berkilauan di sekeliling Ben Daniel, melibatkan tubuh Delano dalam mantra penggabungan jiwa. Sementara itu, saat Delano melafalkan mantra tersebut, keajaiban terjadi. Di tengah keheningan, suasana berubah, dan tiba-tiba, Delano merasakan sensasi transmisi yang menakjubkan. Dalam sekejap, Delano terbangun di sebuah kasur empuk, menyadari bahwa ia berada di dalam istana yang ia yakini sebagai keluarga ayahnya. Keheranan meliputi dirinya sendiri, dan dalam kebingungan, ia melihat ibunya—Oscar, mendekatinya dengan penuh kelembutan. Dengan mata penuh kegembiraan, Oscar menceritakan kisah pahit selama tiga bulan terakhir. Delano, tanpa sadar, telah berada dalam koma yang panjang. Perasaan kehilangan dan rindu ibu yang menyayangi anaknya menjadi permainan emosi di antara mereka, meruntuhkan hati Delano yang baru saja terbangun dari dunia lain. Miranda menatap Delano dengan matanya yang penuh kekhawatiran, "Delano, bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan selama ini?" Delano meng

  • Tertipu Masa Lalu   Membebaskan Jiwa Kejam

    Usai membantu membebaskan Anna dari cengkraman makhluk jahat, Ben Daniel segera menjadi remaja dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara di dalam rumah usang di tengah hutan, masih menyisakan suasana mencekam.Ben Daniel merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat Delano berubah menjadi makhluk yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, ia segera meraih botol ramuan yang telah disiapkan sebelumnya. "Kembalilah, Delano!" serunya sambil berusaha menjaga kestabilan emosinya.Delano yang kini tampak seperti makhluk buas, merintih kesakitan saat ramuan itu menyentuh kulitnya. Bulu-bulu lebatnya mulai rontok, dan matanya yang tajam terlihat melemah. "Aku... tidak ingin melukaimu, Delano," Ben Daniel berbisik sambil terus mengoleskan ramuan itu.Sambil terus mengucapkan mantra dengan penuh konsentrasi, ia merasakan energi magis mengalir dari tubuhnya ke ramuan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat melawan pengaruh gelap yang merasuki Delano. Pandangan mata

  • Tertipu Masa Lalu   Ritual Mencekam

    Dari embusan angin yang terasa kencang seolah menampar-nampar wajah, Ben Daniel sudah menyadari kehadiran sosok jahat di dekat Delano. Dengan cekatan, tapi diam-diam, Ben Daniel menyembunyikan botol kecil berisi ramuan yang dibuatnya sendiri di balik baju yang ia kenakan. Kemudian, ia mendorong kendaraan miliknya yang sebelumnya sempat ia sembunyikan di bawah rerantingan kering dan juga dedaunan yang menutupinya. Namun, yang mengejutkan. Tiba-tiba saja mobil tersebut bergerak cepat seolah ringan melesat cepat di jalanan sambil disentuh pelan. Delano, kau meminta bantuan kepada siapa? Tanya Ben Daniel sambil menatap tajam, seolah mengisyaratkan kemarahan. Delano tergemap seketika. Bibirnya terkatub rapat. Tak ada kecuali katapun yang keluar sebagai pembelaan, sedangkan matanya membelalak lebar. "Delano!" bentak Ben Daniel. Delano berjingkrak dan kembali menatap si empunya mobil tua yang baru saja dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. "Tidak ada, Om. Mungkin perasaan Om Ben s

  • Tertipu Masa Lalu   Kecemasan Ben Daniel

    Delano melangkah perlahan ketika hendak menemui Ben Daniel. Pria paruh baya itu, bahkan bisa menerka jika Delano sedang mencemaskan sesuatu dari mukanya yang sedang ditekuk."Ayo kita pergi sekarang!" ajak Ben Daniel, meski sedikit ragu.Perlahan ia melangkah keluar rumah. Namun, Delano tetap berdiri di pijakannya. Tercekat tanpa kata."Delano, ayo! Tidak ada waktu untuk melamun. Anakku dalam bahaya!" teriaknya.Ben Daniel sengaja bersuara keras agar Delano yang pikirannya tampak terganggu segera kembali fokus dan santai mengikuti langkahnya.Bukannya melangkah, akan tetapi Delano yang saat itu masih berdiri di taman pintu justru terjatuh dan terkulai lemas di lantai.Seolah mengalami demam tinggi, pemuda itu kembali terlihat aneh. Tubuhnya yang menggigil pun mengeluarkan suara erangan menyeramkan.Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah seklera matanya saja. Terang saja mata Ben Daniel membulat sempurna. Saya benar-benar terkejut dengan perubahan Delano.Delano, apakah ini artinya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status