Share

7. Karena Itu Kamu

Shila berdecak malas. Tidak habis pikir dengan Figo yang menyuruh Gerald untuk menjadi supirnya malam ini. Padahal, ia bisa meminta Adel yang menjemputnya seperti biasa, tapi Figo tetap memaksakan kehendaknya.

"Calon suami lo cakep juga," ucap Adel sambil melirik ke arah Gerald yang sedang fokus menyetir mobil. Adel terkejut saat mendapat kabar dari Shila bahwa akan segera menikah bulan depan. Apalagi, dengan cara dijodohkan. Membuat Adel merasa kasihan sekaligus bahagia karena Shila akan menempuh hidup baru.

Shila sengaja memilih untuk duduk di kursi penumpang—agar Gerald duduk sendirian seperti supir. Salah siapa yang tidak menolak permintaan dari Figo. Ini adalah salah satu bagian balas dendam Shila kepada calon suaminya karena pernah mempermalukannya waktu itu. Shila masih mengingatnya dengan baik dan rasa kesal itu tersimpan nyata di dalam hatinya.

"Kalau kamu mau, ambil aja. Ikhlas, kok," balas Shila yang ternyata masuk ke dalam indra pendengaran Gerald. Sesuai jadwalnya, malam ini Shila ada jadwal pemotretan—sebagai ganti hari yang ia batalkan waktu itu.

"Saya bukan barang," sahut Gerald dengan nada datarnya. Menyindir Shila yang sedang asik berbicara di kursi belakang. Dalam hati ia terus berdecak kesal karena Shila benar-benar memperlakukannya selayaknya seorang supir.

Adel terkikik pelan melihat pasangan baru di depan matanya. "Gue gak nyangka kalau om Figo mau jodohin lo. Terus, kalau udah nikah, lo masih mau jadi model?" tanya Adel dengan penasaran.

Shila terdiam untuk beberapa saat. Bingung ingin menjawab apa. Bukan, bukan bingung, tapi masalahnya sekarang, ada Gerald yang mendengarkan pembicaraan mereka. Sebenarnya, Shila sangat mencintai dunia kariernya sekarang. Menjadi seorang model adalah impiannya. Bahkan, ia juga berniat untuk menaiki sedikit kariernya untuk menjelajahi dunia akting.

"Kamu tahu sendiri aku cinta banget sama pekerjaan aku. Dan kamu gak lupa, kan, kalau ada salah satu produser film yang ngajak aku buat ambil peran di sana? Gak mungkin aku tolak, Del. Itu impian aku dari dulu banget."

Gerald diam. Ia tetap berusaha untuk fokus menyetir. Walaupun dalam hatinya ia tidak menyetujui keputusan calon istrinya itu. Ia lebih dari kata mampu untuk membiayai hidup Shila.

"Ah, iya. Gue hampir lupa. Projek film yang di Bali itu, kan? Yang lo jadi peran utama," balas Adel dengan suara yang sangat bersemangat. "Gila, sih. Sekali ditawarin langsung jadi peran utama lo, Shil."

"Mangkanya, aku gak mau tolak dan mundur dari karier aku sekarang."

Gerald melirik ke arah kaca mobil. Ia bisa melihat bagaimana raut kebahagiaan Shila. Gadis itu sangat bersemangat ketika menceritakan kariernya. Jika begini, apakah Gerald bisa meruntuhkan mimpi yang selama ini Shila inginkan?

"Ini belok kiri atau kanan?" tanya Gerald yang langsung to the point.

Seketika Adel dan Shila langsung menghentikan percakapan mereka. Beralih menatap ke arah jalanan.

"Belok kanan, Ge," balas Adel dengan cepat.

Gerald menganggukkan kepalanya, lalu membelokkan setir mobil ke arah kanan. Tak lama dari itu, mereka sudah sampai di area lokasi.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Shila segera turun dari mobil sambil membawa tasnya. Tidak peduli dengan Gerald yang memanggil namanya. Ia seakan menulikan pendengarannya. Jika diingat, Shila sangat kesal dengan Gerald. Bisa-bisanya Figo memilih Gerald sebagai pendamping hidupnya nanti. Tidak terbayang bagaimana suramnya kehidupannya setelah pernikahan itu jika benar-benar terjadi.

"Lo gak dengar? Gerald manggil lo dari tadi," ucap Adel sambil membawa beberapa pakaian Shila. Menatap sosok yang ia sudah anggap sebagai sahabatnya itu dengan penuh kebingungan. "Kalian lagi ribut, ya?" tanyanya penasaran.

Shila tidak menjawab. Ia sibuk bermain dengan ponsel miliknya. Melihat itu tentu saja membuat Adel berdecak kesal. Ternyata, sulit juga berada di antara dua pasangan.

"Eh, Shila. Kirain gak datang lagi," sindir seorang laki-laki yang sedang bersender di dinding sampingnya.

Shila mendongak—menatap salah satu rekannya, Aldo. "Maaf, kemaren aku lagi sibuk banget," dustanya sambil tersenyum canggung.

"Gue lihat tadi ada yang antar lo. Biasanya, cuma berdua sama Adel. Siapa, Shil?" tanya Aldo yang kali ini sudah berdiri di hadapan Shila.

"Itu calon suami Shila. Udah, ya, jangan ganggu Shila terus. Hubungan kalian hanya sebatas rekan kerja doang, gak lebih dari itu," sahut Adel sambil menarik pergelangan tangan Shila untuk menjauhi laki-laki gila itu.

Adel menatap Shila dengan mata yang melotot. "Lo bukannya menghindar malah biasa aja. Gak takut kalau Aldo rusak hubungan lo sama Gerald?" tanyanya dengan penuh selidik.

Shila terkekeh pelan. "Jangan terlalu berlebihan, Del. Lagian, Aldo juga udah punya pacar. Aku yakin dia udah move on."

Adel memutar bola matanya dengan malas. "Tapi gue masih gak yakin sama dia, Shil. Bisa aja itu jadi cara dia biar bisa deketin lo lagi. Siapa yang tahu?" 

Shila menggelengkan kepalanya. Tidak percaya dengan perkataan Adel yang terus berpikiran buruk tentang Aldo. Sebenarnya, Aldo itu sangat baik dengannya. Tapi satu fakta membuat Adel terus berusaha untuk menjauhi mereka. Aldo menyukainya, semenjak pertama kali mereka mempunyai kontrak kerja sama waktu itu. Entah sekarang masih atau tidak, Shila tidak terlalu memikirkannya.

"Udah, deh. Aku mau ganti baju dulu, ya," pamit Shila yang langsung masuk ke arah ruang ganti pakaian khusus perempuan. 

***

"Satu, dua, tiga."

Cekrek.

Satu foto baru saja diambil. Gerald menatap Shila dengan tatapan tajamnya. Perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu sedang berfoto bersama seorang laki-laki yang mungkin seumuran dengan Shila. Entah mengapa, Gerald merasa ada yang aneh dengan dirinya. Ia merasa jika foto itu terlalu berlebihan. Lihat saja, jarak posisi antara Shila dengan laki-laki itu terlalu dekat, tidak sepantasnya mereka seperti itu.

"Oke, foto terakhir."

"Satu, dua, tiga."

Spontan Gerald membulatkan kedua bola matanya dengan sempurna. Melihat wajah Shila dan laki-laki itu yang sangat dekat. Bahkan, hidung keduanya bersatu. Apakah itu masih batas wajar? Baginya, tidak sama sekali.

"Kenapa, Ge?" tanya Adel yang menyadari perubahan raut wajah Gerald—calon suami Shila.

Gerald tidak menjawab. Hanya menggelengkan kepalanya singkat.

"Lo cemburu, ya? Tenang aja, sih. Mereka gak ada hubungan apa-apa, kok. Sebatas rekan kerja aja," jelas Adel sambil menatap Shila dan Aldo yang sedang berfoto.

"Kalau boleh tahu, kontrak Shila berapa lama lagi?" tanya Gerald tanpa sadar—keluar begitu saja dari mulutnya.

Adel menoleh ke samping. Berusaha untuk mengingat kontrak kerja Shila. "Untuk pemotretan ini, tiga bulan lagi, tapi dia ambil job film di Bali. Kalau gak ada perubahan, itu sekitar empat bulan lagi."

"Kalau dibatalkan?"

Adel tersentak. Menatap Gerald tak percaya. "Kalau dibatalkan ... Shila kena penalti dan agensi kami akan mengalami kerugian besar."

"Oke, cukup untuk malam ini."

Keduanya pun mengalihkan perhatian mereka ke arah Shila yang sedang berjalan ke arah Adel.

"Ngapain ikut turun?" tanya Shila yang terkesan sangat dingin—tanpa menoleh ke arah Gerald sedikit pun.

Gerald memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Memangnya, kenapa kalau saya turun dan ke sini? Mau bebas bermesraan sama laki-laki lain?"

Spontan Shila menoleh ke arah Gerald. Menatap laki-laki itu dengan mata yang seolah ingin keluar dari tempatnya. "Maksud kamu apa?!" tanyanya yang tanpa sadar mengundang perhatian banyak orang.

Mereka yang sedang sibuk membereskan peralatan pun mengalihkan tatapannya ke arah Shila dan seorang laki-laki yang tidak mereka kenal.

Adel meringis pelan. Shila melakukan kesalahan sekarang. "Ayo, Shil. Kita ganti baju, terus pulang."

Dengan cepat Adel menarik pergelangan tangan Shila tanpa mau mendengar jawaban dari sahabatnya terlebih dahulu. Yang ia harus lakukan sekarang adalah menghindari tatapan penuh tanya dari mereka semua.

Tersisa Gerald. Laki-laki itu menatap punggung Shila yang perlahan menghilang. Tiba-tiba saja ada seseorang yang menepuk pundaknya dengan pelan. Gerald kembali menghadap ke depan. Menatap seorang laki-laki yang menjadi pasangan Shila berfoto tadi.

"Lo siapanya Shila?" tanya Aldo tanpa basa-basi. Menatap Gerald dari atas sampai bawah, biasa saja. Tidak ada yang istimewa dari laki-laki ini. Ya, walaupun harus ia akui jika yang ada di hadapannya ini cukup tampan, cukup. Tidak lebih dari dirinya.

Gerald menaikkan sebelah alisnya. Tipe laki-laki seperti ini sudah banyak ia temukan. Menilai sesuatu melalui fisik dan luarnya saja. "Masa depan Shila. Kenapa?" tanyanya dengan santai.

Aldo tertawa pelan mendengarnya. "Masa depan? Maksud lo apa?"

"Calon suami. Masih kurang jelas?"

***

"Saya bilang saja kalau saya ini calon suami kamu. Tidak salah, kan?" tanya Gerald sambil melirik ke arah samping. Menatap reaksi Shila seperti apa setelah mendengar ceritanya.

Beberapa menit yang lalu, mereka baru saja mengantarkan Adel ke rumahnya. Dan, jadilah Gerald yang memaksa Shila untuk duduk di depan atau mereka tidak akan pulang sampai besok. Akhirnya, Shila hanya bisa mengalah dan pasrah. Ia tidak punya banyak tenaga untuk bertengkar dengan Gerald. Ia sungguh kelelahan malam ini. Ingin cepat-cepat pulang dan memeluk gulingnya.

Shila melototkan kedua bola matanya. Menatap Gerald dengan tatapan tak percaya. "Kok, kamu bilang gitu, sih?! Kalau infonya kesebar terus pihak agensi aku tahu gimana, Ge?" tanya Shila tak terima dengan Gerald yang dengan mudahnya membongkar itu semua.

Gerald mengangkat bahunya dengan acuh. "Terus, kenapa? Saya tidak salah sama sekali. Saya hanya jujur, Shila. Sejak kapan jujur itu jadi suatu kesalahan?" tanya balik Gerald dengan santai—tanpa merasa jika dirinya sudah melakukan kesalahan besar, seperti yang ada di pikiran Shila.

"Ini bukan masalah jujur atau bukan, Ge. Tapi aku udah berniat buat merahasiakan pernikahan kita dari siapa pun. Aku gak mau karier aku hancur gitu aja."

Tanpa sadar Gerald mencengkeram setir mobil dengan sangat kuat. Menatap lurus ke arah jalanan. Jujur saja, ia tidak terima dengan perkataan Shila yang ingin merahasiakan pernikahan mereka.

"Kamu malu menikah dengan saya?" tanya Gerald yang sudah melenceng dari topik pembicaraan mereka.

Shila menoleh ke samping. Kembali menatap Gerald dengan tatapan penuh tanda tanya. "Kok, nanya itu, sih. Aku gak bilang malu, ya. Aku cuma gak mau aja pihak agensiku mengetahui semuanya."

"Terus, kenapa kalau mereka tahu? Pernikahan kita itu bukan aib, Shila. Kita menikah secara sah di mata agama dan hukum!"

Shila terdiam mematung di tempatnya. Tidak percaya dengan perkataan yang baru saja dilontarkan oleh Gerald.

"Kenapa kamu terima perjodohan ini?" Akhirnya, Shila bisa bertanya tentang itu. Sejak kemaren ia sangat penasaran. Kenapa Gerald setuju-setuju saja dengan perjodohan mereka? Di sini sepertinya hanya dirinya yang keberatan. Sedangkan Gerald? Laki-laki itu tampak santai dan seolah menerima semuanya dengan lapang dada.

"Karena itu kamu."

Shila mengerutkan dahinya dengan bingung. Tidak mengerti dengan maksud jawaban yang diberikan oleh Gerald. "Karena aku? Maksudnya apa, Ge?"

"Nanti kamu tahu sendiri."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status