Shila melangkahkan kakinya dengan malas. Memasuki rumahnya yang entah mengapa hari ini tampak sangat sepi. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan—tidak ada siapa-siapa. Shila mengerutkan dahinya bingung. Tumben sekali tidak ada orang seperti ini. Biasanya, saat ia pulang ke rumah ada suara televisi yang berisi film kartun kesukaan Hito—Upin & Ipin, tapi sekarang tidak ada.
"BI," panggil Shila dengan suara yang berteriak kencang. Ia berjalan ke arah dapur. Menatap sosok wanita tua yang sedang sibuk mencuci piring.
"Eh, Non Shila. Ada yang bisa Bibi bantu, Non?" tanya Bi Surti—pembantu rumah tangga mereka yang sudah bekerja sebelum Shila lahir ke dunia. Tepatnya, semenjak pernikahan kedua orang tuanya. Figo dan Yeslin.
Shila menggelengkan kepalanya, lalu menarik salah satu kursi yang ada di meja makan. "Kok, rumah sepi banget. Orang-orangnya pada ke mana, Bi?" tanya Shila penasaran. Tangannya pun bergerak mengambil gelas dan menuangkan air putih ke dalamnya.
"Tadi Pak Figo sama Bu Karin pergi ke butik. Katanya, mau urus baju pernikahannya Non Shila."
Byur.
Dengan tidak sengaja—terkejut mendengar penuturan dari bi Surti yang membuatnya jantungan—Shila menyemburkan air putih yang baru saja masuk ke dalam tenggorokannya.
"Apa?!" Shila melotot tak percaya. Jadi, mereka tidak main-main berkata akan mempersiapkan semuanya tanpa campur tangan antara dirinya dan Gerald.
Tampak bi Surti menganggukkan kepalanya. "Iya, Non. Gimana sama Mas Gerald? Bibi yakin kalau Mas Gerald cocok banget buat jadi suaminya Non Shila. Dia baik dan sopan," ucap bi Surti dengan senyuman di wajahnya. Kemaren, waktu Gerald ke sini, bi Surti sempat berbincang sebentar dengan calon suami dari anak majikannya itu. Memang pilihan seorang Figo tidak pernah salah. Ia sudah bisa menilai kalau Gerald adalah laki-laki yang baik dan pastinya bertanggung jawab.
"Dia gak baik, Bi. Orangnya dingin plus suka ngomong gak disaring dulu," balas Shila yang membenarkan penilaian bi Surti terhadap Gerald. Jujur, Shila sangat heran dengan semua orang yang ada di rumah ini. Kenapa mereka semua menganggap bahwa Gerald itu sangat baik? Padahal, saat bersama dengan dirinya laki-laki itu jauh dari kata baik.
Bi Surti tertawa mendengarnya. "Ya, mungkin karena kalian baru kenal aja, Non, tapi aslinya dia baik banget, kok," bantah bi Surti yang tidak mau kalah dari Shila.
Shila menggelengkan kepalanya dengan mata yang menyipit. Menatap bi Surti dengan tatapan penuh curiga. "Bibi ngomong gitu kayak udah kenal lama sama calon suami aku."
Bi Surti tertegun mendengarnya. Ia berdeham untuk menetralkan rasa gugup yang tiba-tiba saja datang saat mendengar perkataan dari Shila—anak dari majikannya yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri. Dari dulu sampai sekarang, Shila tidak pernah segan untuk bercerita dengannya. Apapun itu. Saat bertengkar dengan Figo, bertengkar dengan Dikta, bahkan, tentang kesedihan Shila saat kehilangan Yeslin pun gadis itu selalu bercerita. Tidak ada yang ditutupi sedikit pun darinya.
"Iya? Bibi udah kenal sebelumnya sama Gerald?" tanya Shila melihat gelagat aneh dari bi Surti. "Ayo, jujur sama aku. Bibi udah kenal, ya, sama calon suami aku?" desak Shila yang sangat penasaran.
"Cie, udah calon suami aja bilangnya," elak bi Surti dengan cepat. Untung saja ia bisa mencari cela untuk tidak menjawab pertanyaan dari Shila.
Shila melototkan matanya. Tersadar dengan ucapannya barusan. Calon suami aku? Astaga, Shila! Sadar! Sadar! Sadar! Ia pikir, dirinya sudah gila sekarang.
"Ihh, Bibi jangan gitu, dong. Jadi malu, kan," balas Shila lalu membuang pandangannya ke arah lain. Kedua sudut bibirnya pun berkedut—seberusaha mungkin untuk dirinya tidak tersenyum. Bisa ia pastikan bahwa sekarang pipinya sudah memerah karena malu. Sial. Bi Surti keterlaluan.
Bi Surti tertawa puas melihatnya. Semakin bersemangat untuk menggoda Shila. Ia tidak menyangka jika anak kecil yang dulunya sangat suka mengganggu dirinya di dapur itu pun sudah beranjak dewasa dan sebentar lagi akan menikah. Dunia sangat cepat sekali berputarnya.
"Bibi gak nyangka kalau sebentar lagi Non Shila akan segera menikah."
Shila kembali mempusatkan pandangannya ke arah bi Surti. Menatap wanita tua itu dengan pandangan yang berubah menjadi sendu. Wanita yang ada di hadapannya sekarang adalah salah satu wanita yang sangat berarti dalam hidupnya. Tidak pernah sekalipun Shila menganggapnya sebagai pembantu di rumah ini. Ia menganggapnya seperti ibu kandungnya sendiri. Bi Surti adalah sebagai tempat cerita yang paling ia percaya. Dari dulu sampai sekarang.
"Bibi jangan gitu, dong. Aku jadi sedih, nih," protes Shila lalu berdiri dari duduknya. Memeluk tubuh bi Surti dengan sangat erat dan menangis di sana. "Aku kangen mama, Bi. Aku berharap banget kalau mama juga bisa hadir di pernikahan aku nanti, tapi itu sama sekali gak mungkin, Bi."
Bi Surti mengelus punggung Shila dengan lembut. Membiarkan anak dari majikannya itu menangis sepuasnya.
"Bibi yakin kalau bu Yeslin sangat bahagia di sana. Melihat Non Shila yang akan segera menikah dan memulai hidup baru. Apalagi, itu Mas Gerald. Lelaki pilihan pak Figo. Percayalah, Non. Pak Figo tidak pernah salah memilih seseorang. Apalagi, itu untuk anak kesayangannya sendiri."
Mendengar itu Shila semakin menangis kencang. Ia sangat tidak bisa menutupi kesedihannya jika di depan bi Surti. Ia merasa seperti ada sosok mamanya di sana. Sosok yang tidak ia temui dari Karin.
"Non Shila boleh nangis sekarang, tapi besok dan seterusnya harus bahagia terus, ya?" Bi Surti semakin mengencangkan pelukan mereka. Mengelus punggung Shila dengan lembut dan sesekali menepuknya pelan.
Nyaman. Pelukan itu sangat nyaman sekaligus hangat dalam satu waktu. Shila menyukainya.
"Pokoknya, Bi Surti harus ikut aku nanti. Bi Surti harus tinggal bareng aku!" tegas Shila yang tidak terbantahkan sedikit pun.
Bi Surti terkekeh pelan mendengarnya. "Pasti, Non," jawabnya yang tak kalah tegas. Sebelum mama Shila pergi—Yeslin sudah menitipkan Shila kepadanya. Maka dari itu, bi Surti tidak pernah sekalipun pergi meninggalkan Shila, karena ia sudah berjanji dan akan menepatinya sampai kapan pun.
"Shila sayang sama Bibi."
"Bibi lebih sayang sama Non Shila."
***
"Papa tadi pergi ke butik?" tanya Shila berjalan mendekati Figo dan Karin yang sedang asik duduk di sofa. Menemani Hito yang sedang asik bermain dengan robot-robot kesayangannya. Shila pernah sekali menghancurkan salah satu robot milik keponakannya itu—dan berakhirlah Shila yang diberi omelan dari Dikta sedangkan Rea biasa saja.
"Iya, kenapa?" tanya balik Figo. "Kamu gak pemotretan?"
Shila menggelengkan kepalanya lalu mengambil salah satu toples yang berisi keripik kesukaannya. "Tadi siang aku udah pemotretan. Kalau malam ini kosong. Papa beneran ngurus semuanya sendiri?"
"Iya, kamu fokus aja buat berkenalan sama Gerald," sahut Karin yang berada di sebelah Hito.
"Pokoknya, aku mau gaun pengantinnya yang paling bagus, ya," pinta Shila dan langsung dibalas dua jempol oleh Karin.
"Papa mau tanya sama kamu," ucap Figo yang tiba-tiba serius.
Shila mengerutkan dahinya bingung. "Tanya aja, Pa."
"Kamu mau pernikahan ini privasi dari publik? Kamu mau merahasiakan dari semua orang?"
Shila terdiam mendengarnya. Otaknya mencoba untuk berpikir bagaimana jawaban yang pas atas pertanyaan dari Figo.
"Pa, karier aku lagi berkembang banget sekarang. Aku belum bisa kalau harus mempublikasikan pernikahan aku," balas Shila sambil menundukkan kepalanya. Tidak siap mendengar amukan dari Figo setelah ini. Ia berdecak dalam hati. Pasti yang membocorkan ini semua adalah Gerald. Siapa lagi jika bukan laki-laki berwajah datar itu?
"Tapi, Shila. Pernikahan kamu itu bukan aib. Kenapa harus dirahasiakan?" tanya Figo yang seakan tidak puas dengan jawaban Shila sebelumnya.
Karin berdiri dari duduknya. Berjalan mendekati posisi Shila. "Sayang, kamu menikah sama Gerald itu tidak terjadi apa-apa. Semuanya karena keinginan dari kami yang ingin memberikan terbaik untuk kamu. Jadi, jangan takut kalau pernikahan ini diketahui oleh publik. Kamu sudah sewajarnya untuk menikah," jelas Karin dengan nada yang lembut.
"Jadi, aku harus memberitahukan ini kepada publik? Terus, kalau semisal karier aku turun, gimana, Pa?" tanya Shila yang meminta saran.
Figo membuang nafasnya dengan kasar. "Shila, sebentar lagi kamu akan menjadi istri. Kehidupan kamu akan berubah seratus delapan puluh derajat. Apa kamu masih mau sibuk dengan karier kamu nantinya? Kamu mau menelantarkan suami kamu?" tanya balik Figo yang mampu membuat Shila terdiam seribu bahasa.
"Kamu masih boleh bekerja, tapi jangan berlebihan seperti sekarang. Status kamu akan berubah menjadi istri dan sudah sepantasnya untuk kamu berperan sebagai istri yang sesungguhnya."
Lagi, Shila terdiam. Lidahnya terasa kelu dan tidak mampu mengeluarkan satu kata pun.
"Kamu bisa, kan, untuk tidak menyembunyikan pernikahan kalian? Jangan sampai ada sesuatu yang buruk terjadi suatu hari nanti jika kamu tetap memilih untuk merahasiakan pernikahan ini dari publik."
"Tapi untuk job aku yang di Bali itu gimana? Itu empat bulan lagi, Pa."
"Itu yang terakhir kalinya kamu menerima tawaran membuat film," putus Figo dengan suara yang tegas dan tidak terbantahkan. "Lagian, Gerald lebih dari mampu untuk menafkahi kamu, sayang," sambungnya dengan nada yang kali ini berubah menjadi lembut.
Shila menganggukkan kepalanya mengerti. Tidak berniat untuk membantah perkataan Figo sedikit pun. "Jadi, berapa lama lagi pernikahan aku?" tanyanya penasaran.
"Tiga minggu lagi, sayang."
***
"SHILA!"Prang.Shila menatap nanar ke arah ponselnya yang baru saja terjatuh ke lantai. Ia terkejut mendengar suara teriakan Figo yang sangat kencang itu. Bahkan, jantungnya pun berdetak lebih cepat.Dengan kesal Shila melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar. Membuka pintu, lalu melihat Figo yang menyengir di depannya sekarang."Papa, Shila kaget tahu gak," ucap Shila dengan nada yang terdengar kesal.Sedangkan Figo hanya mampu menyengir dengan lebar. "Kamu gak pergi ke mana-mana, kan, hari ini?" tanyanya dengan tidak sabaran."Enggak ada kalau hari ini," balas Shi
Sepertinya, semesta ingin sekali melihat Shila menderita. Buktinya, yang ada di depannya sekarang adalah Gerald. Setiap hari yang ia lihat adalah wajah Gerald, Gerald, dan Gerald. Kedua orang tua mereka tidak main-main dengan ucapannya di cafe waktu itu. Memberikan banyak waktu agar mereka bisa saling mengenal dan menghabiskan waktu bersama sebanyak mungkin sebelum hari pernikahan mereka."Kamu jemput aku?" tanya Shila menunjuk dirinya sendiri. Mengedarkan pandangannya ke arah lain—bisa jadi Gerald ingin menemui orang lain. Jangan sampai ia harus menahan malu lagi karena terlalu percaya diri.Gerald menganggukkan kepalanya. "Pak Figo yang nyuruh saya buat jemput kamu."Shila meringis dalam hatinya. "Kalau kamu lagi sibuk kenapa gak tolak aja? Ngerepotin tahu gak," balas
Apakah ada seseorang yang bisa menolong Shila sekarang? Ia ingin menghilang dari bumi kalau bisa. Tidak percaya dengan Gerald yang baru saja mengucapkan tiga kata yang mampu membuat kedua sudut bibirnya berkedut—memaksa untuk tersenyum. Namun, Shila berusaha untuk terlihat biasa saja. Seolah apa yang diucapkan oleh Gerald tadi bukanlah hal yang asing baginya."Kamu bilang apa tadi?" tanya Shila sambil menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga. Meminta Gerald untuk mengulang perkataannya yang terucap beberapa menit yang lalu. Sungguh, ia tidak pernah merasa sesenang ini saat orang lain mengatakannya 'cantik'.Gerald membuang pandangannya ke arah lain. Sepertinya, ia salah. Mulutnya tidak bisa dikontrol dengan baik kali ini. "Lidah saya kepleset. Saya gak bilang apa-apa tadi," elak Gerald yang tidak ingin mengakui jika dirinya baru
Berulang kali Shila menatap kagum isi rumah yang sedang ia pijak. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Menatap satu persatu bingkai foto yang terpajang di dinding. Tanpa sadar kedua sudut bibir Shila tertarik ke atas—membentuk sebuah senyuman yang sangat manis. Foto Gerald pada masa kecilnya ternyata sangat menggemaskan. Berbanding terbalik dengan yang sekarang."Ayo duduk sini aja, Shil," panggil seorang wanita yang berdiri tak jauh dari posisi Shila.Mendengar itu, dengan cepat Shila melangkahkan kakinya untuk mendekati Fira. Tampak di samping wanita itu ada seorang gadis remaja yang mungkin masih SMA. Apakah gadis itu adalah adiknya Gerald? Calon adik iparnya, mungkin? Ah, Shila tidak tahu bagaimana caranya memperlakukan seorang adik. Apalagi, perempuan, tapi ia akan berusaha untuk bersikap sebaik mungkin.&nbs
Setelah beberapa hari yang lalu mendapati Shila yang terduduk di lantai balkon kamarnya, sekarang Gerald sedang berada di depan rumah Shila. Tangannya memegang satu buket bunga mawar merah. Sebelum melangkah untuk masuk ke dalam—Gerald menarik nafasnya terlebih dahulu. Semenjak hari itu, Shila berkata dengannya untuk tidak menemuinya dulu sampai tiga hari kemudian. Dan hari ini, tepat tiga hari.Tok tok tok.Gerald mengetuk pintu dengan sopan. Ia berulang kali menghembuskan nafasnya—tidak percaya jika sekarang dirinya sangat gugup.Ceklek.Terlihat bi Surti yang membukakan pintu untuknya. Gerald tersenyum tipis. "Shila ada, Bi?" tanyanya dan tanpa sengaja melirik ke arah dalam rumah yang terdapat Shila sedang duduk di sofa.
Hari ini adalah hari yang sangat cerah. Lebih cerah dari yang sebelum-sebelumnya. Terbukti dari Shila yang sejak tadi terus bersenandung dengan riang. Ia bahkan senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Sampai Dikta yang baru saja keluar dari kamarnya pun mengerutkan dahinya bingung."Ada yang lagi bahagia, nih," sindir Dikta melirik ke arah Shila yang tengah menatapnya dengan senyuman yang tidak luntur sedikit pun. "Kenapa? Ada proyek baru lagi?" tanyanya yang sangat penasaran dengan kelakuan aneh Shila pagi ini.Shila menggelengkan kepalanya sambil menggoyangkan jari telunjuknya ke kiri dan kanan secara bergantian. "Ada rahasia besar," balasnya, lalu detik berikutnya Shila terkekeh pelan."Udah gila, nih," gumam Dikta menatap Shila dengan ngeri. Semenjak kemaren, Shila terus
Pernikahan semakin dekat. Tidak terasa sekarang tersisa dua minggu lagi untuk menuju hari bahagia Shila dan Gerald. Baik keduanya, hubungan mereka jauh lebih dekat, tidak seperti awal kenal—merasa canggung untuk berinteraksi. Walaupun yang dominan adalah Shila."Kita mau ke mana, Ge?" tanya Shila yang baru saja masuk ke dalam mobil milik Gerald. Ia menoleh ke samping—menatap penampilan Gerald yang menggunakan pakaian formal. Sepertinya, calon suaminya ini baru saja pulang dari kantor dan langsung menuju ke rumahnya tanpa berganti pakaian terlebih dahulu.Gerald segera menyalakan mesin mobilnya dan memutar setir mobil untuk keluar dari area pekarangan rumah Shila. "Kita disuruh ke butik. Lebih tepatnya, saya menemani kamu untuk mencoba gaun pengantin," balas Gerald tanpa mengalihkan tatapannya sedikit pun dari arah jalanan. Ia tidak i
"Nanti pulang jam berapa?" tanya Gerald menatap Adel dan Shila secara bergantian.Tampak Adel melirik ke arah jam tangannya lalu menjawab, "jam tiga sore kita udah selesai, kok.""Nanti saya jemput." Usai mengatakan itu, Gerald segera melajukan mobilnya—meninggalkan area tempat pemotretan Shila hari ini."Gerald perhatian banget sama lo, Shil," ucap Adel yang menatap Shila dengan tatapan menggoda. "Sekali dapat cowok langsung yang kek gitu," sambungnya—mengingat Shila yang selama ini tidak pernah dekat dengan laki-laki manapun. Bukan tidak ada yang menyukai Shila, tapi karena gadis itu selalu berusaha untuk menjauh dan menghindar dari skandal apapun.Tiba-tiba saja ada seorang laki-laki yang data