Share

BAB 02

Setelah sampai rumah. Aku langsung menuju dapur.

Mas Andi hari ini libur kerja. Jadi waktunya dihabiskan untuk bermain bersama anaknya.

Setelah tiga menu sudah terhidang dimeja. Lalu, aku memanggil Mas Andi untuk makan.

Ketika kami sedang makan. Mas Andi memperhatikanku yang sedikit murung.

"Dek. Kamu kenapa kok murung gitu? "tanyanya.

"Eh... Gak apa-apa Mas."jawabku menutupi.

"Jangan bohong sama Mas."desaknya.

Karena tidak ingin membuat Mas Andi semakin curiga. Akhirnya aku menceritakan semua yang Ku dengar tadi. Mas Andi hanya diam dan menyimak.

Setelah selesei makan. Mas Andi menyuruhku duduk disampingnya.

"Dek. Mas mau tanya sesuatu. Adek mengalirkan air kerumah mereka tujuannya apa?"Tanya Mas Andi yang membuatku heran dengan pertanyaannya.

"Ya. Aku kasihan sama mereka Mas!"jawabku kesal.

"Kamu ikhlas gak?"tanyanya lagi.

"Iya ikhlas lah Mas!"jawabku dengan sedikit jengkel.

"Jika kamu ikhlas, lupakan apapun perkataan mereka. Anggap mereka sedang lupa saat itu."ucapnya menasehatiku.

"Iya gak bisa gitu juga Mas."jawabku sambil sedikit menekan nada bicaraku.

"Lalu! mau adek apa?"tanyanya lagi sambil sedikit tersenyum kearahku.

"Mau ku bongkar pipa itu. Biar saja mereka beli air lagi setiap hari. kalau gak ada turun hujan"jawabku emosi.

"Jangan seperti itu tidak baik! Anggap ini sebuah ujian untuk melatih kesabaranmu."jawabnya dengan lembut.

"Tapi Mas!"protesku

"Dek. Ketika kita berbuat baik kepada seseorang jangan pernah berharap jika orang tersebut akan selalu baik dengan kita."ucapnya

"Biarlah Allah yang membalas kebaikan mu dan semoga Allah menjadikan amal ibadah untuk mu. Dan ingat! Jangan pernah berharap kepada manusia."imbuhnya

Mendengar nasehat Mas Andi hatiku kembali tenang.

👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌

Sore hari seperti biasa. Anakku main diluar bersama teman sebayanya, dengan didampingi orang tua masing masing anak.

Bu Sulis datang mendekat kearahku.

"Bu! Sudah dengar belum, jika Bu Darmi ngomongin Ibu?"ucapnya. Aku tersentak mendengar ucapan Bu Sulis.

"Masak sih Bu?"Tanyaku penasaran.

"Iya Bu. Wong Bu Ida sendiri yang ngomong sama Saya"ucap Bu Sulis dengan mimik wajah serius.

"Bu Ida itu yang mana iya Bu?"tanyaku karena memang belum kenal.

"Itu lho. Bu, yang rumahnya paling ujung gang."jawabnya sambil jemarinya menunjuk kearah rumah bercat biru.

"Memang Bu Darmi ngomongin Saya apa Bu?"tanyaku semakin penasaran.

"Katanya Ibu itu sok kaya. segala nawarin air ke Bu Darmi. padahal rumah cuma ngontrak."Nyes rasanya hatiku, perih kecewa dan sakit hati mendengarnya.

"Ah. Mana mungkin Bu Darmi ngomong begitu Bu."Aku berpura-pura tak percaya.

"Ih. Ibu ini. Susah bener diomongin. Bu Sara tahu Bu Dina kan? dulu dia nawarin mereka untuk mengalirkan air dari rumahnya. Namun Bu Darmi menolak katanya biar saja mereka beli, Karena masih mampu beli air hampir tiga hari sekali. Namun kenyataannya ketika rumah Bu Dina kosong mereka ngangkut air dari kran depan rumah Bu Dina. waktu itu anak Bu Dina yang masih SMP pulang pagi, lalu tanpa sengaja memergoki Bu Darmi dan anaknya bawa timba terisi air dari kran itu."Bu Sulis bercerita panjang lebar.

"Ibu bener gak bohong?"tanyaku meyakinkan lagi.

"Eit dah Ibu ini, masih gak percaya. Nanti coba Ibu perhatikan sikapnya pasti berubah jika Ibu sedikit aja bikin dia kecewa."jawabnya lagi sambil geleng-geleng kepala karena aku meragukan ceritanya.

Dua hari kemudian.

Bu Darmi datang kerumah meminta garam kepadaku, katanya garamnya habis nanggung kalau mau beli karena sayurnya sudah hampir matang. karena juga pas persediaan garam dirumah habis jadi aku kasih yang sudah ku buka.

setelah memberikan garam itu Bu Darmi terlihat tak senang.

"Oalah Bu. Kalau ngasih itu yang baru. Masak garam sisa begini dikasih orang!"ucapnya dengan ketus. Aku bergeming sesaat.

"Aduh maaf Bu. Persediaan garam saya habis tinggal yang sudah dibuka itu. Maaf iya Bu jangan tersinggung. "Jawabku gak enak hati.

"Iya gak apa-apa. saya juga terpaksa minta sama Ibu karena nanggung kalau harus beli kewarung jauh."ucapnya lagi dengan nada sedikit ditekan.

Hari minggu, biasanya Mas Andi libur kerja, tapi, karena beras habis dan token listrik juga sudah berbunyi menandakan untuk waktunya diisi. Akhirnya Mas Andi mencari kerja sampingan diluar, karena, Mandor ditempat Mas Andi bekerja sedang keluar kota. jadi gaji Mas Andi dan teman temannya ditunda sampai sang mandor pulang.

Siang hari habis dzuhur, ternyata listrik sudah mati dan Mas Andi belum juga pulang.

karena didalam rumah panas. Aku bawa Dimas untuk main dibelakang rumah agar tidak rewel.

Ketika sedang menikmati hembusan angin yang menyegarkan, tiba-tiba anak pertama Bu Darmi yang bernama Laras mendekatiku.

"Tante! Air habis! Aku jadi gak bisa mandi nich. Aku mau berangkat Kuliah."ucapnya dengan sedikit tinggi nada bicaranya. Aku yang mendengar hal itu terkejut bagaimana bisa Laras berbicara seperti itu kepadaku.

"Lho! Kuliahmu kan masih nanti sore to dek." jawabku ramah. Karena setahuku Laras kuliah di universitas terbuka yang masuk dihari sabtu dan minggu.

"Iya. tapikan, Aku harus luluran dulu sebelum mandi."jawabnya ketus. Aku semakin terperangah dibuatnya.

"Tapi Dek. Maaf, listrik tante tokennya habis jadi listriknya mati. suami tante belum pulang." jawabku.

"Iya ditelepon donk Tan! suaminya suruh beli token listrik."ucapnya lagi masih dengan nada ketus.

"Tante kan tidak punya hp."jawabku sambil berjalan kearah Dimas yang jatuh.

"Ih... Tante ini miskin amat sich. jaman sekarang gak punya hp."ucapnya lagi.

"Aduh. Kamu kesini itu mau minta air, Atau mau menghina tante sich."tanyaku dengan nada sedikit kesal.

"Iya mau suruh Tante nyalakan airlah!"jawabnya tanpa dosa.

"Iya sudah sana. Kamu beliin tante token listrik biar bisa nyala sanyonya."ucapku dongkol.

"Eh... Tante! kami ini bayar iya setiap bulan bukan minta gratis sama tante."ucapnya dengan nada yang ditekankan.

"Eh... Laras! sudah enam bulan ibumu tidak ngasih uang air sama tante."jawab ku, biar aja kalau Dia mau ngadu ke ibunya.

"Halah! Tante itu ternyata sudah miskin pinter bohong juga ya! Gak mungkinlah Ibu gak bayar air yang jumlahnya gak seberapa itu."ucapnya lagi sambil mencibir.

Laras langsung berlalu pergi. beberapa menit kemudian. Bu Darmi datang, sepertinya Laras mengadu padanya.

"He! Bu Sara! Ibu itu gak ikhlas ngasih air kami? "tanyanya dengan ketus.

"Maksud Bu Darmi apa ya? Saya gak ngerti. "jawabku bingung.

"Bu Sara kenapa tidak mau nyalakan sanyo airnya? Bukankah Saya tiap bulan bayar. "ucapnya semakin ketus.

"Maaf Bu. listrik rumah Saya tokennya habis, dan suami Saya belum pulang. Jika Bu Darmi memang butuh banget air sekarang. tolong belikan token listrik untuk Saya, Nanti potong aja dari uang air yang sudah enam bulan Ibu belum bayar."jawabku dengan sopan.

"Bu Sara ini gimana sich! kapan Saya gak bayar air?"ucapnya. Aku terperangah mendengar perkataan Bu Darmi.

"Lho! Bu Darmi kan memang belum ada memberi uang air selama enam bulan ini. bukankah Bu Darmi sendiri yang selalu bilang belum memiliki uang untuk bayar air."jawabku sambil mengingatkan ucapan Bu Darmi setiap waktu pembayaran air.

"Oh... jadi Bu Sara ini tidak ikhlas mengalirkan air kerumah saya?"tanyanya sambil menunjuk wajahku dengan jarinya.

"Bukan begitu maksud Saya Bu."jawabku gak enak hati.

"Ingat ya Bu Sara! Ibu itu disini cuma ngontrak jadi jangan sok."ucapnya sambil berlalu pergi.

Aku hanya mengelus dada. jika tidak karena anak Bu Darmi yang kedua, sudah ku putus saluran airnya. Anak Bu Darmi yang kedua bernama Rahayu. Dia anak yang rajin beribadah dan prilakunya sopan terhadap orang, berbanding terbalik dengan kakaknya.

Aku kasihan jika saluran air Ku putus. Dia akan kesusahan ketika hendak mengambil air wudhu. Dan lebih parahnya lagi dia harus kesungai mengangkut air untuk kakaknya mandi. karena Laras tidak mau mandi kesungai katanya gengsi. masak anak secantik dan sepintar dia harus mandi kesungai. Itu yang aku dengar dari Rahayu ketika Dia mengucapkan terima kasih atas air yang aku alirkan kerumahnya.

Sebelum Ashar, Mas Andi sudah pulang dan listrik pun sudah menyala, karena sudah terisi. Lalu aku segera menyalakan sanyo air, agar mereka bisa segera menggunakannya.

Aku langsung mengeksekusi sayuran yang dibeli Mas Andi, karena sedari pagi kami memang belum makan, karena memang tidak ada yang dimasak.

setelah masakan siap, kamipun langsung melahapnya karena sudah sangat lapar. setelah makan. Aku menceritakan kejadian tadi siang.

Mas Andi menyuruhku untuk bersabar dan mengikhlaskan uang air itu. jadi aku tidak boleh menerima uang air, jika Bu Darmi membayarnya nanti.

Kata Mas Andi Kita harus ikhlas anggap kita sedekah. Mas Andi lagi-lagi berhasil menenangkan ku.

sore hari seperti biasa. Dimas ngajak main diluar, namun kali ini sepi, tidak ada anak-anak yang biasanya main didepan rumah.

jadi aku harus berjalan mengikuti kemana arah Dimas berjalan. ketika sibuk dengan Dimas. telingaku mendengar suara yang tidak asing. Iya itu suara Bu Darmi. entah Dia sedang bicara dengan siapa, karena aku tidak mengenal ibu- ibu itu.

"Eh! Ibu-Ibu tahu rumah kontrakan yang jelek itu. aduh yang ngontrak sok banget, padahal dia itu baru dilingkungan ini. tapi gayanya aduh sok kaya banget." ucap Bu Darmi kepada mereka.

"Masak sich Bu..?"tanya seorang Ibu yang bertubuh pendek.

"Iya... masak Dia terang-terangan menghina saya. katanya saya tidak mampu bayar air kedia yang hanya lima puluh ribu sebulan."ucapnya sambil mengunyah makanan.

"Lho! kok bisa Bu? Apa Ibu nunggak bayarnya?"tanya Ibu tadi.

"Iihh... sorry ya... seorang Bu Darmi sampai nunggak bayar air yang hanya istri buruh bangunan."ucapnya sambil mencibir.

hatiku rasanya sakit sekali, mendengar penuturan Bu Darmi. Bukankah memang benar sudah enam bulan Dia tidak memberiku uang air.

salah satu dari mereka ada yang melihatku lalu mereka memberi kode Bu Darmi.

Aku mendekat kearah mereka. Aku tahan rasa amarah dan kecewaku. Aku sapa mereka dengan ramah dan sopan. Ku lihat Bu Darmi salah tingkah. karena Dimas tidak mau diam akhirnya Ku ajak pulang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status