Tetanggaku Luar BiasaBab 23Ancamanku berhasil. Hari ini, sikap Siska sedikit berubah. Dia tidak lagi bicara seenaknya tentang aku. Entah esok dan seterusnya. Mudah-mudahan dia benar-benar berubah. Lebih bagus lagi, kalau dia juga melunasi hutang-hutangnya. "Mbak Siska, alhamdulillah, akhirnya ada di rumah juga." Kami semua menoleh ke arah sumber suara. Tampak Bu Dibyo tengah berjalan menghampiri kami yang sedang duduk santai, seusai membereskan bekas makan nasi liwet."Bu Dibyo, mari, sini, gabung," ajakku. Wanita berkerudung abu-abu itu mendekat, lalu menyalami kami satu persatu. "Mbak Siska, ke mana aja? Tiap dicari ke rumah, nggak ada terus."Siska terlihat gugup. "Emm, ada, kok, Bu. Mungkin lagi tidur, makanya nggak kedengeran.""Ah, masa? Masa saya ke sini pagi, nggak ada. Siang nggak ada juga. Sore, nggak ada juga. Masa, tidur sepanjang hari? Padahal, pas saya ke sini kemarin, anak-anak Mbak ada, loh."Aku melirik ke arah Siska yang terlihat salah tingkah."Maaf, Bu. Emang,
Tetanggaku Luar BiasaBab 24Ruang keluarga terasa semakin panas, padahal kipas angin menyala sejak tadi. Untuk beberapa saat, kami berlima, tak ada yang bicara. Hanya isakan Siska yang terdengar di sini. "Gini, Arif, Siska. Soal hutang pada Ajeng, kalo kalian belum bisa membayar sekarang, tidak apa-apa. Bisa dicicil, kalo sudah ada uang. Toh, Ajeng juga belum memerlukan uang itu," ujar Mas Reyhan memecah keheningan.Aku menatap tajam ke arah Mas Reyhan. Enak saja ngomong begitu tanpa meminta persetujuanku. Duh, itu uang empat juta, kalau dipakai nambahin stok barang, kan, lumayan. Lagian, Siska menurutku termasuk boros. Untuk ekonomi seperti kami, lima juta sebulan itu banyak. Kalau satu hari Siska menghabiskan seratus ribu untuk lauk pauk dan jajan anak-anak, satu bulan cuma tiga juta. Listrik, air, beras, minyak, diapers, sabun dan lain-lain, kurang lebih satu juta. Siska masih punya sisa kurang lebih satu juta, bisa ditabung. Duh, kenapa aku jadi menghitung uang orang. Ah, sudahl
Tetanggaku Luar Biasa"Ada apa, Alif?" tanyaku setelah anak lelaki Siska itu tenang.Alif menggeleng cepat. "Aku sama adik-adik lagi nonton tivi. Ayah baru pulang, langsung nyari mama, ngerebut hape mama, terus dibanting."Alif menyeka air matanya. "Terus, mama marah. Ayah ngebanting piring, dan nyuruh Alif bawa adik-adik ke sini." Aku dan Ibu saling pandang. Mungkin, Ibu juga sama bingungnya seperti aku. Akhirnya kusuruh Alif bergabung dengan Alisha dan Andra yang sedang menonton serial kartun favorit mereka. Begitu juga Oliv dan Fia yang sudah tidak lagi menangis. Terdengar suara salam dari pintu depan."Biar saya aja, Bu."Ibu mengangguk, lalu bergabung dengan anak-anak. Aku bergegas membuka pintu. Ternyata Mas Reyhan yang datang."Kamu, ngirim foto-foto sama video itu ke Arif? Aku, kan, udah bilang, jangan! Itu bukan urusan kita. Ngeyel kamu, ini. Sekarang, kamu puas? Mereka berdua bertengkar?" tanya Mas Reyhan bertubi-tubi. Dia langsung duduk di kursi ruang tamu. Tas kerjanya d
Kami sampai di rumah Ibu jam sepuluh pagi. Beberapa saudara Mas Reyhan yang rumahnya berdekatan, menyambut kami. Nasi liwet lengkap dengan lauk pauk khas, sudah mereka siapkan. Tak menunggu lama, kami pun larut dalam suasana ceria sambil menikmati makanan khas Sunda itu. Bahagia rasanya berkumpul dengan sanak saudara dalam suasana gembira. Setidaknya, untuk sesaat, aku lupa dengan masalah tentang Siska yang seolah tak berujung. Mang Ali juga ikut bergabung dengan kami. Sampai saat ini, pria yang selalu ramah pada siapa saja itu, belum tahu masalah yang menimpa anaknya. Tak bisa kubayangkan, pasti Mang Ali akan sangat bersedih seandainya mengetahui kelakuan Siska. Usai makan, kami bercengkrama, sambil mengobrol ringan. Aku dan Ibu membagikan oleh-oleh pada mereka. Keluarga yang perempuan, aku memberi mereka masing-masing satu buah daster batik. Walaupun bukan barang mahal, tapi mereka terlihat gembira dan mengucapkan terimakasih. Mereka juga tak henti-hentinya mendoakan agar keluarga
Tetanggaku Luar Biasa"Masih seenaknya aja, si Siska?" tanya Bapak sambil menyesap teh hangat yang disodorkan Ibu."Ah, ya gitu aja. Gimana, orang udah wataknya begitu. Dinasehati sampe dower juga nggak akan mempan. Kalo kepentok, masalah udah meledak baru nangis-nangis. Tapi, ya gitu. Kapoknya cuma sebentar. Nanti mulai lagi."Kami semua diam mendengar kata-kata Ibu. Mungkin beliau gemas dengan tingkah Siska."Bu, masalahnya, Siska pergi sendiri. Ketiga anaknya ditinggal gitu aja di rumah. Terus, Arif bingung, dia kan, harus kerja." Mas Reyhan terlihat bingung."Ya, terus? Kita bisa apa? Kan, kita lagi di sini," sahutku ketus. Aku takut tiba-tiba Mas Reyhan mengajak mengakhiri liburan kami."Arif bingung, mau titip anak-anak ke siapa? Dia mau kerja sambil nyari kerja.""Masalah anak-anak, kalo Arif mau, suruh titipin aja ke Wa Ayi. Ntar aku bantu telpon Wa Ayi. Mudah-mudahan mau.""Kalo nggak mau, gimana?""Inshaa Allah mau. Wa Ayi nggak ada kerjaan, kok. Kalo nggak mau, ya, terpaksa
"Iya. Kasihan Arif. Dia sampai menolak cewek pilihan ibunya, demi menikah dengan Siska. Makanya, ibunya Arif sampai sekarang, masih saja tidak menyukai Siska. Bukan karena status janda dua kali, tapi, ibunya Arif nggak suka sama sifat Siska.""Iya, Bu. Jangankan mertuanya. Saya aja yang bisa dibilang baru kenal deket, nggak suka sama sifat Siska."Ibu tersenyum. Lalu kuceritakan sikap Siska selama menjadi tetanggaku. Semuanya. Termasuk soal dia meminjam mobil untuk menjemput Alif lalu memulangkan dalam keadaan tanpa bahan bakar dan kotor. Ibu mertua menggeleng-gelengkan kepala sambil sesekali beristighfar mendengar ceritaku. Kadang, wanita yang sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri itu, tersenyum saat mendengar aku melawan perlakuan Siska."Tapi, nggak kapok, ya, Bu?""Ah, orang kayak gitu, mah, nggak ada kapoknya, Jeng. Kapok, terus berubahnya cuma sebentar. Ntar kambuh lagi.""Iya, Bu. Bener."Tak terasa, semua pepes telah matang. Karena mengerjakan sambil bercerita tentang
"Gini, Mbak Ajeng. Kita semua tahu, Siska, dari kemarin nggak pulang. Dan, tadi, Arif menghubungi Mamang."Mang Ali tak meneruskan kalimatnya. Pria yang terpaut umur tujuh tahun dengan Ibu mertuaku itu, mengusap wajahnya perlahan. Kemudian, terdengar helaan napas Mang Ali. Sementara aku, semakin penasaran dengan arah pembicaraan ini."Apa kata Arif, Mang?" tanyaku penasaran.Mang Ali kembali menghela napas. Helaan napas Mang Ali terdengar berat, seolah menyimpan sesak yang amat dalam."Arif bilang, Oliv sakit. Badannya panas, nggak mau makan, muntah terus katanya, Jeng," terang Ibu sambil mengusap matanya. Ibu memang gampang menangis, apalagi kalau mendengar ada saudara yang sakit atau terkena musibah."Mang Ali mau berangkat ke sana, kalo kamu nggak keberatan, Mang Ali minta diantar Reyhan," timpal Bapak.Aku menarik napas, dan mulai paham arah pembicaraan ini."Saya nggak keberatan, Pak. Tahu Oliv sakit, saya juga khawatir. Apalagi, ibunya nggak ada. Arif pasti kewalahan ngurusin an
Semua yang ada di ruangan ini mengangguk, kemudian bangun dari tempat duduk masing-masing. Aku memanggil anak-anak untuk segera berkemas. Mereka tampak kecewa, karena masih betah di sini. Sebenarnya, aku bisa saja meninggalkan mereka di sini untuk menghabiskan waktu liburan. Akan tetapi, aku juga tidak tega kalau Mas Reyhan harus bolak-balik ke sini. Setelah diberi sedikit pengertian, akhirnya, Alisha dan Andra mau ikut pulang. Dengan wajah ditekuk tentunya.***Sepanjang perjalanan, Mang Ali lebih banyak diam. Saat diajak beristirahat untuk menunaikan sholat Maghrib, beliau menghabiskan waktunya di Masjid. Saat diajak makan sambil menunggu waktu Isya, Mang Ali hanya memesan secangkir kopi.Kasihan Mang Ali. Di usia senja, dia masih direpotkan oleh anak semata wayangnya. Siska memang satu-satunya anak yang Mang Ali punya. Menurut cerita ibu mertua, setelah berpisah dengan ibunya Siska, Mang Ali sempat menikah lagi. Akan tetapi, istrinya meninggal saat melahirkan. Beberapa hari kemudi