Tetanggaku Luar Biasa
Bab 2
Mengantarkan Andra di sekolah adalah salah satu rutinitas keseharianku. Biasanya aku menyempatkan diri menyapa sesama wali murid yang juga mengantar anaknya. Sesekali ikut nongkrong bareng mereka, biar tidak disebut sombong dan kudet. Karena, sebenarnya aku termasuk tipe orang yang tidak suka terlalu lama nongkrong dan terlibat obrolan tidak jelas. Mendingan di rumah, nonton tivi atau baca novel, atau mengerjakan sesuatu yang lain. Nanti, waktunya Andra pulang, aku jemput lagi. Toh, jarak antara rumah dan sekolah Andra tidak terlalu jauh. Hanya sepuluh menit kalau memakai sepeda motor.
Nah, jam dua siang, biasanya aku bersama Andra, menjemput Alisha. Alisha adalah anak sulungku yang duduk di bangku kelas tujuh.
"Bu, pulangnya makan bakso dulu, yuk," ajak Alisha sambil memakai helm.
Setelah berpikir sebentar, aku menyetujui ajakan si sulung. Cuaca panas begini, menikmati seporsi bakso kayaknya pas. Tanpa banyak kata, aku mengarahkan sepeda motor ke warung bakso langganan kami. Sambil menikmati bakso, Alisha dan Andra bercerita tentang kejadian di sekolah masing-masing. Sesekali kami terkekeh saat ada cerita yang lucu. Hingga tak terasa, bakso sudah habis.
"Bu, nggak beli buat Fia?" tanya Andra. Aku tersenyum, senang melihat sikap Andra yang peduli pada orang lain.
"Beli, dong," jawabku sambil menunjukkan dua bungkus bakso pada Andra. Bocah itu tersenyum manis sambil mengacungkan dua ibu jari padaku. Sementara Alisha sudah menunggu di dekat sepeda motor.
Semenjak Siska menempati rumah di sebelahku, setiap kami jajan, aku atau suami memang selalu membungkus untuk mereka. Bukan apa-apa, itu untuk mengajarkan pada anak-anak tentang berbagi. Tidak harus banyak. Walaupun cuma satu atau dua bungkus bakso, atau sekotak martabak, tidak apa-apa. Yang penting ikhlas.
Sebenarnya bukan hanya pada Siska. Pada tetangga yang dulu mengasuh Alisha juga aku bersikap sama. Mungkin, karena hal itulah, kedua anakku, setiap membeli makanan, selalu ingat sama orang di sekitar mereka.
***
"Mbak, makasih baksonya," ujar Siska sambil duduk di kursi tanpa permisi. Sedangkan kedua anaknya dia tinggalkan di teras, bersama kedua anakku.
"Oh, iya, sama-sama. Tadi kebetulan anak-anak pada minta, jadi sekalian beli buat Fia."
"Belinya di mana?" tanya Siska sambil mengipas-ngipasi wajahnya dengan tangan, mungkin dia kepanasan. Udara akhir-akhir ini memang cukup panas.
"Di deket sekolahan Alisha," jawabku tanpa menoleh, karena sedang fokus mengepak beberapa baju tidur pesanan pelanggan di luar kota.
Selain ibu rumah tangga, aku juga nyambi sebagai pedagang online dan offline. Usaha ini sudah dirintis sejak masih bekerja menjadi kuli pabrik. Hingga sekarang sudah punya beberapa pelanggan dan reseller. Memanfaatkan the power of medsos, tentu saja. Lumayanlah, daripada main hape buang-buang kuota.
"Kenapa, Sis? Nggak enak, baksonya?" tanyaku penasaran. Sebab, biasanya ada saja yang tidak pas dari makanan yang kuberikan. Walaupun selalu habis juga.
"Mm, enak sih, cuma …."
"Cuma apa?"
"Kurang banyak tetelannya."
Duh, Siska. Ada-ada saja. Apa dia nggak ingat sama timbunan lemak di badan? Kalau makan bakso maunya yang banyak tetelan.
"Ada sih, yang tetelannya banyak, Sis. Ukuran baksonya juga lebih besar," sahutku.
"Kenapa nggak beliin yang itu?"
Waduh! Udah untung aku ingat beli buat dia. Udah gratis, protes pula!
"Tadi habis, Sis," jawabku sambil menahan dongkol.
"Habis atau karena harganya lebih mahal?"
Aku menarik napas dan membuangnya pelan-pelan, berharap kedongkolan ini sedikit berkurang. Kalau tidak takut kena pasal, sudah kulempar lakban si Siska ini.
"Habis, Siska … aku sama anak-anak juga, biasanya beli yang itu. Cuma nggak kebagian, jadi beli yang biasa. Kalo harganya, cuma beda tiga ribu. Kalo nggak percaya ya sana, cek aja ke tukang baksonya."
Mendengar omelanku, Siska nyengir kuda, kemudian berdiri.
"Pulang dulu, ya, Mbak. Mau mandi, ah. Gerah," pamitnya sambil berlalu.
Dalam hati aku menjawab, "lah, yang nyuruh dia datang siapa? Datang-datang sendiri, kok."
***
"Alisha, Andra! Udah mau Maghrib! Kalian nggak ngaji?" teriakku dari dalam rumah, memanggil anak-anak yang masih di teras. Mereka berdua biasanya sebelum adzan Maghrib berkumandang, sudah berangkat mengaji di Masjid kompleks bersama anak-anak lain.
"Iya, Bu. Tapi, ini Fia ama Oliv gimana?" tanya Alisha yang masuk sambil menggendong Oliv. Sementara Andra menuntun Fia. Baju kedua bocah itu, masih sama dengan yang tadi pagi aku pakaikan. Selain itu, mereka berdua juga tampak kucel, seperti belum mandi.
"Loh, Fia ama Oliv, nggak ikut pulang sama mama?" tanyaku pada Fia. Bocah itu hanya menggeleng.
"Kata Tante Siska, tadi nitip bentar. Tante Siska mau mandi," jawab Alisha sambil menyerahkan Oliv padaku.
Sejak Siska berpamitan pulang untuk mandi, itu, kan, sudah satu setengah jam yang lalu. Masa iya, dia belum beres mandi?
"Ya sudah, sana kalian siap-siap ngaji. Fia ama Oliv biar ibu yang anterin."
Kedua anakku mengangguk, lalu masuk ke kamar masing-masing. Sementara aku menggendong Oliv dan menuntun Fia, menuju ke rumah Siska.
"Siska! Assalamualaikum!" tak ada jawaban, padahal aku mendengar sayup-sayup suara Siska tengah berbicara, seperti sedang menelepon.
"Siska! Ini, anak-anakmu minta pulang. Pengen ke mama, katanya!" sengaja aku menaikkan nada suara.
Tak lama kemudian, Siska keluar. Anehnya, baju yang dipakai masih sama dengan yang tadi. Dan kelihatannya, belum mandi.
"Eh, Mbak Ajeng. Maaf, ini, sobat waktu aku sekolah nelepon. Keasyikan ngobrol ampe lupa, mau mandi belum jadi."
Siska tampak salah tingkah, lalu kembali bicara pada seseorang di telepon, mengajak untuk mengakhiri percakapan mereka.
Aku menurunkan Oliv, lalu meninggalkan teras rumah Siska.
"Mbak Ajeng, Mbak! Nitip anak-anak lagi, dong. Masa aku mandi, masak sambil jagain mereka, repot Mbak. Boleh, ya, aku nitip mereka sebentar," pinta Siska dengan wajah memelas.
Aku berhenti, lalu berbalik menatap Siska yang tampak salah tingkah.
Bukan Tetangga BiasaBab 3"Nitip Fia sama Oliv, lagi?"Siska mengangguk sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum palsu."Siska, maaf, ya. Aku juga mau masak buat makan malam. Jadi, maaf, nggak bisa bantu jaga mereka lagi."Seketika raut wajah Siska berubah. Dengan nada suara memelas dia meminta aku membawa salah satu anaknya, tapi kutolak."Mbak Ajeng nggak kasihan apa? Masa aku masak sambil jagain mereka berdua. Terus, kalo aku mandi, siapa yang ngawasin mereka?"Aku yang sudah turun dari teras rumah Siska kembali balik badan dan menatap tajam padanya. "Itu urusanmu! Tadi, satu setengah jam, kamu nitip mereka ke anak-anakku, kamu ngapain aja?""Kan, aku udah bilang, temenku nelp
Tetanggaku Luar BiasaBab 4"Bukan itu, Mbak," bantah Siska dengan suara pelan. "Anakku nggak biasa diobati dengan cara tradisional. Fia sama Oliv, dari bayi kalo panas langsung dibawa ke dokter."Aku menghela napas kasar. Ingin rasanya menepuk jidat sendiri."Maaf, Siska. Perasaan semalam cuaca gerah banget. Kenapa Oliv bisa masuk angin? Di rumah kalian juga nggak ada kipas angin, kan?" tanyaku menurunkan nada suara.Siska masih menunduk. Wanita berambut panjang itu melirik pada suamiku. "Kemarin sore, pas aku mandi, Oliv sama Fia nggak mau aku tinggal. Jadi, aku bawa ke kamar mandi. Soalnya mereka juga belum mandi, aku pikir sekalian aja. Habis mandi aku sekalian nyuci baju. Anak-anak ikut main air sampai aku beres nyuci. Terus, malamnya, badan Oliv panas sama muntah-mu
Tetangga Luar BiasaBab 5"Mbak Ajeng ini, gimana sih? Dititipin Fia, malah Fia dititipin lagi ke orang lain. Kalo, nggak mau, ngomong dong, Mbak. Jadi, Fia aku bawa sekalian. Bukan malah dititipin lagi ke orang!" oceh Siska saat aku tiba di rumah seusai menjemput Alisha.Siska terlihat kesal. Sambil berdiri di teras rumahku, ia menggendong Oliv, sementara tangan satunya memegang tangan Fia. Mendengar omelan Siska, aku buru-buru memarkir sepeda motor, dan langsung menghampirinya."Kamu dari mana aja? Sebelum nyalahin orang lain, lihat dirimu sendiri dulu! Atau, kamu bakalan malu sendiri! Jangan menyalahkan orang lain hanya untuk menutupi kesalahanmu sendiri!" sahutku ketus.Sebenarnya aku ingin balik mencaci maki Siska. Akan tetapi, aku tidak mau Alisha melihat ibunya marah
Tetanggaku Luar BiasaBab 6Seperti biasa, suara tangisan Fia dan Oliv mengiringi pagi kami. Aku memilih cuek dan meneruskan semua pekerjaan. Gara-gara pindah ke depan televisi, aku tidur larut malam, dan bangun kesiangan. Jadi, kusiapkan dulu sarapan untuk suami dan anak-anak. Pekerjaan lain bisa nanti lagi. Walaupun masih dongkol pada Mas Reyhan, tapi tetap tidak tega membiarkan dia pergi bekerja tanpa sarapan terlebih dahulu.Kalau di dalam film-film, atau sinetron, atau novel romantis, biasanya saat istri marah, suami akan membujuknya. Apalagi, sampai pindah tempat tidur, pasti si suami akan menyusul dan meminta maaf, lalu selesai. Hm, jangan harap itu terjadi pada Mas Reyhan. Seperti biasa, saat aku marah, dia malah cuek saja. Boro-boro ada adegan bujuk membujuk, meminta maaf atau apalah.Jadi, sebena
Tetanggaku Luar BiasaBab 7Terdengar Siska menutup pintu dengan kasar. Lalu terdengar suara tangisan Oliv. Mungkin bayi itu kaget mendengar suara pintu dibanting. Sebenarnya tak tega mendengar tangisan Oliv, tapi aku tetap masuk ke rumah sambil memeluk Fia dalam gendongan. Leni mengurungkan niatnya pulang."Mbak, sabar, ya. Aku baru tahu, loh kalo Mbak Siska kasar gitu ke anak," ujar Leni sambil menyerahkan segelas air putih padaku."Makasih, Len." Aku meminum air mineral itu hingga tandas. Kemudian mengambil satu gelas lagi dengan gelas yang berbeda, dan memberikan pada Fia, agar lebih tenang."Iya, Len. Hampir setiap saat kami mendengar teriakan Siska ke anak-anak. Sebenernya kasihan. Cuma, ya, gitu, deh. Dia suka keenakan kalo aku bantu ngasuh anaknya."
Tetanggaku Luar BiasaBab 8Selama tiga hari Mama menginap, selama itu pula Siska dan anak-anaknya hilir mudik di rumahku. Tanpa merasa bersalah atau malu padaku karena insiden pemukulan pada Fia. Karena Siska bersikap biasa saja, aku pun memilih tidak membahas atau mengungkit kejadian itu."Yah, Mama, kok, pulang sih." Siska bahkan ikut memanggil dengan sebutan 'mama' pada ibuku. Dan, sekarang dia sedang menggerutu, merengek, atau apalah saat tahu ibuku pulang malam ini."Iya, kasihan Mbah Kakung, sendirian di rumah." Mama menjawab sambil menata beberapa oleh-oleh yang tadi kami beli. Sebenarnya Bapakku tidak sendirian di rumah. Ada Bi Tanti dan suami serta anak-anaknya yang menemani. Karena letak rumah kami dan Bi Tanti yang bersebelahan. Mungkin jawaban Mama tadi, hanya basa-basi saja.&nbs
Tetanggaku Luar BiasaBab 9Semua mata menatap penuh tanya padaku. Aku menghela napas, untuk sedikit mengurangi rasa kesal pada Siska. Lalu, tersenyum semanis mungkin pada empat ibu-ibu di depanku termasuk Siska."Oh, soal tambahan modal. Gini, ya, Bu-Ibu. Saya itu, sewaktu keluar kerja, kan, punya sedikit uang, dari tabungan sama tunjangan dari pabrik. Nah, karena takut habis nggak jelas, saya pake uang itu, buat beli sawah. Nah, sawahnya, diurus sama saudara di kampung. Tiap panen, bagian saya dijual, uangnya dikirim ke sini sama ibu saya. Nah, sama saya, uang itu, dipakai nambahin stok barang, gitu. Jadi, bukan ibu saya ngasih tambahan modal, bukan."Mereka kompak mengucapkan kata 'oh' saat aku selesai bercerita. Kulihat wajah Siska tampak keruh, mungkin malu atau juga tidak suka dengan keterangan yang kubeberkan. Da
Tetanggaku Luar BiasaBab 10"Yah, kalo kalian mau makan dulu, aku gimana? Kalo ikut, uangku tinggal tiga puluh ribu, mana cukup buat makan kami bertiga," sela Siska.Rasa kesal yang semakin menggunung, membuatku diam saja."Bu, gimana?" tanya Alisha, mungkin dia tidak sabar mendengar jawabanku.Aku menghela napas. "Pulang aja!" jawabku ketus."Yah, Ibu, mah! Katanya tadi pengen makan di luar," gerutu Alisha."Pulang aja. Kita masak mie rebus!" jawabku ketus.Kalau sudah seperti ini, suami dan anak-anak tidak akan ada yang berani membantah. Mereka paham, aku sedang marah."Iya, mending pulang aja. Lagian