Beranda / Lainnya / Tetanggaku Luar Biasa / Tidak Tahu Terimakasih

Share

Tidak Tahu Terimakasih

Penulis: Dwi Mei Rahayu
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-30 20:06:13

Tetanggaku Luar Biasa 

Bab 2

Mengantarkan Andra di sekolah adalah salah satu rutinitas keseharianku. Biasanya aku menyempatkan diri menyapa sesama wali murid yang juga mengantar anaknya. Sesekali ikut nongkrong bareng mereka, biar tidak disebut sombong dan kudet. Karena, sebenarnya aku termasuk tipe orang yang tidak suka terlalu lama nongkrong dan terlibat obrolan tidak jelas. Mendingan di rumah, nonton tivi atau baca novel, atau mengerjakan sesuatu yang lain. Nanti, waktunya Andra pulang, aku jemput lagi. Toh, jarak antara rumah dan sekolah Andra tidak terlalu jauh. Hanya sepuluh menit kalau memakai sepeda motor. 

Nah, jam dua siang, biasanya aku bersama Andra, menjemput Alisha. Alisha adalah anak sulungku yang  duduk di bangku kelas tujuh. 

"Bu, pulangnya makan bakso dulu, yuk," ajak Alisha sambil memakai helm. 

Setelah berpikir sebentar, aku menyetujui ajakan si sulung. Cuaca panas begini, menikmati seporsi bakso kayaknya pas. Tanpa banyak kata, aku mengarahkan sepeda motor ke warung bakso langganan kami. Sambil menikmati bakso, Alisha dan Andra bercerita tentang kejadian di sekolah masing-masing. Sesekali kami terkekeh saat ada cerita yang lucu. Hingga tak terasa, bakso sudah habis. 

"Bu, nggak beli buat Fia?" tanya Andra. Aku tersenyum, senang melihat sikap Andra yang peduli pada orang lain. 

"Beli, dong," jawabku sambil menunjukkan dua bungkus bakso pada Andra. Bocah itu tersenyum manis sambil mengacungkan dua ibu jari padaku. Sementara Alisha sudah menunggu di dekat sepeda motor. 

Semenjak Siska menempati rumah di sebelahku, setiap kami jajan, aku atau suami memang selalu membungkus untuk mereka. Bukan apa-apa, itu untuk mengajarkan pada anak-anak tentang berbagi. Tidak harus banyak. Walaupun cuma satu atau dua bungkus bakso, atau sekotak martabak, tidak apa-apa. Yang penting ikhlas. 

Sebenarnya bukan hanya pada Siska. Pada tetangga yang dulu mengasuh Alisha juga aku bersikap sama. Mungkin, karena hal itulah, kedua anakku, setiap membeli makanan, selalu ingat sama orang di sekitar mereka. 

***

"Mbak, makasih baksonya," ujar Siska sambil duduk di kursi tanpa permisi. Sedangkan kedua anaknya dia tinggalkan di teras, bersama kedua anakku. 

"Oh, iya, sama-sama. Tadi kebetulan anak-anak pada minta, jadi sekalian beli buat Fia."

"Belinya di mana?" tanya Siska sambil mengipas-ngipasi wajahnya dengan tangan, mungkin dia kepanasan. Udara akhir-akhir ini memang cukup panas. 

"Di deket sekolahan Alisha," jawabku tanpa menoleh, karena sedang fokus mengepak beberapa baju tidur pesanan pelanggan di luar kota. 

Selain ibu rumah tangga, aku juga nyambi sebagai pedagang online dan offline. Usaha ini sudah dirintis sejak masih bekerja menjadi kuli pabrik. Hingga sekarang sudah punya beberapa pelanggan dan reseller. Memanfaatkan the power of medsos, tentu saja. Lumayanlah, daripada main hape buang-buang kuota. 

"Kenapa, Sis? Nggak enak, baksonya?" tanyaku penasaran. Sebab, biasanya ada saja yang tidak pas dari makanan yang kuberikan. Walaupun selalu habis juga. 

"Mm, enak sih, cuma …."

"Cuma apa?"

"Kurang banyak tetelannya."

Duh, Siska. Ada-ada saja. Apa dia nggak ingat sama timbunan lemak di badan? Kalau makan bakso maunya yang banyak tetelan. 

"Ada sih, yang tetelannya banyak, Sis. Ukuran baksonya juga lebih besar," sahutku. 

"Kenapa nggak beliin yang itu?" 

Waduh! Udah untung aku ingat beli buat dia. Udah gratis, protes pula! 

"Tadi habis, Sis," jawabku sambil menahan dongkol. 

"Habis atau karena harganya lebih mahal?"

Aku menarik napas dan membuangnya pelan-pelan, berharap kedongkolan ini sedikit berkurang. Kalau tidak takut kena pasal, sudah kulempar lakban si Siska ini. 

"Habis, Siska … aku sama anak-anak juga, biasanya beli yang itu. Cuma nggak kebagian, jadi  beli yang biasa. Kalo harganya, cuma beda tiga ribu. Kalo nggak percaya ya sana, cek aja ke tukang baksonya."

Mendengar omelanku, Siska nyengir kuda, kemudian berdiri. 

"Pulang dulu, ya,  Mbak. Mau mandi, ah. Gerah," pamitnya sambil berlalu. 

Dalam hati aku menjawab, "lah, yang nyuruh dia datang siapa? Datang-datang sendiri, kok."

***

"Alisha, Andra! Udah mau Maghrib! Kalian nggak ngaji?" teriakku dari dalam rumah, memanggil anak-anak yang masih di teras. Mereka berdua biasanya sebelum adzan Maghrib berkumandang, sudah berangkat mengaji di Masjid kompleks bersama anak-anak lain. 

"Iya, Bu. Tapi, ini Fia ama Oliv gimana?" tanya Alisha yang masuk sambil menggendong Oliv. Sementara Andra menuntun Fia. Baju kedua bocah itu, masih sama dengan yang tadi pagi aku pakaikan. Selain itu, mereka berdua juga tampak kucel, seperti belum mandi. 

"Loh, Fia ama Oliv, nggak ikut pulang sama mama?" tanyaku pada Fia. Bocah itu hanya menggeleng. 

"Kata Tante Siska, tadi nitip bentar. Tante Siska mau mandi," jawab Alisha sambil menyerahkan Oliv padaku. 

Sejak Siska berpamitan pulang untuk mandi, itu, kan, sudah satu setengah jam yang lalu. Masa iya, dia belum beres mandi? 

"Ya sudah, sana kalian siap-siap ngaji. Fia ama Oliv biar ibu yang anterin."

Kedua anakku mengangguk, lalu masuk ke kamar masing-masing. Sementara aku menggendong Oliv dan menuntun Fia, menuju ke rumah Siska. 

"Siska! Assalamualaikum!" tak ada jawaban, padahal aku mendengar sayup-sayup suara Siska tengah berbicara, seperti sedang menelepon. 

"Siska! Ini, anak-anakmu minta pulang. Pengen ke mama, katanya!" sengaja aku menaikkan nada suara. 

Tak lama kemudian, Siska keluar. Anehnya, baju yang dipakai masih sama dengan yang tadi. Dan kelihatannya, belum mandi. 

"Eh, Mbak Ajeng. Maaf, ini, sobat waktu aku sekolah nelepon. Keasyikan ngobrol ampe lupa, mau mandi belum jadi."

Siska tampak salah tingkah, lalu kembali bicara pada seseorang di telepon, mengajak untuk mengakhiri percakapan mereka.

Aku menurunkan Oliv, lalu meninggalkan teras rumah Siska. 

"Mbak Ajeng, Mbak! Nitip anak-anak lagi, dong. Masa aku mandi, masak sambil jagain mereka, repot Mbak. Boleh, ya, aku nitip mereka sebentar," pinta Siska dengan wajah memelas. 

Aku berhenti, lalu berbalik menatap Siska yang tampak salah tingkah. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Pendi Bae
mantullllllll
goodnovel comment avatar
Dewi Astati
Pembukaan aja udah menarik......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Tetanggaku Luar Biasa    End

    Tetanggaku Luar BiasaEND Enam bulan kemudian. “Mbak, ini kerupuknya digoreng nggak ngembang, jadi saya balikin, ya.” Aku dan Santi saling pandang. Masih bingung dengan maksud Bu Lisa, tetangga baru kami. “Baru diambil dikit, kok. Baru sekali ngegoreng. Nih,” Bu Lisa meletakkan bungkusan kerupuk mentah di meja yang berisi dagangan lain. “Maaf, Bu.maksudnya gimana?” tanyaku. “Mbak Ajeng, tadi saya beli kerupuk mentah, tapi pas saya goreng, nggak ngembang, jadi saya kembaliin aja ke sini, saya minta uang kerupuk saya dikembaliin, gitu.” “Loh, Bu. Ya, nggak bisa ....” Aku belum selesai membantah omongan Bu Lisa, tiba-tiba Santi menyentuh lenganku sambil menggeleng pelan, seolah memberi kode agar aku diam. “Iya, Bu. Nggak apa-apa. Ini uang kerupuknya saya kembaliin,” sahut Santi ambil menyodorkan selembar uang lima ribuan pada Bu Lisa. Bu Lisa menerima uang itu, lalu, tanpa mengucapkan terima kasih dia pergi dari warung milik Santi. “San, kok, kamu

  • Tetanggaku Luar Biasa    Bab 46

    Tetanggaku Luar BiasaPOV Ajeng Aku menatap tajam ke arah Siska yang terlihat salah tingkah karena tuduhan palsunya padaku dan Arif. “Selama ini, aku selalu belain kamu di depan Ajeng dan Arif karena aku udah anggap kamu seperti adik sendiri. Tapi rupanya, aku sudah salah karena membela orang yang tak pantas dibela,” ujar Mas Reyhan sambil menatap tajam Siska. Ada kekecewaan dari nada suara suamiku itu. Siska mengangkat wajahnya dan menatap kami semua. “Ya udah, aku minta maaf.” Enak saja dia minta maaf begitu saja. Apa dia nggak mikir efek tuduhannya padaku dan Arif? Bagaimana kalau tadi warga termakan omongan dia dan langsung menghakimi kami berdua? “Memaafkan itu mudah, Sis. Tapi, kayaknya, kami semua nggak akan mudah ngelupain kejadian ini,” sahut Arif ketus. Siska tak menyahut kalimat Arif. “Ya udah, Rif. Kami permisi pulang dulu. Mungkin, kamu perlu bicara sama Siska. Kita pulang yuk, Bu,” ajak Mas Reyhan padaku. Aku menuruti ajakan Mas Reyhan, dan me

  • Tetanggaku Luar Biasa    POV Siska

    ini bab terakhir pov siska, selanjutnya pov ajeng. terima kasih untuk semua pembaca setia. jTetanggaku Luar BiasaPOV Siska (terakhir) Hari-hari kulewati dengan perasaan tak menentu. Jika dulu, aku sangat bahagia setiap kali Satya datang berkunjung, sekarang tidak lagi. Rasa was-was dan takut kini lebih mendominasi setiap kali berada di dekat Satya. Memang, Sekarang, Satya juga berubah menjadi kasar. Tak jarang dia membentak dan mengancam akan membuangku ke jalanan jika tak menuruti semua perintahnya. Aku juga masih tidak diizinkan ke luar dari apartemen dengan alasan apapun. Ponselku yang rusak pun sudah dibuang entah ke mana oleh Satya. Aku seperti tahanan, hanya saja tempatku lebih nyaman. Hingga suatu hari, Satya datang membawa seorang perempuan cantik bernama Stella. Pada Stella, Satya mengatakan kalau aku hanyalah seorang asisten rumah tangga yang bertugas menjaga dan merawat apartemen ini. Sungguh sakit hatiku mendengar semua itu. Ternyata Satya tak sebaik yang kuki

  • Tetanggaku Luar Biasa    POV Siska

    Yang tidak suka POV Siska silakan skip ya. 😊Tetanggaku Luar BiasaPOV Siska “Kalo Bapak nggak percaya, silakan hubungi Satya sekarang. Bilang Siska nunggu dia di sini,” usulku sekali lagi. Pak satpam itu masih menatapku penuh selidik, sampai akhirnya sebuah mobil memasuki gerbang kantor ini. Kami serentak menoleh ke arah sedan warna hitam yang itu. “Nah, Bu Siska, itu Pak Satya datang,” ujar satpam itu padaku. Aku tersenyum, kemudian bergegas menghampiri mobil yang menurut satpam itu adalah mobil Satya. Benar saja. Satya ke luar dari mobil dengan logo kuda jingkrak itu. “Satya!”Satya menoleh, dia tampak terkejut.”Siska?”Aku tersenyum lebar, lalu menghampiri Satya yang terlihat menawan dalam balutan kemeja warna biru langit.“Iya, Sat, ini aku. Sengaja nyari kamu ke sini.”Satpam yang tadi menanyaiku pun menghampiri Satya. Dia meminta maaf karena tidak bisa mencegahku masuk ke halaman kantornya.“Nggak apa-apa, Pak. Siska ini emang temen saya, kok,” “Oh, ya

  • Tetanggaku Luar Biasa    POV Siska

    Buat pembaca setia yang tidak suka POV Siska, silakan skip aja, ya. Tetanggaku Luar Biasa Bertetangga dengan Mbak Ajeng sebenarnya menyenangkan. Dia sering membantu menjaga anak-anak saat aku repot mengerjakan pekerjaan rumah. Dia juga tidak mempermasalahkan saat aku lupa tidak memberi uang jajan pada Fia dan Oliv. Pantas saja, banyak yang menyukai ibu dua anak itu. Ternyata, Mbak Ajeng sudah tidak bekerja di pabrik lagi. Sekarang dia berjualan daster dan mukena serta baju-baju batik. Mbak Ajeng berjualan secara online dan offline. Bahkan, beberapa tetangga ikut memasarkan dagangan Mbak Ajeng. Enak banget hidup Mbak Ajeng, semua terlihat mudah. Awalnya semua baik-baik saja. Akan tetapi, lama-lama aku muak dengan semua kebaikan Mbak Ajeng. Semua orang bersikap baik padanya. Mereka tidak tahu bahwa Mbak Ajeng itu, dominan sekali dalam rumah tangganya. Sementara A Reyhan terlihat hanya menuruti saja apa yang jadi keputusan Mbak Ajeng. Menurutku, ini tidak adil. A Reyhan yang kerja ke

  • Tetanggaku Luar Biasa    POV Siska

    Tetanggaku Luar Biasa POV SiskaAkhirnya Bang Rudi bersedia meresmikan hubungan kami. Walaupun nikah siri, tak apalah. Daripada tanpa status yang jelas, ya, kan? Dan sekarang, aku bisa merasakan kehidupan seperti kehidupan Mbak Ajeng dan A Reyhan. Tinggal di kota dan pulang pergi memakai mobil pribadi. Akan tetapi, tetap saja hal ini tidak membuat semua anggota keluarga menyukaiku. Termasuk Bi Wati. Dia tetap memuji Mbak Ajeng di depanku. Menyebalkan memang. Bapak juga awalnya tidak menyetujui aku menikah dengan Bang Rudi. Akan tetapi, aku terus meyakinkannya sampai kemudian Bapak bersedia menikahkan kami. Walaupun hanya pernikahan sederhana, tak apa-apa. Awalnya, hubunganku dengan Bang Rudi baik-baik saja. Hampir setahun kami menjalani rumah tangga secara sembunyi-sembunyi. Sampai akhirnya Bu Ratu mengetahui semuanya. Entah dari siapa istri tua Bang Rudi itu tahu hubungan suaminya denganku. Dia datang ke apartemen, lalu melabrak dan memakiku. Aku tak bisa mengelak, karena Bu Ratu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status