Bukan Tetangga Biasa
Bab 3
"Nitip Fia sama Oliv, lagi?"
Siska mengangguk sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum palsu.
"Siska, maaf, ya. Aku juga mau masak buat makan malam. Jadi, maaf, nggak bisa bantu jaga mereka lagi."
Seketika raut wajah Siska berubah. Dengan nada suara memelas dia meminta aku membawa salah satu anaknya, tapi kutolak.
"Mbak Ajeng nggak kasihan apa? Masa aku masak sambil jagain mereka berdua. Terus, kalo aku mandi, siapa yang ngawasin mereka?"
Aku yang sudah turun dari teras rumah Siska kembali balik badan dan menatap tajam padanya. "Itu urusanmu! Tadi, satu setengah jam, kamu nitip mereka ke anak-anakku, kamu ngapain aja?"
"Kan, aku udah bilang, temenku nelpon, Mbak," jawab Siska tak mau kalah.
"Kan, bisa nerima telepon sambil masak. Pakai headset, jadi bisa sambil ngerjain ini-itu. Kalo sudah waktunya mandi, tinggal bilang sama temen kamu, kalo kamu mau mandi, ngobrolnya bisa dilanjut kalo udah santai. Masa iya temen kamu nggak ngerti!" Nada suaraku mulai naik. Tanpa menunggu lama, aku bergegas meninggalkan halaman rumah Siska. Karena kedua anakku sudah menunggu untuk berpamitan sebelum pergi mengaji.
***
Adzan Maghrib baru berkumandang, saat suamiku pulang. Lelaki yang menikahiku tiga belas tahun lalu itu hanya seorang karyawan biasa di sebuah pabrik. Seperti biasa, dia langsung mandi dan bersiap menunaikan kewajiban sebagai umat Islam. Sementara aku sedang berhalangan, jadi langsung menyiapkan makan malam untuk suami dan anak-anakku.
Terdengar suara tangisan Oliv dan Fia, diselingi teriakan Siska yang meminta kedua anaknya untuk diam. Karena rumah kami saling menempel satu sama lain, sehingga suara yang cukup keras pasti akan terdengar.
"Bu, itu Fia sama Oliv nangis. Sana, lihat dulu, sekalian anak-anaknya bawa ke sini. Barangkali Siska lagi repot."
Aku yang sedang menggoreng tempe, menoleh sekilas pada pria yang masih memakai baju kokonya itu.
"Salah sendiri, dari tadi bukannya buru-buru mandi, masak, malah leha-leha," sahutku sambil membalik gorengan tempe supaya matang merata.
"Ya, namanya juga punya anak kecil, Bu. Dua pula. Kamu juga dulu waktu Alisha sama Andra kecil sering kewalahan ngurus rumah, kan?"
Setelah mematikan kompor, aku menatap suamiku tajam. Jujur saja kalimatnya membuatku sedikit kesal. "Yah! Aku emang bukan ibu yang sempurna. Sering kewalahan ngurus anak-anak. Tapi, aku nggak pernah nitipin anak, sementara aku santai-santai di rumah! Aku itu, kalo nitip anak ke tetangga, di rumah aku cepat-cepat mengerjakan pekerjaan rumah! Bukan telepon-teleponan nggak jelas!"
Suamiku tampak sedikit terkejut mendengar omelanku. "Kalo nggak mau nolong ya udah, Bu. Nggak perlu ngomel."
Aku mendengus kasar. "Ayah, tau nggak? Siska itu, tadi nitip Fia sama Oliv di sini! Katanya mau mandi. Tapi sampai satu setengah jam, anaknya nggak diambil. Pas ibu ke sana, dia belum mandi. Malah lagi hahahihi telepon-teleponan ama temennya! Bukan sekali aja dia kayak gitu! Eh, dia malah bilang mau nitip anak-anaknya lagi, ya, ibu nggak maulah. Kerjaan ibu juga masih banyak. Kalo Ayah mau, sana! Ayah aja yang bantu jaga anaknya Siska! Ibu mah ogah!"
Sepiring tempe goreng kusimpan agak kasar di depan suamiku. Pria berkulit putih itu sedikit terkejut melihat tingkahku. Tapi, aku pura-pura tak melihat dan melanjutkan membuat sambal dan menumis kangkung. Kulihat suamiku bangkit dari duduknya. Kupikir dia akan ke rumah Siska, ternyata tidak. Dia mengganti baju dan membantuku menyiapkan piring dan gelas untuk kami makan. Kami saling diam. Jujur saja, aku masih dongkol dengan permintaannya tadi.
Suara tangisan kedua anak Siska masih terdengar hingga adzan Isya berkumandang. Sebenarnya aku juga tidak tega mendengar tangisan mereka. Sebagai perempuan aku merasakan bagaimana lelahnya mengurus anak-anak dan rumah. Jangankan Fia dan Oliv yang sama-sama balita. Alisha dan Andra yang sudah terbilang besar saja, kadang-kadang bertengkar merebutkan sesuatu. Akan tetapi, kali ini aku ingin memberikan pelajaran pada Siska, agar bisa membagi waktu. Mana yang lebih penting harus didahulukan. Jangan mentang-mentang anaknya ada yang bantu menjaga, dia malah santai-santai di rumah. Enak saja.
***
"A Rey, tolong antar kami ke dokter. Oliv badannya panas!" pinta Siska pagi-pagi saat suamiku bersiap berangkat kerja. Sedangkan aku sedang menyapu halaman yang tidak seberapa luas.
"Loh, Arif ke mana?" tanya suamiku sambil menyentuh kening Oliv.
"Semalam Arif nggak pulang. Katanya dia lembur sampai malam, terus nginep di mess karyawan," jawab Siska agak keras, mungkin tujuannya agar aku mendengar suaranya.
Aku mendekati mereka. "Kenapa Oliv?"
"Nggak tau, Mbak. Dari semalam panas," jawab Siska, wajahnya terlihat pucat dan panik.
"Udah di kasih obat penurun panas?" tanyaku sambil menyentuh kening dan tengkuk Oliv yang terasa panas. Siska menggeleng pelan.
"Mau tumbuh gigi nggak?" tanyaku sambil meminta Oliv membuka mulutnya. Tidak ada tanda-tanda bocah itu tumbuh gigi. Lagi-lagi Siska menggeleng.
Mas Reyhan menatapku seolah bertanya tentang keadaan Oliv. Aku mengedikkan bahu.
"Ayo, masuk dulu, Sis. Kalo mau ke dokter, aku antar. Kalo Mas Reyhan yang antar, ntar dia kesiangan."
Siska menatap Mas Reyhan, mungkin minta persetujuan. Suamiku mengangguk. "Iya, Sis. Maaf, kamu ke dokter sama Ajeng aja. Aa takut kesiangan, soalnya harus anter Alisha juga. Kerjaan Ajeng udah beres, kok.
Aku mengangguk, lalu mengambil Oliv dari gendongan Siska. Kutepuk perlahan perut bocah itu, barangkali hanya sekedar masuk angin.
Siska menatap kami berdua bergantian. "Nggak apa-apa, gitu? Kalo A Reyhan yang anter, kan naik mobil. Jadi, bisa sekalian bawa Fia. Kalo ama Mbak Ajeng, naik motor Fia ditinggal sama siapa?"
Aku melengos mendengar kalimat Siska. "Sis, Oliv cuma masuk angin! Nggak perlu ke dokter. Balur saja badannya pakai minyak telon campur parutan bawang merah, cukup."
"Tapi, Mbak …."
"Kalo kamu mau ke dokter naik mobil, pakai taksi online juga bisa, kan?" tanyaku ketus.
Siska menunduk, sekilas aku melihat wajahnya merengut, mungkin kesal padaku.
Tetanggaku Luar BiasaEND Enam bulan kemudian. “Mbak, ini kerupuknya digoreng nggak ngembang, jadi saya balikin, ya.” Aku dan Santi saling pandang. Masih bingung dengan maksud Bu Lisa, tetangga baru kami. “Baru diambil dikit, kok. Baru sekali ngegoreng. Nih,” Bu Lisa meletakkan bungkusan kerupuk mentah di meja yang berisi dagangan lain. “Maaf, Bu.maksudnya gimana?” tanyaku. “Mbak Ajeng, tadi saya beli kerupuk mentah, tapi pas saya goreng, nggak ngembang, jadi saya kembaliin aja ke sini, saya minta uang kerupuk saya dikembaliin, gitu.” “Loh, Bu. Ya, nggak bisa ....” Aku belum selesai membantah omongan Bu Lisa, tiba-tiba Santi menyentuh lenganku sambil menggeleng pelan, seolah memberi kode agar aku diam. “Iya, Bu. Nggak apa-apa. Ini uang kerupuknya saya kembaliin,” sahut Santi ambil menyodorkan selembar uang lima ribuan pada Bu Lisa. Bu Lisa menerima uang itu, lalu, tanpa mengucapkan terima kasih dia pergi dari warung milik Santi. “San, kok, kamu
Tetanggaku Luar BiasaPOV Ajeng Aku menatap tajam ke arah Siska yang terlihat salah tingkah karena tuduhan palsunya padaku dan Arif. “Selama ini, aku selalu belain kamu di depan Ajeng dan Arif karena aku udah anggap kamu seperti adik sendiri. Tapi rupanya, aku sudah salah karena membela orang yang tak pantas dibela,” ujar Mas Reyhan sambil menatap tajam Siska. Ada kekecewaan dari nada suara suamiku itu. Siska mengangkat wajahnya dan menatap kami semua. “Ya udah, aku minta maaf.” Enak saja dia minta maaf begitu saja. Apa dia nggak mikir efek tuduhannya padaku dan Arif? Bagaimana kalau tadi warga termakan omongan dia dan langsung menghakimi kami berdua? “Memaafkan itu mudah, Sis. Tapi, kayaknya, kami semua nggak akan mudah ngelupain kejadian ini,” sahut Arif ketus. Siska tak menyahut kalimat Arif. “Ya udah, Rif. Kami permisi pulang dulu. Mungkin, kamu perlu bicara sama Siska. Kita pulang yuk, Bu,” ajak Mas Reyhan padaku. Aku menuruti ajakan Mas Reyhan, dan me
ini bab terakhir pov siska, selanjutnya pov ajeng. terima kasih untuk semua pembaca setia. jTetanggaku Luar BiasaPOV Siska (terakhir) Hari-hari kulewati dengan perasaan tak menentu. Jika dulu, aku sangat bahagia setiap kali Satya datang berkunjung, sekarang tidak lagi. Rasa was-was dan takut kini lebih mendominasi setiap kali berada di dekat Satya. Memang, Sekarang, Satya juga berubah menjadi kasar. Tak jarang dia membentak dan mengancam akan membuangku ke jalanan jika tak menuruti semua perintahnya. Aku juga masih tidak diizinkan ke luar dari apartemen dengan alasan apapun. Ponselku yang rusak pun sudah dibuang entah ke mana oleh Satya. Aku seperti tahanan, hanya saja tempatku lebih nyaman. Hingga suatu hari, Satya datang membawa seorang perempuan cantik bernama Stella. Pada Stella, Satya mengatakan kalau aku hanyalah seorang asisten rumah tangga yang bertugas menjaga dan merawat apartemen ini. Sungguh sakit hatiku mendengar semua itu. Ternyata Satya tak sebaik yang kuki
Yang tidak suka POV Siska silakan skip ya. 😊Tetanggaku Luar BiasaPOV Siska “Kalo Bapak nggak percaya, silakan hubungi Satya sekarang. Bilang Siska nunggu dia di sini,” usulku sekali lagi. Pak satpam itu masih menatapku penuh selidik, sampai akhirnya sebuah mobil memasuki gerbang kantor ini. Kami serentak menoleh ke arah sedan warna hitam yang itu. “Nah, Bu Siska, itu Pak Satya datang,” ujar satpam itu padaku. Aku tersenyum, kemudian bergegas menghampiri mobil yang menurut satpam itu adalah mobil Satya. Benar saja. Satya ke luar dari mobil dengan logo kuda jingkrak itu. “Satya!”Satya menoleh, dia tampak terkejut.”Siska?”Aku tersenyum lebar, lalu menghampiri Satya yang terlihat menawan dalam balutan kemeja warna biru langit.“Iya, Sat, ini aku. Sengaja nyari kamu ke sini.”Satpam yang tadi menanyaiku pun menghampiri Satya. Dia meminta maaf karena tidak bisa mencegahku masuk ke halaman kantornya.“Nggak apa-apa, Pak. Siska ini emang temen saya, kok,” “Oh, ya
Buat pembaca setia yang tidak suka POV Siska, silakan skip aja, ya. Tetanggaku Luar Biasa Bertetangga dengan Mbak Ajeng sebenarnya menyenangkan. Dia sering membantu menjaga anak-anak saat aku repot mengerjakan pekerjaan rumah. Dia juga tidak mempermasalahkan saat aku lupa tidak memberi uang jajan pada Fia dan Oliv. Pantas saja, banyak yang menyukai ibu dua anak itu. Ternyata, Mbak Ajeng sudah tidak bekerja di pabrik lagi. Sekarang dia berjualan daster dan mukena serta baju-baju batik. Mbak Ajeng berjualan secara online dan offline. Bahkan, beberapa tetangga ikut memasarkan dagangan Mbak Ajeng. Enak banget hidup Mbak Ajeng, semua terlihat mudah. Awalnya semua baik-baik saja. Akan tetapi, lama-lama aku muak dengan semua kebaikan Mbak Ajeng. Semua orang bersikap baik padanya. Mereka tidak tahu bahwa Mbak Ajeng itu, dominan sekali dalam rumah tangganya. Sementara A Reyhan terlihat hanya menuruti saja apa yang jadi keputusan Mbak Ajeng. Menurutku, ini tidak adil. A Reyhan yang kerja ke
Tetanggaku Luar Biasa POV SiskaAkhirnya Bang Rudi bersedia meresmikan hubungan kami. Walaupun nikah siri, tak apalah. Daripada tanpa status yang jelas, ya, kan? Dan sekarang, aku bisa merasakan kehidupan seperti kehidupan Mbak Ajeng dan A Reyhan. Tinggal di kota dan pulang pergi memakai mobil pribadi. Akan tetapi, tetap saja hal ini tidak membuat semua anggota keluarga menyukaiku. Termasuk Bi Wati. Dia tetap memuji Mbak Ajeng di depanku. Menyebalkan memang. Bapak juga awalnya tidak menyetujui aku menikah dengan Bang Rudi. Akan tetapi, aku terus meyakinkannya sampai kemudian Bapak bersedia menikahkan kami. Walaupun hanya pernikahan sederhana, tak apa-apa. Awalnya, hubunganku dengan Bang Rudi baik-baik saja. Hampir setahun kami menjalani rumah tangga secara sembunyi-sembunyi. Sampai akhirnya Bu Ratu mengetahui semuanya. Entah dari siapa istri tua Bang Rudi itu tahu hubungan suaminya denganku. Dia datang ke apartemen, lalu melabrak dan memakiku. Aku tak bisa mengelak, karena Bu Ratu