Share

Bab 3 Kekhawatiran Rahman

Rahman mengguyar rambutnya, frustasi. Otaknya masih merekam jelas pesan dari Sari. Ingin membalas, tapi ponselnya mati total.

Matanya melirik Ayu yang sudah pulas di pembaringan. Wajah cantiknya tampak teduh dan menenangkan. Sebenarnya, Ayu lebih cantik dari Sari.

Bukan hanya karena terlahir dengan paras memikat saja, tapi ada cahaya di wajahnya. Mungkin sebab air wudhu. Karena, setahu Rahman, Ayu jarang menggunakan make up, hanya perawatan wajah yang dipakai oleh perempuan pada umumnya.

Berbeda dengan Sari. Wanita janda itu selalu memakai pakaian yang ketat, berbanding terbalik dengan Ayu yang memakai jilbab. Sari juga selalu ber-make-up, hingga terlihat lebih menggoda dibanding Ayu. Mungkin itulah yang menyebabkan Rahman mendua.

Dia pun tak tahu, yang pasti hatinya sudah terpaut sebagian oleh Sari. Awalnya, tak terpikir akan sejauh ini. Coba-coba bermain api, hingga lupa sudah menghanguskan bahtera rumah tangga sedikit demi sedikit.

Sekarang, Sari hamil. Entah itu benar atau tidak. Namun, sisi tenangnya goyah. Bagaimana jika Ayu tahu semuanya? Dan, apa yang harus dia lakukan terhadap Sari? Semua itu terus membayangi benak Rahman, hingga menyulitkannya untuk tidur.

"Mas." Suara parau Ayu mengagetkan Rahman.

Laki-laki itu menoleh dengan senyum kecil. "Kok bangun, Sayang?" tanya Rahman sembari beringsut mendekati Ayu yang kini setengah duduk di kepala ranjang.

"Aku yang harusnya tanya. Kenapa Mas belum tidur?" tanya Ayu, sembari mengusap wajah Rahman yang tepat di depannya.

Rahman menggenggam tangan Ayu yang bebas dan menciuminya. "Aku hanya kepikiran kerjaan. Sedangkan HP-ku rusak. Itu saja. Salahnya, aku gak bawa laptop," jawab Rahman beralasan, yang sudah pasti bohong.

Wanita cantik dengan rambut hitam legam yang tergerai indah itu tersenyum simpul. "Ada HP aku, Mas. Pakai saja. Kalau buka e-mail sih, masih bisa."

Rahman membalas senyum Ayu lalu menggeleng. Sudah pasti laki-laki itu menolak. Tidak mungkin dia menghubungi Sari dengan ponsel Ayu. Bisa perang dunia, rumah tangga mereka.

"Tidak usah. Besok aku coba ke tukang servis di sini. Semoga saja bisa diperbaiki," ujar Rahman yang langsung diangguki Ayu.

Setelah itu, Rahman pun mengajak istrinya untuk kembali terlelap. Semoga saja esok ada cara untuk menghubungi Sari. Dia tidak bisa berlama-lama memendam penasaran terhadap wanita keduanya itu.

***

Esoknya, Ayu dan Rahman mencari tukang servis ponsel terdekat. Rencana awalnya ingin berkeliling di kampung halaman Rahman. Namun, ternyata rusaknya ponsel Rahman membuat rencana berubah haluan.

Rafli yang tahu itu pun merajuk. Dia protes dan minta tambahan hari liburannya di sana.

"Enggak bisa, Sayang. Papa harus kerja," tolak Rahman dengan hati-hati.

Rafli memanyunkan bibirnya sembari melipat tangan di depan dada. Wajahnya dia palingkan ke jendela mobil.

"Kan janjinya hari ini mau keliling, Pa. Kok bohong?!" protes Rafli masih tampak kesal.

Rahman yang sedang menyetir pun hanya menggaruk tengkung sambil melirik sang istri, meminta bantuan.

"Sayang, Papa kan kerja buat Rafli. Nanti, kapan-kapan kita ke sini lagi, ya. Tapi, besok kita pulang dulu. Oke?" bujuk Ayu pada anaknya.

Namun, ternyata sang anak tetap bersikukuh tidak mau pulang dan meminta liburannya ditambah. Ayu dan Rahman hampir kewalahan. Lalu, sekelebat ide muncul di benak Ayu.

"Gimana kalau Mas pulang duluan?" cetus Ayu, membuat Rahman memelankan laju mobilnya.

"Maksudnya, aku pulang dan kalian di sini?" tanya Rahman, menyamakan pemikirannya dengan Ayu.

Ayu mengangguk mantap sambil tersenyum. "Kalau memang kerjaan itu penting, cepat selesaikan. Biar Rafli sama aku di sini dulu. Nanti lusa, baru pulang pakai taksi online atau travel."

Rahman masih berpikir. "Lalu, sekolah Rafli?"

"Nanti aku izin ke wali kelasnya, Mas. Soalnya Rafli juga kayaknya susah dibujuk sekarang ini," timpal Ayu, membuat Rahman diam.

Jika dia pulang besok, rasa penasaran pada pernyataan Sari bisa terjawab. Dan, ini kesempatan emas agar dia bisa leluasa menemui wanita keduanya. Dalam hati, Rahman bersorak hore. Namun, tak diperlihatkan pada istrinya.

"Ehm, kamu yakin?" tanya Rahman, memastikan.

"Iya, Mas. Setelah servis ponsel kamu, nanti aku siapkan baju-baju kamu, ya. Gak apa-apa kan kalau kamu di rumah sendirian besok?"

Rahman tersenyum. "Gak apa-apa, Sayang. Makasih sudah ngertiin aku, ya?"

Ayu kembali tersenyum dan menoleh ke belakang. Ternyata, Rafli tertidur. Mungkin saking kesalnya anak itu memilih diam dan malah tertidur.

***

Rahman tersenyum senang menatap ponselnya yang sudah kembali sembuh. Untunglah masih bisa diperbaiki. Walaupun harus menunggu berjam-jam agar bisa diambil hari itu juga, tapi semua terbayar lunas dengan pulihnya benda pipih hitam itu.

Rahman memindai kamarnya yang saat ini kosong. Lalu, sengaja menengok ke arah pintu, mengawasi sekitar. Setelah dirasa aman, ditutuplah pintu dengan rapat.

Laki-laki itu berjalan ke arah ranjang dan duduk menghadap meja rias di depannya. Saat data seluler diaktifkan, banyak pesan dan panggilan tak terjawab melalui w******p. Beberapa dari rekan kerja dan setengahnya dari Sari.

Rahman tak mempedulikan pesan dari rekan kerjanya, dan memilih membuka pesan dari Sari. Isinya hampir sama, menanyakan keberadaan dirinya dan meminta tanggung jawab.

Rahman mengusap wajahnya kasar. Bergetar tangannya mengusap pesan dari Sari. Dia masih menyangsikan kebenaran itu. Karena, baru dua kali Rahman melakukan hubungan ranjang dengan wanita itu. Bertambah ragu pula karena pernikahan Sari dengan mantan suaminya dulu tak menghasilkan buah hati.

Namun, bagaimanapun masalah ini harus dihadapi. Masalah benar atau tidaknya, akan diketahui besok. Sekarang, yang perlu dia lakukan tenang dan mencari jalan keluar dari masalah ini.

Suara langkah kaki mendekat menginterupsi Rahman. Dengan cepat dia menyimpan ponselnya di tempat yang aman.  Saat pintu terkuak, tampaklah Ayu datang dengan ponsel di tangannya.

"Mas, Mbak Sari telepon," ucap Ayu tiba-tiba membuat jantung Rahman serasa melorot.

Wajah Rahman terlihat pucat dengan tangan yang dingin. Jelas, ketakutan menyergapnya. Apa yang Sari perbuat? 

Melihat Rahman yang mematung, Ayu pun menghampiri suaminya. Dia menyentuh lengan Rahman.

"Mas."

"Eh, iya, Ma?"

"Mbak Sari telepon tadi. Katanya, ada paket buat aku. Berhubung gak ada orang di rumah, jadi paketnya disimpan di rumah Mbak Sari dulu," papar Ayu dan Rahman hanya diam.

"Tapi, ada yang aneh, Mas," lanjut Ayu membuat Rahman mengernyit.

"Aneh? Aneh kenapa?" tanya Rahman penasaran.

"Perasaan, aku gak pernah pesan apa pun. Tapi, kenapa tiba-tiba ada paket datang untukku?"

Keterangan Ayu membuat jantung Rahman kali ini semakin kencang. Pasti Sari tengah merencanakan sesuatu untuk Ayu. Firasatnya mengatakan itu.

"Nanti besok Mas tanyain sama Mbak Sari, ya?" ujar Rahman, mencoba menghentikan pembicaraan ini. Takutnya, semua adalah rencana Sari.

"Hemm, lebih baik begitu saja."

Ketakutan Rahman sudah mulai meningkat. Jika benar Sari merencanakan hal buruk untuk Ayu, maka dia harus mencegahnya. Jangan sampai Ayu tahu semua ini dan besok akan Rahman pastikan itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status