Rahman mengguyar rambutnya, frustasi. Otaknya masih merekam jelas pesan dari Sari. Ingin membalas, tapi ponselnya mati total.
Matanya melirik Ayu yang sudah pulas di pembaringan. Wajah cantiknya tampak teduh dan menenangkan. Sebenarnya, Ayu lebih cantik dari Sari.
Bukan hanya karena terlahir dengan paras memikat saja, tapi ada cahaya di wajahnya. Mungkin sebab air wudhu. Karena, setahu Rahman, Ayu jarang menggunakan make up, hanya perawatan wajah yang dipakai oleh perempuan pada umumnya.
Berbeda dengan Sari. Wanita janda itu selalu memakai pakaian yang ketat, berbanding terbalik dengan Ayu yang memakai jilbab. Sari juga selalu ber-make-up, hingga terlihat lebih menggoda dibanding Ayu. Mungkin itulah yang menyebabkan Rahman mendua.
Dia pun tak tahu, yang pasti hatinya sudah terpaut sebagian oleh Sari. Awalnya, tak terpikir akan sejauh ini. Coba-coba bermain api, hingga lupa sudah menghanguskan bahtera rumah tangga sedikit demi sedikit.
Sekarang, Sari hamil. Entah itu benar atau tidak. Namun, sisi tenangnya goyah. Bagaimana jika Ayu tahu semuanya? Dan, apa yang harus dia lakukan terhadap Sari? Semua itu terus membayangi benak Rahman, hingga menyulitkannya untuk tidur.
"Mas." Suara parau Ayu mengagetkan Rahman.
Laki-laki itu menoleh dengan senyum kecil. "Kok bangun, Sayang?" tanya Rahman sembari beringsut mendekati Ayu yang kini setengah duduk di kepala ranjang.
"Aku yang harusnya tanya. Kenapa Mas belum tidur?" tanya Ayu, sembari mengusap wajah Rahman yang tepat di depannya.
Rahman menggenggam tangan Ayu yang bebas dan menciuminya. "Aku hanya kepikiran kerjaan. Sedangkan HP-ku rusak. Itu saja. Salahnya, aku gak bawa laptop," jawab Rahman beralasan, yang sudah pasti bohong.
Wanita cantik dengan rambut hitam legam yang tergerai indah itu tersenyum simpul. "Ada HP aku, Mas. Pakai saja. Kalau buka e-mail sih, masih bisa."
Rahman membalas senyum Ayu lalu menggeleng. Sudah pasti laki-laki itu menolak. Tidak mungkin dia menghubungi Sari dengan ponsel Ayu. Bisa perang dunia, rumah tangga mereka.
"Tidak usah. Besok aku coba ke tukang servis di sini. Semoga saja bisa diperbaiki," ujar Rahman yang langsung diangguki Ayu.
Setelah itu, Rahman pun mengajak istrinya untuk kembali terlelap. Semoga saja esok ada cara untuk menghubungi Sari. Dia tidak bisa berlama-lama memendam penasaran terhadap wanita keduanya itu.
***
Esoknya, Ayu dan Rahman mencari tukang servis ponsel terdekat. Rencana awalnya ingin berkeliling di kampung halaman Rahman. Namun, ternyata rusaknya ponsel Rahman membuat rencana berubah haluan.
Rafli yang tahu itu pun merajuk. Dia protes dan minta tambahan hari liburannya di sana.
"Enggak bisa, Sayang. Papa harus kerja," tolak Rahman dengan hati-hati.
Rafli memanyunkan bibirnya sembari melipat tangan di depan dada. Wajahnya dia palingkan ke jendela mobil.
"Kan janjinya hari ini mau keliling, Pa. Kok bohong?!" protes Rafli masih tampak kesal.
Rahman yang sedang menyetir pun hanya menggaruk tengkung sambil melirik sang istri, meminta bantuan.
"Sayang, Papa kan kerja buat Rafli. Nanti, kapan-kapan kita ke sini lagi, ya. Tapi, besok kita pulang dulu. Oke?" bujuk Ayu pada anaknya.
Namun, ternyata sang anak tetap bersikukuh tidak mau pulang dan meminta liburannya ditambah. Ayu dan Rahman hampir kewalahan. Lalu, sekelebat ide muncul di benak Ayu.
"Gimana kalau Mas pulang duluan?" cetus Ayu, membuat Rahman memelankan laju mobilnya.
"Maksudnya, aku pulang dan kalian di sini?" tanya Rahman, menyamakan pemikirannya dengan Ayu.
Ayu mengangguk mantap sambil tersenyum. "Kalau memang kerjaan itu penting, cepat selesaikan. Biar Rafli sama aku di sini dulu. Nanti lusa, baru pulang pakai taksi online atau travel."
Rahman masih berpikir. "Lalu, sekolah Rafli?"
"Nanti aku izin ke wali kelasnya, Mas. Soalnya Rafli juga kayaknya susah dibujuk sekarang ini," timpal Ayu, membuat Rahman diam.
Jika dia pulang besok, rasa penasaran pada pernyataan Sari bisa terjawab. Dan, ini kesempatan emas agar dia bisa leluasa menemui wanita keduanya. Dalam hati, Rahman bersorak hore. Namun, tak diperlihatkan pada istrinya.
"Ehm, kamu yakin?" tanya Rahman, memastikan.
"Iya, Mas. Setelah servis ponsel kamu, nanti aku siapkan baju-baju kamu, ya. Gak apa-apa kan kalau kamu di rumah sendirian besok?"
Rahman tersenyum. "Gak apa-apa, Sayang. Makasih sudah ngertiin aku, ya?"
Ayu kembali tersenyum dan menoleh ke belakang. Ternyata, Rafli tertidur. Mungkin saking kesalnya anak itu memilih diam dan malah tertidur.
***
Rahman tersenyum senang menatap ponselnya yang sudah kembali sembuh. Untunglah masih bisa diperbaiki. Walaupun harus menunggu berjam-jam agar bisa diambil hari itu juga, tapi semua terbayar lunas dengan pulihnya benda pipih hitam itu.
Rahman memindai kamarnya yang saat ini kosong. Lalu, sengaja menengok ke arah pintu, mengawasi sekitar. Setelah dirasa aman, ditutuplah pintu dengan rapat.
Laki-laki itu berjalan ke arah ranjang dan duduk menghadap meja rias di depannya. Saat data seluler diaktifkan, banyak pesan dan panggilan tak terjawab melalui w******p. Beberapa dari rekan kerja dan setengahnya dari Sari.
Rahman tak mempedulikan pesan dari rekan kerjanya, dan memilih membuka pesan dari Sari. Isinya hampir sama, menanyakan keberadaan dirinya dan meminta tanggung jawab.
Rahman mengusap wajahnya kasar. Bergetar tangannya mengusap pesan dari Sari. Dia masih menyangsikan kebenaran itu. Karena, baru dua kali Rahman melakukan hubungan ranjang dengan wanita itu. Bertambah ragu pula karena pernikahan Sari dengan mantan suaminya dulu tak menghasilkan buah hati.
Namun, bagaimanapun masalah ini harus dihadapi. Masalah benar atau tidaknya, akan diketahui besok. Sekarang, yang perlu dia lakukan tenang dan mencari jalan keluar dari masalah ini.
Suara langkah kaki mendekat menginterupsi Rahman. Dengan cepat dia menyimpan ponselnya di tempat yang aman. Saat pintu terkuak, tampaklah Ayu datang dengan ponsel di tangannya.
"Mas, Mbak Sari telepon," ucap Ayu tiba-tiba membuat jantung Rahman serasa melorot.
Wajah Rahman terlihat pucat dengan tangan yang dingin. Jelas, ketakutan menyergapnya. Apa yang Sari perbuat?
Melihat Rahman yang mematung, Ayu pun menghampiri suaminya. Dia menyentuh lengan Rahman.
"Mas."
"Eh, iya, Ma?"
"Mbak Sari telepon tadi. Katanya, ada paket buat aku. Berhubung gak ada orang di rumah, jadi paketnya disimpan di rumah Mbak Sari dulu," papar Ayu dan Rahman hanya diam.
"Tapi, ada yang aneh, Mas," lanjut Ayu membuat Rahman mengernyit.
"Aneh? Aneh kenapa?" tanya Rahman penasaran.
"Perasaan, aku gak pernah pesan apa pun. Tapi, kenapa tiba-tiba ada paket datang untukku?"
Keterangan Ayu membuat jantung Rahman kali ini semakin kencang. Pasti Sari tengah merencanakan sesuatu untuk Ayu. Firasatnya mengatakan itu.
"Nanti besok Mas tanyain sama Mbak Sari, ya?" ujar Rahman, mencoba menghentikan pembicaraan ini. Takutnya, semua adalah rencana Sari.
"Hemm, lebih baik begitu saja."
Ketakutan Rahman sudah mulai meningkat. Jika benar Sari merencanakan hal buruk untuk Ayu, maka dia harus mencegahnya. Jangan sampai Ayu tahu semua ini dan besok akan Rahman pastikan itu.
"Sudah semua, Mas?" tanya Ayu, sembari memasukan baju terakhir ke ransel milik suaminya.Rahman yang tengah mengecek ponsel pun menoleh sebentar, lalu tersenyum."Kalau gitu, aku siapkan sarapan dulu. Sesudah sarapan Mas baru berangkat, ya?" Wanita berjilbab itu langsung keluar kamar tanpa menunggu jawaban suaminya.Rahman mengikuti langkah Ayu sampai bibir pintu. Kepalanya menyembul sedikit untuk melihat situasi. Setelah dirasa aman, si laki-laki bergegas menutup pintu dan kembali berjalan mendekati jendela kamar. Dia harus mencari tempat aman, setidaknya agar tak ada yang mendengar percakapannya.Rahman memijat kontak Sari, lalu dipilihnya tombol hijau. Tak perlu menunggu lama sampai nada sambung berbunyi. Rahman mengawasi pintu kamar, bisa saja Ayu atau anaknya masuk.Tak berapa lama, terdengar suara dari seberang. Ya, suara yang membuatnya tersiksa karena penasaran."Halo, Mas?" Suara Sari memenuhi gendang telinga. Dari nadanya terdengar begitu antusias."Halo, Sari. Aku akan mene
"Sari, buka pintunya!" seru Rahman dengan tangan yang terus mengetuk pintu rumah.Laki-laki itu sedari tadi mengawasi keadaan sekitar. Takut, jika tetangganya ada yang melihat. Terlebih, kemarin Ayu bilang jika pernah melihat laki-laki masuk ke rumah ini. Yang dimaksud pasti dirinya sendiri.Rahman menengok kaca yang tertutup tirai transparan. Dia sudah tak sabar menunggu Sari membuka pintu. Kembali, matanya mengawasi sekeliling rumah Sari yang hanya dikelilingi pagar bambu."Duh, ke masa sih, dia? Sudah dibilang diam di rumah," rutuk Rahman, mulai berdiri tak tenang.Tangannya hendak mengetuk pintu lagi, tapi diurungkan saat knop pintu dibuka."Kamu lama sekali. Ya Tuhan!" Mata Rahman langsung melotot. Dia pun mendorong Sari untuk masuk.Secepat kilat menutup pintu rumah Sari, tapi sebelumnya mengecek keadaan sekitar yang dirasa aman. Rahman mundur beberapa langkah sembari memindai Sari dari ujung rambut sampai ujung kaki."Apa yang kamu lakukan?" tanya Rahman, bingung.Sari mengedip
Wanita paruh baya bertubuh tambun dengan dahi mengernyit, menatap Rahman dan Sari bergantian. Di belakangnya, ada wanita yang juga paruh baya dengan jilbab rapi, tampak lebih tenang."Siapa yang hamil?" ulang wanita tambun bernama Ibu Sri. Dia adalah Ibu RT di sana.Jakun Rahman naik turun. Keringat dingin tampak bermunculan di dahi laki-laki itu. Sama halnya dengan Sari, wajahnya sudah pucat dengan tangan gemetar membenarkan baju mini yang dia kenakan.Tak mendapat jawaban dari kedua orang itu, Ibu Sri menoleh pada wanita di belakangnya, yang ternyata Ibu RW bernama Arum."Bagaimana ini, Bu Arum? Sepertinya, mereka yang diperbincangkan oleh ibu-ibu selama ini," ujar Ibu Sri, lalu kembali menatap kedua orang itu.Rahman tak berkutik. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan dan kaki Rahman seolah membatu.Berbeda dengan Sari. Dia tersadar akan situasi dan ide gila pun muncul di benaknya. Jika Rahman tak mau tanggung jawab, maka melalui kedua wanita itu dia akan mendapatkan Rahman s
Secepat kilat Sari masuk ke kamar, mengambil jaket untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang terbuka. Tanpa membuang waktu, Sari berlari keluar tanpa menghiraukan tiga orang yang ada di rumahnya.Rahman yang ketakutan pun bergegas mengikuti langkah Sari, disusul oleh Ibu RT dan Ibu RW."Mbak Ayu!" seru Sari dari arah pagar rumahnya, menghentikan wanita berjilbab yang hendak membuka gerbang rumah.Ayu sontak membalikkan badan dan terheran-heran melihat tetangga sebelahnya berlari tergopoh-gopoh. Wanita itu semakin mengernyit bingung kala Rahman keluar dari rumah Sari."Mbak, aku perlu bicara," ucap Sari menggenggam tangan Ayu erat. Rahman yang baru sampai pun bergegas merangkul pundak istrinya."Ma, jangan dengarkan dia! Ayo kita masuk saja," ajak Rahman kelabakan. Dia memaksa Ayu membalikkan badan, tapi cekalan Sari makin erat."Gak, Mbak. Dengerin aku dulu, ini penting!" seru Sari tak mau kalah.Rahman menatap tajam pada Sari, tapi tak digubris. Laki-laki itu bersikukuh mengajak Ayu m
"Sayang, buka pintunya!" seru Rahman, menggedor-gedor pintu kamar yang terkunci.Sepulang Ibu RT, Ibu RW dan Sari, Ayu terus mengurung diri di kamarnya. Penampilan berantakan dan rasa laparnya tak dipedulikan laki-laki itu. Dia harus bicara dengan Sari, harus.Dada Rahman sakit. Tentu saja, sakit karena kejadian sudah terjadi pada Ayu, istrinya. Perubahan Ayu yang baru beberapa jam membuatnya frustasi. Bagaimana kalau Ayu berubah selamanya?Di kamar, wanita bermata indah itu hanya diam menatap pantulan diri di cermin meja rias. Air matanya terus mengalir meski tak ada isakan. Kehidupan rumah tangga yang sangat manis selama ini ternyata menyimpan duri yang tajam.Jangan tanya hatinya. Sudah pasti terluka. Suami yang disangka baik dan setia, ternyata tidak lebih dari seorang bajingan. Ayu menangkup wajahnya, kali ini isakan kepiluan keluar dari mulut itu.Betapa hancurnya dirinya mengingat video tak senonoh di ponsel Sari. Dengan jelas pemain adegan itu adalah Rahman. Hidupnya terjatuh
"Pertama, mobil dan harta lainnya harus balik nama Rafli. Nikahi Sari, karena bagaimanapun ada anak yang harus kamu akui, tapi cukup kita saja yang tahu pernikahan ini. Ketiga, biarkan Sari tinggal di rumah ini selama dia hamil. Sari tidak boleh keluar rumah tanpa izinku. Kamu hanya boleh memegang 30 % gajimu, itu termasuk nafkah untuk Sari nanti. Setelah Sari lahiran, pergilah bersamanya keluar dari rumah ini, tanpa membawa apa pun," papar Ayu mengajukan syarat.Rahman melongo mendengar pemaparan Ayu. Hatinya dirundung gundah. Syarat Ayu terlalu menakutinya. Takut, jika semua akan hilang dari Rahman. Bukan hanya kasih sayang dan cinta, tapi harta. Apalagi harus tinggal bersama Sari. Bukan ini yang Rahman harapkan."Kamu mau dimadu?" tanya Rahman, hati-hati.Ayu menatap tajam suaminya. Tidak, tentu saja Ayu akan mengatakan itu. Wanita mana yang mau berbagi suami? Apalagi dengan cara yang menyakitkan seperti itu."Sampai mati pun aku gak ikhlas, Mas! Kamu tahu? Aku lakukan ini demi nam
POV Ayu"Sah?""Sah!"Dadaku bergetar hebat menahan sakit yang tak berperi. Aku lemah, sungguh. Menatap Mas Rahman yang tengah bersanding dengan tetanggaku sendiri. Jika bisa, aku ingin menghilang ke suatu tempat yang sepi dan luas, berteriak sekancang mungkin atau memukul apa saja yang jadi pelampiasan.Namun semua kutahan, demi kehormatan keluarga kami, pun untuk membeli pelajaran pada dua biadab itu. Ijab kabul dilakukan malam hari, dengan Pak RT dan Pak RW sebagai saksi. Ditambah istri dari kedua aparat tempat tinggal kami.Untunglah, saudara Ibu Sri adalah seorang penghulu. Jadi, dengan mudah semua berjalan lancar. Bukankah Tuhan adil? Rencanaku bahkan berjalan mulus tanpa diduga."Maaf sebelumnya, Mbak. Pernikahan ini harus diulang saat nanti Mbak Sari usai melahirkan. Karena, nanti jatuhnya zina. Memang, ada beberapa ulama yang menyatakan sah dengan pernikahan seperti ini. Pak Rahman juga dilarang menyentuh Mbak Sari selama sembilan bulan ke depan."Mas Rahman tersentak, bisa k
PoV AyuAku terbangun di tengah malam. Rasa haus amat mengganggu. Dengan tubuh yang masih terasa lelah, kupaksakan bangkit. Sempat kulirik Mas Rahman yang tertidur memeluk guling. Rasa tak tega menyusup relung hati.Biasanya laki-laki itu akan memelukku sepanjang malam. Kebiasaan sedari menikah. Namun, bayangam video tak pantas itu seolah menghapus kenangan manisnya dalam sekejap.Aku bergegas melangkahkan kaki menuju dapur. Akan tetapi, langkahku terhenti saat kudengar suara berisik dari arah ruang tengah. Dadaku berdegup kencang. Gemetar, tubuh ini ketakutan. Bagaimana jika itu maling?Rasa haus yang mendera menguap begitu saja. Aku tetap ke dapur, tapi bukan untuk minum, melainkan mencari sapu atau apa pun yang bisa dijadikan senjata.Bisa saja aku membangunkan Mas Rahman, tetapi bagaimana kalau si penyusup itu lebih dulu menjarah harta benda dan kabur?Dengan langkah mengendap-endap aku mencoba menghampiri sumber suara. Ruang keluarga yang gelap membuatku kesulitan untuk melihat.