Share

Bab 4 Kegundahan Ayu

"Sudah semua, Mas?" tanya Ayu, sembari memasukan baju terakhir ke ransel milik suaminya.

Rahman yang tengah mengecek ponsel pun menoleh sebentar, lalu tersenyum.

"Kalau gitu, aku siapkan sarapan dulu. Sesudah sarapan Mas baru berangkat, ya?" Wanita berjilbab itu langsung keluar kamar tanpa menunggu jawaban suaminya.

Rahman mengikuti langkah Ayu sampai bibir pintu. Kepalanya menyembul sedikit untuk melihat situasi. Setelah dirasa aman, si laki-laki bergegas menutup pintu dan kembali berjalan mendekati jendela kamar. Dia harus mencari tempat aman, setidaknya agar tak ada yang mendengar percakapannya.

Rahman memijat kontak Sari, lalu dipilihnya tombol hijau. Tak perlu menunggu lama sampai nada sambung berbunyi. Rahman mengawasi pintu kamar, bisa saja Ayu atau anaknya masuk.

Tak berapa lama, terdengar suara dari seberang. Ya, suara yang membuatnya tersiksa karena penasaran.

"Halo, Mas?" Suara Sari memenuhi gendang telinga. Dari nadanya terdengar begitu antusias.

"Halo, Sari. Aku akan menemuimu hari ini. Jadi, jangan ke mana-mana dan tunggu aku," bisik Rahman, langsung mengakhiri panggilan.

Rahman bernapas lega melihat keadaannya saat ini. Untung saja tak ada orang yang mendengarnya tadi. Hari ini, dia harus mendapat penjelasan dari Sari. Semua yang membebani Rahman akan diselesaikan saat itu juga.

Laki-laki itu mengatur napas. Setelah dirasa tenang, barulah dia melenggang keluar kamar. Ayu dan yang lainnya sudah pasti tengah menunggu.

***

Di tempat Sari, wanita itu berjingkrak senang mendapat kabar dari kekasih hati. Walaupun tadi Rahman meneleponnya sebentar, tapi egonya melambung tinggi. Itu artinya, Rahman memilih dia dibanding istri pertama dan anaknya.

Dengan antusias, Sari merias diri di depan cermin. Tidak lupa mengganti baju dengan pakaian yang membuat Rahman terpikat padanya. Bukahkah kabar kehamilannya adalah kebahagiaan? Dia harus merayakannya dengan Rahman.

Wanita itu sudah menanti hadirnya buah hati sedari dulu. Namun, tak juga terlaksana. Dia sampai berpikir, mungkin rahimnya tak subur. Ternyata, memang bibitnya yang berbeda. Dan Rahman berhasil menaburkan benih di rahimnya itu.

Dengan begini, tak ada alasan lain untuk Rahman membuangnya. Kehamilannya juga akan dijadikan alat untuk mengikat Rahman dalam pernikahan. Sari ingin Rahman seutuhnya.

"Sayang, nanti kita bicara dengan Papa, ya. Papa kamu pasti senang," ujarnya sembari mengelus perut yang masih rata.

***

"Kamu yakin mau pulang? Anak sama istrimu ditinggal di sini loh, Nak." Ambu terlihat tak setuju dengan keputusan anaknya.

Di sisi lain, wanita yang sudah tak muda itu merasa kasihan dengan Ayu. Kesibukan Rahman membuat menantu dan cucunya harus mengorbankan waktu berharga untuk berkumpul.

"Gak apa, Ambu. Kebetulan Rafli mau lebih lama di sini. Biar Ayu juga bisa temani Ambu dan Abah lebih lama lagi. Toh, Mas Rahman pergi karena pekerjaan juga." Ayu memberi pengertian pada mertuanya.

Namun, semua itu membuat Rahman tak enak hati. Apakah dia setega itu berbohong pada wanita sebaik Ayu? Rasa bersalahnya sudah menggunung, memenuhi bilik hatinya. Tak pernah terbayangkan reaksi Ayu jika kelakuan bejatnya terbongkar.

Ambu menghela napas dalam sambil mengusap punggung menantunya. Dia benar-benar beruntung menikahkan Ayu dan Rahman. Selain paras, hatinya pun baik.

"Ya sudah, Mas. Cepat berangkat, takut telat," ujar Ayu yang langsung diangguki Rahman.

"Iya, Sayang. Sekali lagi maaf ya, rencana liburannya berantakan." Ayu menganggguk, masih dengan senyuman menghiasi wajah.

"Oh iya, HP-ku akan di-silent. Takut mengganggu pekerjaan. Kamu gak apa-apa, kan?" tanya Rahman, memastikan. Dia harus fokus untuk mencari jalan keluar dari masalahnya dan Sari. Maka dari itu, Rahman senyapkan ponselnya.

"Iya, gak masalah. Semoga kerjaan kamu cepat selesai, ya." Rahman membalas dengan anggukan.

Laki-laki itu bergegas menyalami ambunya, lalu beralih mengecup kening Ayu. Dia tak pamit pada sang ayah karena tengah mengajak main Rafli agar tidak merengek dengan kepulangan Rahman.

Serasa cukup, Rahman pun pamit. Dia  melambaikan tangan sambil melajukan mobil, meninggalkan pelataran rumah.

Ayu menatap kepergian mobil Rahman dengan helaan napas. Wanita itu sedikit sedih karena rencana yang sudah lama dibuat harus berubah karena pekerjaan Rahman yang mendadak.

Namun, Ayu tidak boleh egois. Rahman bekerja pun untuknya dan Rafli. Dari itulah, selama ini wanita itu mencoba untuk mengerti dan memaklumi kesibukan suaminya.

"Ayo, Ambu!" ajak Ayu untuk masuk ke rumah.

Akan tetapi, baru juga sampai bibir pintu, ponselnya bergetar. Alisnya saling bertautan melihat nama yang tertera di layar pipihnya.

"Nia?" gumam Ayu, keheranan.

Ambu yang melihat perubahan ekspresi menantunya ikut penasaran. "Ada apa, Nak?"

Ayu tersentak. Dia tersenyum kecil sebelum menjawab. "Ah, ini. Ada telepon dari sekretarisnya Mas Rahman, Ambu. Mungkin penting," jawab Ayu yang langsung diangguki Ambu.

"Ya sudah. Kamu angkat saja, siapa tahu penting. Ambu masuk dulu."

Ambu bergegas masuk, sedangkan Ayu kembali ke teras rumah dan menjawab panggilan itu.

"Halo?"

"Halo, Bu. Maaf ganggu. Saya mau bertanya, apa Pak Rahman ada? Soalnya, sedari tadi saya telepon tidak diangkat," ujar Nia, di seberang sana.

Ayu mengernyit, bingung. Hatinya mulai dirundung was-was.

"Pak Rahman baru saja berangkat. Mungkin karena HP-nya di-silent. Dia sedang di perjalanan. Semoga pekerjaannya masih bisa menunggu."

"Pekerjaan? Pekerjaan apa ya, Bu?"

Seketika jantung Ayu mencelos mendengar pertanyaan Nia. Hati yang awalnya was-was berubah menjadi curiga. Dengan jelas wanita itu mendengar Rahman akan pulang untuk bekerja. Lalu, kenapa sekretarisnya berkata berbeda? Jelas, ada kejanggalan di sini.

"Maaf, Bu. Saya cuma mau bilang, besok saya izin tidak masuk. Ibu saya sakit. Berkas penting untuk rapat besok, sudah saya siapkan di meja Pak Rahman."

Ayu mematung. Otaknya seperti tak berfungsi saat itu juga. Dia mendudukkan diri dengan lemah di bangku teras. Ada sesuatu yang membuatnya sesak, tapi entah itu apa. Rasanya, jantungnya mulai berdetak melemah.

"Jadi, tidak ada pekerjaan hari ini?" tanya Ayu dengan bibir bergetar menahan gejolak di dada.

"Tidak, Bu. Kemarin lusa Pak Rahman baru saja menyelesaikan tender. Memangnya kenapa, Bu?" Sepertinya Nia mulai curiga, mengingat pertanyaan Ayu yang sama.

Ayu memejamkan mata, bersamaan dengan lolosnya air mata yang tiba-tiba menyeruak. Kali ini dadanya sakit, jantungnya berdegup kencang. Ada sesak yang memenuhi hati.

"Tidak, Nia. Saya hanya bertanya, soalnya suami saya tampak sibuk hari ini. Mungkin, dia ada pekerjaan lain," timpal Ayu, mencoba tenang.

Syukurlah Nia tak curiga dan akhirnya panggilan terputus. Tangis Ayu pecah, pikirannya carut-marut. Rasanya begitu sakit. Ya, sakit karena kebohongan Rahman.

Jika di kantor tak ada pekerjaan, ke mana suaminya pergi? Lalu, kenapa dia memberi alasan sibuk dengan urusan kantor? Apa yang Rahman sembunyikan darinya, sehingga Ayu tak sadar akan itu? Semua pertanyaan itu terus berdatangan di benak Ayu.

Kalut, itu yang tengah melanda Ayu. Dia tidak mau berpikiran macam-macam. Rumah tangganya sudah berjalan 8 tahun, tidak begitu saja Ayu berpikiran buruk tanpa bukti dan alasan yang jelas. Wanita itu harus mencari tahu sendiri, apa yang sebenarnya terjadi.

Dengan sigap, Ayu bangkit. Dia bergegas masuk, mengambil tas dan ponselnya. Wanita itu akan mencari tahu hari ini juga. Dia tidak mau berlarut dalam pikiran buruk yang nantinya berefek pada kelanjutan biduk rumah tangga.

Dipesannya taksi online untuk pulang ke rumah. Biarlah Ayu merogoh ongkos tebal, yang penting niatnya harus tercapai. Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Ambu, Ayu pamit pergi dulu. Tadi, sekretaris Mas Rahman telepon, ada yang perlu disampaikan," ucap Ayu beralasan.

Ambu tampak keheranan. Baru saja Rahman pergi beberapa menit, lalu sekarang menantunya yang pamit pulang.

"Apa ada masalah, Nak?" tanya Ambu khawatir.

Ayu langsung menggeleng. Dia harus berpikir jernih dan berprasangka biak. Tentang ini, Ayu tidak akan melibatkan pihak orang tua. Biarlah Ayu menyelesaikannya sendiri.

"Gak ada, Ambu. Hanya menyampaikan pesan dari sekretarisnya, tentang dokumen, Ambu."

Ambu bernapas lega. Dia pikir ada masalah atau kejadian yang membuat hatinya takut.

"Ya sudah, sana. Hati-hati."

Ayu mengangguk mantap. "Titip Rafli, Ambu. Nanti Ayu balik ke sini lagi buat jemput Rafli," ujar Ayu sambil menyalami mertuanya.

Setelah itu, Ayu pun bergegas meluncur untuk pulang. Dia harus bertemu dengan Rahman dan menanyakan semua kejanggalan ini. Apa pun yang terjadi, Ayu akan mencoba untuk tenang. Namun, tetap harus mendapat jawaban tentang kejadian hari ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status