"Sari, buka pintunya!" seru Rahman dengan tangan yang terus mengetuk pintu rumah.
Laki-laki itu sedari tadi mengawasi keadaan sekitar. Takut, jika tetangganya ada yang melihat. Terlebih, kemarin Ayu bilang jika pernah melihat laki-laki masuk ke rumah ini. Yang dimaksud pasti dirinya sendiri.
Rahman menengok kaca yang tertutup tirai transparan. Dia sudah tak sabar menunggu Sari membuka pintu. Kembali, matanya mengawasi sekeliling rumah Sari yang hanya dikelilingi pagar bambu.
"Duh, ke masa sih, dia? Sudah dibilang diam di rumah," rutuk Rahman, mulai berdiri tak tenang.
Tangannya hendak mengetuk pintu lagi, tapi diurungkan saat knop pintu dibuka.
"Kamu lama sekali. Ya Tuhan!" Mata Rahman langsung melotot. Dia pun mendorong Sari untuk masuk.
Secepat kilat menutup pintu rumah Sari, tapi sebelumnya mengecek keadaan sekitar yang dirasa aman. Rahman mundur beberapa langkah sembari memindai Sari dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Rahman, bingung.
Sari mengedipkan mata sambil tersenyum genit. Dia mendekati Rahman dengan tangan yang merangkul pada leher laki-laki itu.
"Kok nanyanya gitu? Jelas menyambut calon Papa dari bayi kita," jawab Sari, langsung menyadarkan Rahman dengan tujuannya kemari.
Rahman melepas rangkulan Sari dan menatap wanita itu penuh selidik. "Kamu beneran hamil?" tanya Rahman dengan wajah penasaran.
Sari diam sejenak. Dia mengulum bibirnya. Tanpa menjawab, wanita itu pergi ke kamar dan kembali ke hadapan Rahman dengan sebuah test pack. Terlihat dua garis merah dengan jelas.
Seketika tempat pijakan Rahman terasa berputar. Bumi seolah runtuh, menenggelamkannya ke dasar bumi. Gelap, sampai dia kelimpungan dan terduduk lemah di kursi tamu Sari.
Sari yang melihat itu pun tampak cemas. "Loh ... loh, kamu kenapa, Mas?" Sari menghampiri Rahman yang terduduk, tak berdaya.
"Kenapa bisa?" Pertanyaan Rahman langsung merubah ekspresi Sari.
Wanita dengan pakaian kurang bahan itu berdiri tegap di depan Rahman. Wajahnya sudah mulai tak bersahabat.
"Kenapa bisa? Kamu tanya itu, Mas? Tentu saja bisa. Kita melakukan hubungan itu suka sama suka. Lalu, setelah merasakan surga duniawi, kamu bertanya kenapa? Wajar jika aku hamil. Aku juga wanita!" seru Sari tak terima dengan pertanyaan Rahman.
Rahman memijat pelipisnya. Kepalanya mulai dipenuhi pertanyaan. Entah tentang Sari atau rumah tangganya bersama Ayu.
"Kita hanya melakukannya dua kali, Sari. Apa benar kamu bisa langsung hamil? Sedangkan dengan mantan suamimu saja, kamu tidak hamil," papar Rahman tanpa filter. Dia sudah tidak peduli lagi dengan perasaan Sari. Rasa penasarannya sudah sampai ubun-ubun.
Sari yang memang sudah tersulut emosi, semakin emosi karena pemaparan Rahman.
"Kamu meragukan aku, Mas?! Kenapa mengungkit masa laluku? Ini anakmu! Aku hanya melakukannya denganmu, hanya denganmu!" Sari berteriak tak terima.
Rahman yang takut kalau suara Sari mengundang tetangga lain pun bergegas berdiri. Dia membungkam mulut wanita itu.
"Stttt! Pelankan suaramu, Sar! Kamu bisa mengundang tetangga datang!" protes Rahman.
Sari menyentak tangan Rahman dari mulutnya.
"Biar, biarkan saja! Biar tetangga tahu hubungan gelap kita. Kalau perlu, istrimu tahu semuanya!" Sari semakin menjadi.Rahman tersentak mendengar ancaman Sari. Lalu, otaknya mulai mengingat tentang paket yang Ayu sebutkan.
"Sari! Jangan bilang kamu yang mengirim paket untuk Ayu?!" tanya Rahman dengan wajah pias. Dia memegang bahu Sari erat.
Sari menyeringai, "Kalau iya, kenapa? Akan aku beri tahu istri sialanmu itu. Aku sudah tidak tahan menjadi simpanan. Kamu harus menikahiku, Mas!" seru Sari, terus menekan Rahman.
Rahman mengerang sembari mengacak rambutnya, frustasi. Semua katakutannya akan terwujud jika Sari melakukan hal nekat itu. Dia tidak mungkin menikahi Sari. Niat awalnya hanya bermain-main, tidak untuk serius, apalagi sampai Sari hamil.
Rahman menatap Sari dengan tatapan datar. Dia menghela napas berkali-kali, berharap ketenangan hadir agar bisa mencari jalan keluar.
"Tidak. Aku tidak bisa menikahimu, Sari," jawab Rahman akhirnya. Cukup lama dia bergelut dengan pikirannya sendiri.
Mata Sari membulat dengan mulut menganga. Angan akan sambutan baik dari Rahman mengenai kehamilannya menguap begitu saja. Ini tidak sesuai dengan dugaannya.
"Kenapa? Kenapa tidak bisa?!" Kali ini Sari meremas tangan kekar Rahman.
Tatapan yang biasanya lembut, kini berubah dingin dan tajam. "Karena aku mencintai Ayu. Aku sudah menikah dengan Ayu, Sari. Jangan lupakan fakta itu."
Gigi Sari bergemeletuk, wajah ber-make up-nya berubah memerah. Terlihat jelas kemarahan mulai menguasai wanita itu.
"Tidak. Kalau kamu memang mencintai Ayu, kenapa kamu berhubungan denganku, Mas?"
Tepat sasaran. Pertanyaan Sari menghunus jantung Rahman. Kenapa dia merasa takut sekarang? Dulu, saat melakukan adegan tak senonoh dengan Sari, bahkan logikanya tak berjalan.
Kini, saat semua terlanjur semakin dalam, rasa sesal baru hadir ikut serta.
"Tidak, Sari. Aku tidak bisa. Gugurkan saja kandunganmu," ucap Rahman enteng, seenteng tangan Sari yang melayang ke wajah tampannya.
Suara tamparan menggema di ruang tamu itu. Dada Sari naik turun dengan amarah melingkupinya. Setelah sekian lama menantikan seorang anak dan betapa bahagianya saat kenyataan bahwa benih itu dari laki-laki yang didambakan, tapi malah penolakan yang dia dapat.
"Gila kamu, Mas! Ini darah dagingmu!" sentak Sari, kali ini air matanya luruh.
"Tapi aku tidak bisa, Sari. Aku tidak bisa menikahimu. Aku sudah punya istri. Kamu tahu itu," elak Rahman, tetap teguh pendirian.
Sari mengepalkan tangan. Selalu Ayu dan Ayu yang diutamakan. Dia pikir, kehamilannya akan mengeser wanita berjilbab itu dari hati Rahman, tapi nyatanya tidak semudah itu.
"Oh begitu, Mas? Baiklah. Jika itu maumu, akan kuberitahu Ayu siapa sebenarnya aku."
Mata Rahman terbelalak mendengar ucapan Sari.
"Akan aku katakan, kalau kita selingkuh dan tengah mengandung anakmu," tambah Sari membuat wajah Rahman pucat pasi.
Rahman tidak akan membiarkan itu. Dia hendak mengelak, tapi tiba-tiba ....
"Siapa yang hamil?" tanya seseorang sembari membuka pintu rumah Sari yang lupa di kunci.
Seketika tubuh Rahman menengang dan Sari kaget bukan kepalang.
Sari berdiri. Air mata mulai luruh di pipinya. Dia tidak tahu jika perbuatannya bisa sampai menjadi bumerang karenanya. Bukan bahagia yang didapat, tapi sengsara dan cemoohan yang menyambut."Iya, Bu. Aku siap," jawab Sari, yakin.Ambu menghela napas panjang. Wanita paruh baya itu mencoba untuk tenang menghadapi situasi seperti ini. Dia belum berniat juga mempersilakan masuk pada Sari. Sampai ...."Sari?"Dari balik gerbang, Rahman datang dengan wajah bingung.***Tiga bulan kemudian....“Azam?” Ayu mengernyit bingung menatap mantan adik iparnya yang datang.Azam tersenyum, tangannya penuh dengan kantong kertas. Isinya adalah mainan untuk keponakannya, Rafli. Semenjak perceraian Rahman dengan Ayu, Azam kerap kali menengok Rafli. Dia merasa kasihan karena Rahman jarang bertemu Rafli. Alasannya adalah Sari.Istri baru kakaknya itu sering sekali menghalangi Rahman menemui Rafli dengan berbagai alasan. Jadilah, Azam berinisiatif untuk menggantikan peran kakaknya. Meskipun Ayu sering berti
"Aku tidak bisa, Mas." Ayu berdiri, menjauhi Rahman yang duduk dengan wajah menghiba."Kenapa?" tanya Rahman, kesedihan tampak jelas di wajah itu.Ayu memejamkan mata sejenak. Dia mencoba untuk tidak memakai perasaan lagi. Walaupun ada rasa iba, tapi sakit hatinya mendominasi. Ayu tidak mau bersanding dengan mantan pengkhianat."Kamu sudah beristri Sari, Mas. Aku pun ingin memulai hidup baru tanpamu. Kita sudah bukan siapa-siapa lagi, Mas," terang Ayu, mencoba membuat Rahman mengerti.Rahman bangkit dan mencoba mendekati Ayu. Tetapi, lagi-lagi Ayu menjauh. Wanita itu benar-benar sudah menghilangkan nama Rahman di hidupnya."Jangan buat semua semakin sulit, Mas. Aku membebaskanmu bertemu Rafli, tapi bukan berarti kita bisa kembali bersama. Kamu sudah punya Sari, perlakukan dia dengan baik. Karena, bagaimanapun dia juga ibu dari calon anakmu."Ayu mencoba untuk tegar. Walaupun mengatakan itu semua butuh keberanian dan kesiapan hati, tapi hanya dengan cara ini Rahman bisa ditolak. Setiap
Warga di sana semakin gaduh. Sedangkan Sari semakin ketakutan. Badannya sudah panas dingin karena melihat Wak Toriq yang terus merapalkan sesuatu.Lalu, Wak Toriq mengusap seluruh tangan dan kaki Rahman, hingga dia menemukan sesuatu di pergelangan tangan Rahman. Sebuah rambut melingkar di tangan Rahman, hanya beberapa helai, sehingga tak begitu jelas jika tidak diamati.Wak Toriq mengucap asma Allah sembari menarik gelang itu sampai putus. Sari langsung menjerit dan tumbang, bersamaan dengan itu disusul robohnya Rahman yang tidak sadarkan diri."Rahman!" seru Abah dan Ambu berbarengan.***"Saya atas nama keluarga Rahman, memohon maaf yang sebesar-besarnya. Ini di luar dugaan. Maaf jika kelakukan keponakan saya merugikan banyak pihak," tutur Wak Toriq memulai pembicaraan.Masih di rumah Sari, ada Pak RT, Pak RW, Ibu RT, Ibu RW, orang tua Rahman dan Ayu. Warga yang masih betah di sana pun hanya beberapa orang. Mereka sengaja dibubarkan demi keamanan. Hanya tersisa mereka yang menemani
Ayu diam sejenak. Dia mengehela napas pendek sebelum berucap. "Baiklah, Wak. Aku akan memanggilnya. Dia ada di rumah Sari," ujar Ayu, membuat Ambu dan Abah menghela napas lega.Kedua orang itu pikir Sari berbuat macam-macam atau membawa kabur Rahman entah ke mana. Ternyata, dibawa ke rumah Sari yang tidak ingin dianggap menantu oleh mereka."Biar kita saja yang ke sana. Uwak juga mau tahu, apa wanita itu menyimpan sesuatu di rumahnya," papar Wak Toriq yang langsung disetujui Ambu.Sebelum pergi, Ayu menelepon Ibu RT dan Ibu RW. Dia ingin penutupan pembalasan dengan cantik. Hukum sosial akan lebih menyakitkan dibanding dengan hukuman jeruji besi.***"Sari, buka pintunya!" seru Ibu RT yang menggetuk pintu rumah Sari dengan kasar.Sari yang tengah bermesraan dengan Rahman pun terperanjat. Bagaimana Ibu RT tahu kalau dia ada di rumah? Padahal kunci rumah sudah diganti tanpa sepengetahuan Ibu RT dan Ibu RW."Siapa?" tanya Rahman, bingung.Sari gelagapan. Dia seperti terciduk untuk kedua k
"Ma, kok Papa sama Tante Sari terus?" tanya Rafli setelah pulang sekolah. Anak kecil itu keheranan melihat tingkah ayahnya yang cuek padanya juga jarang berkumpul dengan Ayu dan dirinya. Tentu semenjak Sari datang ke rumah itu.Ayu mengelus surai hitam milik Rafli. Marah dan sedih memenuhi rongga dada Ayu. Apalagi saat anaknya dengan terpaksa melihat kemesraan Sari dan Rahman. Sebelumnya, Ayu sudah mengusir dua manusia laknat itu agar Rafli tak melihat yang seharusnya tak dilihat.Namun, permintaan Ambu membuat Ayu tak bisa berkutik. Wanita itu tidak tahu apa yang terjadi pada Rahman, hingga dalam sekejap berubah drastis. Dia benci dan muak melihat itu semua. Sakit hatinya sudah tak terbendung. Hanya saja, lagi-lagi Ayu harus menahan semua demi Rafli. Psikologis Rafli lebih penting dari apa pun. Ayu mengehela napas sebentar. Dia pun menangkup wajah anaknya dengan senyum palsu."Emm, Rafli. Mulai besok Papa akan sering bareng Tante Sari," ujar Ayu mecoba menjelaskan."Kenapa?" tanya
"Buat kopi hitam tanpa gula. Taruh di kolong tempat tidur Rahman. Nanti malam, aku ke sana. Kalau berkurang, berarti Rahman kena guna-guna," papar Wak Toriq dari seberang sana.Ambu dan Abah yang mendengar itu pun tersentak. Mereka saling pandang. Awalnya, besok akan memanggil Kakak Ambu itu.Tetapi karena penasaran, Ambu berinisiatif untuk meneleponnya terlebih dahulu. Ternyata, praduga mereka terwujud. Walaupun belum pasti, tapi melihat gerak-gerik Rahman rasanya semua yang dimungkinkan itu terjadi."Lalu, kami harus bagaimana, Wak?" tanya Abah, khawatir.Kebetulan panggilan di louspeker, jadi Ambu dan Abah bisa leluasa mengobrol. Mereka sekarang sedang di kamar, agar tak ada yang mengganggu, terutama Sari."Biarkan saja dulu, nanti malam baru aku kasih tahu selanjutnya," timpal Wak Toriq yang langsung dipatuhi Ambu dan Abah.Setelah itu, mereka menutup panggilan. Keduanya mulai mencari cara menaruh kopi hitam di bawah kolong ranjang Sari. Ya, karena Rahman sekarang tidur di kamar S