Share

Bab 5 Penolakan Rahman

"Sari, buka pintunya!" seru Rahman dengan tangan yang terus mengetuk pintu rumah.

Laki-laki itu sedari tadi mengawasi keadaan sekitar. Takut, jika tetangganya ada yang melihat. Terlebih, kemarin Ayu bilang jika pernah melihat laki-laki masuk ke rumah ini. Yang dimaksud pasti dirinya sendiri.

Rahman menengok kaca yang tertutup tirai transparan. Dia sudah tak sabar menunggu Sari membuka pintu. Kembali, matanya mengawasi sekeliling rumah Sari yang hanya dikelilingi pagar bambu.

"Duh, ke masa sih, dia? Sudah dibilang diam di rumah," rutuk Rahman, mulai berdiri tak tenang.

Tangannya hendak mengetuk pintu lagi, tapi diurungkan saat knop pintu dibuka.

"Kamu lama sekali. Ya Tuhan!" Mata Rahman langsung melotot. Dia pun mendorong Sari untuk masuk.

Secepat kilat menutup pintu rumah Sari, tapi sebelumnya mengecek keadaan sekitar yang dirasa aman. Rahman mundur beberapa langkah sembari memindai Sari dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Rahman, bingung.

Sari mengedipkan mata sambil tersenyum genit. Dia mendekati Rahman dengan tangan yang merangkul pada leher laki-laki itu.

"Kok nanyanya gitu? Jelas menyambut calon Papa dari bayi kita," jawab Sari, langsung menyadarkan Rahman dengan tujuannya kemari.

Rahman melepas rangkulan Sari dan menatap wanita itu penuh selidik. "Kamu beneran hamil?" tanya Rahman dengan wajah penasaran.

Sari diam sejenak. Dia mengulum bibirnya. Tanpa menjawab, wanita itu pergi ke kamar dan kembali ke hadapan Rahman dengan sebuah test pack. Terlihat dua garis merah dengan jelas.

Seketika tempat pijakan Rahman terasa berputar. Bumi seolah runtuh, menenggelamkannya ke dasar bumi. Gelap, sampai dia kelimpungan dan terduduk lemah di kursi tamu Sari.

Sari yang melihat itu pun tampak cemas. "Loh ... loh, kamu kenapa, Mas?" Sari menghampiri Rahman yang terduduk, tak berdaya.

"Kenapa bisa?" Pertanyaan Rahman langsung merubah ekspresi Sari.

Wanita dengan pakaian kurang bahan itu berdiri tegap di depan Rahman. Wajahnya sudah mulai tak bersahabat.

"Kenapa bisa? Kamu tanya itu, Mas? Tentu saja bisa. Kita melakukan hubungan itu suka sama suka. Lalu, setelah merasakan surga duniawi, kamu bertanya kenapa? Wajar jika aku hamil. Aku juga wanita!" seru Sari tak terima dengan pertanyaan Rahman.

Rahman memijat pelipisnya. Kepalanya mulai dipenuhi pertanyaan. Entah tentang Sari atau rumah tangganya bersama Ayu.

"Kita hanya melakukannya dua kali, Sari. Apa benar kamu bisa langsung hamil? Sedangkan dengan mantan suamimu saja, kamu tidak hamil," papar Rahman tanpa filter. Dia sudah tidak peduli lagi dengan perasaan Sari. Rasa penasarannya sudah sampai ubun-ubun.

Sari yang memang sudah tersulut emosi, semakin emosi karena pemaparan Rahman.

"Kamu meragukan aku, Mas?! Kenapa mengungkit masa laluku? Ini anakmu! Aku hanya melakukannya denganmu, hanya denganmu!" Sari berteriak tak terima.

Rahman yang takut kalau suara Sari mengundang tetangga lain pun bergegas berdiri. Dia membungkam mulut wanita itu.

"Stttt! Pelankan suaramu, Sar! Kamu bisa mengundang tetangga datang!" protes Rahman.

Sari menyentak tangan Rahman dari mulutnya.

"Biar, biarkan saja! Biar tetangga tahu hubungan gelap kita. Kalau perlu, istrimu tahu semuanya!" Sari semakin menjadi.

Rahman tersentak mendengar ancaman Sari. Lalu, otaknya mulai mengingat tentang paket yang Ayu sebutkan.

"Sari! Jangan bilang kamu yang mengirim paket untuk Ayu?!" tanya Rahman dengan wajah pias. Dia memegang bahu Sari erat.

Sari menyeringai, "Kalau iya, kenapa? Akan aku beri tahu istri sialanmu itu. Aku sudah tidak tahan menjadi simpanan. Kamu harus menikahiku, Mas!" seru Sari, terus menekan Rahman.

Rahman mengerang sembari mengacak rambutnya, frustasi. Semua katakutannya akan terwujud jika Sari melakukan hal nekat itu. Dia tidak mungkin menikahi Sari. Niat awalnya hanya bermain-main, tidak untuk serius, apalagi sampai Sari hamil.

Rahman menatap Sari dengan tatapan datar. Dia menghela napas berkali-kali, berharap ketenangan hadir agar bisa mencari jalan keluar.

"Tidak. Aku tidak bisa menikahimu, Sari," jawab Rahman akhirnya. Cukup lama dia bergelut dengan pikirannya sendiri.

Mata Sari membulat dengan mulut menganga. Angan akan sambutan baik dari Rahman mengenai kehamilannya menguap begitu saja. Ini tidak sesuai dengan dugaannya.

"Kenapa? Kenapa tidak bisa?!" Kali ini Sari meremas tangan kekar Rahman.

Tatapan yang biasanya lembut, kini berubah dingin dan tajam. "Karena aku mencintai Ayu. Aku sudah menikah dengan Ayu, Sari. Jangan lupakan fakta itu."

Gigi Sari bergemeletuk, wajah ber-make up-nya berubah memerah. Terlihat jelas kemarahan mulai menguasai wanita itu.

"Tidak. Kalau kamu memang mencintai Ayu, kenapa kamu berhubungan denganku, Mas?"

Tepat sasaran. Pertanyaan Sari menghunus jantung Rahman. Kenapa dia merasa takut sekarang? Dulu, saat melakukan adegan tak senonoh dengan Sari, bahkan logikanya tak berjalan.

Kini, saat semua terlanjur semakin dalam, rasa sesal baru hadir ikut serta.

"Tidak, Sari. Aku tidak bisa. Gugurkan saja kandunganmu," ucap Rahman enteng, seenteng tangan Sari yang melayang ke wajah tampannya.

Suara tamparan menggema di ruang tamu itu. Dada Sari naik turun dengan amarah melingkupinya. Setelah sekian lama menantikan seorang anak dan betapa bahagianya saat kenyataan bahwa benih itu dari laki-laki yang didambakan, tapi malah penolakan yang dia dapat.

"Gila kamu, Mas! Ini darah dagingmu!" sentak Sari, kali ini air matanya luruh.

"Tapi aku tidak bisa, Sari. Aku tidak bisa menikahimu. Aku sudah punya istri. Kamu tahu itu," elak Rahman, tetap teguh pendirian.

Sari mengepalkan tangan. Selalu Ayu dan Ayu yang diutamakan. Dia pikir, kehamilannya akan mengeser wanita berjilbab itu dari hati Rahman, tapi nyatanya tidak semudah itu.

"Oh begitu, Mas? Baiklah. Jika itu maumu, akan kuberitahu Ayu siapa sebenarnya aku."

Mata Rahman terbelalak mendengar ucapan Sari.

"Akan aku katakan, kalau kita selingkuh dan tengah mengandung anakmu," tambah Sari membuat wajah Rahman pucat pasi.

Rahman tidak akan membiarkan itu. Dia hendak mengelak, tapi tiba-tiba ....

"Siapa yang hamil?" tanya seseorang sembari membuka pintu rumah Sari yang lupa di kunci.

Seketika tubuh Rahman menengang dan Sari kaget bukan kepalang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status