Share

Sakit Perut deh

Tetanggaku Rajin (Minta)

 

Part 5

 

Jam 2 siang, aku mengisi mangkuk ukuran sedang dengan rendang buatanku untuk kuberikan kepada Mbak Kiki. Sebagai penebus rasa bersalah karena tadi pagi kubiarkan dia yang tak sengaja memakan Dryfood milik Udin kucingku. Akupun penasaran ingin tahu reaksi perutnya seperti apa setelah makan makanan si Udin.

 

"Assalamu'alaikum, Mbaaak," panggilku sambil mengetuk pintu rumahnya. Namun tak ada jawaban.

 

"Mbaak, ini Rini, bawain rendang," ujarku lagi sedikit berteriak. Masih hening.

 

"Kemana sih, Mbak? Ah aku bawa pulang saja lah, orangnya lagi pergi kali tuh," gumamku.

 

Tapi tiba-tiba pintu dibuka. Keluarlah sesosok pria, ternyata suami Mbak Kiki.

 

"Pak Bowo, ini ada lauk rendang sedikit." Kusodorkan wadah berisi rendang.

 

"Wah terima kasih banyak Mbak Rini, maaf tadi saya tidak jawab karena sedang di dapur buatin oralit buat istri," ujarnya seraya menerima pemberianku.

 

"Mbak nya mana, Pak?" tanyaku penasaran.

 

"Ooh ... itu ada di kamar, sedang tak enak badan katanya, makanya tadi dia telfon saya suruh pulang, katanya tadi mual terus pusing dan sempat muntah juga," ujarnya menjelaskan keadaan istrinya.

 

"Duh kasihan Mbak Kiki, semoga lekas sehat ya, Pak, istrinya. Saya permisi, Assalamu'alaikum ...." Aku buru-buru berjalan pulang.

 

"Terima kasih banyak ini lauk rendangnya, Mbak Rini," ujarnya sedikit berteriak karena aku sudah berjalan cukup jauh.

 

Aku hanya mengangguk saja sambil terus melangkah pulang. Syukurlah reaksi perutnya menolak makanan si Udin. Kalau tidak, bisa-bisa besok dia rebutan cemilan dengan si Udin. No no no tak akan kubiarkan. Tapi kasihan juga sih, lagian Mbak Kiki juga gak tanya dulu itu makanan orang apa bukan, main samber aja. Huuh heran.

 

***

 

"Sayuuuurrrr ...."

 

Pagi ini kudengar suara Kang sayur berteriak menjajakan dagangannya. Aku sedang butuh bumbu rempah yang sudah habis di dapurku. Melihat kebun miniku, aku punya ide, aku akan membuat menu urap dan aku hanya perlu tambahan sayur kol dan tauge. Nanti akan kubagikan lagi pada tetangga. Karena kalau bagi-bagi sayuran tanamanku belum cukup.

 

"Buibbuuu ... Saayuuurrr ...," teriak Kang sayur. Tak lama kemudian berkumpullah beberapa ibu-ibu mengerumuni barang dagangan si Akang.

 

Kuhampiri Kang sayur untuk berbelanja kebutuhanku. Kusapa ibu-ibu lain yang sedang memilih sayur.

 

"Assalamu'alaikum ibu-ibu," ujarku sambil tersenyum. Memang usia tetanggaku rata-rata di atasku, bahkan ada yang mungkin seumuran ibuku.

 

"Wa'alaikum salam," jawab mereka serentak.

 

"Belanja sayur Neng?" tanya Bu Sofia.

 

"Cari rempah-rempah sama sayur buat urap Bu. O iya, tumben ibu-ibu lain pada di rumah jam segini? Biasanya sudah pada berangkat ngantor," tanyaku pada mereka.

 

"Iya Dek Rin, kami pada diliburkan, kan sedang heboh wabah virus Corona, jadi anak sekolah libur, kantor juga banyak yang libur." Mbak Tarsih menyahut.

 

"Ya Allah, iya ya Mbak, semoga kita jangan sampai jadi korban," ujar Kang sayur.

 

"Sebaiknya jangan dulu pergi ke tempat ramai ya ibu-ibu, hindari dulu bepergian ke luar negeri, terus kudu rajin cuci tangan dengan sabun juga, insya Allah kita terhindar dari paparan virus." Mbak Tarsih menjelaskan. Ya, Mbak Tarsih ini adalah seorang guru SMA.

 

"Lah seperti saya kudu gimana Mbak Tarsih? kan harus belanja sayuran di pasar buat dijual lagi, pasar atuh pastinya selalu ramai, kan?" Kang sayur bertanya dengan nada sedih.

 

"Pakai masker saja Kang, dan jangan lupa sering-sering mencuci tangan, kalau misalnya mengalami gejala demam, sakit tenggorokan, batuk dan pilek sebaiknya langsung periksa ke Rumah Sakit." Mbak Tarsih kembali memberi penjelasan.

 

"Begitu ya, Mbak? berdo'a saja atuh kalau begitu semoga kita semua dihindarkan dari virus Corona dan congorna," ujar si Kang sayur.

 

"Kok virus congorna, sih, Kang?" Bu Sofia bertanya sambil terkikik. Kang sayur tak menjawab, hanya cengar-cengir sambil garuk kepala.

 

"Tenang Kang, di lingkungan kita ibu-ibunya tidak ada yang terinfeksi virus congorna. Kalaupun ada sudah pasti bakalan kita kucek dengan sabun seember!" hjar Mbak Tarsih sambil tertawa, kami semua pun jadi ikut tertawa.

 

"Ya sudah ibu-ibu lanjut dipilih sayurnya," ujar Mbak Devi, tetanggaku yang paling irit bicara. Akhirnya setelah membayar kami pun bubar menuju rumah masing-masing.

 

"Kaang, tungguiiin...." Terdengar suara seseorang. Ternyata Mbak Kiki. Dia berjalan mendekati Kang sayur yang sedang mengemasi barang dagangannya. Kang sayur terlihat agak malas melihat Mbak Kiki.

 

"Kang, ada daging, gak?" tanya Mbak Kiki.

 

"Ada tinggal seperempat kilo," sahut si Akang.

 

"Berapa?"

 

"Pat puluh rebu!"

 

"Kok mahal?" Mbak Kiki bersungut-sungut.

 

"Cabe setengah kilo, berapa?" tanyanya lagi.

 

"Pat puluh rebu!" jawab si Akang dengan santai.

 

"Ah mahal, ga jadi, ini aja deh bayam dua ikat, berapa?"

 

"Pat puluh rebu!" Masih dijawab dengan santai oleh si Akang. Aku yang mendengar jadi terkikik geli.

 

"Kok semua serba pat puluh rebu? Sejak kapan harga bayam jadi pat puluh rebu?" Nampaknya Mbak Kiki mulai emosi dikerjai Kang sayur.

 

"Itu sisa utang kamu Sukiyeeemm, kalau mau beli bayar dulu atuuh sisa yang kemaren!" ujar Kang sayur sambil cengengesan.

 

"Ya ampun busyet dah ni orang. Iyaaa gue bayaaaarrr, nih satu gerobak motor lu juga bisa gue bayar, buruan itung yang bener, gue lagi males keluar rumah lama-lama, masih lemes gue tauk!" hardik Mbak Kiki lagi.

 

"Naah gitu doonk Sukiyem yang cantiik ...," ujar si Akang sambil tertawa lebar.

 

"Niih, semuanya tujuh puluh delapan ribu udah sama sisa bon, bayar aja delapan puluh ribu, anggap aja sedekah." Kang sayur menyerahkan belanjaan.

 

"Ya elah, dua rebu sedekah, nih duitnya, besok bawain gue udang seger yang besar ye, besok laki gue libur jadi mau masak spesial!" ujar Mbak Kiki sambil menyerahkan uang.

 

"Alhamdulillah, oke kalau maunya begitu mah besok saya bawain," jawab Kang sayur, meskipun ia tampak agak ragu.

 

"Ingeet udang segerr yang bessaaarrr." 

 

"Iyee nyonyaaa, nyonya yang besaarr sekaliii ...," jawab si Akang, membuatku yang mendengarnya jadi terkekeh. Lalu si Kang sayur pun berlalu.

 

Kusapa Mbak Kiki yang terlihat agak lemes dan pucat.

 

"Mbak, udah sehat kan? Semalam saya antar rendangnya, suaminya Mbak yang terima," ujarku padanya.

 

"Aduuh ampun deh aku, Rin! Masa semalam aku tuh ya mual muntah sampe diare segala. Coba liat nih badan aku sampe kurus kering begini." Aku ingin tertawa ngakak, tapi kutahan saja.

 

"Udah pergi ke Dokter, Mbak?"

 

"Sudah, kan semalam Mas Bowo kusuruh pulang. Terus kita ke Puskesmas, pas disuruh timbang BB sama petugas, ternyata turun, BB-ku tinggal 65 kilo hihihi," ujarnya senang.

 

"Wadduh, yakin gak salah tuh Mbak?" tanyaku keheranan.

 

"Yakin doonk, tapi kaki satunya gak ikut naik timbangan hihihi," ujarnya agak berbisik. Ya ampuun!

 

"Trus, kenapa bisa sampe diare  Mbak? Salah makan kali, Mbak?" tanyaku sambil senyum-senyum.

 

"Tau' ah, biasanya juga gak pernah. Kupikir semalam aku tuh hamil, eh ternyata nggak. Untung ada lauk dari kamu jadi selera makanku kembali bagus. Tapi kamu ngasinya kurang banyak, Rin, nih jadinya aku beli daging lagi hehee." Ingin rasanya tepok jidat mendengar jawabannya.

 

"Rin, aku mau tanya, kamu beli dimana jajanan lebaran yang semalam itu?"

 

"Jajanan?"

 

"Iyaaa yang ditoples kecil semalam ituu." Dia berusaha mengingatkanku. Walaupun sebenarnya aku tahu apa yang dia maksud.

 

"Ooh itu, itu cemilan si Udin, Mbak," jawabku sambil menutup mulut menahan tawa.

 

"Udin itu siapa?" tanyanya bingung.

 

"Udin itu teman mainnya Davi anakku, Mbak." Aku masih berusaha menahan tawa agar tidak meledak.

 

"Belinya dimana?" Tampaknya dia penasaran.

 

"Di Petshop, Mbak," jawabku.

 

"Petshop itu apa? Nama toko kue?" tanyanya lagi.

 

"Hahahaa ... udah deh, Mbak, jangan dibeli ya! beneran deh itu buk ...," Belum selesai aku menjawab, Mbak Kiki langsung menyahut.

 

"Alaah ... bilang aja kamu pelit gak mau bagi jajanan mahal sama aku, kan? Aku juga bisa tauk beli jajanan mahhall, lagian punya cemilan kok malah dianggurin." Mbak Kiki berbicara dengan memonyongkan bibirnya, yang kali ini sepertinya lupa dipakaikan gincu, hihihi.

 

"Bukan masalah mahal atau murah, Mbak, cuma gak lazim aja tau? Emang enak, ya, rasanya, Mbak?" tanyaku penasaran.

 

"Ya enak lah, lha wong GRATIS, bhaayyy!" ujarnya sambil berlalu. Akhirnya aku beneran tepok jidat. Hahahaha.

 

🐈🐈

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status