Aku Lebih Cantik dari Gundik Suamiku
Part 19
PoV Frisca
Sial sial siaaalll! Mbak Widya itu benar-benar licik. Sengaja ia meminta cerai dari Mas Khalid dan memancing dengan cek senilai satu milyar. Nyatanya itu cuma akal-akalan dia saja untuk membuatku terusir dari rumahnya.
Bodohnya lagi, ternyata Mas Khalid malah memilih mempertahankan rumah tangganya bersama Mbak Widya. Bagai kerbau dicocok hidungnya. Mas Khalid malah mengucapkan kata cerai padaku. Awalnya kupikir aku tak akan rugi karena aku sudah mendapatkan uang satu milyar itu. Tapi ternyata dugaanku meleset jauh. Cek itu tak bisa dicairkan meski satu rupiah pun. Kali ini aku masuk dalam perangkap yang dibuat oleh Mbak Widya. Benar-benar licik!
Tapi tunggu dulu, bukan Frisca namanya kalau kehabisan cara untuk mencari keuntungan. Aku sudah pernah merasakan pahitnya hidup miskin akibat usaha Ayahku yang mengalami keterpurukan hingga bangkrut total. Aku tak mau itu terulang lagi. Terlebih lagi, belakangan aku mengetahui bahwa dahulu, orang tua Mbak Widya adalah saingan bisnis ayahku. Pasti mereka yang sudah membuat Ayah jatuh miskin sampai akhirnya sakit-sakitan dan meninggal.
Melihat foto keluarga di rumah Mbak Widya, membuat dendamku kian membara. Aku harus bisa membalaskan semuanya. Meski tak bisa pada kedua orang tua Mbak Widya, maka kepada keturunannya. Tuhan memang baik. Tak perlu susah payah aku menemukan keluarga itu. Akhirnya aku bisa masuk dengan mudahnya. Hahahaha ….
Sementara waktu, aku tinggal menumpang di rumah Jessica. Bukannya aku tak punya uang untuk menginap di hotel ataupun menyewa apartemen. Tapi kalau bisa menumpang gratis, ngapain harus keluar uang? Hahaha …
Untung saja Jessica itu teman yang lugu. Mudah saja dibuat merasa iba. Apalagi keadaanku masih belum sepenuhnya pulih dari luka pascaoperasi. Aku katakan pada Jessica bahwa bayiku direbut oleh Mas Khalid, dan aku dicampakkan seperti sampah. Hati siapa yang tidak iba saat mendengar cerita sedih yang sudah aku karang? Diam-diam pula aku akan menyusun rencana baru untuk bisa kembali menguasai apa yang menjadi milik Mbak Widya. Harus!
Hari ini aku berencana untuk mendatangi toko. Aku akan mengambil beberapa set perhiasan mahal. Pastinya para karyawan toko itu tak akan berani melawanku. Secara statusku masih sebagai atasan mereka. Rencanaku sepertinya akan berjalan lancar. Dua bos mereka tampaknya sedang tidak ada di tempat.
“Mariana, tolong ambilkan saya tiga set perhiasan model terbaru yang harganya paling tinggi!” perintahku pada kasir toko yang selama ini tak berani macam-macam padaku.
“Maaf, Mbak Frisca. Kalau boleh tau, untuk keperluan apa, ya?”
“Haduuh … kamu gak usah banyak tanya, deh! Biasanya juga kan aku yang jual perhiasan langsung ke rumah pelanggan. Kamu jangan sok amnesia, ya! Lekas siapkan! Saya buru-buru.”
“Maaf, Mbak. Aturan seperti itu sudah tidak dibenarkan lagi. Ibu Widya sudah mengatur ulang sistem penjualan toko. Hanya boleh jual langsung di toko dan di situs resmi toko saja.”
“Eh, sejak kapan kamu ngatur-ngatur saya? Kamu jangan sok tau, deh! Selama ini saya banyak membantu penjualan perhiasan toko ini dengan cara saya. Buruan ambilkan!” ucapku sambil menunjuk deretan oerhiasan yang dipajang.
“Maaf, Mbak. Gak bisa. Ini sudah ketetapan toko.”
“Kamu mau saya pecat? Berani kamu?” ujarku kesal. Kalau bukan karena dilihat oleh para pelanggan yang sedang berkunjung, sudah aku tampar habis-habisan muka si Mariana ini.
“Sekali lagi mohon pengertiannya, Mbak. Kami hanya menjalankan aturan yang udah ditetapkan Ibu Widya.”
“Eh, Mariana! Sekali lagi aku tegaskan, ya! Kamu tau, kan, aku ini siapa?” ujarku sambil melotot ke arahnya.
Mariana terlihat sama sekali tidak gentar dengan ancamanku. Tumben banget ni anak. Biasanya aku pelototin sedikit aja dia udah manut.
“Ivan, tolong kamu hubungi Ibu Widya atau Pak Khalid!” ujarnya pada karyawan toko yang lain.
“Eh, kamu mau ngancem saya? Kamu pikir saya takut sama kamu? Siap-siap aja kamu bakalan dipecat hari ini juga!” Aku tak peduli pada Mariana. Aku merangsek masuk ke balik deretan kaca stelling tempat semua perhiasan di toko ini dipajang. Aku bersiap mengambil beberapa perhiasan mahal di dalam lemari kaca. Aku tahu persis deretan lemari kaca yang isinya perhiasan paling mahal di toko ini.
“Security! Tolong tahan Mbak Frisca. Ini perintah Ibu Widya!” ujar Ivan. Tiba-tiba saja dua security berbadan tegap sudah memburuku dan menarik tanganku untuk keluar dari area itu.
“Kalian berdua juga mau saya pecat, hah?”
“Mbak Frisca. Sekarang anda bukan lagi bagian dari toko ini. Mohon untuk tidak membuat keributan yang bisa mengganggu kenyamanan pengunjung toko!” Mereka berdua menarik tanganku menuju ruangan dalam, ruangan yang dulu aku gunakan sebagai ruang kerjaku sendiri. Kulihat tatapan sinis dari Ibu-ibu sosialita yang sedang melihat-lihat perhiasan. Semoga mereka gak jadi beli!
Sampai di ruangan itu, ternyata semua barang-barangku sudah tak ada lagi di tempatnya. Hanya tersisa kursi dan meja. Kedua security itu melepaskanku dan mereka berjaga dengan siaga di ambang pintu. Sengaja supaya aku tak bisa kabur. Sial!
Tampaknya aku sengaja disandra sampai Mbak Widya dan Mas Khalid sampai. Sekelebat mataku menangkap bayangan nota pembelian milik toko. Seketika ada sebuah ide briliant yang melintas. Tanpa sepengetahuan kedua penjaga itu, aku mengambil nota bon itu dari dalam laci yang sedikit terbuka, lalu cepat-cepat memasukkannya ke dalam tas sandang yang aku bawa.
Saat Mbak Widya dan Mas Khalid sampai, aku malah disidang habis-habisan dan berakhir dengan pemecatan. Aku diusir secara tidak hormat oleh mereka berdua. Benar-benar menjengkelkan. Mas Khalid yang dulu berhasil aku taklukkan, sekarang mendadak lembek seperti kerupuk tersiram air. Tak ada sedikitpun pembelaan yang dia lontarkan. Aku tahu, pasti Mas Khalid takut menceraikan Mbak Widya karena takut hidup miskin. Kamu dan aku tak ada bedanya, Mas! laki-laki sialan, cuma numpang hidup! Cih!
Kali ini aku memang gagal mengambil perhiasan milik toko mereka. Ternyata saat aku lama tidak datang ke toko, semua sistem penjualan di toko sudah diubah kembali seperti semula oleh Mbak Widya. Sial! Semua karyawan pun tampaknya sudah tak takut lagi padaku. Padahal mereka tahu kalau aku ini istri Mas Khalid juga. Memang benar-benar cerdik kamu, Mbak! Tapi kamu jangan merasa senang dulu. Aku, Frisca, masih punya sejuta cara untuk menghancurkanmu!
Aku pulang ke rumah Jessica dalam keadaan marah. Jessica yang melihatku awut-awutan malah ikutan marah.
“Elu dari mana, Fris?”
“Dari toko Mas Khalid.”
“Elu ngapain kesana?”
“Gue mau ambil apa yang menjadi hak gue, lah! perhiasan di toko itu juga punya gue.”
“Elu bukannya mikirin anak sama kesehatan, malah mikirin harta. Aneh lu, Fris!”
“Gak usah bawel, deh! Gue udah gak mau anak itu. Anak cacat, cuma bakalan nyusahin doank!”
“Ya ampun, Fris! Elu tuh, ya, gak ada rasa keibuannya sedikitpun ternyata. Kemaren gue simpatik sama elu. Kasihan sama elu. Tapi elu malah kayak gini.”
“Ya dari pada ngambil anak itu, mending gue ngambil perhiasan, lah!”
“Bener-bener elu, Fris! Gue nampung elu di sini supaya idup lu tenang, dapat solusi dan jalan keluar supaya bisa bersama anak lu lagi. Eh, ternyata elu gak seperti yang gue kira.”
“Kenapa jadi elu yang berisik, sih, Jess? Ini idup gue! Elu gak usah ikut ngatur-ngatur, deh!” ujarku sambil menyalakan rokok.
“Fris! Kita emang pernah temenan deket, sama-sama idup dari dunia malam. Harusnya elu bersyukur udah diambil istri sama konglomerat. Elu baik-baikin dia biar idup lu terjamin. Ini elu malah bikin masalah terus. Gue juga gak nyangka elu keseret kasus pembunuhan itu.”
“Hahaha … elu terlambat, Jess! Gue emang aslinya ya begini. Kenapa, lu? Gak suka? Gak bisa terima? Hahahaha … gue bisa lepas dari jeratan hukum karena yang mati itu bukan si Teddy!”
“Maksud elu apa, Fris?”
“Yang mati itu korban salah tembak! Hahaha ….”
“Jadi, target sebenarnya itu si Teddy?” Jessica melotot tak percaya.
“Iya! Hahahaha ….”
“Ya ampun, Fris! Kok bisa elu sekejam itu?”
“Asal elu tau aja, Jess! Si Teddy udah ngancurin gue dari dulu. Gue dipake, diporotin, disiksa! Emang elu tau gimana penderitaan gue akibat perbuatan si Teddy? Gara-gara dia juga, gue mau diperas gara-gara anak yang gue kandung itu bukan anaknya Mas Khalid.”
“Ya ampun, Fris! Tapi gak mesti elu bunuh juga, kan?”
“Paling tidak sekarang dia ketakutan dan gak berani ganggu gue.”
“Yakin, lu?” tanya jessica. Aku tertawa lalu menghisap dan menghembuskan asap rokok itu ke wajah Jessica. Dia langsung mengelak dan aku kembali tertawa terbahak-bahak.
“Psycho, lu, Fris!”
“Hahaha ….” Aku tertawa puas. Tapi tiba-tiba ponselku berdering nyaring. Nomor baru yang terpampang di layar. Aku berharap itu adalah Mas Khalid. Aku yakin!
“Halo.”
“Halo, Fris! Elu masih ingat suara gue? Gimana? Elu sekarang udah menghirup udara bebas, kan? Hahahaha ….”
Sontak saja aku langsung melemparkan ponselku ke depan, tepat menghantam TV layar lebar milik Jessica.
Prakk! Hancurlah kedua benda itu secara bersamaan. Kurang ajar, ternyata Teddy tahu kalau aku berencana menghabisi nyawanya.
“Fris! Apa-apaan, sih, lu? Seenaknya ngancurun barang punya gue! TV itu harganya mahal, Fris! Kenapa elu ancurin?” Jessica menghampiri TV miliknya yang di layarnya sudah terdapat retakan kaca yang cukup lebar.
“Sory, Jess! Gue refleks!”
“Ya gak mesti dilempar ke arah TV juga kali! Sialan, loe! Udah dikasi tumpangan tempat tinggal malah ngelunjak! Dasar per*k loe, Fris!”
“Eh, anj***! Elu sendiri apa kalau bukan per** pec*n pinggir jalan? Mentang-mentang sekarang jadi simpanan bos kaya, sombong, lu! Kan gue udah bilang sorry, gue gak sengaja!”
“Mending elu pergi sekarang juga angkat kaki dari rumah gue! Nyampah banget, loe! Setan!”
“Ooh … elu ngusir gue?”
“Iya! Gue gak sudi lagi temenan sama elu! Perempuan berhati busuk!”
“Ngaca, deh, lu! Emangnya apa bedanya elu sama gue!” Aku beranjak menantang tepat di depan wajah Jessica yang memerah menahan marah. Kudorong bahunya sampai dia tersungkur di lantai.
“Pergi sekarang juga dari rumah gue! Najis gue punya temen kayak elo! Ditolong malah gak tau diri! Percuma minta ganti juga, elu gak bakalan punya duit!”
“Oke! Elu inget, ya, Jess! Elu udah ngusir gue, elu bakalan dapat balesannya entar!” Aku bergegas mengambil barang-barangku dan pergi dari rumah Jessica. Dasar pec*n sok naik kelas!
Di jalanan, aku ketemu temen lama yang dulu sama-sama kerja di club malam. Namanya Melisa. Kebetulan benget, aku diajak mampir di kontrakannya.
Sampai di perumahan kumuh, aku dipersilahkan masuk. Ya ampun, rumahnya nggak banget. Jorok dan bau.
“Maklum, ye, Fris! Gue lagi sepi job.”
“Elu mau gue kasih tugas? Kalau berhasil kita bagi dua.”
“Apaan, Fris?”
Aku menjelaskan rencanaku pada Melisa. Dia mengerti dan setuju. Sudah pasti itu hanya tugas yang mudah. Keesokan harinya, Melisa langsung melaksanakan aksi yang aku siapkan. Meminta ganti rugi atas perhiasan KW yang dijual oleh toko Mas Khalid. Aku punya nota pembelian yang asli. Mereka tak akan bisa menghindar kali ini.
Cukup lama aku menunggu Melisa di seberang toko. Aku terpaksa menyamar supaya tak diketahui orang. Aku yakin Melisa akan berhasil. Dia kubekali member card asli dari toko, dan juga nota pembelian. Aku buat seolah toko sudah melakukan penipuan terhadap pelanggan. Aku sengaja menuliskan nominal yang lumayan di nota asli tapi palsu itu.
Setelah cukup lama, akhirnya Melisa keluar dari dalam toko. Mukanya merah padam dan ditekuk. Sialan! Pasti dia gagal!
“Gimana?” tanyaku tak sabar.
“Gagal! Pemilik toko malah nyuruh gue lapor polisi!”
“Apa? sialan! Gobl**!”
“Kok elu marah sama gue?”
“Ya ampun, tugas gampang begitu aja elu gak bisa!”
“Eh, Fris! Gue mana tau kalau ternyata yang punya toko ada di sana. Gue kira mereka bisa dibodohi, tapi ternyata mereka orang pintar dan cerdas!”
“Huh! Dasar aja elu yang gak becus! Gobl**!”
“Kok elu jadi maki-maki gue? Sialan, lu, Fris! Nyesel gue nolong elu!”
“Bodo amat! Gue juga gak sudi numpang di rumah elu! Jorok! Gak level banget sama gue!”
“Oke! Sekarang juga elu ambil barang-barang elu! Pergi lu dari rumah gue! Dasar gak tau terima kasih!”
“Siapa juga yang mau lama-lama tinggal di rumah jorok! Awas aja lu, kalau entar gue balik ke rumah gue yang mewah itu, sory banget gue kenal lagi sama elu!”
“Sombong, lu, Fris! Pergi, lu! Ambil semua barang-barang elu! jadi pelakor aja bangga!”
“Bodo amat!”
Mbak Kiki Buka Warteg“Kenape, sih, Rin? Jadi elu yang histeris begitu?”“Aneh kamu, Mbak! Aku suruh tulis apa yang ada di kepala itu bukan kutu! Tapi ide yang muncul dari pemikiranmu sendiri!”“Lah jadi apa, dong? Elu ngomongnya begitu, ya gue ikutin, lah.”“Bahkan kamu lupa kalau di kepalamu juga ada otak, kan?”“Oh, iye, lupa gue, Rin!” ujarnya sambil garuk-garuk kepala. Emang lah dasar!“Hadeuuuh … punya otak pun bisa sampe lupa!”“Jadi yang bener pegimane?”“Searching, dong, Mbak! Di internet banyak contoh karya tulis. Belajar dulu sebelum menulis!”“Gue kan cuma ngikut ape yang elu bilang! Kenapa gue yang disalahin?”“Bukan nyalahin, hadeuuuh entahlah Tuhaaan ….”“Sedih gue, Rin, gak jadi dapet lima juta.”“Lebih sedih mereka kalau kamu yang menang, Mbak!”“Kamu, mah, sirik aja jadi orang!”“Bukan sirik, ngapain sirik sama ban kontainer?”“Ngomong ape, lu, barusan?”“Gak!”“Elu ajarin gue, kek!”“Terlambat sudah! Sono balik! Aku mau mandi.”“Gak, ah. Gue di sini aja. Laki gue la
Isi Kepala“Rin!” Lagi-lagi terdengar panggilan dari alam ghoib.“Apa? pagi-pagi udah nongol ke rumah tetangga. Kebiasaan!”“Apaan, sih? Sewot aje, lu? Gue kesel tauk?”“Hadduuuh … kapan dirimu itu gak kesel?”“Serius, Rin! Mas Wowo maksa nyuruh gue jual emas.”“Ya udin, jual aja napa? Mumpung harga emas lagi bagus!”“Gara-gara elu, sih, kaga mau minjemin duit! Susah kan jadinye gue?”“Laaah … enak aja nyalahin orang! Lebih baik jual apa yang ada daripada berhutang, Mbak! Lagian disuruh dateng ketemu papahnya Davi kamu gak mau!”“Bukan gue yang gak mau, tapi Mas Wowo, noh! Katanya gue malu-maluin aja mau minjem-minjem duit ama tetangga!”“Nah, waras tuh suamimu, Mbak! Pertahankan, jangan sampai lepassss!”“Ah elu, mah, sama aja! Bukannye kasih solusi, malah nyalahin gue!”“Mbak, kamu kan punya banyak perhiasan, ngapain disimpen-simpen? Ini lah saatnya perhiasan itu digunakan untuk keperluan usaha baru suamimu! Nanti, kalau usahanya maju, sukses, pasti bakalan dapet gantinya lebih, Mba
Pinjem duit buat apa lagi?Aneh-aneh aja kelakuan Mbak Kiki. Sudah selesai minta kerokin, pake curhat panjang lebar. Aku jadi telat sarapan, deh.“Saaayuuurr ….” Terdengar suara Kang sayur membahana seperti biasanya. Kali ini gak absen dulu, lah. Aku masih punya sayur dan bahan makanan yang lain. Kulanjutkan saja aktivitasku mengurus rumah.Kebun di belakang rumah juga sudah cukup lama dibiarkan. Rumput dan tanaman sudah saling berlomba unjuk gigi, eh, unjuk daun.Sejak hari itu, aku memang sering melihat suaminya Mbak Kiki lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Tapi hikmahnya, Mbak Kiki jadi jarang mampir ke rumahku.“Kenapa, Mah? Dari tadi Papah lihat Mamah nengok ke arah rumah Mbak Kiki terus,” ujar Mas Hadi mengejutkanku.“Dih, Papah. Kaget, tauk? Itu, Mbak Kiki kemarin bilang kalau suaminya resign.”“Lho, kenapa?”“Gak tau pastinya, Pah.”“Ya udah, do’ain aja semoga Mas Bowo lekas dapat kerjaan yang baru.”“Iya, Pah. Aamiinn ….”“Ya udah, Papah berangkat kerja dulu, ya.”“i
Curhat gak penting“Aduh, Rin … makasih banget, ye. Enakan, nih, badan gue. Eeerrgghhh ….” Mbak Kiki sendawa panjang setelah selesai dikerokin. Sebenarnya aku malas, tapi ya kasihan juga. Gak apa lah, sesekali baik-baikin dia. Kali aja besok dia sudah tiada, eh, Astaghfirullah.“Nih, bawa pulang dakimu, Mbak. Mayan bisa dibikin jadi dodol!” ujarku sambil menyerahkan tisu bekas lap kerokan.“Hehehe … bise aje, lu, Rin!”“Udeh, sono pulang!”“Entar nape, Rin. Gue masih pen curhat same elu.”“Curhat apa lagi?”“Gini, lho, Rin. Mas Wowo mau berenti kerja jadi sales rokok, Rin!”“Lah, kenapa? Korupsi?”“Et, dah! Sembarangan aje, lu!” Bugh! Mbak Kiki menampol lenganku dengan cukup keras. Gak nyadar amat ni orang, tangan udah kaya godam palugada gedenya.“Sakit, Mbak! Kira-kira, dong, kalo nampol!”“Hehehe … iye sory! Abisnye elu juga ngasal aje ngomongnye. Bukan karena korupsi kalee.”“Trus kenapa? Bukannya selama ini juga kerja di sana enak? Gajinya lumayan, bonusannya juga banyak!”“Kata
Sukiyem Beli AC“Pagi, Mbak Kik!” sapaku pagi itu, disaat Mbak Kiki lewat di depan rumah.“Mbak Kik, Mbak Kik! Yang bener, dong, elu kalau manggil nama gue!” ucapnya sewot.“Ya udah … pagi, Yem!”“Hish! Elu, ye, sengaja amat bikin gue kesel.”“Lah, emang namamu Sukiyem, kan?”“Nama gueh prinses Kiki Asmirandah! Ngerti, lo?”“Kikikikikk … princes konon. Mau kemane? Udah gak sakit gigi lagi?”“Masih, dikit. Gue lagi cari si Ilham. Elu ade nampak die kagak?”“Enggak. Paling juga cari kucing betina ke tetangga.”“Lah, si Ilham, kan, kucing betina!”“Hah? Gak salah? Kucing betina dikasih nama Ilham?”“Kagak! Nama penjangnye Siti Ilhamiah!”“Yak ampun! Islami banget nama kucingmu, Mbak!”“Iya, dong! Emang elu aje yang bisa kasih nama bagus buat kucing? Kalo kucing elu Zainudin, nama kucing gue Siti Ilhamiah.”“Ya elah, ngasih nama kucing aja pake saingan segala, Mbak! Kenapa gak dipanggil Siti aja? biar orang tau kalau itu kucing betina.”“Gue emang gitu orangnye, kaga suka disaingin. Elu g
Sukiyem Sakit GigiSetelah Mbak Kiki pergi, cepat-cepat aku mengganti pakaianku. Aku dan Davi bersiap untuk pergi belanja bulanan ke Supermarket. Setelah celingukan kanan kiri dan terlihat aman, aku pun langsung gas pol ke Supermarket, mumpung banyak diskonan juga.Sampai di Supermarket, kami langsung mengambil troli dan mengambil barang-barang sesuai daftar belanjaan. Gaya aja, sih, padahal yang mau dibeli gak banyak-banyak amat. Cuman pengen nyenengin Davi aja, naik ke troli dan didorong kesana-sini. Hihihi …Beres belanja, kami pun singgah sebentar di café dekat supermarket. Davi pengen makan steak katanya. Davi suka iri kalau lihat Udin makan wetfood, katanya mirip steak yang dipotong kecil-kecil. Ada-ada si Davi.Setelah puas belanja dan jalan-jalan, kami pun pulang. Lumayan repot juga bawa barang belanjaan, tapi akhirnya sampai juga di rumah.“Riniii … dari mane, lu? Shopping, ye? Kok gak ngajakin gue?” Begitulah teriakan Mbak Kiki saat aku lewat di depan rumahnya.“Iya, doong!
Bahasa MinangHari ini, aku lagi duduk santai di teras sambil nungguin Kang sayur lewat. Niat hati mau belanja bulanan ternyata kemarin hujan turun seharian jadi belum sempat pergi.Seperti biasa, kalau aku keluar rumah, pasti bau-baunya langsung sampai di hidung tetangga absurd. Kayak hafal banget sama aroma parfumku, dia langsung senyum-senyum berusaha nyelip hendak masuk lewat gerbang pagar yang terbuka sedikit.“Doroong! Kaga bakalan muat kamu nyelip lewat situ, Mbak!”“Hehehe … iye, ternyata kaga muat, Rin!” ujarnya sambil mendorong pintu pagar agar terbuka lebih lebar.“Ngapain? Mau konsultasi perbaikan keturunan lagi?” tanyaku iseng.“Diih, elu, Rin! Ya nungguin Kang sayur, lah!”“Ooh … kalau gitu aku gak belanja ah!” jawabku.“Kenape?”“Pen minta aja sama kamu, Mbak!”“Enak aje, lu! Beli sendiri, lah! Itu duit dari lakimu jangan disimpen-simpen mulu! Entar habis dimakan rayap.”“Kagak bakalan kuat si rayap ngabisin duit aku, Mbak!”“Kenape? Saking banyaknya duit elu, gitu? Swo
Beri-beri“Riniii ….”Duh, pagi-pagi udah terdengar auman harimau sumatera dari depan rumah. Mau ngapain lagi, tuh, emak-emak? Gak tau orang lagi sarapan apa, ya?“Solmet Mamah udah manggil-manggil, tuh!” canda Mas Hadi.“Diih … solmet? Mendingan ngurus panggilan alam dulu, deh, Mas! nih, perut Mamah udah manggil-manggil minta diisi.”“Bwahahaha … lagian masih pagi begini, mau ngapain dia manggil-manggil tetangga?”“Biasa, Mas! kalau sehari dia gak ngabsen di pager, mungkin dia langsung meriang!”“Hahahaha … Udin aja sono, suruh bukain gerbang!”“Udin masih molor.”“Ya udah, biarin aja dulu, palingan juga dia balik lagi kalau gak dibukain.”“Iya, Mas! Mas sarapan yang banyak, biar kuat menghadapi kenyataan hidup!”“Kenyataan apa?”“Kenyataan kalau ternyata Mamah ini istri yang baik hati, tidak sombong, pinter masak, dan juga rajin menabung. Hihihihi ….”“Hmm … ada maunya, nih!”“Hahaha … Papah tau aja! Minta duit!”“Entar Papah transfer.”“Asyiik, makasih, ya, Pah!”“Mau beli apa?”“B
Kejutan Ultah MAs Bowo“Riin ….”Baru satu jam yang lalu, Mbak Kiki berusaha mengerjaiku di depan orang-orang, sekarang malah udah teriak-teriak lagi di depan rumah. Haddeeeuuh! Males banget rasanya bukain pintu buat dia. Entah mau apa lagi dia.Tok tok tok …“Riiin ….”“Bentaaaaar ….”Akhirnya terpaksa aku sahuti juga, budeg kupingku lama-lama. Pintu depan rumah pun aku buka.“Apaan sih, Mbak? Gak bosen apa berurusan sama aku?”“Diih, kamu ini!”“Iya, jam segini udah gedor-gedor aja. Mau ngapain?”“Ya digedor, lah! Orang pintumu ketutup, kalo kebuka apanya yang mau gue gedor cobak?”“Angin!”“Bwahahaha ….”“Mau apa lagi?”“Hehehe … sabar nape lu, Rin!”“Iya aku masih banyak kerjaan!”“Entar aku bantuin, asalkan kamu bantuin aku dulu!”“Bantu apaan?”“Kan besok laki gue ultah, gue mau kasih supris!”“Surpraaaaaaiiisss! Supris, supris! Sok Inggit banget!”“Iye lah itu, ah! Ribet amat! Kalo menurutmu laki-laki itu sukanya dikasih kado apa ye, Rin?”“Ya elaaah. Kupikir tadi urusan yang p