Share

Covid melanda

Aku Lebih Cantik dari Gundik Suamiku

Part 19

PoV Frisca

Sial sial siaaalll! Mbak Widya itu benar-benar licik. Sengaja ia meminta cerai dari Mas Khalid dan memancing dengan cek senilai satu milyar. Nyatanya itu cuma akal-akalan dia saja untuk membuatku terusir dari rumahnya.

Bodohnya lagi, ternyata Mas Khalid malah memilih mempertahankan rumah tangganya bersama Mbak Widya. Bagai kerbau dicocok hidungnya. Mas Khalid malah mengucapkan kata cerai padaku. Awalnya kupikir aku tak akan rugi karena aku sudah mendapatkan uang satu milyar itu. Tapi ternyata dugaanku meleset jauh. Cek itu tak bisa dicairkan meski satu rupiah pun. Kali ini aku masuk dalam perangkap yang dibuat oleh Mbak Widya. Benar-benar licik!

Tapi tunggu dulu, bukan Frisca namanya kalau kehabisan cara untuk mencari keuntungan. Aku sudah pernah merasakan pahitnya hidup miskin akibat usaha Ayahku yang mengalami keterpurukan hingga bangkrut total. Aku tak mau itu terulang lagi. Terlebih lagi, belakangan aku mengetahui bahwa dahulu, orang tua Mbak Widya adalah saingan bisnis ayahku. Pasti mereka yang sudah membuat Ayah jatuh miskin sampai akhirnya sakit-sakitan dan meninggal.

Melihat foto keluarga di rumah Mbak Widya, membuat dendamku kian membara. Aku harus bisa membalaskan semuanya. Meski tak bisa pada kedua orang tua Mbak Widya, maka kepada keturunannya. Tuhan memang baik. Tak perlu susah payah aku menemukan keluarga itu. Akhirnya aku bisa masuk dengan mudahnya. Hahahaha ….

Sementara waktu, aku tinggal menumpang di rumah Jessica. Bukannya aku tak punya uang untuk menginap di hotel ataupun menyewa apartemen. Tapi kalau bisa menumpang gratis, ngapain harus keluar uang? Hahaha …

Untung saja Jessica itu teman yang lugu. Mudah saja dibuat merasa iba. Apalagi keadaanku masih belum sepenuhnya pulih dari luka pascaoperasi. Aku katakan pada Jessica bahwa bayiku direbut oleh Mas Khalid, dan aku dicampakkan seperti sampah. Hati siapa yang tidak iba saat mendengar cerita sedih yang sudah aku karang? Diam-diam pula aku akan menyusun rencana baru untuk bisa kembali menguasai apa yang menjadi milik Mbak Widya. Harus!

Hari ini aku berencana untuk mendatangi toko. Aku akan mengambil beberapa set perhiasan mahal. Pastinya para karyawan toko itu tak akan berani melawanku. Secara statusku masih sebagai atasan mereka. Rencanaku sepertinya akan berjalan lancar. Dua bos mereka tampaknya sedang tidak ada di tempat.

“Mariana, tolong ambilkan saya tiga set perhiasan model terbaru yang harganya paling tinggi!” perintahku pada kasir toko yang selama ini tak berani macam-macam padaku.

“Maaf, Mbak Frisca. Kalau boleh tau, untuk keperluan apa, ya?”

“Haduuh … kamu gak usah banyak tanya, deh! Biasanya juga kan aku yang jual perhiasan langsung ke rumah pelanggan. Kamu jangan sok amnesia, ya! Lekas siapkan! Saya buru-buru.”

“Maaf, Mbak. Aturan seperti itu sudah tidak dibenarkan lagi. Ibu Widya sudah mengatur ulang sistem penjualan toko. Hanya boleh jual langsung di toko dan di situs resmi toko saja.”

“Eh, sejak kapan kamu ngatur-ngatur saya? Kamu jangan sok tau, deh! Selama ini saya banyak membantu penjualan perhiasan toko ini dengan cara saya. Buruan ambilkan!” ucapku sambil menunjuk deretan oerhiasan yang dipajang.

“Maaf, Mbak. Gak bisa. Ini sudah ketetapan toko.”

“Kamu mau saya pecat? Berani kamu?” ujarku kesal. Kalau bukan karena dilihat oleh para pelanggan yang sedang berkunjung, sudah aku tampar habis-habisan muka si Mariana ini.

“Sekali lagi mohon pengertiannya, Mbak. Kami hanya menjalankan aturan yang udah ditetapkan Ibu Widya.”

“Eh, Mariana! Sekali lagi aku tegaskan, ya! Kamu tau, kan, aku ini siapa?” ujarku sambil melotot ke arahnya.

Mariana terlihat sama sekali tidak gentar dengan ancamanku. Tumben banget ni anak. Biasanya aku pelototin sedikit aja dia udah manut.

“Ivan, tolong kamu hubungi Ibu Widya atau Pak Khalid!” ujarnya pada karyawan toko yang lain.

“Eh, kamu mau ngancem saya? Kamu pikir saya takut sama kamu? Siap-siap aja kamu bakalan dipecat hari ini juga!” Aku tak peduli pada Mariana. Aku merangsek masuk ke balik deretan kaca stelling tempat semua perhiasan di toko ini dipajang. Aku bersiap mengambil beberapa perhiasan mahal di dalam lemari kaca. Aku tahu persis deretan lemari kaca yang isinya perhiasan paling mahal di toko ini.

“Security! Tolong tahan Mbak Frisca. Ini perintah Ibu Widya!” ujar Ivan. Tiba-tiba saja dua security berbadan tegap sudah memburuku dan menarik tanganku untuk keluar dari area itu.

“Kalian berdua juga mau saya pecat, hah?”

“Mbak Frisca. Sekarang anda bukan lagi bagian dari toko ini. Mohon untuk tidak membuat keributan yang bisa mengganggu kenyamanan pengunjung toko!” Mereka berdua menarik tanganku menuju ruangan dalam, ruangan yang dulu aku gunakan sebagai ruang kerjaku sendiri. Kulihat tatapan sinis dari Ibu-ibu sosialita yang sedang melihat-lihat perhiasan. Semoga mereka gak jadi beli!

Sampai di ruangan itu, ternyata semua barang-barangku sudah tak ada lagi di tempatnya. Hanya tersisa kursi dan meja. Kedua security itu melepaskanku dan mereka berjaga dengan siaga di ambang pintu. Sengaja supaya aku tak bisa kabur. Sial!

Tampaknya aku sengaja disandra sampai Mbak Widya dan Mas Khalid sampai. Sekelebat mataku menangkap bayangan nota pembelian milik toko. Seketika ada sebuah ide briliant yang melintas. Tanpa sepengetahuan kedua penjaga itu, aku mengambil nota bon itu dari dalam laci yang sedikit terbuka, lalu cepat-cepat memasukkannya ke dalam tas sandang yang aku bawa.

Saat Mbak Widya dan Mas Khalid sampai, aku malah disidang habis-habisan dan berakhir dengan pemecatan. Aku diusir secara tidak hormat oleh mereka berdua. Benar-benar menjengkelkan. Mas Khalid yang dulu berhasil aku taklukkan, sekarang mendadak lembek seperti kerupuk tersiram air. Tak ada sedikitpun pembelaan yang dia lontarkan. Aku tahu, pasti Mas Khalid takut menceraikan Mbak Widya karena takut hidup miskin. Kamu dan aku tak ada bedanya, Mas! laki-laki sialan, cuma numpang hidup! Cih!

Kali ini aku memang gagal mengambil perhiasan milik toko mereka. Ternyata saat aku lama tidak datang ke toko, semua sistem penjualan di toko sudah diubah kembali seperti semula oleh Mbak Widya. Sial! Semua karyawan pun tampaknya sudah tak takut lagi padaku. Padahal mereka tahu kalau aku ini istri Mas Khalid juga. Memang benar-benar cerdik kamu, Mbak! Tapi kamu jangan merasa senang dulu. Aku, Frisca, masih punya sejuta cara untuk menghancurkanmu!

Aku pulang ke rumah Jessica dalam keadaan marah. Jessica yang melihatku awut-awutan malah ikutan marah.

“Elu dari mana, Fris?”

“Dari toko Mas Khalid.”

“Elu ngapain kesana?”

“Gue mau ambil apa yang menjadi hak gue, lah! perhiasan di toko itu juga punya gue.”

“Elu bukannya mikirin anak sama kesehatan, malah mikirin harta. Aneh lu, Fris!”

“Gak usah bawel, deh! Gue udah gak mau anak itu. Anak cacat, cuma bakalan nyusahin doank!”

“Ya ampun, Fris! Elu tuh, ya, gak ada rasa keibuannya sedikitpun ternyata. Kemaren gue simpatik sama elu. Kasihan sama elu. Tapi elu malah kayak gini.”

“Ya dari pada ngambil anak itu, mending gue ngambil perhiasan, lah!”

“Bener-bener elu, Fris! Gue nampung elu di sini supaya idup lu tenang, dapat solusi dan jalan keluar supaya bisa bersama anak lu lagi. Eh, ternyata elu gak seperti yang gue kira.”

“Kenapa jadi elu yang berisik, sih, Jess? Ini idup gue! Elu gak usah ikut ngatur-ngatur, deh!” ujarku sambil menyalakan rokok.

“Fris! Kita emang pernah temenan deket, sama-sama idup dari dunia malam. Harusnya elu bersyukur udah diambil istri sama konglomerat. Elu baik-baikin dia biar idup lu terjamin. Ini elu malah bikin masalah terus. Gue juga gak nyangka elu keseret kasus pembunuhan itu.”

“Hahaha … elu terlambat, Jess! Gue emang aslinya ya begini. Kenapa, lu? Gak suka? Gak bisa terima? Hahahaha … gue bisa lepas dari jeratan hukum karena yang mati itu bukan si Teddy!”

“Maksud elu apa, Fris?”

“Yang mati itu korban salah tembak! Hahaha ….”

“Jadi, target sebenarnya itu si Teddy?” Jessica melotot tak percaya.

“Iya! Hahahaha ….”

“Ya ampun, Fris! Kok bisa elu sekejam itu?”

“Asal elu tau aja, Jess! Si Teddy udah ngancurin gue dari dulu. Gue dipake, diporotin, disiksa! Emang elu tau gimana penderitaan gue akibat perbuatan si Teddy? Gara-gara dia juga, gue mau diperas gara-gara anak yang gue kandung itu bukan anaknya Mas Khalid.”

“Ya ampun, Fris! Tapi gak mesti elu bunuh juga, kan?”

“Paling tidak sekarang dia ketakutan dan gak berani ganggu gue.”

“Yakin, lu?” tanya jessica. Aku tertawa lalu menghisap dan menghembuskan asap rokok itu ke wajah Jessica. Dia langsung mengelak dan aku kembali tertawa terbahak-bahak.

“Psycho, lu, Fris!”

“Hahaha ….” Aku tertawa puas. Tapi tiba-tiba ponselku berdering nyaring. Nomor baru yang terpampang di layar. Aku berharap itu adalah Mas Khalid. Aku yakin!

“Halo.”

“Halo, Fris! Elu masih ingat suara gue? Gimana? Elu sekarang udah menghirup udara bebas, kan? Hahahaha ….”

Sontak saja aku langsung melemparkan ponselku ke depan, tepat menghantam TV layar lebar milik Jessica.

Prakk! Hancurlah kedua benda itu secara bersamaan. Kurang ajar, ternyata Teddy tahu kalau aku berencana menghabisi nyawanya.

“Fris! Apa-apaan, sih, lu? Seenaknya ngancurun barang punya gue! TV itu harganya mahal, Fris! Kenapa elu ancurin?” Jessica menghampiri TV miliknya yang di layarnya sudah terdapat retakan kaca yang cukup lebar.

“Sory, Jess! Gue refleks!”

“Ya gak mesti dilempar ke arah TV juga kali! Sialan, loe! Udah dikasi tumpangan tempat tinggal malah ngelunjak! Dasar per*k loe, Fris!”

“Eh, anj***! Elu sendiri apa kalau bukan per** pec*n pinggir jalan? Mentang-mentang sekarang jadi simpanan bos kaya, sombong, lu! Kan gue udah bilang sorry, gue gak sengaja!”

“Mending elu pergi sekarang juga angkat kaki dari rumah gue! Nyampah banget, loe! Setan!”

“Ooh … elu ngusir gue?”

“Iya! Gue gak sudi lagi temenan sama elu! Perempuan berhati busuk!”

“Ngaca, deh, lu! Emangnya apa bedanya elu sama gue!” Aku beranjak menantang tepat di depan wajah Jessica yang memerah menahan marah. Kudorong bahunya sampai dia tersungkur di lantai.

“Pergi sekarang juga dari rumah gue! Najis gue punya temen kayak elo! Ditolong malah gak tau diri! Percuma minta ganti juga, elu gak bakalan punya duit!”

“Oke! Elu inget, ya, Jess! Elu udah ngusir gue, elu bakalan dapat balesannya entar!” Aku bergegas mengambil barang-barangku dan pergi dari rumah Jessica. Dasar pec*n sok naik kelas!

Di jalanan, aku ketemu temen lama yang dulu sama-sama kerja di club malam. Namanya Melisa. Kebetulan benget, aku diajak mampir di kontrakannya.

Sampai di perumahan kumuh, aku dipersilahkan masuk. Ya ampun, rumahnya nggak banget. Jorok dan bau.

“Maklum, ye, Fris! Gue lagi sepi job.”

“Elu mau gue kasih tugas? Kalau berhasil kita bagi dua.”

“Apaan, Fris?”

Aku menjelaskan rencanaku pada Melisa. Dia mengerti dan setuju. Sudah pasti itu hanya tugas yang mudah. Keesokan harinya, Melisa langsung melaksanakan aksi yang aku siapkan. Meminta ganti rugi atas perhiasan KW yang dijual oleh toko Mas Khalid. Aku punya nota pembelian yang asli. Mereka tak akan bisa menghindar kali ini.

Cukup lama aku menunggu Melisa di seberang toko. Aku terpaksa menyamar supaya tak diketahui orang. Aku yakin Melisa akan berhasil. Dia kubekali member card asli dari toko, dan juga nota pembelian. Aku buat seolah toko sudah melakukan penipuan terhadap pelanggan. Aku sengaja menuliskan nominal yang lumayan di nota asli tapi palsu itu.

Setelah cukup lama, akhirnya Melisa keluar dari dalam toko. Mukanya merah padam dan ditekuk. Sialan! Pasti dia gagal!

“Gimana?” tanyaku tak sabar.

“Gagal! Pemilik toko malah nyuruh gue lapor polisi!”

“Apa? sialan! Gobl**!”

“Kok elu marah sama gue?”

“Ya ampun, tugas gampang begitu aja elu gak bisa!”

“Eh, Fris! Gue mana tau kalau ternyata yang punya toko ada di sana. Gue kira mereka bisa dibodohi, tapi ternyata mereka orang pintar dan cerdas!”

“Huh! Dasar aja elu yang gak becus! Gobl**!”

“Kok elu jadi maki-maki gue? Sialan, lu, Fris! Nyesel gue nolong elu!”

“Bodo amat! Gue juga gak sudi numpang di rumah elu! Jorok! Gak level banget sama gue!”

“Oke! Sekarang juga elu ambil barang-barang elu! Pergi lu dari rumah gue! Dasar gak tau terima kasih!”

“Siapa juga yang mau lama-lama tinggal di rumah jorok! Awas aja lu, kalau entar gue balik ke rumah gue yang mewah itu, sory banget gue kenal lagi sama elu!”

“Sombong, lu, Fris! Pergi, lu! Ambil semua barang-barang elu! jadi pelakor aja bangga!”

“Bodo amat!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
AriaNz Arfa
dih gaje ini cerita larinya kmn tau
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status