Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, bunda akhirnya diperbolehkan pulang. Padahal, sebaiknya bunda dioperasi terlebih dahulu karena tulang hidungnya bengkok dan nantinya akan menyebabkan gangguan lain. Namun, bunda tidak mau karena takut terlalu lama dan ayah akan semakin menjadi-jadi.
Sesampainya di rumah, kami ditemani oleh nenek beberapa hari karena nenek masih khawatir dengan kondisi bunda. Ayah yang sudah menunggu di teras dan seperti bersiap untuk menghajar bunda mengurungkan niatnya dan pergi keluar setelah melihat nenek ikut pulang ke rumah.
Lalu kami beraktivitas seperti biasanya. Perbedaannya hanya pada ayah yang tidak marah-marah seperti biasanya dan cenderung diam. Di rumah hanya makan dan tidur tidak seperti biasanya yang ditambah dengan adegan kekerasan. Setidaknya selama seminggu kami sangat tenang dan bahagia.
Kemudian nenek harus kembali ke rumahnya karena tidak mungkin bibi hanya sendiri di rumah. Namun, sebelum nenek kembali, nenek mengirimkan bantuan kepada bunda untuk membersihkan rumah. Sebelum pulang, nenek sempat berbicara pada ayah.
“Dik, ini Mbak Jar buat bantu Titin bersihin rumah. Biar Titin bisa fokus ngurus anak-anaknya. Jangan terlalu keras, aku membesarkannya dengan sayang yang penuh. Tidak dengan kekerasan sedikitpun.” Ayah hanya terdiam dan menunduk seperti menyesali perbuatannya.
Namun kelakuannya barusan hanyalah sebuah akting belaka. Tak lama ayah langsung menyeretku dan bunda ke kamar utama. Mbak Jar yang terkejut langsung menyuruh adik masuk ke kamar bersamanya. Mungkin Mbak Jar belum berani bertindak apapun saat itu. oleh karena itu, ia memilih diam.
Ayah langsung menendang kepala bunda,
“Gausah sok lemah jadi orang. Siapa yang ngajarin sakit langsung ke rumah sakit hah? Boros tau gak.” Katanya sambil menendang kepala bunda yang duduk di bawahnya
“Kamu juga. Siapa suruh gitu langsung nelfon orang lain hah? Siapa yang ngajarin?” Katanya sambil menendang kepalaku juga.
Bunda yang masih lemas hanya diam saja. Oleh karena itu, aku berusaha melindungi bunda dengan menjawab semua pembicaraan biar aku saja yang dihajar. Bunda masih dari tahap pemulihan dan tidak boleh terkena benturan apapun oleh dokter.
Kemudian ayah menyuruh bunda keluar dan hanya ingin bersamaku, katanya. Bunda yang tidak mau meninggakanku masih memohon-mohon di depan pintu kamar. Suara tangisan bunda tidak dapat menggoyahkan tekad ayah untuk menghajarku lagi.
“Siapa yang ngajarin kamu jadi anak kurang ajar kaya gini? Hah?” Ayah langsung menjambakku dan melemparkanku ke dinding. Rasanya sakit sekali kala itu, punggung dan kepalaku sangat sakit hingga aku tidak bisa mendengarkan ucapan ayah lagi.
“Kakak, kakak, kenapa?” Bunda yang menyadari suaraku tidak ada lagi. Namun, ayah masih terus saja menghajarku karena menurutnya aku menjadi durhaka. Setelah puas melihatku bercucuran darah di hidung dan di dahi, ayah langsung membuka pintu dan pergi entah kemana. Aku yang saat itu setengah sadar sedang berada di pangkuan bunda. Bunda menangis, begitu pula Mbak Jar dan adik-adik.
Bunda ingin menitipkanku kepada Mbak Jar dan seprtinya akan mengambil kunci mobil segera kucegah. Aku tidak mau ayah melakukan hal ini lagi. Ini sangat menyakitkan bagiku maupun untuk bunda. Aku hanya berkata bahwa aku akan istirahat di kamar.
Bunda dan Mbak Jar membantuku berjalan menuju kamarku. Di kamar bunda merawatku dengan baik. Adik dibiarkan mama menotn televisi, sedangkan Mbak Jar bebersih rumah.
“Maaf ya kak, maafin bunda.” Aku yang saat itu masih sangat lemah tidak mampu menjawab pertanyaannya. Aku hanya diam dan membelai rambutnya dan tersenyum untuk menandakan aku baik-baik saja.
Untungnya, ketika itu adalah hari Sabtu sehingga aku masih bisa beristirahat hingga esok hari. Ayah yang pulang dan tidak kujung kembali membuat adik, bunda dan Mbak Jar bisa beraktivitas dengan tenang.
Sekitar pukul sebelas malam, ayah pulang dan memanggil bunda. Aku yang masih khawatir bunda akan dihajar lagi mengikuti bunda diam-diam. Namun, sama seperti biasanya, ayah tidak merasa salah dan bertingkah sebelumnya tidak terjadi apapun.
Hari-hari kemudian kami menjalankan aktivitas seperti biasa. Sekolah, les, makan, dan tidur. Jangan salah sangka, ayah masih tetap marah setiap harinya dengan kekerasan fisik dan verbal yang dilakukan. Namun, karena kami sudah terbiasa, kami tidak menganggap serius karena hal itu belum berlebihan seperti saat bunda setelah dirawat di rumah sakit dan sepulangnya dari rumah nenek.
Tidak tahu mengapa, sepulangnya dari kerja ayah langsung membanting pintu dan memecahkan gelas minumnya. Pyaaaar. Pyaaarr. Ayah membating beberapa barang dan tiba-tiba menampar bunda. Kami yang berada di rumah saat itu bingung mengapa ayah langsung marah begitu saja.
Setelah ayah agak tenang sedikit, bunda menghampiri ayah yang sedang duduk di ruang tamu dan memukul bunda begitu saja. Ayah berbicara melantur, sepertinya ia sedang mabuk. Kemudian ayah menjelaskan karena ia akan segera dipindahtugaskan ke bagian kota yang lain. Menurut cerita yang ia bicarakan dengan sangat keras, sebenarnya masih berada pada bidang yang sama hanya beda wilayah saja.
Ayah yang selalu merasa gengsi dengan temannya menganggap perpindahan tugas itu adalah hal yang buruk, sehingga.. ya begitulah. Bunda yang menjadi pendengar baik hanya diam saja dan sesekali mengatakan bahwa itu adalah hal yang wajar. Namun, ayah tidak suka mendengarkan bunda berbicara, sehingga bunda menerima tamparan berulang kali.
Saat itu, aku sedang berada di bangku kelas tiga sekolah menengah pertama, sehingga aku harus menyiapkan ujian dengan baik. Namun, saat itu aku masih merasa sangat kacau karena kepergian kakek dan kondisi bunda yang tiba-tiba drop.
Aku saat itu mendapatkan dukungan penuh dari bunda, bibi dan nenek untuk belajar seminggu sekali di rumah nenek dengan tenang. Akupun mengiyakan hal tersebut. Berbeda dengan ayah yang tidak mau tau dengan proses yang aku lakukan. Ayah hanya menuntut hasil yang baik saja, tidak dengan fasilitas yang diberikan.
Dua bulan setelah itu, aku mengikuti ujian nasional. Aku saat itu hanya mempersiapkan ujian tersebut sangat singkat karena kondisi mentalku yang belum segitu baik. Namun, bunda selalu mengatakan bahwa aku bisa melakukan ini dengan baik. Bunda tidak menuntut kesemmpurnaan, hanya aku harus lulus dengan nilai di atas rata-rata agar aku masih bisa masuk di SMA favorit. Aku pun mengiyakan perkataannya dan mensugesti diriku bahwa aku bisa melewati ini semua dengan baik.
Hari pertama adalah Bahasa Indonesia. Aku masih bisa mengerjakan dengan baik dan masih yakin bahwa mayoritas benar. Namun, ketika di akhir waktu pengerjaan tiba-tiba pikiran ayah akan memarahiku jika nilai yang kudapatkan jelek terbayang-bayang di otakku. Aku seperti melihat ayah disekitarku. Aku langsung menutup mata dan telingaku dan yakin bahwa aku bisa mengerjakan ini dengan baik hingga hari akhir dan hasil yang akan kudapatkan nantinya akan sangat memuaskan.
Hari kedua, ketiga dan keempat berjalan sangat baik. Perbedaannya hanya pada kecepatan aku mengerjakan. Saat mengerjakan ipa dan bahasa Inggris aku merasakan soal yang keluar sangat berbeda dengan kisi-kisi yang diberikan kala itu.
Selesai ujian aku langsung menghampiri bunda yang menungguku di depan gerbang sekolah bersama adik-adik. Lalu kami pergi ke Mall untuk sekedar refreshing karena aku telah selesai menempuh ujian nasional.
Tanpa sepengetahuanku, ternyata Fian masih saja kembali ke sekolah melalui pintu belakang yang sudah tidak dijaga oleh satpam. Aku yang sudah merasa tenang karena ia tidak ada di sekolah, tidak membuka ponsel sama sekali. Untungnya, waktu itu aku membuka ponsel karena akan mengabari bunda bahwa hari ini aku pulang agak terlambat karena Mas Raja masih ada urusan di sekolah."Lana ngapain telfon?" tanyaku dalam hati."Halo? Lan?" tanyaku ketika Lana sudah mengangkat telfonnya."ARA! FIAN BALIK KE SEKOLAH!" ucapnya sambil teriak.Seketika itu aku langsung berlari menuju ruang guru dimana Mas Raja ternyata sudah tidak ada disana. Aku langsung berlari dan menghampiri satpam untuk membantuku mencari dimana Fian dan Mas Raja.Tiba-tiba Lana menghubungiku,"Lan? Fian sama Mas Raja gatau dimana" ucapku."Aku otw sana. Di jalan kecil belakang ruang komputer," ujarnya. Lalu aku segera berlari kesana, setelah memastikan disana ada mereka, aku pun
Keesokan harinya, aku sudah berencana bertemu dengan seseorang yang dapat menjadi kunci penyelesaian masalahku dengan Fian.“Minta tolong ya, mas,” ucapku kepadanya.“Iya. Arabella, semangat ya!” ujar lelaki tersebut.Setelah itu aku baru masuk ke kelas. Kalia seperti terkejut melihatku datang lebih siang daripada biasanya.“Mas Raja jemputnya telat, Ra?” tanyanya.“Engga kok,” jawabku sambil tersenyum.“Terus kenapa? Ada masalah kah?” tanya Kalia.“Hmmm.. gini” jawabku kemudian menjelaskan apa yang akan terjadi.“Lah. Kamu mau gimana?” tanya Kalia.Pertama, menurut Lana aku harus bertemu dengan beberapa orang yang akan dihasut Fian untuk bergabung bersamanya. Aku sudah bertemu satu diantara enam yang akan diajak Fian. Orang tersebut adalah Mas Fajar, ia tidak diterima bukan karena Mas Raja yang terlalu bagus, justru menurutnya Raja adala
Aku yang mengetahui sumber suara tersebut langsung menghampiri dan menyeretnya keluar dari tribun.Sesampainya di luar, ia tidak terima karena aku menyeretnya keluar.“Apa maksudmu ngomong kaya gitu, hah?” tanyaku.“Gaterima?” tanyanya.“Ya engga lah! Berani-berani ngehujat, emang kamu bisa kaya dia?” tanyaku.Kemudian ia terdiam dan aku langsung bergegas kembali ke dalam barisan tribun bersama teman-temanku. Untungnya saat aku kembali, lagu untuk merayakan kemenangan itu baru saja diputar.Teman-temanku langsung bertanya kepadaku kemana Fian setelah kuseret keluar. Aku pun hanya mengatakan tidak tahu karena aku hanya menegurnya lalu aku kembali takut ketika Mas Raja mencariku ternyata aku tidak ada disana.Setelah pertandingan tersebut selesai, kami memutuskan untuk membeli makan di salah satu restoran cepat saji, tetapi ternyata disana sangat ramai sehingga kami memutuskan untuk makan di salah sat
Aku yang terkejut langsung menarik Mas Raja kembali masuk ke dalam bioskop.“Mana sih, Ra?” tanya Mas Raja.“Itu loh!” jawabku dengan suara yang bergetar.“Ara, bukan,” ucapnya sambil mengelus kepalaku.“Bukan ayahmu itu. Cuma mirip aja,” imbuhnya.Aku pun menghela nafas panjang dan kami pun berjalan keluar dari bioskop. Ketika akan pulang, aku dan Mas Raja mampir ke salah satu restoran yang menjual makanan korea. Untungnya, Mas Raja bukan tipe pemilih dan dia mau-mau saja kuajak makan disana. Kamipun segera memesan makanan.Setelah selesai makan, aku dan Mas Raja pun segera kembali karena sore ini Mas Raja ada tambahan pelajaran. Di perjalanan, Mas Raja bertanya kepadaku tentang latihannya kemarin.“Latihanku gimana, Ra?” tanyanya.“Udah bagus. Tim nya juga udah mendingan daripada latihan sebelumnya. Gatau lagi, sih,” ucapku.“Iya emang aku ju
Ketika pelajaran di sekolah hari ini usai, Mei langsung menghampiriku dan mengajakku untuk segera pergi ke GOR. Namun, Mei mengajakku keluar untuk membeli makanan terlebih dahulu karena ia sudah bosan membeli makanan di kantin.“Nah kita beli ini pake apa?” tanyaku.“Pake mobil Kafi,” katanya sambil menunjukkan kunci mobil.“Eh, aku belum kabarin Mas Raja. Takutnya nanti dicari sama Mas Raja,” ucapku.“Aku udah kabarin Kafi. Santai,” ucapnya sambil mengajakku masuk ke dalam mobil Mas Kafi.Setelah itu aku dan Mei pun keluar dari sekolah dan membeli makanan khas Jepang yang tidak jauh dari sekolah. Mei pun memesan banyak makanan yang katanya nanti dibagikan kepada tim basket saat istirahat.“Saya mau yang paket A dua ya mas,” ucapku kepada kasir tersebut.“Loh Ra gausa,” ucap Mei.“Aku uda pesen buat semua kok, kamu juga udah,” ujarnya.&l
Tidak lama kemudian, guru pengajar mata pelajaran selanjutnya datang.Sial. Aku tidak bisa menghampiri Mas Raja.Ting! Mas Kafi mengabariku bahwa guru kesiswaan sudah pergi dari sana.“Kal, aku ke UKS ya. Mau ke Mas Raja,” ucapku kepada Kalia dengan pelan.“Iya. Ati-ati,” ujarnya.“Kalo ada apa-apa kabarin ya, Kal. Makasih,” ucapku.Setelah itu aku izin ke guru pengajar untuk ke kamar mandi, tetapi aku berlari turun dan segera bergegas ke UKS untuk menghampiri Mas Raja.Sesampainya disana ada empat pasang sepatu. Ternyata di dalamnya ada Mas Kafi, Mas Raja dan Fian. Satu diantaranya adalah sepatu perempuan. Benar saja, disana ada Nana yang menemani Fian. Ketika aku melihat Mas Raja tergeletak dan ada beberapa luka di wajahnya sangat membuatku terkejut dan aku langsung menghampirinya.“Mas....” ucapku lirih dan tidak sadar aku menitikkan air mata.“Lo
Aku yang baru saja membuka ponsel setelah bersenang-senang dengan Raja langsung down ketika membaca pesan dari Mei.“Ra, Fian berulah lagi,” ujar Mei dengan mengirimkan screenshot sebuah video ayah yang hampir saja menamparku karena Mas Raja sudah menahan tangan ayah. Keterangan video yang sudah dipublikasikan oleh Fian adalah “Waw, kapten basket sekarang jadi jagoan juga ya? Eh tunggu dulu, itu pacarnya kan ya? Kok bisa sih sama cewek yang ayahnya kaya preman?”Aku yang tidak bisa berkata apapun hanya bisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Mei.“Ra? Kenapa?” tanya Mas Raja ketika melihat wajahku yang terkejut.Aku masih belum bisa menjawab pertanyaannya hingga ia mengambil paksa ponsel yang sedang kugenggam.“ANJING YA ORANG INI!” ucapnya sambil emosi.“Ara, tenangin dirimu ya. Abis sholat isya langsung tidur ya,” ucapnya sambil memelukku.Pelukan yang dib
Mas Raja merasakan bahwa aku sedang memikirkan sesuatu sehingga bertanya kepadaku.“Kenapa, Ra?” tanyanya sambil menengok kepadaku.“Gapapa, mas,” jawabku.“Kalo gapapa juga ga diem aja kali. Biasanya langsung tanya ke aku boleh apa ngga nyalain radio. Sekarang kok engga?” tanyanya penasaran.“Iya kenapa-kenapa tapi nanti aja kasih taunya. Kalo timingnya udah pas,” jawabku.“Boleh nyalain radio, ngga mas?” imbuhku.Setelah itu, radio pun sudah dinyalakan Mas Raja dan kami langsung bernyanyi bersama karena lagu yang dipopulerkan Jaz ini sangat menggambarkan kami berdua.“Kalo ada apa-apa langsung kabarin ya, Ra,” ucap Mas Raja.“Jangan ditahan-tahan. Aku pasti pasti pasti bakal mendengarkan dan sebisa mungkin bantu kamu. Okay?” imbuhnya.Aku pun mengangguk sambil tersenyum.Setelah itu Mas Raja bercerita bahwa ia tadi menungguku di
Di perjalanan, aku dan Mas Raja seperti biasanya. Mendengarkan radio dan bernyanyi bersama.“Mau beli cemilan dulu gak?” tanyanya.“Mauuu!” jawabku dengan semangat.Setelah itu, mobil pun berjalan dengan sangat kencang. Mas Raja dan aku pergi ke salah satu supermarket.Sesampainya disana, Mas Raja mengambil troli belanjaan.“Lah ngapain ambil ini mas?” tanyaku.“Ya kan biar gausa bawa-bawa, Ara,” jawabnya sambil menyandarkan tangannya di troli dan menengok ke arahku dengan senyumannya yang menawan.“Kaya mau belanja banyak aja,” ucapku.Aku dan Mas Raja menyusuri satu persatu lorong untuk mencari letak makanan ringan.“Ra, ini Ra,” ujarnya sambil menunjukkan sabun mandi.“Mas?” tanyaku dengan heran.“Beli aja, warna pink lo! Wanginya juga kaya wangimu,” ucapnya sambil mencium aroma dari sabun tersebut. Aku hanya