Kematian kakek meninggalkan luka yang mendalam untukku. Kakek yang selalu membela dan berusaha sekuat mungkin untuk melindungiku dan bunda, pergi meninggalkanku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku selanjutnya. Apakah aku masih bisa bertahan dengan papa atau tidak.
Ketika kakek akan dimakamkan, kami semua sangat kerepotan untuk mengurus ini itu. Namun, berbeda dengan ayah yang malah leha-leha sambil merokok dan melihat tamu berlalu lalang. Buyut yang jauh datang dari pulai lain juga tidak dihiraukan oleh ayah.
Seminggu setelah kepergian kakek, ayah sudah membuat ulah. Rumah yang saat ini ditempati oleh keluarga kami diam-diam akan dibalik nama oleh ayah. Untung saja pejabat yang mengurus tanah tersebut memihak pada keluarga kami. Pejabat tersebut langsung menghubungi bunda.
“Halo mbak, permisi maaf ganggu waktunya. Sebelumnya saya turut berduka cita atas kepergian bapak sampeyan nggih, mbak.”
“Oh, iya pak. Terimakasih, ada apa ya pak? Kok tumben pagi-pagi sekali.”
“Sebelumnya mohon maaf, apa mbaknya sama mas Dika lagi ada masalah?”
“Ha, ngga kok pak. Ada apa memang?”
“Ini, mas Dika tiba-tiba mau balik nama rumah yang di Jalan Semarang, mbak. Belum saya acc kok tapi. Gimana mbak?”
Bunda yang terkejut dengan omongan pak Tari itu mencoba tenang dan meminta tolong jangan dikabulkan dahulu.
“Alasannya apa ya mbak? Soalnya ini surat-suratnya sudah lengkap. Entah darimana surat nya didapat.
“Hah? Bilang aja perlu orang terdekatnya atau apapun lah pak. Tolong banget ya, ini masi masa berkabung. Belum berani bilang ke ibu juga.”
“Nggih, mbak. Kalau begitu saya tutup teleponnya.”
“Iya pak, terima kasih nggih.”
Bisa-bisanya orang itu punya surat lengkap. Bunda langsung bergegas menuju lemari yang biasa digunakan nenek menyimpan dokumen-dokumen penting, dan benar saja.. surat-surat tersebut tidak ada. Bibi yang mengetahui hal tersebut langsung menghampiri bunda dan bertanya apa yang sedang terjadi.
“Ngapain bun?”
“Ayahe Rara mau balik nama rumah yang di Jalan Semarang. Surat-suratnya tuh dah lengkap. Beneran disini gaada surat-suratnya.”
“Hah? Gila. Tau darimana?”
“Tadi Pak Tari telfon, terus jelasin semua. Tadinya cuma mikir kalau mau balik nama aja, terus kukira bakal nyogok. Tapi kata Pak Tari, suratnya udah lengkap.
“Buruan kesana, gausa bilang ibu. Kesana sama Wahyu aja, biar ga sendirian. Takutnya kalau sendirian terus itu jebakan kan kamu masih ada yang jaga.”Bunda pun mengiyakan omongan bibi dan langsung bergegas bersama Wahyu, sepupu bunda dan bibi.
Di tempat lain, Pak Tani terlihat sangat ketakutan dengan tatapan ayah.
“Bakal mrene gak wong iku?” Tanya ayah sambil menggertak Pak Tari.
“Ku.. kurang tau pak, Mbak Tina Cuma jawab oh gitu ya pak, oke. Gitu aja pak. Gaada bilang mau kesini atau gimana.” Jawab Pak Tari sambil menunduk.
Lalu ayah mengambil motor dan pergi entah kemana. Tak lama, bunda sampai disana dan langsung menuju Pak Tari untuk mengambil surat-suratnya.
“Ya Allah, mbakk... Hampir aja sampeyan ketemu Mas Dika.” Kata Pak Tari sambil terduduk lemas.
“Suratnya mana pak?”
“Ngga ada mbak, ngga dikasih kesini. Tadi saya telepon disuruh Mas Dika soalnya. Terus sekarang Mas Dika gatau kemana.”
“Berarti ini suratnya gaada di bapak ya? Makasih ya pak.”
“Nggih, mbak. Sama-sama.”
Sepupu bunda tidak paham dengan apa yang terjadi segera diberitahu oleh bunda, bunda langsung menjelaskannya. Namun, tidak perlu disampaikan kepada paman bunda atau ayah dari Wahyu.
Sepulang dari sana, bunda langsung menceritakan kepada bibi. Bibi menjadi semakin geram dengan ayah. Namun bunda berusaha menahan bibi untuk tidak menceritakan kepada nenek dulu karena kondisi nenek yang masih belum stabil dan bunda berusaha untuk menyelesaikan bersama ayah.
Setelah seminnggu tinggal dengan nenek, kami pun kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, rumah sangat berantakan dan ayah yang sudah menunggu di depan pintu kamar seperti sudah siap menghajar kami.
“Masuk kamar dulu ya, rapihin kamarnya.” Bunda langsung menutup pintu dan tersenyum. Ya, aku tau selanjutnya.
Plak. Terdengar suara pukulan berulang kali yang dilakukan ayah kepada bunda. Aku yang ingin segera keluar dari kamar ditahan oleh adik.
“Kakak disini aja, temenin Bita sama Lita. Boleh ya?”
“Iya, temenin Bita ya kak ya..”
Aku yang tidak tega, tetap menemani mereka dengan pikiran yang kemana-mana.
Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukan ayah kepada bunda. Awalnya bunda masih teriak-teriak kemudian menjadi diam. Lalu aku memberanikan diri keluar dan memohon kepada adik untuk tetap di kamar saja.
“Bunda! Bunda, bangun bunda!” ketika aku keluar, bunda tergeletak di lantai dengan hidungnya keluar darah dan ayah sudah tidak ada di rumah. Seketika aku langsung berteriak kepada adik untuk mengambilkan handphoneku.
“Bibi, bibi cepat ke rumah. Bunda ga sadar. Cepet bi cepetttt.”
Sambil menunggu bibi, aku merapikan rambut dan membersihkan darah yang keluar dari hidung bunda. Tak lama, bibi datang bersama adek dari kakek dan langsung dibawa ke rumah sakit dekat rumah.
Bibi dan adik dari kakek tidak menanyakan apapun hingga bunda mendapatkan pertolongan. Setelah itu bibi menanyakan dan aku menjelaskan semuanya. Adik dari kakek aku memanggilnya “angku”
“Rara, sabar dulu ya. Yang kuat. Jaga bunda.” Kata Angku sambil memelukku. Kemudian aku memeluk angku dan menumpahkan tangisanku dipelukannya.
Tak lama, ayah datang dan langsung meminta mama untuk bangun dari ranjangnya.
“Tangi, gausa sok lemah. Koyo tak apakno ae.”
“Gausa aneh-aneh, saiki Titin, Eni tanggung jawabku. Babahno istirahat nak kene sek. Lek awakmu gagelem ngeramut tinggalen. Tak jogone.” (Biarin istirahat disini dulu. Kalau kamu gamau ngerawat, tinggal aja. Aku yang jaga)
Ayah terlihat kesal dan langsung melihat arahku dengan tatapan seperti akan memakanku detik itu. ternyata ayah menghampiriku dan menyeretku keluar.
Plak. Ayah menamparku di tempat yang sepi sehingga tidak ada satupun orang yang mengerti.
“Kon ngerti lapo bundamu mau gak sadar? Soale dee goblok! Seminggu ga moleh maksude opo ha? Omah gaonok seng ngeresiki. Nangis ae kerjoane.” Katanya sambil menunjuk mataku.
“Mama jagain nenek, yah. Mama ga tiap hari nangis kok.”
Plak.
“Udah berani jawab sekarang? Sok jagoan sekarang?” Sambil menjewer telingaku.
Tidak lama terdengar suara bibi dari jauh sehingga membuat ayah langsung pergi meninggalkanku. Kemudian aku terjatuh karena merasa sangat lemas.
“Kak, ayo duduk disana dulu. Tenangin diri dulu.” Kata bibi seperti mengerti apa yang sedang terjadi.
“Bibi denger semua yang diucapin ayahmu tadi, suara ayah mu terdengar hingga kamar mandi. Sabar ya kak, semangat. Maaf bibi telat datengnya.”
Kemudian aku dan bibi kembali ke ranjang bunda. Tak lama, dokter datang.
“Keluarga yang satu rumah dengan ibu ini, siapa ya?”
“Saya dok.” Kemudian aku menghampiri dokter tersebut.
“Apa ibu ini sering mendapatkan kekerasan dari suaminya?”
Aku pun mengiyakan dan ternyata bunda mengalami pendarahan yang cukup parah di wajahnya. Penyebab bunda pingsan adalah syok sementara yang nantinya akan sembuh. Namun, saran dokter sebaiknya bunda tidak bertemu dengan ayah beberapa hari karena takutnya ayah akan menghajar bunda lagi.
Tanpa sepengetahuanku, ternyata Fian masih saja kembali ke sekolah melalui pintu belakang yang sudah tidak dijaga oleh satpam. Aku yang sudah merasa tenang karena ia tidak ada di sekolah, tidak membuka ponsel sama sekali. Untungnya, waktu itu aku membuka ponsel karena akan mengabari bunda bahwa hari ini aku pulang agak terlambat karena Mas Raja masih ada urusan di sekolah."Lana ngapain telfon?" tanyaku dalam hati."Halo? Lan?" tanyaku ketika Lana sudah mengangkat telfonnya."ARA! FIAN BALIK KE SEKOLAH!" ucapnya sambil teriak.Seketika itu aku langsung berlari menuju ruang guru dimana Mas Raja ternyata sudah tidak ada disana. Aku langsung berlari dan menghampiri satpam untuk membantuku mencari dimana Fian dan Mas Raja.Tiba-tiba Lana menghubungiku,"Lan? Fian sama Mas Raja gatau dimana" ucapku."Aku otw sana. Di jalan kecil belakang ruang komputer," ujarnya. Lalu aku segera berlari kesana, setelah memastikan disana ada mereka, aku pun
Keesokan harinya, aku sudah berencana bertemu dengan seseorang yang dapat menjadi kunci penyelesaian masalahku dengan Fian.“Minta tolong ya, mas,” ucapku kepadanya.“Iya. Arabella, semangat ya!” ujar lelaki tersebut.Setelah itu aku baru masuk ke kelas. Kalia seperti terkejut melihatku datang lebih siang daripada biasanya.“Mas Raja jemputnya telat, Ra?” tanyanya.“Engga kok,” jawabku sambil tersenyum.“Terus kenapa? Ada masalah kah?” tanya Kalia.“Hmmm.. gini” jawabku kemudian menjelaskan apa yang akan terjadi.“Lah. Kamu mau gimana?” tanya Kalia.Pertama, menurut Lana aku harus bertemu dengan beberapa orang yang akan dihasut Fian untuk bergabung bersamanya. Aku sudah bertemu satu diantara enam yang akan diajak Fian. Orang tersebut adalah Mas Fajar, ia tidak diterima bukan karena Mas Raja yang terlalu bagus, justru menurutnya Raja adala
Aku yang mengetahui sumber suara tersebut langsung menghampiri dan menyeretnya keluar dari tribun.Sesampainya di luar, ia tidak terima karena aku menyeretnya keluar.“Apa maksudmu ngomong kaya gitu, hah?” tanyaku.“Gaterima?” tanyanya.“Ya engga lah! Berani-berani ngehujat, emang kamu bisa kaya dia?” tanyaku.Kemudian ia terdiam dan aku langsung bergegas kembali ke dalam barisan tribun bersama teman-temanku. Untungnya saat aku kembali, lagu untuk merayakan kemenangan itu baru saja diputar.Teman-temanku langsung bertanya kepadaku kemana Fian setelah kuseret keluar. Aku pun hanya mengatakan tidak tahu karena aku hanya menegurnya lalu aku kembali takut ketika Mas Raja mencariku ternyata aku tidak ada disana.Setelah pertandingan tersebut selesai, kami memutuskan untuk membeli makan di salah satu restoran cepat saji, tetapi ternyata disana sangat ramai sehingga kami memutuskan untuk makan di salah sat
Aku yang terkejut langsung menarik Mas Raja kembali masuk ke dalam bioskop.“Mana sih, Ra?” tanya Mas Raja.“Itu loh!” jawabku dengan suara yang bergetar.“Ara, bukan,” ucapnya sambil mengelus kepalaku.“Bukan ayahmu itu. Cuma mirip aja,” imbuhnya.Aku pun menghela nafas panjang dan kami pun berjalan keluar dari bioskop. Ketika akan pulang, aku dan Mas Raja mampir ke salah satu restoran yang menjual makanan korea. Untungnya, Mas Raja bukan tipe pemilih dan dia mau-mau saja kuajak makan disana. Kamipun segera memesan makanan.Setelah selesai makan, aku dan Mas Raja pun segera kembali karena sore ini Mas Raja ada tambahan pelajaran. Di perjalanan, Mas Raja bertanya kepadaku tentang latihannya kemarin.“Latihanku gimana, Ra?” tanyanya.“Udah bagus. Tim nya juga udah mendingan daripada latihan sebelumnya. Gatau lagi, sih,” ucapku.“Iya emang aku ju
Ketika pelajaran di sekolah hari ini usai, Mei langsung menghampiriku dan mengajakku untuk segera pergi ke GOR. Namun, Mei mengajakku keluar untuk membeli makanan terlebih dahulu karena ia sudah bosan membeli makanan di kantin.“Nah kita beli ini pake apa?” tanyaku.“Pake mobil Kafi,” katanya sambil menunjukkan kunci mobil.“Eh, aku belum kabarin Mas Raja. Takutnya nanti dicari sama Mas Raja,” ucapku.“Aku udah kabarin Kafi. Santai,” ucapnya sambil mengajakku masuk ke dalam mobil Mas Kafi.Setelah itu aku dan Mei pun keluar dari sekolah dan membeli makanan khas Jepang yang tidak jauh dari sekolah. Mei pun memesan banyak makanan yang katanya nanti dibagikan kepada tim basket saat istirahat.“Saya mau yang paket A dua ya mas,” ucapku kepada kasir tersebut.“Loh Ra gausa,” ucap Mei.“Aku uda pesen buat semua kok, kamu juga udah,” ujarnya.&l
Tidak lama kemudian, guru pengajar mata pelajaran selanjutnya datang.Sial. Aku tidak bisa menghampiri Mas Raja.Ting! Mas Kafi mengabariku bahwa guru kesiswaan sudah pergi dari sana.“Kal, aku ke UKS ya. Mau ke Mas Raja,” ucapku kepada Kalia dengan pelan.“Iya. Ati-ati,” ujarnya.“Kalo ada apa-apa kabarin ya, Kal. Makasih,” ucapku.Setelah itu aku izin ke guru pengajar untuk ke kamar mandi, tetapi aku berlari turun dan segera bergegas ke UKS untuk menghampiri Mas Raja.Sesampainya disana ada empat pasang sepatu. Ternyata di dalamnya ada Mas Kafi, Mas Raja dan Fian. Satu diantaranya adalah sepatu perempuan. Benar saja, disana ada Nana yang menemani Fian. Ketika aku melihat Mas Raja tergeletak dan ada beberapa luka di wajahnya sangat membuatku terkejut dan aku langsung menghampirinya.“Mas....” ucapku lirih dan tidak sadar aku menitikkan air mata.“Lo