Adam dan Angelina mendadak menjadi orang asing dalam waktu satu malam. Dia merasa hancur—remuk dalam sekejap, seolah-olah seisi dunia sedang menuding dengan sorot mata tajam serta mengata-ngatainya sekarang. Dia langsung pergi meninggalkan kediaman Ford sesaat setelah pria itu mengusirnya bersama seorang sopir pribadi suruhan Adam yang mengantarkannya ke satu alamat.
Tujuan yang asing—rumah besar di kompleks Tibetan Rock City—kawasan elite dengan nilai prestise pada segenap bangunan berdesain modernnya. Lamunan Angelina buyar selepas mobil yang ditumpanginya berhenti dan sang pria separuh baya di kursi kemudi itu memintanya untuk turun.
“Anda sudah sampai, Nona Wilson.”
“Benarkah? Terima kasih,” bisik Angelina yang konsentrasinya ter
Suasana rumah sakit pagi itu cukup lengang. Hanya ada sejumlah pasien yang duduk mengantre di bangku tunggu—sekitar enam atau tujuh orang—salah satunya termasuk Angelina di sana. Dia masih merasa aneh dengan tubuhnya. Rasa mual yang tak kunjung berhenti sejak semalam membuat wanita itu lemas sebab apa pun yang dia makan justru keluar sebagai muntahan yang selalu berakhir di saluran kamar mandi.“Nomor antrean XX dipersilakan masuk!” seru suara seorang wanita yang berpakaian ala perawat di depan pintu ruang periksa.Angelina bangkit dengan segera—berjalan pelan—menghemat tenaganya. Dia kembali mengingat-ingat jenis makanan yang dimakannya sekali lagi, lantas duduk di hadapan seorang pria tampan dengan kisaran usia sekitar tiga puluh atau lebih sedikit dari itu. Sang dokter memindai kondisi waj
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Angelina yang terkejut dengan kehadiran Adam di teras rumahnya.Adam sontak berbalik dan menjumpai Angelina yang sedang berdiri memandangnya sambil menjinjing tiga kantong belanjaan berlogo supermarket. Dia melirik sebentar, lantas memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Pria itu terlihat salah tingkah, tetapi suara Samuel yang telah memberikannya ide kemarin mendadak muncul memperingatkannya.“Aku hanya kebetulan lewat saja. Apa itu tidak boleh mampir? Bukankah aku yang memberimu fasilitas untuk dinikmati?”Detik berikutnya, Adam menggigit ujung lidahnya dan menyembunyikan indra pengecap miliknya itu ke langit-langit. Dia spontan mengutuk dirinya sendiri. Mengapa pikiran dan mulutnya sulit saling menyink
“Apa yang harus kulakukan?” bisik Angelina yang sedang tertegun di depan lemari pendingin sekarang.Pikiran Angelina kembali membawanya mengenang tentang hari-hari yang dia lalui bersama Adam. Dia benci mengakuinya, tetapi dia memang merindukan pria itu. Makhluk arogan yang sukses memorak-porandakan dunianya. Andai saja sang CEO itu...“Sudahlah. Lupakan manusia sombong itu,” gerutu Angelina lagi.Angelina mulai menyibukkan diri pada barang-barang yang baru dibelinya tadi—memisahkan dan menyusun bahan makanan—ke dalam rak pantri, lantas duduk di dekat jendela yang langsung mengarah ke halaman belakang. Ada taman mini yang dilengkapi oleh kolam air mancur serta sejumlah tanaman pionir berukuran sedang berordo
“Kau lagi?” sungut Angelina yang terkejut dengan kehadiran Adam di depan pintu rumahnya siang itu.“Apa maksudmu aku lagi?” balas Adam yang menukikkan satu alisnya ke atas.Angelina melipat kedua tangannya di dada dan memalingkan wajahnya ke samping, “Sungguh, kau orang yang tidak tahu malu. Bukankah kau benci padaku? Bukankah aku wanita gagal? Kau juga yang mengusirku tempo hari.”“Temani aku makan siang di luar,” pinta Adam tanpa memedulikan ucapan Angelina sebelumnya.“Bermimpilah, Tuan Ford.”“Temani aku makan siang di luar sekarang,” ulang Adam dengan nada ketus.&nbs
Suara entakkan pintu yang terbuka dengan kasar terdengar menyeruak di antara suasana hening yang membungkus Adam. Dia menoleh ke asal bunyi dan mendapati Kate yang sedang disulut emosi berjalan menuju ke arahnya. Wanita itu terlihat marah—kedua alisnya berkumpul di tengah-tengah dan bibirnya mengerucut seperti buah plum kering—siap meledak kapan saja.“Apa yang kau lakukan, Adam? Mengapa kau membekukan kartu kreditku?” hardik Kate yang memprotes sambil menunjuk-nunjuk wajah Adam.Kening Adam spontan berkerut bingung. Dia mengalihkan pandangannya kembali dan menenggak minuman keras yang dipegangnya sejak tadi, lantas tersenyum lebar pada Kate. Pria itu tengah berada di bawah pengaruh alkohol—mabuk berat—dalam beberapa hari belakangan.&ldqu
KRING!Bunyi pesan masuk itu berdering satu kali—pendek dengan getaran yang juga singkat—di atas ranjang Angelina. Dia terbangun sebab suara yang baru saja masuk tadi langsung membuatnya tersentak dari lelap panjangnya. Wanita itu mengucek-ngucek mata, lantas mengecek layar telepon selulernya.Angelina memandang nomor asing itu dengan tatapan heran. Dia menekan tombol sentuh yang diprogram khusus untuk terbuka secara otomatis ke dalam bagian aplikasi. Kerutan di keningnya bertambah lebih banyak sekarang.[Pagi yang mendung. Sebentar lagi iklim akan berganti menjadi musim dingin, bukan?]“Siapa yang membahas cuaca di pukul lima pagi?” sungut Angelina yang merasa kesal karena waktu tidurnya terganggu.
Adam tertegun di depan pintu kediaman Angelina sekarang. Ada sesuatu yang berbeda di sana. Lampu-lampunya mati bersama jejak kekosongan yang kian lama kian tinggi memanjati atmosfer di sekelilingnya.“Angelina?” panggil Adam yang kembali mengetuk untuk kelima kalinya, lantas menekan tombol bel dengan kasar.Adam yang merasa kesal sebab Angelina masih belum menyahut, apalagi membukakan pintu untuknya pun menendang kosen hingga aksi itu mengeluarkan bunyi keras yang memekakkan kedua telinganya sendiri. Dia seketika mengumpat pada kenop yang kondisinya sudah rusak tersebut.“Sial! Mengapa masih belum terbuka juga? Angelina? Angelina?” pekik Adam yang berkacak pinggang sambil menunggu wanita yang ingin dia temui keluar mengomelinya.
“Jadi, apa kau suka apartemenku?” tanya Saga setelah mereka baru saja tiba di kediaman miliknya.Angelina masuk dan mulai melihat-lihat situasi di sekelilingnya dengan tatapan takjub. Dia pun mengangguk, lantas duduk di atas sofa bergaya country yang diletakkan di dekat jendela untuk mengistirahatkan diri. Wanita itu melakukan aksi peregangan karena punggungnya terasa penat.“Apa kau lelah? Kau boleh tidur di kamarku.”“Kamarmu? Apa kau tidak punya kamar lain?”“Ada, tetapi masih belum dibersihkan. Aku akan menyewa jasa pembersih nanti sore. Kau boleh menempatinya untuk sementara.”