Share

2. Iblis

Angelina pulang dengan kondisi linglung. Setelah melempar tubuh ringkih Rupert ke sofa double seater yang ada di ruang tamu flat sempit mereka, dia pun masuk ke dalam kamarnya—mengunci diri di sana—hingga matahari kembali tergelincir di ujung horizon dan menyisakan rasa sesak yang lagi-lagi memadati dadanya. Wanita itu terus terjaga sepanjang malam. Pikirannya kacau sekarang—lebih dari kacau malah, ayah sialannya itulah yang jadi penyebab atas semua kekalutannya.

Angelina menengok sekali lagi ke arah jam dinding. Peranti penunjuk waktu itu berhenti di angka lima, tetapi warna kuning gading sudah muncul dan mencair di ufuk timur langit. Musim panas di San Francisco memang selalu menyenangkan. Namun, kini perasaan Angelina justru  berbeda.

Adam tak ubahnya sesosok iblis yang menjelma sebagai seorang CEO dan memerangkap wanita itu di dalam neraka pribadi miliknya. Dua jam lagi para bawahan pria itu akan segera datang ke sana untuk menjemputnya. Dia ingin Angelina berada di kediamannya sebelum pukul delapan.

“Angelina? Angelina? Di mana kau, anak pemalas? Cepat, siapkan sarapan untukku!”

Angelina menggigit bibir. Itu suara ayahnya. Apa dia bahkan mampu mengingat insiden yang terjadi tadi malam? Wanita itu kemudian tersenyum getir, dia tahu betul jawabannya. Rupert sangat mahir menyingkirkan segenap momen penting dari kepalanya yang kosong.

“Bangunlah, anak bodoh! Aku lapar!” teriak Rupert sambil menggedor-gedor pintu yang terbuat dari bahan kayu itu sampai bergetar dan langsung melonjakkan tubuh Angelina di tempatnya.

“Aku benci pria itu,” bisik Angelina yang menelungkupkan wajahnya ke lutut.

“Keluarlah, anak tidak berguna! Apa kau ingin tidur hingga sore, hah? Apa kau tuli?” hardik Rupert sekali lagi diiringi entakkan yang berulang pada kenop.

Angelina memang sedang menulikan telinganya sendiri. Dia berpura-pura tak mendengar dan enggan menanggapi sang ayah, wanita itu jenuh dengan situasi yang sama setiap harinya. Rupert selalu membentak dan memukulinya. Keadaan itu seperti siklus yang terangkai dan terputar secara teratur.

“Siapa kau?” tanya Rupert dari balik sana—pria itu tengah berbicara dengan seseorang.

Angelina kembali menajamkan alat pendengarannya. Dia bangkit dan menguping di belakang pintu. Suara maskulin yang terdiri dari sejumlah fonetik berbeda itu sedang bertanya pada Rupert tentang keberadaan putrinya; Angelina Wilson. Wanita itu sontak melebarkan sepasang mata indahnya yang mencolok.

“Keluarlah, Angelina. Aku tahu kau mendengarku sekarang.”

Suara itu berat dan dalam. Nada yang familier. Angelina seketika mengenalinya; Adam Ford. Mereka datang lebih awal. Apa yang pria itu pikirkan?

“Buka pintunya atau aku akan menghancurkannya sekarang juga.”

Ancaman Adam langsung membuat Angelina mundur. Wanita itu menelan ludahnya dengan susah payah. Dia merutuk, lantas bergegas mengemasi beberapa barang pribadinya ke dalam koper kulit tua koleksi mendiang ibunya. Belum selesai mengatur tiga set pakaiannya, bunyi keras yang memekakkan telinga itu mendadak menyeruak di belakang Angelina.

Adam berdiri di balik sana bersama sederet orang-orangnya yang mengenakan model jas dengan warna senada; hitam. Pintu yang semula utuh itu pun menjadi remuk di bagian tengah-tengah. Kini Angelina dapat menyaksikan pria itu mengurai senyum keji di sudut bibirnya lewat lubang yang dia ciptakan. 

“Mengapa ka—”

“Merusaknya? Bukankah aku memintamu untuk membukanya?”

Angelina tergagap-gagap, “Y-ya, tetapi aku tengah mengepak seluruh barangku.”

Adam memberi kode pada para bawahan yang berbaris di sampingnya melalui sentakkan kecil di dagunya. Mereka refleks merangsek maju dan melepas kenop sampai akhirnya daun pintu itu terbuka dan memberi akses bagi Adam. Angelina mempercepat pekerjaannya, dia memasukkan dua set piama, dua pasang kaus kaki serta sejumlah pakaian dalam terbaik—tanpa bolong-bolong—yang dia punya.

“Apa yang kau lakukan?” sela Adam yang otomatis menghentikan kegiatan wanita itu.

Angelina spontan mendongak, “Memangnya kau pikir aku sedang apa? Mandi?”

Adam menggertakkan gigi menahan emosinya tumpah, “Kau berani sekali, Angelina.”

“Apa boleh buat? Kau menjemputku dua jam lebih awal. Jadi, berikan aku waktu sepuluh menit. Apa aku juga harus mengucapkan ‘selamat datang di rusun kecil kami’?”

Adam mendengus, “Ha. Aku suka tipe lawan jenis yang kurang ajar sepertimu. Kau membuatku tertantang untuk menaklukkanmu.”

Angelina balas melengos. Dia berusaha mengabaikan Adam, memfokuskan perhatiannya ke seperangkat pakaian lain yang masih menumpuk di depannya. Pria itu kemudian melangkah ke arahnya dan menyentak lengan kanan Angelina. Aktivitas wanita itu sontak terpotong.

“Kau menyakitiku,” keluh Angelina yang mengusap-usap lengannya.

“Dengar, Angelina. Kau tidak perlu mengangkut semua barang rongsokan itu. Aku akan menyediakan seluruh kebutuhan pokokmu termasuk pakaian.”

“Barang rongsokan?”

Adam menaikkan satu alisnya, “Apa itu masih layak pakai?”

“Kau... kau benar-benar kelewatan, Tuan Ford.”

“Ch! Bukankah aku pernah mengatakannya padamu? Aku benci drama. Tinggalkan koper butut itu di sana. Kau harus ikut aku sekarang.”

“Bagaimana dengan Ayahku?”

“Dia akan baik-baik saja.”

“Tung-tunggu, aku be—”

“Kau mempersulitku, Angelina. Aku tidak suka itu.”

Adam bergerak mengambil inisiatif. Dia melingkarkan kedua tangannya di pinggang Angelina dan mengangkat tubuh wanita itu ke salah satu pundaknya. Dia melakukannya dengan mudah, seolah-olah Angelina hanya terbuat dari kapas.

“Apa yang kau lakukan? Turunkan aku!” jerit Angelina yang terkejut oleh aksi Adam.

“Kau harus belajar mengontrol mulutmu di hadapanku. You will pay for that in this life or the next.”

“Tidak! Lepaskan aku!” pekik Angelina lagi sambil meronta-ronta—mencoba untuk meloloskan diri, tetapi upayanya sia-sia.

“Aku bersumpah akan membuatmu menangis di bawah kendaliku.”

“Biadab! Pria kejam!”

“Biadab dan kejam adalah nama tengahku, Angelina. Senang kau mengetahuinya sekarang,” balas Adam yang diiringi kekehan pendek.

“Aku akan mematahkan hidungmu!”

“Kau membuatku takut,” seloroh Adam dengan intonasi yang dibuat-buat.

Mereka melintasi ruang tamu dan menemukan Rupert yang hanya mampu termangu-mangu menonton Angelina dibawa paksa sebab di lantai bermaterial parket itu ada jutaan dolar sebagai uang tutup mulut bagi ayahnya. Pria separuh abad itu lagi-lagi melirik—memandangi si anak yang masih merengek dengan tatapan senang—berpikir bahwa Angelina ternyata punya nilai jual yang tinggi; investasi yang sangat menguntungkan. Dia sempat berandai-andai mempunyai satu atau dua putri lain agar mendapatkan lebih banyak uang dari mereka.

“Ayah! Ayah!” racau Angelina dalam kondisi berantakan.

Sepasang mata biru yang sama seperti milik Angelina itu enggan mengalihkan sorotannya. Dia menjadi seorang jutawan dalam sekejap. Siapa sangka nasibnya seberuntung itu? Adam membiarkan tawanya pecah di udara sesaat sebelum mereka keluar dari tempat yang Angelina sewa dengan biaya murah per bulan tersebut, memberikan sedikit kesempatan untuk wanita yang ada dalam cengkeramannya agar melihat sikap tamak Rupert yang kini tengah menimang-nimang lembaran uang di pangkuannya seperti bayi.

Money can make people happy, but money also can make people greedy. Kau sudah melihat wajah asli Rupert, bukan?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status