Kediaman Adam sukses membuat mulut Angelina melongo lebar. Bibirnya terbuka sejak tadi, seolah-olah dia kehilangan kemampuan untuk mengendalikan dirinya secara tiba-tiba. Kawasan Bittersweet Valley merupakan area wastu yang megah—mansion—yang hanya pernah dia lihat di kolom tabloid properti. Desainnya mengusung tema klasik modern. Halamannya dilengkapi taman luas dengan aneka ragam pepohonan yang ditata simetris serta helipad dan kolam renang yang ukurannya empat kali lipat lebih besar daripada kolam renang umum yang biasa wanita itu kunjungi di libur musim panas sewaktu sekolah.
Angelina seketika disambut oleh sepuluh orang pelayan berseragam ala maid di depan gerbang. Mereka setengah membungkuk, lantas seseorang dari mereka menuntunnya masuk ke dalam dan menunjukkan kamar khusus padanya. Ruangan yang telah disiapkan Adam itu terletak di lantai empat. Angelina pun harus menaikinya melalui lift. Dia lagi-lagi berdecak kagum selepas empat orang pelayan menyambutnya dengan takzim.
“Tuan Ford akan segera kemari, Nona Wilson. Mohon, kesediaannya menunggu,” pinta seorang pelayan wanita yang mengantarnya.
“Ba-baiklah.”
Pelayan berkepang dua itu pamit setelah menyampaikan pesan agar memanggilnya jika membutuhkan sesuatu; jenis sajian yang ingin dia makan atau minyak esensial di bathub, apa saja. Angelina kembali mengangguk mengiyakan sebab kepalanya mulai pening. Dia belum tidur, apalagi sarapan. Wanita itu memutuskan untuk duduk di pinggir ranjang king size yang sanggup diisi tiga hingga empat orang dewasa di sana dengan raut wajah kusut.
Ingatan tentang perilaku buruk Rupert menciptakan kabut yang makin lama makin mengembun di sudut matanya. Dia memaki sang ayah berulang kali sebelum akhirnya sosok rupawan yang sedang berdiri di dekat pintu itu hadir menertawakannya. Adam melipat kedua tangannya di dada, sementara sepasang matanya dinginnya memandangi Angelina dengan tatapan mencemooh. Sorot yang selalu dia berikan terhadap wanita itu.
“Apa kau akan terus-menerus meratapinya?”
Isak tangis Angelina spontan berhenti, “Ka-kau.”
“Apa kau suka kamar barumu?”
Angelina mengusap jejak air mata di kedua pipinya. Ada masalah lain yang jauh lebih besar daripada sekadar mengutuk Rupert yang tengah menantinya sekarang; Adam. Pria itu tak akan membiarkan hidupnya tenang sampai dua tahun berikutnya.
“Aku bertanya padamu, Angelina. Jawab aku. Apa kau suka kamar barumu?” sambungnya lagi.
“Kupikir agak berlebihan. Maksudku, suasananya memang nyaman, tetapi terlalu besar untuk ditinggali sendiri.”
“Kau hanya harus membiasakan diri. Kau tinggal di kamar yang kecil sebelumnya. Satu lagi, mengapa kau mengira kau akan sendiri?”
Angelina melihat kedua alis Adam yang tebal bertaut dan wanita itu pun menyahut, “A-apa kau juga tidur di kamar yang sama denganku, Tuan Ford?”
“Tentu saja. Apa kau pikir aku menyewamu sebagai piala untuk dipajang? Kita punya program bercinta hingga kau hamil.”
Jadwal terprogram itu akan membuat Adam mengoyak tubuh Angelina yang malang. Dia terperangah dan tetesan bening lagi-lagi merebak menuruni wajahnya. Rasanya sulit mengontrol diri di dekat pria itu.
“Aku mengerti wanita adalah makhluk emosional, tetapi kau selalu menjual air matamu.”
“Terima kasih atas perhatianmu, Tuan Ford. Anggap saja aku memang seperti itu,” desis Angelina yang menahan rasa marahnya.
“Tidurlah dan berhenti berdebat denganku. Aku tahu kau belum tidur.”
Angelina menggigit bibir. Dia bingung dengan perubahan sikap Adam yang mendadak perhatian padanya. Wanita itu mendongak, tetapi yang dia temukan hanya ekspresi pongah di wajah aristokratnya.
Adam adalah tipe lawan jenis yang mudah dicintai. Sorot mata tajam, hidung runcing yang ideal, juga warna kulit cokelat memukau yang membungkus otot-otot biseps dan pecs di tubuhnya yang liat. Postur semampai serta rambut hitamnya yang selalu ditata ala pompadour menyumbangkan segenap nilai lebih sebagai penunjang penampilannya.
Figur yang berhasil mendominasi sekaligus memesona hidup Angelina sekarang. Wanita berusia dua puluh tujuh tahun yang selalu merindukan sosok ibunya. Dia hanya punya tinggi badan rata-rata, iris terang yang menyerupai batu safir, serta rambut pirang panjang sepunggung yang mengombak setiap kali dia mengayunkan langkahnya.
“Ba-bagaimana kau tahu?”
“Itu bukan sesuatu yang sulit, kau tahu. Kantung matamu terlihat dua kali lipat lebih besar dari sejam lalu,” ejek Adam sambil melipat kedua tangannya di dada.
Angelina hanya mendengus, enggan mengacuhkan kalimat bernada hinaan itu karena dia letih berdebat dengan Adam. Pria itu tak pernah suka menerima kekalahan, meskipun dia salah. Jadi, apa gunanya dia membuang tenaga untuk sekadar menanggapi?
“Aku ingin tidur,” gumam Angelina yang menguap dan menutup mulutnya.
“Persiapkan dirimu pukul sembilan nanti malam.”
“Apa maksudmu?”
Adam mengetatkan rahang sampai bibirnya yang semula rapat menjadi berkedut-kedut, “Berhentilah berlagak idiot. Kita akan bercinta. Apa itu cukup jelas sekarang?”
Angelina menekuri sepasang kakinya sendiri, “Y-ya.”
“Ada beberapa peraturan yang kubuat dan salah satu kewajibanmu adalah mematuhinya. Pertama, kau hanya boleh sarapan di ruang makan bersamaku. Setiap pukul satu siang, orang-orangku akan datang kemari dan mengantarkan aneka sajian yang kau minta. Kau tidak diizinkan keluar dari kamarmu selain waktu makan pagi. Apa kau mengerti?”
Angelina memandang Adam dengan tatapan ngeri, “Kau memperlakukanku seperti tawanan.”
Sorot mata Adam yang terkunci pada ekspresi wajah Angelina pun sontak mengeras, “Aku punya hak atasmu, Angelina. Aku membelimu.”
Bibir Angelina bergetar menahan jutaan sesak yang menjejali dadanya, “Kau juga membuatku terdengar seperti jalang.”
“Itu fakta. Aku menyewa rahimmu, aku punya hak untuk memperlakukanmu sesuai dengan keinginanku.”
Angelina memejamkan matanya, “Baiklah, Tuan Ford.”
“Tidurlah. Kau boleh menikmati waktu istirahatmu.”
“Apa kau pikir aku masih ingin tidur selepas kau mencela harga diriku?” sahut Angelina yang jengkel.
Adam menyipitkan mata, “Kupikir aku harus menambahkan satu aturan baru.”
“Aturan baru?”
“Kau harus menjaga semua perilakumu di hadapanku, Angelina. Aku benci dibantah. Aku juga benci ditentang. Ingat itu.”
Angelina mengangguk tanpa mempertemukan tatapan mereka, “Bolehkah aku bertanya satu hal padamu, Tuan Ford?”
“Itu tergantung.”
“Lupakan saja,” desah Angelina yang putus asa.
“Apa yang ingin kau tahu?”
Angelina kembali mendongak, “Mengapa... mengapa kau memilihku? Kau seharusnya tidak perlu mencampuri urusan ayahku, bukan?”
“Pertanyaan yang menarik,” bisik Adam yang membalas tatapan sedih Angelina.
“Apa kau sengaja melakukannya?”
“Dengar, Angelina. Aku punya kekasih, dia seorang model yang memegang prinsip childfree dalam hubungan kami. Aku menghormati pilihannya, tetapi aku tetap membutuhkan seorang pewaris. Aku ingin darah dagingku sendiri. Anggaplah kau sedang dinaungi oleh Dewi Fortuna, aku melemparkan sasaran yang membidikmu malam itu.”
“Ke-kekasih? Apa dia tahu kau menyimpan wanita lain di belakangnya?”
Adam mengumbar tawanya, “Tentu saja. Ada apa? Apa kau menaruh minat pada aktivitas threesome atau sejenisnya?”
Kedua pipi Angelina terasa panas, “Tidak. Berhentilah berpikir bahwa aku akan menyetujui ide gila itu.”
“Sayang sekali,” komentar Adam yang menerbitkan seringai sinis di wajahnya.
“A-apa aku boleh istirahat sekarang, Tuan Ford?”
“Baiklah,” sahut Adam pendek, dia berbalik memunggungi Angelina keluar dari sana dan meninggalkan wanita itu dengan seluruh ketidakberdayaannya.
***
Angelina merupakan salah satu saksi bahwa sifat serakah dapat menyengsarakan siapa saja. Kini dia berjalan dalam lingkaran takdir yang diciptakan oleh Adam—bundaran tiada berujung yang memerangkapnya—hingga hari-hari ke depan. Wanita itu hanya tertidur selama tiga jam dengan antrean mimpi buruk yang selalu menghampirinya. Dia terbangun setelah meneriakkan nama Hannah—ibunya, lantas menangis di bawah lindungan selimut berbahan katun yang menutupi sekujur tubuhnya.Bulan Juli menjadi bulan terburuk sekaligus titik terendah dari hidup Angelina; bulan kelahirannya sendiri. Kadang-kadang dia bahkan berharap jika usianya akan memendek dari yang seharusnya dan menemui Hannah dengan cepat. Namun, kadang-kadang wanita itu juga berharap dia sanggup melalui segenap problematik yang melintang di hadapannya.Angelina duduk di pi
“Permisi, Nona Wilson. Anda harus memilih pakaian sekarang,” seru pelayan berambut pixie yang mengarahkannya menuju kembali ke kamar tidur.Angelina hanya mengangguk mengikuti wanita itu menuntunnya ke arah dinding dengan sistem geser. Tempat lemarinya berada di balik sana—rak pakaian itu terbuat dari kayu berkualitas dengan warna krim yang dipoles sampai mengilap—berukuran besar serta mampu menampung ribuan koleksi pakaian, sepatu, dan tas yang telah terpajang rapi di setiap sekat.Angelina tercengang dengan pemandangan luar biasa di hadapannya, “Me-mengapa jenis barangnya banyak sekali?”“Semua benda itu milik Anda, Nona Wilson.”
Angelina terengah-engah, dia menyeka bibir dengan punggung tangannya dan memalingkan wajahnya ke samping menghindari tatapan mereka saling bertemu. Sementara Adam yang mengetahui tingkah gugup wanita itu kemudian kembali menggodanya. Dia memegangi dagu Angelina, membuat ruang di antara mereka hilang hingga netra abu-abu dan biru itu menyatu dalam jajaran lurus yang sontak menciptakan perasaan lain di dada Angelina; hasrat. Gairah yang sama yang tengah melalap diri pria itu sekarang.Adam tersenyum sesaat sebelum bibirnya lagi-lagi meninggalkan noda basah di permukaan bibir Angelina. Dia mencecap dengan intens, seolah-olah tubuh wanita itu merupakan heroin yang selalu menawarkannya candu. Angelina meringis menahan serangan demi serangan yang pria itu lancarkan untuknya sampai di titik dia tak kuasa lagi membendung sejuta gejolak yang melingkupi dadanya dan Adam langsung melepaskan tautan fisik
Angelina bangun pukul delapan. Dia mengerjap-ngerjap, lantas mengedarkan pandang ke sekeliling. Awalnya dia pikir Adam akan ada di sana; menyisir rambutnya atau memberikan ucapan selamat pagi untuknya. Namun, sosok pria itu tak ada di sana. Momen tentang adegan pergumulannya bersama Adam mendadak terkenang di dalam kepala wanita itu—menciptakan semburat merah—yang sukses mewarnai kedua pipinya.Angelina beranjak dari atas tempat tidur dengan segera, tetapi rasa nyeri di antara selangkangannya membuat wanita itu berhenti menggerakkan tubuhnya dan mengaduh dalam nada lirih yang membuatnya juga spontan menggigit bibir. Adam telah menjadi pria pertama yang mengantarkannya menuju satu persepsi baru di pengalaman seksualnya. Dia mengakui pria itu memang luar biasa, sementara sisi lain dirinya mengutuk tindakan bodohnya yang terlena dengan mudah oleh keahlian Adam.
“Apa yang kau lakukan, Adam? Kau mematikan telepon selulermu. Kau juga menolak panggilanku setelah puluhan kali aku menghubungimu dengan susah payah dan baru tersambung tadi. Kau mengabaikanku seharian!” keluh Kate yang melemparkan tas hobonya ke atas meja kerja Adam—raut wajahnya terlihat kesal—sampai-sampai kedua pipinya yang tirus berubah warna.Adam seketika memutar kursi kebanggaannya ke depan—mengalihkan pandangannya dari diorama pusat kota yang sempat dinikmatinya sekejap, kemudian mengangkat satu alisnya ke atas, “Kate? Apa kabarmu?”“Apa kabarku? Sejak kapan kita berubah menjadi seformal itu?” geram Kate yang kembali memancing emosi Adam—dia menudingkan jari telunjuknya pada pria itu—dengan tatapan marah.
“Adam?” bisik Angelina yang terbangun dari tidurnya menjelang fajar.Adam sedang tertidur di atas sofa yang letaknya berseberangan dengan ranjang mereka. Dia terlihat kacau—kemeja yang bagian dadanya setengah terbuka, dasi yang masih terikat di lehernya dalam posisi miring serta botol minuman beralkohol yang kosong berserakan di atas lantai—pria itu mendengkur keras seperti bunyi mesin yang meraung.Angelina beranjak mendekati Adam—berjongkok di dekat kepala pria itu—sambil memperhatikan wajah aristokratnya yang masih tetap menawan, meskipun dia tengah terlelap menikmati mimpi panjangnya. Wanita itu tersenyum tanpa dia sadari, menyaksikan orang tidur terlebih lagi seorang pria merupakan sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.&ld
Siang itu semuanya kembali berjalan dengan ‘normal’. Adam tetap menjadi pribadinya yang angkuh nan dingin setelah dia lepas dari pengaruh alkohol yang sempat menguasainya. Pria itu bahkan sama sekali tak menyadari insiden yang telah terjadi tadi malam. Tidak dengan ucapannya. Tidak juga dengan sikap manisnya pada Angelina.Pengakuan yang seketika mengejutkan wanita itu pun langsung Adam lupakan dalam sekejap selepas sepasang iris abu-abu yang memikat miliknya lagi-lagi terfokus pada lembaran dokumen yang menggunung di atas meja kerjanya. Ada beberapa berkas yang harus ditandatangani, ada sejumlah rapat penting, ada begitu banyak hal lain yang langsung menyita seluruh perhatiannya dari kejadian semalam.Adam memang dikenal sebagai penggila kerja. Dia akan berkutat dengan urusan perusahaan sampai melupakan waktu, melupakan
Angelina mematut dirinya sekali lagi dari belasan kali melakukannya di depan cermin. Dia menyentuh ujung rambutnya yang sengaja dibuat ikal oleh alat penggulung dan merasakan tekstur halusnya menggelitik permukaan kulit jemari tangannya. Penampilan wanita itu tampak anggun sekarang; sempurna.Angelina mengenakan gaun pendek model selutut berpotongan dada rendah yang indah—taburan kristal berharga fantastis di sejumlah area—yang dipadukan dengan selop tali yang meliliti sepasang betisnya. Dia menjadi lebih mirip seperti seseorang yang berprofesi sebagai aktris daripada Angelina Wilson. Wanita itu mendesah canggung, kemudian memutar pinggulnya membelakangi kaca bening yang dicat air raksa itu—lagi dan lagi.“Mengapa aku harus mengenakan pakaian terbuka hany