Angelina bangun pukul delapan. Dia mengerjap-ngerjap, lantas mengedarkan pandang ke sekeliling. Awalnya dia pikir Adam akan ada di sana; menyisir rambutnya atau memberikan ucapan selamat pagi untuknya. Namun, sosok pria itu tak ada di sana. Momen tentang adegan pergumulannya bersama Adam mendadak terkenang di dalam kepala wanita itu—menciptakan semburat merah—yang sukses mewarnai kedua pipinya.
Angelina beranjak dari atas tempat tidur dengan segera, tetapi rasa nyeri di antara selangkangannya membuat wanita itu berhenti menggerakkan tubuhnya dan mengaduh dalam nada lirih yang membuatnya juga spontan menggigit bibir. Adam telah menjadi pria pertama yang mengantarkannya menuju satu persepsi baru di pengalaman seksualnya. Dia mengakui pria itu memang luar biasa, sementara sisi lain dirinya mengutuk tindakan bodohnya yang terlena dengan mudah oleh keahlian Adam.
“Selamat pagi, Nona Wilson.”
Suara sapaan itu mengejutkan Angelina. Dia terlonjak, lantas menyambar selimut yang tergeletak di lantai dengan cepat—menggulung benda lembut itu—ke tubuh polosnya. Sepasang matanya melebar setelah berbalik dan menyaksikan sederet pelayan membawakan dua kereta dorong yang berisi aneka sajian.
“Apa itu sarapan untukku?”
“Ya, Nona Wilson. Tuan Ford menyuruh kami untuk mengantarkannya ke kamar Anda sebab Anda bangun terlambat,” sahut salah satu pelayan yang usianya tergolong paruh baya.
“A-apa Tuan Ford menungguku tadi?”
“Tidak. Tuan Ford memang meminta kami agar tidak membangunkan Anda.”
“Baiklah. Tolong, letakkan saja di sana.”
“Apa Anda ingin disiapkan sesuatu, Nona Wilson? Apa Anda ingin berendam atau apa pun?”
Angelina seketika menggeleng, “Tidak. Tinggalkan saja aku sendiri.”
Barisan pelayan itu kemudian berbalik dan ingin berlalu pergi, tetapi suara lain datang dari arah luar. Intonasinya tinggi menyerupai lengkingan gusar. Angelina pun mengernyitkan kening; bingung. Para pelayan yang ada di hadapannya beringsut mundur dan figur dalam balutan gaun lilit itu langsung muncul di depan mereka. Wajah Kaukasia-nya yang cantik disesaki emosi. Rahangnya mengetat dan bibirnya yang diulas lipstik burgundi terkatup rapat-rapat. Sepasang mata cokelat almonnya yang simetris menyipit memandang Angelina dengan tatapan benci. Dia melipat kedua tangannya, lantas meludah pada salah satu pelayan.
“Di mana Adam? Mengapa telepon selulernya mati?” tanya wanita asing itu sambil berkacak pinggang.
“Tuan Ford sudah berangkat sejak pukul enam, Nona Montgomery. Apa Anda ing—”
“Diamlah! Aku sedang tidak bertanya padamu,” hardik wanita itu diiringi tautan alisnya yang merapat ke tengah.
Angelina menelan ludahnya dengan susah payah. Sikap wanita itu bahkan jauh lebih buruk daripada Adam. Dia bertanya-tanya apa dia adik atau kakaknya Adam karena tingkah arogan mereka persis sama. Hanya saja si Nona yang disebut-sebut bernama belakang Montgomery itu sangat temperamen.
“Kau!” bentak wanita berambut pendek sebahu itu—jari telunjuknya terangkat dan kuku stiletto-nya membuat kesan dramatis nan runcing—yang mengarah pada wajah Angelina.
Angelina terperanjat—dia mundur secara otomatis, “A-ada apa?”
“Ada apa? Aku bertanya padamu. Bukankah kau menghabiskan waktu bersamanya tadi malam?”
“Ba-bagaimana kau tahu?”
Wanita itu mengibaskan ujung rambutnya yang ikal, kemudian melipat kedua tangannya di dada. Sorot matanya masih menunjukkan rasa berang yang nyata. Dia berdecih dan memindai sekujur tubuh Angelina, seolah-olah tengah memberi sejumlah penilaian untuk penampilan rival yang ada di depannya sekarang.
“Tentu saja aku tahu itu. Aku Kate Montgomery, kekasih Adam.”
Angelina mengulangi pelafalan nama kekasih Adam itu dalam bentuk gumaman lirih dan membalas, “Um, aku tidak bertemu dengannya tadi pagi.”
Kate mendengus dan memandang Angelina sekali lagi, “Ha. Berapa hargamu? Maksudku, berapa Adam membayarmu?”
Angelina mengembangkan dadanya. Dia menarik napas sebanyak mungkin, berharap air matanya mampu dibendung di hadapan Kate. Pertanyaan itu terasa melecehkan dirinya. Dia hanya korban. Wanita itu dijebak oleh Adam.
“Itu bukan urusanmu, Nona Montgomery.”
“Berani-beraninya kau!” pekik Kate yang mengayun langkahnya mendekati Angelina dan hendak menampar wajahnya.
Angelina sontak memejamkan mata. Namun, pukulan yang dia pikir akan meluncur di salah satu pipinya gagal mendarat. Wanita itu mendesah lega selepas mengetahui ada seorang pria bersetelan jas rapi dengan rentang usia yang seperti dirinya atau lebih sedikit dari itu, menghalangi niat Kate. Entah dari mana, dia tiba-tiba muncul menolongnya.
“Apa yang kau lakukan, Samuel? Lepaskan aku!” tepis Kate yang mendelik padanya.
“Kau tidak boleh menyakitinya, Kate. Adam tidak akan suka itu.”
“Kau hanya asisten, tetapi berlagak seperti majikan. Berhentilah mencampuri urusanku dengan pelacur itu.”
“Tutup mulutmu! Aku bukan pelacur,” seru Angelina yang kesal pada perilaku Kate.
“Kaulah yang harus belajar menutup mulut!” pekik Kate yang menggertakkan giginya sekarang.
“Mengapa kau selalu berteriak?”
Kate menyentak cengkeraman pria berambut panjang itu, lantas mengacungkan jari telunjuknya lagi ke arah Angelina—bibir tebalnya yang bervolume berkedut-kedut—menahan sensasi amarah yang menjalari dadanya, “Dengar baik-baik, siapa pun namamu. Aku tahu kau memang dibayar untuk melahirkan anak, tetapi kau tidak akan pernah mampu menggeser posisiku sebagai calon istri Adam. Apa kau pikir kau hebat? Aku menghormati keinginan Adam sebab orang tua kami punya relasi bisnis. Hanya itu. Setelah kau hamil dan melahirkan seorang pewaris, aku akan mendepakmu dari kediaman Ford hari itu juga. Kau tidak akan mendapatkan harta Adam sepeser pun.”
Angelina mengepalkan jemarinya—rasa kesal wanita itu mendadak memuncak—mengimpit tenggorokannya, “Kau juga harus mendengarkan aku baik-baik, Nona Montgomery. Aku datang ke wastu yang lebih cocok disebut sebagai penjara ini karena aku tidak punya pilihan. Kekasih sialanmu itu memaksaku untuk menandatangani surat persetujuannya di bawah ancaman demi keselamatan Ayahku. Dia berpura-pura membantu kami melunasi utang-piutang judinya, tetapi dia ternyata justru menjebakku. Jika aku menolaknya, maka pria itu akan membuat satu-satunya orang tua yang kupunya menjadi cacat seumur hidup. Berhentilah berpikir bahwa aku ingin menggantikan posisimu sebagai istrinya. Aku tidak sudi. Apa kau puas sekarang?”
Sungguh, itu merupakan kalimat terpanjang yang pernah Angelina ucapkan pada seseorang. Kate terenyak—membisu—bibirnya berhenti gemetar dan wanita itu hanya melengos menanggapi penjelasan panjang lebar dari Angelina. Dia kemudian memutuskan berlalu dari sana, enggan meneruskan topik yang terlanjur memanas di antara mereka.
“Apa Anda baik-baik saja, Nona Wilson?” tanya sang asisten itu pada Angelina yang masih mengawasi punggung Kate dari kejauhan.
“Y-ya, tentu saja. Tidak perlu mengkhawatirkan aku. Terima kasih.”
Pria berambut karamel itu menyunggingkan senyum, lantas mengangguk dan berpamitan meninggalkan kamar Angelina. Dia melangkah ke balkon sisi barat, merogoh benda elektronik keluaran terbaru itu dari balik saku celananya dan menekan satu nama di daftar kontak. Panggilan pun tersambung dalam waktu hitungan detik.
“Nona Montgomery berbuat ulah lagi, Tuan Ford. Dia ingin menampar Nona Wilson tadi.”
***
“Apa yang kau lakukan, Adam? Kau mematikan telepon selulermu. Kau juga menolak panggilanku setelah puluhan kali aku menghubungimu dengan susah payah dan baru tersambung tadi. Kau mengabaikanku seharian!” keluh Kate yang melemparkan tas hobonya ke atas meja kerja Adam—raut wajahnya terlihat kesal—sampai-sampai kedua pipinya yang tirus berubah warna.Adam seketika memutar kursi kebanggaannya ke depan—mengalihkan pandangannya dari diorama pusat kota yang sempat dinikmatinya sekejap, kemudian mengangkat satu alisnya ke atas, “Kate? Apa kabarmu?”“Apa kabarku? Sejak kapan kita berubah menjadi seformal itu?” geram Kate yang kembali memancing emosi Adam—dia menudingkan jari telunjuknya pada pria itu—dengan tatapan marah.
“Adam?” bisik Angelina yang terbangun dari tidurnya menjelang fajar.Adam sedang tertidur di atas sofa yang letaknya berseberangan dengan ranjang mereka. Dia terlihat kacau—kemeja yang bagian dadanya setengah terbuka, dasi yang masih terikat di lehernya dalam posisi miring serta botol minuman beralkohol yang kosong berserakan di atas lantai—pria itu mendengkur keras seperti bunyi mesin yang meraung.Angelina beranjak mendekati Adam—berjongkok di dekat kepala pria itu—sambil memperhatikan wajah aristokratnya yang masih tetap menawan, meskipun dia tengah terlelap menikmati mimpi panjangnya. Wanita itu tersenyum tanpa dia sadari, menyaksikan orang tidur terlebih lagi seorang pria merupakan sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.&ld
Siang itu semuanya kembali berjalan dengan ‘normal’. Adam tetap menjadi pribadinya yang angkuh nan dingin setelah dia lepas dari pengaruh alkohol yang sempat menguasainya. Pria itu bahkan sama sekali tak menyadari insiden yang telah terjadi tadi malam. Tidak dengan ucapannya. Tidak juga dengan sikap manisnya pada Angelina.Pengakuan yang seketika mengejutkan wanita itu pun langsung Adam lupakan dalam sekejap selepas sepasang iris abu-abu yang memikat miliknya lagi-lagi terfokus pada lembaran dokumen yang menggunung di atas meja kerjanya. Ada beberapa berkas yang harus ditandatangani, ada sejumlah rapat penting, ada begitu banyak hal lain yang langsung menyita seluruh perhatiannya dari kejadian semalam.Adam memang dikenal sebagai penggila kerja. Dia akan berkutat dengan urusan perusahaan sampai melupakan waktu, melupakan
Angelina mematut dirinya sekali lagi dari belasan kali melakukannya di depan cermin. Dia menyentuh ujung rambutnya yang sengaja dibuat ikal oleh alat penggulung dan merasakan tekstur halusnya menggelitik permukaan kulit jemari tangannya. Penampilan wanita itu tampak anggun sekarang; sempurna.Angelina mengenakan gaun pendek model selutut berpotongan dada rendah yang indah—taburan kristal berharga fantastis di sejumlah area—yang dipadukan dengan selop tali yang meliliti sepasang betisnya. Dia menjadi lebih mirip seperti seseorang yang berprofesi sebagai aktris daripada Angelina Wilson. Wanita itu mendesah canggung, kemudian memutar pinggulnya membelakangi kaca bening yang dicat air raksa itu—lagi dan lagi.“Mengapa aku harus mengenakan pakaian terbuka hany
Pagi itu udara cukup nyaman di luar, tetapi tak demikian yang dirasakan oleh Angelina. Dia justru merasa dingin—beku dan kaku—di sekujur tubuhnya, seolah-olah wanita itu baru saja dikurung dalam lemari pendingin selama beberapa jam dengan posisi tubuh yang salah. Punggungnya pun menjerit setiap kali dia melakukan gerakan kecil untuk aksi peregangan, sementara area selangkangannya turut serta mengambil posisi teratas yang menuntut perhatian agar disematkan ke dalam daftar khusus; kategori rasa nyeri yang sulit diabaikan.Adam yang bajingan itu melakukannya dengan kasar tadi malam. Sikapnya seketika berubah menjadi buas—gempuran liar dan gila—sesuatu yang belum pernah Angelina rasakan karena memang dia merupakan orang pertama yang menidurinya. Wanita itu mencoba untuk duduk setelah pikirannya kembali jernih dari kenangan panas yang masih tertinggal. Namun, keputusan itu
Waktu berlalu dengan cepat bagi Adam. Hari-hari yang dilaluinya seperti terbang. Kalender bulan berganti menjadi kalender tahun, pun resolusi lama ikut berganti menjadi resolusi baru untuk sebagian orang. Satu tahun yang dia lewati bersama Angelina terasa menakjubkan. Pria itu—yang pernah menganggap cinta hanya sekadar dongeng bualan belaka—sangat menikmati petualangan liar mereka sepanjang malam.Gairah Adam terhadap Angelina selalu tumbuh di setiap kesempatan seiring dengan menebalnya rajutan cinta itu juga hadir di dalam dirinya. Namun, mengakuinya secara terang-terangan sama sekali bukan karakter yang pria itu punya. Dia akan kehilangan seluruh harga dirinya sebab terpikat pada wanita itu merupakan sesuatu yang terlarang. Bukankah seharusnya singa memangsa buruannya?Adam jauh lebih suka bersikap dingin dan menjaga ja
Adam dan Angelina mendadak menjadi orang asing dalam waktu satu malam. Dia merasa hancur—remuk dalam sekejap, seolah-olah seisi dunia sedang menuding dengan sorot mata tajam serta mengata-ngatainya sekarang. Dia langsung pergi meninggalkan kediaman Ford sesaat setelah pria itu mengusirnya bersama seorang sopir pribadi suruhan Adam yang mengantarkannya ke satu alamat.Tujuan yang asing—rumah besar di kompleks Tibetan Rock City—kawasan elite dengan nilai prestise pada segenap bangunan berdesain modernnya. Lamunan Angelina buyar selepas mobil yang ditumpanginya berhenti dan sang pria separuh baya di kursi kemudi itu memintanya untuk turun.“Anda sudah sampai, Nona Wilson.”“Benarkah? Terima kasih,” bisik Angelina yang konsentrasinya ter
Suasana rumah sakit pagi itu cukup lengang. Hanya ada sejumlah pasien yang duduk mengantre di bangku tunggu—sekitar enam atau tujuh orang—salah satunya termasuk Angelina di sana. Dia masih merasa aneh dengan tubuhnya. Rasa mual yang tak kunjung berhenti sejak semalam membuat wanita itu lemas sebab apa pun yang dia makan justru keluar sebagai muntahan yang selalu berakhir di saluran kamar mandi.“Nomor antrean XX dipersilakan masuk!” seru suara seorang wanita yang berpakaian ala perawat di depan pintu ruang periksa.Angelina bangkit dengan segera—berjalan pelan—menghemat tenaganya. Dia kembali mengingat-ingat jenis makanan yang dimakannya sekali lagi, lantas duduk di hadapan seorang pria tampan dengan kisaran usia sekitar tiga puluh atau lebih sedikit dari itu. Sang dokter memindai kondisi waj