Angelina terengah-engah, dia menyeka bibir dengan punggung tangannya dan memalingkan wajahnya ke samping menghindari tatapan mereka saling bertemu. Sementara Adam yang mengetahui tingkah gugup wanita itu kemudian kembali menggodanya. Dia memegangi dagu Angelina, membuat ruang di antara mereka hilang hingga netra abu-abu dan biru itu menyatu dalam jajaran lurus yang sontak menciptakan perasaan lain di dada Angelina; hasrat. Gairah yang sama yang tengah melalap diri pria itu sekarang.
Adam tersenyum sesaat sebelum bibirnya lagi-lagi meninggalkan noda basah di permukaan bibir Angelina. Dia mencecap dengan intens, seolah-olah tubuh wanita itu merupakan heroin yang selalu menawarkannya candu. Angelina meringis menahan serangan demi serangan yang pria itu lancarkan untuknya sampai di titik dia tak kuasa lagi membendung sejuta gejolak yang melingkupi dadanya dan Adam langsung melepaskan tautan fisik mereka.
“Kupikir kau akan melawanku,” ejek Adam yang diiringi tawa pendeknya.
Kedua pipi Angelina spontan berubah warna. Dia bermaksud membuang muka, tetapi Adam kembali menahan wajahnya. Dia tersenyum dengan garis ekspresif yang menandakan rasa bangga sekaligus puas itu menjilati pikirannya. Pria itu senang menemukan fakta bahwa Angelina memberikan segenap reaksi yang memang ingin dia lihat.
“Tatap aku, Angelina. Kau tidak diizinkan untuk memindahkan pandanganmu,” cetus Adam yang seketika membuat Angelina menumpahkan semua perhatiannya pada pria itu.
Kini jemari Adam bergerak menelusuri garis rahang Angelina—turun dan turun—menetap di area lehernya yang makin lama makin menjenjang sebab dia juga menikmati gerakan dengan pola acak yang pria itu sketsakan padanya. Punggung wanita itu terguncang. Dia nyaris kehilangan akal sehatnya atau barangkali kewarasannya memang sudah menguap bersama pesona Adam yang membutakannya.
Detik berikutnya, Adam menyentak piama Angelina hingga pakaian itu robek dan menjadi seonggok kain tiada arti. Wanita itu terkesiap, lantas menyilangkan kedua tangannya di dada menutupi tubuhnya. Namun, Adam bergerak lebih tangkas. Dia menelikung sepasang pergelangan tangan Angelina ke atas, membatasi pergerakannya.
“Sempurna. Mereka besar,” desis Adam yang mengomentari pemandangan kembar di hadapannya.
“Le-lepaskan aku,” pinta Angelina yang meronta-ronta.
“Sst, berhentilah melawanku. I want you to know how it feels to be powerless.”
Kepala Adam merendah dan mengakses bagian tubuh Angelina dengan mudah. Lidah pria itu mengembara meninggalkan jejak gigi di sekitar areola, membuat satu desahan lolos dari tenggorokannya. Napas Angelina berubah memburu—dia menggigit bibirnya kuat-kuat—mencegah suara lain muncul. Itu sangat memalukan, pikirnya.
“Lihatlah, tubuhmu yang kurang ajar berani menantangku sekarang. Mereka tegang dan siap untukku,” kekeh Adam dengan kadar arogansi yang menyesaki sorot matanya.
“Tidak,” sanggah Angelina yang menyerupai bisikan atau erangan.
“I promise you’re going to enjoy this shit, you hear me?”
Tekanan di permukaan bibir Angelina mencapai batasnya—menggores membran tipis itu dengan ujung giginya sampai mengeluarkan darah—tanpa dia sadari. Adam yang melihatnya refleks mengusap menggunakan ibu jarinya dan mengarahkannya kembali ke wajahnya sendiri. Dia menjilati cairan berisi plasma milik Angelina yang masih merembes ringan di sana.
“Darahmu juga terasa manis sekali,” puji Adam yang sontak membuat wanita itu mengerutkan keningnya.
“Aku tidak tahu bahwa identitas aslimu adalah vampir,” sindir Angelina yang merasa jijik.
“Anggap saja aku dan vampir merupakan entitas yang sama. Kami menyukaimu.”
Angelina hanya melengos dan lagi-lagi mencoba untuk membebaskan diri. Namun, perangkap Adam jauh lebih kuat dari daya yang dia punya. Wanita itu terus memohon, meskipun Adam mengabaikannya.
“Kita akan melakukannya di tempat yang kering agar kau tidak dapat kesempatan untuk menolakku lagi.”
Adam kemudian menggendong Angelina—mengangkut dan menghempaskannya—di atas ranjang. Tubuh Adam yang kokoh seketika menimpanya dari samping. Pria itu mengecek seberapa siap Angelina melaju ke tahap selanjutnya. Dia tahu wanita itu juga menginginkannya. Mulutnya boleh berkata bohong, tetapi raganya tidak. Seluruh sarafnya menuntut stimulan yang lebih dari sekadar kecupan.
Adam melucuti semua pakaian Angelina. Dia kembali menjelajah dan membenamkan kepalanya di antara kedua paha wanita itu secara tiba-tiba. Dalam sekejap, Angelina pun meraung. Sensasi berbeda yang diberikan oleh Adam sukses membuat dirinya terlempar tinggi sebelum akhirnya segenap sel yang berkumpul di pusat tubuhnya meledak menjadi ribuan keping. Sungguh, pengalaman pertama yang menakjubkan baginya.
“Kau menikmatinya, bukan?” tanya Adam sambil menyeka bibirnya yang berkilauan.
Angelina benci mengakuinya, tetapi tubuhnya justru pandai berkhianat. Dia menggeleng, sementara gemetar di sepasang tungkainya masih berlangsung dan mengosongkan isi kepalanya. Adam menyunggingkan seringainya—puas—dengan ketidakberdayaan yang wanita itu rasakan.
“Giliranku sekarang.”
Adam bergerak menuntun penyatuan mereka, memaksakan miliknya masuk dan menciptakan persepsi baru untuk Angelina. Dia menjerit keras setelah pria itu berhasil menembus himen rapuh yang bermuara di dalam dirinya. Gelombang gairah yang semula membakar dada Adam seketika menyusut selepas dia menabrak sesuatu yang belum pernah dikoyaknya—selaput itu tercabik seiring dengan kuatnya hunjaman—membentur inti tubuh Angelina.
Adam terperangah, “Perawan? Kuharap kau tidak sedang membuat lelucon.”
Angelina memandang pria yang ada di atas tubuhnya dengan tatapan gusar, “Apa kau pikir aku badut?”
Rasa bersalah sempat menyelusupi diri Adam. Dia berdecak, lantas membiarkan berahi itu lagi-lagi memuai mengikat logikanya. Dia mencengkeram rahang Angelina, menciumnya dengan kasar serta memajukan tulang panggulnya untuk menukik lebih jauh sekaligus lebih dalam dari sebelumnya. Pria itu menikmati setiap teriakan yang Angelina lontarkan.
Beberapa menit berlalu, nada sumbang itu pun berganti menjadi erangan kecil yang mengalun mengimbangi ayunan Adam. Tubuh Angelina mampu beradaptasi cepat pada ritme pergumulan mereka. Pria itu memberikannya tempo yang sesuai, pacuannya pas dan akan kembali mengirimnya dalam sebuah palung bernama kehancuran; segera.
“Tu-Tuan Ford,” panggil Angelina terbata-bata, sorot matanya membuang ke segala arah.
“Cukup sebut aku Adam saja,” pinta Adam yang sistem pertukaran udaranya ikut kacau sekarang.
“A-Adam, Adam...”
Adam yang tahu bahwa Angelina ingin meraih pelepasannya sontak memperlambat intensitas gerakannya, membuat wanita itu mengejar dan memohon atas kenikmatan yang dia dambakan. Kelopak matanya menjadi sayu dipengaruhi hasrat—oh, dia benar-benar harus memperolehnya sekarang!
“Apa kau menginginkannya?” goda Adam yang berhenti mengayuh pinggulnya.
“Y-ya, kumohon. Aku menginginkanmu. Aku menginginkannya.”
Angelina merengek untuk yang kedua kalinya dan gerakan terlatih itu langsung hadir memenuhi dirinya. Jenis buaian yang tepat; sauh yang berlabuh di titik lemahnya. Tubuh wanita itu membusur serta memekik dengan hebat setelah gulungan ombak yang ditunggu-tunggu datang menyapunya—menyeret Angelina ke dalam muntahan magma Adam yang menenggelamkannya—di antara nikmat duniawi.
“Sialan, Angelina! Kau sempit. Bercinta satu kali denganmu tidak akan pernah cukup,” sembur Adam melalui gertakkan giginya yang saling menggesek satu sama lain dan tubuh pria itu roboh menindihnya mengakhiri babak pertama dari kegiatan intim mereka.
***
Angelina bangun pukul delapan. Dia mengerjap-ngerjap, lantas mengedarkan pandang ke sekeliling. Awalnya dia pikir Adam akan ada di sana; menyisir rambutnya atau memberikan ucapan selamat pagi untuknya. Namun, sosok pria itu tak ada di sana. Momen tentang adegan pergumulannya bersama Adam mendadak terkenang di dalam kepala wanita itu—menciptakan semburat merah—yang sukses mewarnai kedua pipinya.Angelina beranjak dari atas tempat tidur dengan segera, tetapi rasa nyeri di antara selangkangannya membuat wanita itu berhenti menggerakkan tubuhnya dan mengaduh dalam nada lirih yang membuatnya juga spontan menggigit bibir. Adam telah menjadi pria pertama yang mengantarkannya menuju satu persepsi baru di pengalaman seksualnya. Dia mengakui pria itu memang luar biasa, sementara sisi lain dirinya mengutuk tindakan bodohnya yang terlena dengan mudah oleh keahlian Adam.
“Apa yang kau lakukan, Adam? Kau mematikan telepon selulermu. Kau juga menolak panggilanku setelah puluhan kali aku menghubungimu dengan susah payah dan baru tersambung tadi. Kau mengabaikanku seharian!” keluh Kate yang melemparkan tas hobonya ke atas meja kerja Adam—raut wajahnya terlihat kesal—sampai-sampai kedua pipinya yang tirus berubah warna.Adam seketika memutar kursi kebanggaannya ke depan—mengalihkan pandangannya dari diorama pusat kota yang sempat dinikmatinya sekejap, kemudian mengangkat satu alisnya ke atas, “Kate? Apa kabarmu?”“Apa kabarku? Sejak kapan kita berubah menjadi seformal itu?” geram Kate yang kembali memancing emosi Adam—dia menudingkan jari telunjuknya pada pria itu—dengan tatapan marah.
“Adam?” bisik Angelina yang terbangun dari tidurnya menjelang fajar.Adam sedang tertidur di atas sofa yang letaknya berseberangan dengan ranjang mereka. Dia terlihat kacau—kemeja yang bagian dadanya setengah terbuka, dasi yang masih terikat di lehernya dalam posisi miring serta botol minuman beralkohol yang kosong berserakan di atas lantai—pria itu mendengkur keras seperti bunyi mesin yang meraung.Angelina beranjak mendekati Adam—berjongkok di dekat kepala pria itu—sambil memperhatikan wajah aristokratnya yang masih tetap menawan, meskipun dia tengah terlelap menikmati mimpi panjangnya. Wanita itu tersenyum tanpa dia sadari, menyaksikan orang tidur terlebih lagi seorang pria merupakan sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.&ld
Siang itu semuanya kembali berjalan dengan ‘normal’. Adam tetap menjadi pribadinya yang angkuh nan dingin setelah dia lepas dari pengaruh alkohol yang sempat menguasainya. Pria itu bahkan sama sekali tak menyadari insiden yang telah terjadi tadi malam. Tidak dengan ucapannya. Tidak juga dengan sikap manisnya pada Angelina.Pengakuan yang seketika mengejutkan wanita itu pun langsung Adam lupakan dalam sekejap selepas sepasang iris abu-abu yang memikat miliknya lagi-lagi terfokus pada lembaran dokumen yang menggunung di atas meja kerjanya. Ada beberapa berkas yang harus ditandatangani, ada sejumlah rapat penting, ada begitu banyak hal lain yang langsung menyita seluruh perhatiannya dari kejadian semalam.Adam memang dikenal sebagai penggila kerja. Dia akan berkutat dengan urusan perusahaan sampai melupakan waktu, melupakan
Angelina mematut dirinya sekali lagi dari belasan kali melakukannya di depan cermin. Dia menyentuh ujung rambutnya yang sengaja dibuat ikal oleh alat penggulung dan merasakan tekstur halusnya menggelitik permukaan kulit jemari tangannya. Penampilan wanita itu tampak anggun sekarang; sempurna.Angelina mengenakan gaun pendek model selutut berpotongan dada rendah yang indah—taburan kristal berharga fantastis di sejumlah area—yang dipadukan dengan selop tali yang meliliti sepasang betisnya. Dia menjadi lebih mirip seperti seseorang yang berprofesi sebagai aktris daripada Angelina Wilson. Wanita itu mendesah canggung, kemudian memutar pinggulnya membelakangi kaca bening yang dicat air raksa itu—lagi dan lagi.“Mengapa aku harus mengenakan pakaian terbuka hany
Pagi itu udara cukup nyaman di luar, tetapi tak demikian yang dirasakan oleh Angelina. Dia justru merasa dingin—beku dan kaku—di sekujur tubuhnya, seolah-olah wanita itu baru saja dikurung dalam lemari pendingin selama beberapa jam dengan posisi tubuh yang salah. Punggungnya pun menjerit setiap kali dia melakukan gerakan kecil untuk aksi peregangan, sementara area selangkangannya turut serta mengambil posisi teratas yang menuntut perhatian agar disematkan ke dalam daftar khusus; kategori rasa nyeri yang sulit diabaikan.Adam yang bajingan itu melakukannya dengan kasar tadi malam. Sikapnya seketika berubah menjadi buas—gempuran liar dan gila—sesuatu yang belum pernah Angelina rasakan karena memang dia merupakan orang pertama yang menidurinya. Wanita itu mencoba untuk duduk setelah pikirannya kembali jernih dari kenangan panas yang masih tertinggal. Namun, keputusan itu
Waktu berlalu dengan cepat bagi Adam. Hari-hari yang dilaluinya seperti terbang. Kalender bulan berganti menjadi kalender tahun, pun resolusi lama ikut berganti menjadi resolusi baru untuk sebagian orang. Satu tahun yang dia lewati bersama Angelina terasa menakjubkan. Pria itu—yang pernah menganggap cinta hanya sekadar dongeng bualan belaka—sangat menikmati petualangan liar mereka sepanjang malam.Gairah Adam terhadap Angelina selalu tumbuh di setiap kesempatan seiring dengan menebalnya rajutan cinta itu juga hadir di dalam dirinya. Namun, mengakuinya secara terang-terangan sama sekali bukan karakter yang pria itu punya. Dia akan kehilangan seluruh harga dirinya sebab terpikat pada wanita itu merupakan sesuatu yang terlarang. Bukankah seharusnya singa memangsa buruannya?Adam jauh lebih suka bersikap dingin dan menjaga ja
Adam dan Angelina mendadak menjadi orang asing dalam waktu satu malam. Dia merasa hancur—remuk dalam sekejap, seolah-olah seisi dunia sedang menuding dengan sorot mata tajam serta mengata-ngatainya sekarang. Dia langsung pergi meninggalkan kediaman Ford sesaat setelah pria itu mengusirnya bersama seorang sopir pribadi suruhan Adam yang mengantarkannya ke satu alamat.Tujuan yang asing—rumah besar di kompleks Tibetan Rock City—kawasan elite dengan nilai prestise pada segenap bangunan berdesain modernnya. Lamunan Angelina buyar selepas mobil yang ditumpanginya berhenti dan sang pria separuh baya di kursi kemudi itu memintanya untuk turun.“Anda sudah sampai, Nona Wilson.”“Benarkah? Terima kasih,” bisik Angelina yang konsentrasinya ter