"Aku tidak akan pernah lagi membiarkan Yooshin pergi ke hutan itu." Tuan Hwang membuang napas pelan melihat keadaan putranya. Yooshin terlihat belum sadarkan diri."Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku," ujar Seungmo."Anda tidak bersalah. Tuan. Akulah yang lalai dalam memperhatikan putraku. Harusnya aku melarangnya pergi ke sana lagi. Dia sudah beberapa kali menghadapi situasi yang berbahaya yang bisa mengancam nyawanya, aku tidak bisa membiarkannya menghadapi hal seperti itu lagi."***"Kakekmu, Kim Seungmo, adalah manusia picik yang juga aku benci hingga detik ini. Dia penyebab dari semua ini. Dia mengadu dombakan aku dan juga ibumu. Dia tahu kami membuat kesepakatan dan dia mengacaukan segalanya. Dia dan juga orang-orangnya membunuh penduduk lalu berkata pada Kiara kalau akulah yang membunuh mereka semua.""Ibumu marah dan menyudutkanku. Dia dan ayahmu diam-diam masuk ke dalam hutan di malam purnama dan membunuh semua keluargaku. Dia membunuh mereka saat mereka dalam kondisi lema
Waktu tak terasa berlalu dengan begitu cepat. Nara yang masih berada di dalam Hutan Moa mulai perlahan kian terbiasa dengan kehidupannya di sana. Di samping itu, seharusnya Moa berperan sebagai sosok yang patut Nara jauhi, namun pada kenyataannya justru mereka berdua melakukan hal yang sebaliknya. Gadis yang sempat berencana membuat senjatanya sendiri secara diam-diam kini justru seolah melupakan tujuannya itu.Asap terlihat mengepul melewati dahan-dahan pohon, lalu berterbangan ke langit dan menghilang bersama dengan angin. Sementara di bawahnya, si pelaku pembuat kepulan asap itu tampak menikmati ikan bakar dengan wangi yang begitu menggoda, membuat air liur seolah hampir menetes keluar dari ujung bibir yang sudah lembap."Kau berencana makan itu sendirian?" Moa bertanya dari bawah pohon, menatap anak manusia yang terlihat fokus pada ikan bakar di depannya.Nara mengangguk dengan semangat. "Tentu saja. Aku lapar sekali." ujarnya. Ia menyudahi acara bakar ikannya dan kini sibuk meniu
"Terlihat cocok untukmu." Moa menatap panampilan baru Nara dengan pakaian berwarna putih, lengkap dengan jubah berwarna senada. Bagian pundak yang dihiasi bulu-bulu halus menambah poin plus penampilan gadis itu."Ini keren!" Nara memutarkan tubuhnya dan terlihat senang. "Kau mendapat ini dari mana?""Hanya iseng, aku melihatnya di salah satu desa yang aku kunjungi," jawab Moa."Kunjunganmu itu bermakna mengerikan. Beruntung pakaian ini tidak ada bercak merahnya," cibir Nara. "Ngomong-ngomong kenapa kau sampai membawakan ini untukku?""Udara mulai dingin kan, sebentar lagi musim dingin datang jadi aku memutuskan membawakan itu untukmu. Manusia lemah sepertimu pasti akan membuatku kerepotan di tengah udara dingin.""Astaga, kau menyebalkan sekali." Nara menggelengkan kepalanya. "Tapi penampilan kita terlihat seperti Yin dan Yang, hitam dan putih. Aku suka, meskipun kau pasti mencurinya." Salah satu sudut bibir Nara naik.Moa berdeham, lalu beranjak dari tempatnya. "Aku akan masuk ke dal
"Lihatlah, wajah suamimu memerah. Dia pasti senang sekali melihatmu yang semakin cantik." Nara berjalan pelan seraya memperhatikan keadaan di sekitarnya. Sesekali gadis itu melirik ke belakang, namun selalu saja tindakannya itu bisa diketahui Moa. Karena merasa tidak nyaman dengan atmosfir di antara mereka. Nara pun sengaja memelankan langkah kakinya sehingga ia sejajar dengan Moa. Gadis itu berdeham pelan, lalu berujar. "kau tahu, kan, yang tadi itu tidak sengaja. Wanita itu benar-benar tidak tahu kita berdua, terlebih lagi dia tidak tahu identitasmu yang sebenarnya." "Lalu?" Nara menggaruk tengkuknya.. "Kau tidak perlu marah pada wanita itu. Dia kan baik, dan kurasa dia tulus--" "Kenapa aku harus marah?" ujar Moa. Ia menatap Nara hingga pandangan keduanya bertemu. "Ya... kupikir kau akan marah. Baguslah jika tidak. Kupikir kau kesal." Nara membuang pandangannya dan berjalan mendahului Moa. "Jangan berjalan terlalu cepat atau kita akan terpisah. Tempat ini ramai dan biasanya t
"Kau masih marah?" Nara menatap wajah Moa dari samping. Mereka keluar dari desa dan kini dalam perjalanan kembali. Moa tak menjawab. Ia tak lagi berlari, hanya berjalan menyusuri hutan. "Turunkan aku. Aku bisa berjalan sendiri," ujar Nara. "Diamlah, dan jangan bergerak." Kedua pipi Nara menggembung. Ia lalu mengeratkan kedua tangannya yang berada di leher Moa. "Kau tidak terluka? Kurasa di pakaianmu ada noda darah." ujar gadis itu. "Aku tak apa." "Kenapa kau memberi uang pada pria itu? Kau juga menurut saat aku menyuruhmu untuk membebaskannya." Nara kembali bersuara. "Pria itu lebih membutuhkan uang ketimbang aku." Mendengar itu, kedua sudut bibir Nara naik dan membentuk seulas senyuman tipis. "Aku yakin, sekejam apapun seseorang, ia pasti memiliki sisi lain yang baik." Moa terdiam selama beberapa saat. Ia menikmati angin sore yang menyambutnya begitu sampai di Hutan Moa. "Dan sebaik apapun manusia, mereka pasti sedikitnya memiliki sisi lain yang kejam." lirih Moa. Tidak l
Suasana tampak tenang saat Yooshin berjalan melihat-lihat desa. Ini sudah bulan kedua semenjak ia ke hutan terakhir kali untuk membawa Nara kembali. Tak ada kabar lagi setelah itu, yang ia dapatkan hanyalah kabar mengenai Nara yang pergi bersama Moa ke suatu tempat. "Aku tidak percaya kalau mereka akan pergi bersama seperti itu, bahkan mereka makan bersama," lirih Yooshin. "Nara, apa yang kau lakukan sekarang? Ini tidak seperti apa yang pernah kau katakan. Kau bahkan tidak kembali meskipun hanya untuk mengambil panahmu." Ia mendudukkan dirinya di bawah salah satu pohon seraya menatap anak-anak yang tengah belajar memanah Yooshin tersenyum saat melihat seorang anak perempuan menangis karena bidikan panahnya meleset dari sasaran selama beberapa kali. Gadis kecil itu mengingatkannya pada Nara dulu. Nara menangis saat belajar panah bersama sang ayah. Ia tidak henti-hentinya menangis karena sasarannya meleset. "Kakak!" Seseorang berteriak hingga Yooshin menoleh ke sumber suara. Yooshin
Nara berjalan kembali ke dalam setelah menyalakan api di luar. "Kau baik-baik saja?" Ia membantu Moa berjalan ke luar dan mendudukkannya di bawah pohon. "Hm." "Udaranya dingin, dan bulan bersinar sangat terang." Nara menengadahkan kepalanya ke atas dan menatap bulan yang ada di atas sana. "Sekarang sedang purnama, jadi untuk beberapa hari kau tidak akan bisa pergi--" Kalimat Nara terputus saat gadis itu menatap rambut Moa yang berubah menjadi putih. "Rambutmu--" "Rambutku akan berubah warna setiap kali purnama." "Kenapa aku tidak pernah melihatnya? Aku sudah cukup lama berada di sini." ujar Nara. Ia terkejut, untuk pertama kalinya melihat perubahan warna rambut milik Moa. "Aku tidak pernah menunjukkannya di depanmu. Aku pergi ke tempat lain dan kembali begitu menjelang pagi tanpa sepengetahuanmu." "Be-benarkah? Tapi kenapa kau melakukan itu?" Nara berkedip dua kali. "Aku hanya tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman. Kau itu sangat
Suasana hutan yang sunyi seakan membuat suara napas Yooshin menggema. Dengan pedang yang sudah ditarik sepenuhnya keluar dari sarungnya, ia menyeret benda itu hingga menimbulkan bunyi gemersak di atas permukaan rumput serta tanah yang tertutupi dedaunan kering. Yooshin mencoba mengingat-ingat arah ke mana saja ia pernah pergi. Selama kurang lebih dua bulan lelaki itu menahan diri agar tidak menerobos masuk ke dalam hutan dan menuruti ucapan Seungmo dan juga ayahnya, namun malam ini, ia tak bisa diam apalagi setelah mengalami mimpi seperti tadi. Dengan bantuan sinar bulan, ia menyusuri jalan-jalan setapak yang terbentuk di sana. Meskipun ia tak pernah menemukan tempat persembunyian Moa, tapi ia yakin kalau ia bisa menemukannya kali ini. Nara pasti berada di sana, ia yakin akan hal itu. Namun hal yang paling ia waspadai ialah, tingkat kepekaan Moa yang luar biasa. Makhluk itu bahkan bisa menyadari ada yang memasuki hutannya meskipun baru satu langkah melewati perbatasan