Suasana tampak tenang saat Yooshin berjalan melihat-lihat desa. Ini sudah bulan kedua semenjak ia ke hutan terakhir kali untuk membawa Nara kembali. Tak ada kabar lagi setelah itu, yang ia dapatkan hanyalah kabar mengenai Nara yang pergi bersama Moa ke suatu tempat. "Aku tidak percaya kalau mereka akan pergi bersama seperti itu, bahkan mereka makan bersama," lirih Yooshin. "Nara, apa yang kau lakukan sekarang? Ini tidak seperti apa yang pernah kau katakan. Kau bahkan tidak kembali meskipun hanya untuk mengambil panahmu." Ia mendudukkan dirinya di bawah salah satu pohon seraya menatap anak-anak yang tengah belajar memanah Yooshin tersenyum saat melihat seorang anak perempuan menangis karena bidikan panahnya meleset dari sasaran selama beberapa kali. Gadis kecil itu mengingatkannya pada Nara dulu. Nara menangis saat belajar panah bersama sang ayah. Ia tidak henti-hentinya menangis karena sasarannya meleset. "Kakak!" Seseorang berteriak hingga Yooshin menoleh ke sumber suara. Yooshin
Nara berjalan kembali ke dalam setelah menyalakan api di luar. "Kau baik-baik saja?" Ia membantu Moa berjalan ke luar dan mendudukkannya di bawah pohon. "Hm." "Udaranya dingin, dan bulan bersinar sangat terang." Nara menengadahkan kepalanya ke atas dan menatap bulan yang ada di atas sana. "Sekarang sedang purnama, jadi untuk beberapa hari kau tidak akan bisa pergi--" Kalimat Nara terputus saat gadis itu menatap rambut Moa yang berubah menjadi putih. "Rambutmu--" "Rambutku akan berubah warna setiap kali purnama." "Kenapa aku tidak pernah melihatnya? Aku sudah cukup lama berada di sini." ujar Nara. Ia terkejut, untuk pertama kalinya melihat perubahan warna rambut milik Moa. "Aku tidak pernah menunjukkannya di depanmu. Aku pergi ke tempat lain dan kembali begitu menjelang pagi tanpa sepengetahuanmu." "Be-benarkah? Tapi kenapa kau melakukan itu?" Nara berkedip dua kali. "Aku hanya tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman. Kau itu sangat
Suasana hutan yang sunyi seakan membuat suara napas Yooshin menggema. Dengan pedang yang sudah ditarik sepenuhnya keluar dari sarungnya, ia menyeret benda itu hingga menimbulkan bunyi gemersak di atas permukaan rumput serta tanah yang tertutupi dedaunan kering. Yooshin mencoba mengingat-ingat arah ke mana saja ia pernah pergi. Selama kurang lebih dua bulan lelaki itu menahan diri agar tidak menerobos masuk ke dalam hutan dan menuruti ucapan Seungmo dan juga ayahnya, namun malam ini, ia tak bisa diam apalagi setelah mengalami mimpi seperti tadi. Dengan bantuan sinar bulan, ia menyusuri jalan-jalan setapak yang terbentuk di sana. Meskipun ia tak pernah menemukan tempat persembunyian Moa, tapi ia yakin kalau ia bisa menemukannya kali ini. Nara pasti berada di sana, ia yakin akan hal itu. Namun hal yang paling ia waspadai ialah, tingkat kepekaan Moa yang luar biasa. Makhluk itu bahkan bisa menyadari ada yang memasuki hutannya meskipun baru satu langkah melewati perbatasan
Dengan ditemani oleh Yooshin, Nara pergi ke beberapa tempat yang ada di desa. Orang-orang tampak beraktivitas seperti biasanya. Begitu mereka melihat Nara di sana, sebagian menyambutnya dan bahkan terharu sekaligus begitu bersyukur karena bisa melihat Nara lagi dalam kondisi gadis itu yang baik-baik saja setelah semua yang terjadi. Ada beberapa pula yang terkejut dan tidak menyangka karena ternyata Nara benar-benar selamat, lalu ada juga yang merasa bersalah dan malu. "Aku senang mereka menyambutmu dengan baik. Orang-orang sangat khawatir padamu," ujar Yooshin. Nara menatap ke sekitarnya seraya tersenyum tipis. "Aku sudah memaafkan mereka," lirihnya, Yooshin menoleh. "Hm?" "Aku... sudah memaafkan mereka." Nara mengulang kalimatnya. "Semua yang telah mereka lakukan padaku, sudah aku maafkan." Yooshin terdiam sejenak, lelaki itu tersenyum kecut dan mengusap bahu Nara. Lalu bersamaan dengan itu, seorang gadis kecil berlari ke arah Nara dan Yooshin dengan b
Tengah malam, di saat semua orang sibuk bergulat dengan mimpi mereka, seorang gadis yang tinggal di salah satu rumah di desa dengan nekat keluar dengan mengendap-ngendap. Ia berjalan melewati halaman rumahnya dan dengan sedikit berlari, gadis itu pergi ke perbatasan hutan. Tanpa berpikir panjang dan membuang-buang waktu, ia langsung menerobos ke sana, hanya ditemani oleh sebuah obor dan cahaya bulan. "Aku harus kembali sebelum pagi," ujar Nara seraya mempercepat langkahnya. "Kuharap dia baik-baik saja. Apa Yooshin berhasil mengalahkannya? Apa bulan purnama benar-benar bisa melumpuhkan kekuatannya?" Nara menengadahkan kepalanya ke atas dan menatap bulan yang tengah bersinar dengan terang. Setelah melalui perjalanan yang cukup menguras waktu dan tenaganya, Nara tiba di depan pintu masuk istana bawah tanah milik Moa. Gadis itu mengedarkan pandangannya namun tak juga menemukan keberadaan Moa di sana. Bahkan pintu masuk ke dalam terlihat tidak ditutup, membuat Nara menaru
Nara dan Yooshin berpamitan begitu hari menjelang sore. Namun begitu Yooshin hendak menaiki kudanya, pria tua yang bertugas menjaga kuil itu menahannya. "Ada apa?" Yooshin menatap pria tua itu. "Tolong jaga Nona Pendeta dan pastikan kalau beliau tidak menemui Moa lagi." Kedua alis milik Yooshin saling bertaut. "Kenapa Anda berkata seperti itu?" katanya. Helaan napas terdengar. "Saya merasa sangat khawatir. Perasaan saya tidak tenang." Yooshin terdiam selama beberapa saat. Pria itu menatap Nara yang sudah terlebih dahulu menaiki kuda, lalu ia menganggukkan kepalanya pelan. "Aku akan memastikan mereka berdua tak akan bertemu lagi." ujarnya. Ia lalu berpamitan dan segera menaiki kudanya. Si pria menatap kepergian kedua anak muda itu. Sepanjang peralanan, tak ada satu pun pembicaraan yang keluar dari mulut Yooshin. la hanya menatap Nara yang berada di depannya. Gadis itu pun hanya menatap pemandangan di sekitar yang tidak banyak berubah se
"Moa..." Kedua mata Nara menatap sosok yang kini tengah melayang beberapa meter di atasnya. Ujung dari pedang Moa mengkilap ke arahnya, mahluk itu dengan gerakan cepat melesat ke bawah. BRUKK!! Tubuh Nara tepat ditarik sebelum pedang milik Moa berhasil menembus gadis itu. Yooshin langsung beralih ke depan dan ia menahan Nara agar tetap berada di belakangnya. "Purnama sudah berakhir dan kini kau kembali mengincar nyawa orang-orang. Apa purnama itu membuatmu kelaparan?" ujar Yooshin. Ia tak mengalihkan pandangannya dari Moa barang sedetik pun. Ia harus tetap waspada, apalagi begitu ia melihat adanya bekas darah di tangan Moa. Sudah dipastikan kalau jejak darah yang dilihatnya bersama Nara sepanjang jalan adalah berasal dari Moa. Mahluk itu pasti diam-diam sudah menjatuhkan korban. Dari balik punggung Yooshin, Nara menatap ke arah Moa yang tampak berbeda dari apa yang biasa ia lihat. "Inikah wujud asli dari mahluk bernama Moa
Nara tersenyum lebar usai meminum air sungai yang begitu bening. Kerongkongannya terasa kembali segar, layaknya hujan yang turun di padang pasir yang gersang. Ia lalu menoleh pada lelaki yang berada di sebelahnya."Bagaimana? Bukankah airnya terasa segar?" ujar Nara.Yooshin mengangguk. "Aku bersyukur hutan di sini masih sama, tak ada kerusakan sama sekali sejak terakhir aku ke sini.""Apa ayahmu sering ke sini?" Nara bertanya. Ia dan Yooshin kembali melanjutkan perjalanan mereka."Ayah jarang ke sini semenjak ibuku meninggal." Yooshin membuang napas pelan. "Jadi aku yang ke sini sendirian. Yah, walaupun jauh tapi rasanya semua lelahku terbayarkan saat aku sampai di sini. Apalagi begitu sampai di kuil, aku serasa seperti bertemu dengan ibuku, walau aku tak bisa melihatnya." Lelaki itu tersenyum tipis.Nara menatap Yooshin dari samping. "Kau adalah lelaki yang kuat, aku yakin itu. Aku mengenalmu sejak kita masih kecil dan aku tahu kalau kau bukanlah lelaki yang lemah dan gampang menyer