Share

Section : 2 ㅡ That Nights

Kiara menoleh. Menunjukkan wajah yang bersemu merah. Ditemukannya seorang remaja laki – laki dengan tatapan mata yang tajam namun memiliki bulu mata lentik. Garis rahang tegas menghiasi bibir tipis yang pucat karena dinginnya samudra. Kulit putih bersih memberlihatkan urat di lengan saat laki – laki itu mengusap jejak di bibirnya.

“Lo bisu?”

“N-nggak.”

Tatapannya semakin tajam. “Kenapa lo nolongin gue?”

“Heh?” Kiara menaikkan kedua alisnya tinggi – tinggi. “Lo pikir siapa yang bakal tinggal diam waktu lihat orang mau berhenti hidup?”

“Kenapa lo peduli?”

“Karena gue masih punya kemanusiaan!”

Laki – laki itu berdecih, menundukkan kepala, membawa air menetes dari ujung rambutnya. “Sial!”

“Sekarang gue tanya. Kenapa lo mau mati?” Kiara menyeka rambutnya yang basah. 

“Sorry. Gue nggak bahas masalah pribadi sama orang asing.” Lalu cowok itu berdiri. Membersihkan sisa pasir yang menempel di pakaian. Kemudian menyugar rambut ke belakang, cukup agar helai basah itu tidak menghalangi penglihatannya.

Disini Kiara menahan napas. Memandang sempurna pada tubuh bidang si cowok. Katakan saja dia sudah hilang akal, tapi bukankah wajar? 

“Siapa nama lo?”

Kiara disadarkan oleh suara berat sedikit serak basah itu. “Kiara.”

“Oke, Kiara. Gue nggak berterimakasih karena lo bikin gue kembali pada dunia menyedihkan ini. Dan karena itu, gue bakal pastiin,” tunjuknya di depan wajah Kiara, “di sekolah hidup lo nggak akan tenang.”

Karena laki – laki itu sempat melihat wajah Kiara terpampang nyata di lembar pengumuman pemeringkatan yang diberikan Ayahnya. Kiara yang mendapat peringkat pertama di ujian penempatan. Kiara yang akumulasi nilai rata – ratanya hampir sempurna. Kiara yang berhasil merusak formasi yang sebelumnya pernah ada.

Kiara Margareth, gadis yang diyakini sebagai pembawa revolusi untuk Caldera High School.

****

Terlepas dari ceritanya selama libur tahun baru, dengan seragam kebanggaan yang melekat di tubuhnya, Kiara kembali bersekolah. Bedanya sekarang, dari koridor gedung utama, langkahnya berbelok ke kanan. Gedung sayap barat. Tempat berkumpulnya murid – murid pandai dan ambisius.

“Pemegang SCL bukan Aska?”

“Bukan, cewek itu, tuh.”

“Siapa namanya?”

“Kiara.”

“Kiara yang peringkat satu itu?”

Gadis itu tidak biasa saat orang – orang menatapnya di sepanjang jalan. Ah, dia lupa kalau sekarang dia memiliki lencana di almamater. Lencana yang membedakannya dengan murid biasa, lencana dengan inisial SCL atau Summa Cum Laude, lencana yang dikhususkan untuk murid di kelas kehormatan. Kelas yang berisi 20 murid dengan nilai rata – rata tertinggi sewaktu ujian penempatan.

Kiara tak pernah tahu bagaimana kelas itu sebelum – sebelumnya. Tidak ada senior yang pernah sekalipun mengatakan tentang kelas kehormatan. Yang dilakukannya sekarang hanya membelokkan langkah ke pintu geser dengan logo khusus. 

Kelas sudah ramai saat Kiara menginjakkan kaki disana. 

“Kiara!” 

Sungguh senang hati Kiara mendengar panggilan dari satu – satunya teman yang dikenal disini. Namanya Acha. Teman yang Kiara kenal saat MOS, bersyukur hubungannya masih baik hingga sekarang. 

****

Beberapa detik lalu, setelah ia turun dari Ducati Superleggera V4 dan menanggalkan helm full face di jok depan, sebuah bola basket menggelinding dan berhenti tepat di dekat kakinya. Dia memungut bola itu.

Terdapat coretan abstrak dan tulisan: Let see who’s better, me or you.

Seorang lain datang, badge nama di dada almamater kanannya bertuliskan Darren Adiputra. Laki – laki berkacamata oval yang punya senyuman manis itu perlahan melangkah menghampiri. “Pertama kali dalam sejarah, Aska Regantara, jadi peringkat dua.”

Pegangannya pada bola merah bata itu mengerat. Kalimat yang diberikan padanya terdengar mengejek. 

Aska menyunggingkan senyum miring pada rivalnya. “Dan lo merasa menang?”

“Nggak. Sebelum gue sendiri yang ngalahin lo.”

“In your dream!

****

“Gila! Kita bakal sekelas sama formasi segitiga?” Acha memekik tertahan setelah membaca ulang form pengumuman peringkat ujian penempatan di ponselnya.

“Formasi segitiga?” ulang Kiara dengan kening berkerut.

“Iya!” Kedua alis Acha dinaikkan tinggi-tinggi, antusias. 

“Apa itu?”

“Masa lo nggak tau?”

Kiara menggeleng polos.

“Ck. Kebetahan di kelas, sih, lo!” selorohnya. “Kelompok superior yang ambisiusnya nggak ketolong.” Acha lanjut menjelaskan karena Kiara tak juga mengerti. “Katanya, setiap ada ujian semester, mereka bakal belajar 24 jam nonstop buat ngejar nilai sempurna. Bayangin aja kalau UASnya 7 hari, berarti mereka nggak tidur seminggu.”

Kiara mencondongkan tubuh, tertarik mengetahuinya lebih jauh. “Mereka ... siapa aja?”

Acha mematikan ponselnya, membenarkan posisi duduk, lalu menunjuk seorang gadis yang menonton video choir luar negeri. “Dia urutan ketiga, namanya Rachel Adelaide kelas XI-B. Putri tunggal kepala sekolah.”

“Anaknya Bu Anna?” Bahkan Kiara baru mengetahuinya. Mungkin benar kata Acha, dia terlalu betah di kelas sampai tidak mau tahu dengan orang – orang segila formasi segitiga.

“Iya. Vokalis kebanggan Batavia Madrigal Singer yang kemarin dapet penghargaan di 51st Tolosa Choral Contest, salah satu lomba padus tersulit yang tergabung dalam European Grand Prix for Choral Singing.”

Kiara terperangah.

Selanjutnya terdengar derak dari bola basket yang dipantulkan dari arah pintu. Tak lama kemudian terlihat sosok laki – laki berkacamata berbalut hoodie mustard dan Converse hitam basic muncul dengan senyum termanisnya. Sebelum ini Kiara rasa pernah melihatnya.

“Nggak mungkin lo nggak tahu dia. Urutan kedua dari kelas XI-A, Darren Adiputra, si kapten basket yang paling seneng bikin anak cewek jejeritan tiap turun ke lapangan. Senyumnya itu lho ... ” Acha menangkup pipinya sendiri. “ ... bikin meleleh.”

Kiara tak menampik argumen Acha karena pesona yang Darren pancarkan memang luar biasa. Gadis itu bahkan tidak sadar jika sedari tadi irisnya mengikuti pergerakan Darren.

“Udah jangan diliatin gitu, ntar lo sendiri yang salah tingkah.” Acha meraup wajah Kiara pelan. “Tapi orang bilang—“

“Selamat pagi, semuanya.”

Belum sempat meneruskan ceritanya, seorang guru datang, memaksa Acha mengambil sikap siap di mejanya. Kiara menghela pelan. Entah karena belum cukup mendengar keseluruhan cerita Acha, atau karena atmosfir ruangan ini terasa sangat berbeda dari kelas biasa.

Guru dengan itu melangkah sampai ke mimbar yang ada di depan kelas. Otomatis membuat kelas itu sepenuhnya senyap. “Perkenalkan nama saya Yustin Pradiantara. Kalian bisa memanggil saya Pak Yustin. Selama di Laude Class, saya akan menjadi pembimbing kalian.”

“Sebelumnya saya ucapkan selamat kepada kalian murid-murid terpilih yang menjadi bagian dari kelas kehormatan. Kalian kelompok yang luar biasa.” Di hidungnya bertengger kacamata dengan bingkai kotak, rambutnya disisir rapi ke samping, dan masih ada lipatan setrika di seragamnya. Menunjukkan kalau beliau memanglah guru yang disiplin.

Pak Yustin menghubungkan pointer dengan proyektor sehingga layar yang menjadi papan tulis di kelas itu langsung menyala. Disitulah perbincangan ringan mulai terdengar dari mulut ke mulut.

“Acha,” panggil Kiara sepenuhnya berbisik. “Lo baru ceritain dua, terus siapa urutan pertamanya?”

Brak!

Suara pintu yang dibuka dengan kasar mengalihkan atensi dari ke-20 murid kelas kehormatan. Termasuk Kiara.

“Regantara! Jam berapa ini?” seru Pak Yustin dari mimbarnya.

Yang dimaksud hanya melirik malas Rolex yang melingkar di pergelangan kirinya. “Jam delapan lebih sepuluh, Pak.”

“Tahu apa kesalahan kamu?”

“Saya terlambat sepuluh menit.” Dia melengos. Mengayun langkah menuju bangkunya.

“Siapa yang menyuruh kamu duduk?”

Laki – laki itu mendengus seraya membenarkan ransel yang dicangklong di satu bahu.

Pak Yustin mendengus. “Jawab pertanyaan saya sebelum masuk.”

“Baik.” Cowok itu menjawab tanpa pikir panjang.

“Jelaskan sejarah penemuan listrik.”

Kiara sedikit tercengang. Tidak biasanya sekolah mengajukan kuis pelajaran sekedar untuk mengijinkan muridnya masuk kelas.

“Tahun 640 – 546 SM Thales menggosok amber dengan bulu kucing, dan benda – benda ringan di sekitarnya mendekat menempel pada bulu kucing. Sederhananya disebut listrik statis. Tahun 1773 William Gilbert menyebutnya elektrik. Kemudian tahun 1739, Charles du Fay mengetahui elektrik yang dimaksud terdiri dari kutub positif dan negatif.” Dia menarik napas. “Dilanjutkan lagi oleh Benyamin Franklin, yang telah membuktikan bahwa petir adalah bentuk alami listrik. Selanjutnya tahun 1800 oleh Alessandro Volta, dia membuat batu baterai dari tumpukan volta yang terbuat dari lempengan tipis tembaga dan seng, lalu dipisahkan dengan karton lembab.”

“Sudah?” tanya Pak Yustin lagi.

Cowok itu menggeleng. “Michael Faraday. Ia memulai penelitian yang bertujuan untuk membuat alat yang dapat menghasilkan rotasi elektromagnetik. Salah satu alat yang ia ciptakan adalah, ...” kalimatnya menggantung, ia menerawang mencoba mengingat hafalannya, “homopolar motor. Penemuan itu jadi dasar dari teknologi elektromagnetik dan generator listrik saat ini.”

Tanpa celah.

Acha mencondongkan tubuhnya ke Kiara. “Dia Aska Regantara, berandal biang onar dan pecandu rokok. Tapi jangan remehin Aska, dia punya IQ 141, urutan pertama dari kelas XI-A, dan putra tunggal direktur Caldera High School. Kalau kata gue, lebih baik lo jangan cari masalah sama dia.”

Namun, sepertinya Kiara telah membuat masalah. Ribuan neuron di otaknya menjurus pada kejadian tempo lalu. Tatapan mata yang tajam, alis tebal, garis rahang tegas, bibir dan suara berat serak basah itu ... 

... mengingatkannya pada seorang laki – laki yang nekat mengakhiri hidupnya di pantai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status