Share

Section : 1 ㅡ Midnight Memories

Pertengahan malam di hari terakhir tahun 2020, tidak ada yang tidur. Pantai menjadi tempat berkumpulnya orang merayakan pergantian tahun. Menunggu sampai jarum pada jam gadang di daerah wisata itu berdenting tepat di angka 12.

Selalu menjadi waktu yang paling ditunggu – tunggu. Hari terakhir, lembaran terakhir, dan harapannya akan menjadi kemalangan terakhir. Harap demi harap kerumunan orang itu sepertinya sama. Berharap tahun depan menyingkirkan keburukan tahun ini. Berharap tahun depan adalah lembaran baru yang membawa perubahan yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.

Semua orang menahan napas ketika denting menunjukkan kurang dari 30 detik. Di detik – detik itu, semua orang menyatukan tangan dan memejamkan mata. Menyatukan harap yang sama. 

Kemudian pada detik – detik terakhir. Saat jam besar itu berdentang nyaring, ratusan kembang api diletuskan ke langit. Menghiasi cakrawala gelap dengan kerlip bintang dan gemerlap cahaya warna warni. Seolah menyampaikan harap orang – orang itu kepada Yang Maha Kuasa.

Ucapan selamat tahun baru terdengar merambat dari satu orang ke orang lain. 

Kecuali seseorang yang hanya memeluk lutut di atas batu karang, memandang indah langit dengan seulas senyum penuh arti, meski pikirannya kosong. Kiara Margareth, gadis yang membiarkan hembusan liar angin menerbangkan helai halusnya, membiarkan Sang bayu membelai lembut pipinya yang tembam, membiarkan dingin malam itu menusuk sampai ke tulang.

“Kenapa ....”

Sampai rintihan yang disertai isakan kecil itu mengalihkan atensinya. Apalagi waktu baru saja melewati tengah malam, membuat Kiara merinding sendiri. Kepalanya bergerak menjelajah sekeliling, hingga jatuh pada sosok laki – laki yang berdiri di atas karang tak jauh darinya, menerjang hembusan kasar angin pantai. Kiara menyipitkan mata agar bisa melihat lebih jelas, mengamati dari kejauhan.

Bahu laki – laki remaja berkaos hitam polos itu bergetar saat menundukkan kepala. Sesekali juga terlihat menyeka tetes embun yang memberat di kedua matanya. Entah apa yang dilami tapi Kiara merasa iba.

Kiara masih terus memperhatikannya sampai letupan kembang api di angkasa berhenti. 

Bersamaan dengan si laki – laki yang melangkah ke arah laut dengan pandangan kosong, sempat mengecek kedalaman laut, lalu mengambil posisi yang Kiara pikir akan menjatuhkan tubuhnya.

“Jangan!” Kiara memekik sekeras yang dia mampu. Langsung beranjak bergegas lari menghampiri laki – laki itu. Tak peduli jika karang kasar membuat telapak kakinya terasa sakit.

Namun, laki – laki itu tidak sadar kalau Kiara memaksudkan larangan itu untuknya. Detik berikutnya, tubuhnya langsung dihempas ke laut lepas. Sebelum Kiara sempat menggapainya.

60 detik adalah waktu maksimum seseorang yang bukan profesional menahan napas ketika tenggelam. Sebelum oksigen tidak lagi memenuhi paru – paru. Sebelum otak memerintahkan jantung untuk berdetak. Sebelum hening dan pandangan hitam mengambil alih kehidupan. Kiara tak mau melewatkan 60 detik itu. Mendasari keputusan nekat untuk ikut terjun ke laut lepas.

Sejak kecil, gadis itu dilahirkan sebagai anak petualang yang suka menjelajah alam, dan menaklukan lautan bukan permasalahan besar. Kiara merenangi lautan pesisir, mencari – cari sosok berkaos hitam, mengabaikan dingin yang bisa saja membekukannya. 

Matanya mulai perih saat menemukan laki – laki berkaos hitam itu terus tenggelam. Kiara mendekati. Meraih pergelangan tangan laki – laki itu sebelum mencapai dasar. Lalu segera membawanya ke bibir pantai sekiranya napas dirasa sebentar lagi habis.

Ombak masih menyapu ketika Kiara menidurkan laki – laki di bibir pantai. Mengantar pasir ke sela – sela kuku kaki. Gadis itu terus mempompa dada laki – laki yang sekarang terpejam sepenuhnya. Berharap air keluar dari rongga paru – paru.

“Hei, bangun.” Kiara menepuk rahang tegas yang mulai pucat itu. “Bilang siapa nama lo, jangan diem kaya gini.”

Merasa hal itu belum cukup berhasil, Kiara mendekatkan pipinya ke hidung si laki – laki. Merasakan hembusan napas yang sangat lemah. Selanjutnya ia memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan. 

Hingga Kiara menelan ludah ketika memikirkan cara terakhir bila tidak ada alat bantu apapun. CPR atau pernapasan buatan. Oke, Kiara akan melakukannya demi menyelamatkan nyawa seseorang —yang bahkan tidak dia kenal.

Ia mengambil pernapasan dalam, mencuping hidung si cowok, dan menempelkan bibirnya dengan bibir pucat cowok itu. Kiara melakukannya berulang. Sampai cowok itu mulai terbatuk, menyemburkan air dari mulut dan hidungnya.

Seketika Kiara menegakkan tubuh. Menyeka wajahnya yang terkena semburan dengan punggung tangan. Sesaat ia merasa pipinya memanas.

Sementara laki – laki itu mencoba bangun, iris gelapnya menemukan gadis yang memalingkan wajah, enggan melihat kearahnya. “Lo siapa?” ucapnya setengah terbatuk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status