"Valea adalah keturunan suku penyihir Dulcis. Ciri khas mereka adalah berambut merah. Sebenarnya kami lebih sering menyebut mereka sebagai kaum ras penyihir yang paling kuno di Firmest, mereka hidup menyebar di Firmest."Valea hanya mengangkat bahu atas penjelasan, sementara Zhura mulai menyapukan matanya menelusuri penampilan gadis merah itu. "Hei, bisakah kau gunakan sihir itu untuk membawaku kembali?" Sudah mati-matian Zhura menampilkan raut wajah memelas, tapi Valea justru mengibaskan tangannya seraya menampilkan ekspresi tidak peduli."Aku tidak bisa. Lagipula aku tidak tahu di mana dunia asalmu itu."Zhura mengeluarkan napas berat. Rasanya seperti ia baru saja dihempaskan dari langit ketujuh. Inara yang masih sibuk mengunyah kini tampak berpikir. Namun, ia tidak mengatakan apapun. Zhura turut melahap nasinya yang entah kenapa justru diletakkan di dalam mangkuk. Beberapa saat keheningan masuk di antara mereka, hingga elf cantik di depan tiba-tiba meletakkan sumpitnya."Sebenarnya
"Tangkap gadis bincacak itu! Hei, berhenti kau!" Gadis-gadis pengikut Arlia itu begitu keras kepala, sudah hampir setengah jam berlari dan tampaknya mereka belum ingin menyerah di mata Zhura.Sembari menahan umpatan, gadis zamrud itu mencoba berbelok ke kanan. Ia melewati lorong-lorong tinggi yang membawanya keluar ke halaman luar. Dengan gesit ia gulirkan mata ke segala arah, dicobanya menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk perlawanan. Entah kemana lari membawa dirinya, tapi yang Zhura ketahui tempatnya saat ini masih bagian dari istana. Namun, bentuk bangunannya sedikit berbeda dari bentuk bangunan yang ada di wilayah utama para petinggi kerajaan. Melihat banyak orang berlalu-lalang dengan seragam pelayan, gadis itu menyimpulkan tempat ini adalah wilayah pelayan istana.Pada saat itu juga, aroma menyengat masuk ke dalam hidung, ia sadari aroma itu berasal dari sesuatu yang berjejer di sisi halaman. Dia lihat masing-masing dari mereka dijemur dengan jarak satu meter. Zhura menga
"Minumlah.""Anda tidak perlu melakukan ini." Zhura tengah menggeleng, menunjukan tanda tidak ingin merepotkan seseorang yang baru saja menyilakan mereka minum. Namun, Valea yang kehausan sudah maju menyerobot cangkir teh itu, tanpa ragu menenggak isinya dengan cepat."Anda tahu saja jika kami kehausan. Terima kasih banyak," ujar gadis merah itu meletakkan cangkirnya yang kosong. Zhura hanya bisa menatapnya jengah."Tidak masalah, aku tahu kalian pasti kelelahan mengikutiku sampai ke sini." Mendengar ucapan wanita tua di depan membuat Zhura merasa tidak enak. Sekarang mereka sedang berada di sebuah bangunan yang disebut rumah."Nyonya, apakah ini rumahmu?" Zhura menyapukan pandangan ke sekitar. Dilihat dari gaya dan bentuk bangunannya, rumah ini jelas berbeda dengan rumah yang ada di ujung desanya. Rumah kayu misterius tempat ia terjatuh ke dunia aneh ini, Silvermist."Ini memang rumahku," sahut wanita tua itu.Zhura menganggukkan kepala. Tatapannya kemudian hinggap pada sisi wajah wa
Suara-suara bisikan menguar semakin kuat ke dalam telinganya. Bukan hanya para gadis suci, bahkan barisan tetua yang duduk di sisi aula pun bersaut-sautan mengeluarkan kalimat keterkejutannya. Sepertinya saat ini batin setiap orang menggila ketika melihat Zhura bersimpuh di depan Azhara. Tidak ada yang harus diperdebatkan dari ucapan gadis itu, satu-satunya kesalahannya adalah lawan bicaranya. Memecah keheningan, seorang tetua berdiri dan menunjuk-nunjuk dengan raut marah. "Lancang! Seorang gadis rusa berani-beraninya meminta hal itu pada Putera Mahkota! Tidak tahukah kau akibatnya?!""Bagaimana bisa dia melakukannya? Sudah tertulis di dalam gulungan, orang yang bertugas melatih para gadis suci hanyalah kelima jenderal!" "Gadis suci itu benar-benar tidak tahu batasan!""Dia pasti gila!""Bukan hanya gila, dia tidak bermoral. Dia harus dihukum karena merendahkan Putera Mahkota!" seru mereka kemudian menyetujui usulan tersebut."Ini bencana!" sahut orang-orang.Bahkan melihat keributan
"Orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk, cepat pergi sana!"Teriknya mentari sudah cukup membuat sekujur tubuh Zhura merah tersengat hawa panas, dan sekarang ia masih dihadapkan pada cobaan lain di mana seorang pemuda berwajah kaku menahannya masuk ke paviliun Azhara. Gadis itu menghela napas, memperhatikan sosok yang kini erat memegang lengannya. Dirinya ingat pemuda itu adalah pengawal yang setia mengekor kemana pun langkah Azhara pergi. "Kawan, aku harus menyerahkan gulunganku padanya. Tolong biarkan aku masuk," ujar Zhura melepaskan diri. Belum sempat ia melangkah ke bangunan besar di depan, tangannya sudah kembali dicekal oleh pemuda elf bernama Ramia itu."Nona, apa kau lupa tuanku sudah menolakmu tadi? Tolong pergilah dari tempat ini. Jika kau berbuat kacau, aku terpaksa melakukan tindakan yang serius," ancam Ramia.Zhura mengunci tatapannya pada bangunan besar yang berada di ujung istana itu. Begitu terpencil dan jauh dari keramaian, seakan-akan pemiliknya membuang di
Hari itu dimulai dengan dirinya yang bangun kesiangan. Kaki-kakinya bergelut dengan rasa kram karena ia bawa lari tanpa pemanasan. Tak adanya cukup waktu bagi tubuhnya beristirahat membuat segalanya kacau. Lalu, entah bagaimana hawa kesialan miliknya pun semakin memuncak ketika ia melihat pemuda elf berseragam hitam berdiri di hadapannya dengan wajah cerah. Firasatnya tidak salah, apa yang ia pikirkan ternyata benar. Ramia dengan wajahnya yang berseri, tiba-tiba mengulurkan sebuah sapu, menunjuk ke sekeliling halaman."Tolong, sapu halamannya," ujar pemuda elf itu dengan entengnya.Zhura menatap halaman paviliun Azhara yang sangat luas itu dengan bingung, sebelum kemudian berkacak pinggang. "Kau pikir aku pesuruh?!" semburnya.Ramia meletakkan sapu itu di tangan Zhura, lalu berbalik hendak pergi. "Eh, siapa yang kemarin bilang akan melakukan semuanya untuk menjadi murid putera mahkota? Kebetulan pelayan kebun kami sedang cuti melahirkan, jadi kau bisa menggantikan tugasnya. Jika kau m
Sebuah gagasan hinggap di kepala. Gadis muda itu tergesa berlari ke arah kolam ikan. Sepertinya ia mencari sesuatu yang dapat digunakan sebagai pertahanan. Sebuah kapak tergeletak di samping kolam, tanpa pikir panjang ia langsung menggapainya."Azhara, kau tidak akan menyesal menerimaku jadi muridmu." Zhura kuatkan mental seraya berlari masuk ke dalam paviliun. Tidak ada tanda-tanda keberadaan para penjaga tadi. Saat ia sampai di dalam ruangan, banyak benda-benda berserakan di lantai pualamnya. Entah apa yang terjadi, seisi ruangan pun terlihat seperti dilanda gempa.Siapapun itu, Zhura harus menangkap lebih dulu tersangka yang bertanggung jawab atas kekacauan ini. Kedua tangannya naik, menguatkan cengkeraman pada kapak. Diedarkan pandangan dengan waspada bersama langkahnya berjalan ke dalam. Paviliun harum bernuansa kayu putih ini sebenarnya lebih cocok disebut istana. Luas rumah Zhura di desa saja bahkan tidak cukup memenuhi bagian depan paviliun Azhara yang gila mewah ini. Yang men
Empat musim seakan hadir serempak di hadapannya. Segala jenis perasaan pun campur aduk mengisi relungnya ketika untuk pertama kalinya Zhura dan Azhara berdiri secara empat mata. Tinggi gadis itu sebenarnya hanya sampai di dada Azhara, tapi itu tidak menghentikan sengatan tajam sorotnya kepada Zhura. Lebih banyaknya perasan gelap yang datang membuat gadis itu lekas menunduk, pasrah menjatuhkan segala buncah kegelisahan ke tanah. Terdengar suara tergopoh-gopoh dari belakang, Ramia mendekat bersama anak-anak buahnya. Kernyitan hinggap lebih dalam pada dahi Zhura menyadari pakaian yang mereka semua kenakan mirip dengan para pencuri tadi."Anda baik-baik saja?" tanya Ramia melihat keadaan Azhara yang hanya dibalas anggukan oleh tuannya. "Wajah Anda kotor." Diambilnya sesuatu dari balik saku, itu sapu tangan. Ramia hendak membersihkan noda di wajah tuannya ketika tangan Azhara naik menghentikannya. Pangeran itu menyerahkan kotak emasnya pada Ramia, sebelum mengusap sendiri bercak tanah di w