Pak Daris mengedarkan pandangan, mengacungkan telinga lancipnya memeriksa keadaan sekitar. Setelah yakin keadaan sepi, Pak Daris membuka kain hijau yang menutupi kereta barangnya. Batang hidung seseorang yang bersembunyi di dalamnya lekas terlihat. Gadis itu mengangkat tangannya ke atas kepala, menghalau terik matahari. Kedua retinanya menyipit belum terbiasa, ini adalah pertama kalinya ia di tempat terbuka sejak beberapa hari terakhir."Maaf, saya hanya bisa mengantar Anda sampai di sini. Saya tidak berani mengambil risiko, Nyonya," ujar Pak Daris seraya menyatukan kedua tangannya.Zhura yang tengah menikmati lingkungan sekitar sontak kembali menghadap pada Pak Daris. Ia sedikit tidak nyaman saat pria tua di depannya memanggilnya dengan sebutan Nyonya. "Paman, panggil saya Zhura. Saya baru dua puluh tahun, kau tidak perlu seformal itu. Bagaimana pun juga saya yang harus minta maaf. Saya sudah bersikap buruk dan tidak bermoral dengan mengancammu, tolong maafkan saya.""Tidak, Anda ada
"Pergi kau dari sini! Dasar, Setan!" Teriakan seseorang mengalihkan perhatiannya. Gadis perak itu bergegas ke arah suara. Di balik belokan, ia melihat anak kecil tergeletak di tanah setelah dilempar oleh seorang wanita. Ada banyak luka di tubuhnya, seolah-olah ia baru saja mengalami penganiayaan. Keadaannya benar-benar menyedihkan."Bibi, tolonglah, saya kelaparan." Anak kecil itu bersujud, menahan tangis."Persetan kalian, kubilang pergi!" seru wanita tetap mengusirnya, ia tampak mengambil sewadah air untuk disiramkan pada anak kecil itu.Zhura yang melihatnya berlari ke arah mereka. "Tolong hentikan!" serunya meraih tubuh anak laki-laki itu, mengamankannya dari wanita jahat yang terus berteriak di depannya."Siapa kau?! Datang-datang mengganggu! Pergi! Pergi sana!" teriak wanita bertubuh subur itu mengibas-ibaskan tangan."Saya minta maaf, tapi tolong berhentilah menyakitinya! Kau tidak lihat? Dia terluka!" Zhura menunduk, dia merasakan aura ketakutan pada anak kecil dalam pelukann
"Berhenti!"Zhura mengangkat ujung jubahnya, memberi sedikit ruang bagi kakinya untuk berlari. Di belakang, tiga orang besar berpakaian prajurit masih saja mengejarnya. Sejak berpisah dengan Erland, Zhura merasakan keanehan. Instingnya berkata dia sedang diikuti. Benar saja, orang-orang itu memasang wajah datar dan mata elang untuk mengekorinya. Ini menandakan bahwa pelariannya sudah tercium dan orang-orang itu pasti ditugaskan memburunya.Zhura menunduk, bersembunyi di bawah meja yang terlihat seperti rongsokan di pinggir jalan. Orang-orang berpakaian hitam itu melewatinya. Mereka berlari lurus.. Jalanan sore desa yang berdebu membuat keadaan terlihat kabur. Angin salah satu pemantiknya. Zhura menekan laju jantung yang hampir meledakkan dada. Sudah sangat lama sejak ia berlari sekencang tadi, otot-otot kakinya kini terasa berkedut."Syukurlah, mereka pergi."Gadis itu mengintip dari bawah meja sekali lagi, lalu keluar. Ditatapnya sekeliling dengan heran di wajahnya. Ia mungkin pelari
Pintu kamarnya kembali tertutup. Beberapa saat terlewat hingga Zhura membuka mata. Dari balik selimut tipisnya, ia memeriksa apakah orang-orang itu sungguh keluar. Beberapa jam berlalu sejak dirinya dibawa oleh petugas keamanan kota Zhepyr, kini ia ada di penginapan bernuansa kayu-kayuan, tempat peristirahatan yang juga mengurungnya dari luar.Ditatapnya sebelah kakinya yang berdenyut, perban yang melilit sudah terlepas karena kakinya bengkak. Tidak terlalu sakit, tapi cukup membuatnya kesulitan berjalan. Setelah seharian berjalan ditambah berlari, keadaan kaki kanannya yang memburuk memang wajar. Bahkan jika ia terbangun esok hari dengan mati rasa di kaki, itu hal yang masuk akal.Suara ribut mengalihkan pemikirannya dari palung khayalan. Di luar pintu, sesuatu yang kacau terjadi. Ia memberanikan diri mendekat, mengintip bawah pintu yang kini menampilkan sosok-sosok yang sedang berkelahi. Matanya menyipit, tapi penglihatannya kabur karena sudut pandang terbatas. Belum sempat ia mema
Semburat fajar yang membawa hangat berpijar, tapi dingin yang hatinya rasakan. Kuyu menjadi gambaran tersiratnya rasa hampa. Letih dan putus asa, ditatapnya setiap mata yang menyorot gelap nan merisaukan. Bukan hanya sosok-sosok asing yang terus menenggelamkannya dalam kepiasan, rasa getir turut datang menemani detik demi detik eksistensinya di tempat."Azhara, dengan merujuk pada bukti serta alasan konkret, kau dinyatakan sebagai terduga melakukan tindakan pelanggaran dengan pelarianmu ke dunia bawah. Apa kau ingin mengatakan sesuatu tentang klaim itu? " Jaidin, salah seorang pengadil berjubah hijau berbicara padanya. Perawakannya khas dengan lengan yang berbobot, rambutnya panjang terhias serban terhias beludru merah.Terdapat sekat bening yang memisahkan Azhara dengan orang-orang kerajaan. Mereka semua duduk di sisi ruangan, menyaksikan dirinya bersimpuh di tengah lantai pualam dengan air yang mengalir mengelilingi. Mata birunya turun pada segel yang dimantrai untuk membatasi perge
Talhart meminta temannya maju. Sosok pengeksekusi bernama Batsarda mengambil langkah tanpa menoleh. Di sisi lain, derap kaki Batsarda justru terdengar nyaring bak kuda di pacuan, begitu menyiksa di telinga Zhura yang frustasi. Gadis perak itu berusaha mengejar, tapi lengan-lengan kokoh penjaga menahannya. Dari tempatnya, Jaidin menautkan kedua tangan di belakang pinggang. "Nona Zhura, kau dan temanmu harus ditahan karena melakukan penyusupan. Untuk tindakan lebih lanjut, tunggulah hingga ini selesai."Talhart meninggalkan meninggalkan Azhara, menyisakan ruang untuk pengeksekusian. Dia meraih tangan Zhura, membawa gadis itu bersamanya."Lepaskan aku!" Zhura memberontak. Sekuat tenaga, ia mati-matian mengurai jarak dengan Talhart. Sayang sekali ototnya belum kembali, ia tak punya kekuatan untuk melawan. Tak lama setelahnya, cemeti panjang nan tipis dikeluarkan dari serban Batsarda. Gagangnya terbuat dari batuan keras sementara cambuknya dipenuhi duri. Inara, Valea, Arlia, dan orang-oran
Ketiga pengadil bergeming memendam pikiran. Wajah-wajah tegas tadi sirna tergantikan oleh sosok-sosok angler. Talhart mendekat pada Guru Agung Zarwyn. "Bagaimana menurut Anda? Meskipun dia tidak berkhianat dan mencoba melakukan pemberontakan, tapi dia tetap melakukan ritual terlarang itu," tuturnya."Tindakan beresiko yang didasari pada niat baik akan menggugurkan sebagian ketentuan hukumnya. Dia tidak menginginkan apapun selain kedamaian orang lain. Meskipun begitu, ia tetap akan dikenai tanggung jawab untuk membenahi segala masalah yang timbul akibat masalah ini.""Apakah itu tidak masalah?"Terkekeh kecil, Guru Agung Zarwyn mengusap jenggotnya. "Aku adalah orang yang mengunci hatinya saat kecil, jadi aku tahu apa yang ia sembunyikan. Roh jahat itu selalu berusaha mengambil jati dirinya, satu-satunya cara agar ia selamat adalah membuatnya tidak memiliki perasaan apapun bahkan saat Azhara ingin merasakannya. Siapa sangka, kuncinya melemah seakan roh itu tak lagi bisa dikendalikan.""
Gemercik air terdengar nyaring karena hujan turun deras. Jendela yang dibiarkan terbuka membuat cipratan mengenai tubuhnya, tapi gadis itu hanyut dalam pikiran. Ia sibuk memikirkan tentang semua yang terjadi hari ini. Teman-temannya sudah pulang setelah menemaninya seharian. Kini ia sendirian, hening yang runyam, Zhura mengembuskan napas bosan. Digapai tongkat kayunya, ia berniat kembali ke ranjang saat seseorang mengetuk pintu kamarnya."Ada apa?" tanya Zhura saat ia mendapati Sheta, pelayannya, berdiri di depan pintu."Nona Zhura ...-" Sheta tergagap lalu membisikkan sesuatu pada telinga Zhura."Yang Mulia Azhara ada di sini."Tercenung, telinga dan akal Zhura berlomba mencerna bisikan itu. Segera kakinya melangkah ke tempat yang ditunjukkan Sheta. Ia memilah-milah pijakan agar perbannya tetap kering karena air membasahi pinggiran lantai. Di sana, Zhura pun mendapati Azhara berdiri seorang diri di nimfeum yang diterangi lentera kecil. Pemuda itu berjubah putih khasnya dengan rambut