Share

1. SEAN HARTONO

     “Sean! You coming to the party tomorrow?” Wanita dengan pakaian ketat dan hot pants melingkarkan tangannya di leher Sean.

     “Of course, babe. Can’t wait to have fun with you” Ujar Sean lalu mencium pipi wanita itu.

     Sean Hartono, adik dari Shawn Hartono, seorang dokter yang memiliki jarak umur 3 tahun lebih tua dari Sean, sekaligus merupakan anak bungsu dan ahli waris dari perusahaan besar milik orangtuanya sekarang menjalani masa-masa akhir kuliahnya di Australia. Sebelum akhirnya harus kembali ke Indonesia untuk membantu menjalankan bisnis orangtuanya.

     “Lo jadinya balik ke Indonesia kapan, bro?” Jimmy menoleh kearah Sean sembari meminum soft drink yang dibelinya di kantin kampus. Graduation Ceremony akan dilaksanakan hari Sabtu, yang berarti adalah 4 hari dari sekarang. Sean masih bergumul dengan keinginannya untuk tetap tinggal di Australia tapi di sisi lain, dia tau, dia harus pulang untuk sekedar absen wajah didepan orangtuanya, yang berarti ia harus mulai mempelajari bisnis yang dijalankan keluarganya tersebut.

     “I don’t know yet. Gue masih belum mau balik, masih mau menikmati masa-masa bebas disini. You know this place is a whole lot better than Indonesia, right?” Jawab Sean. Jimmy mengangguk, mengiyakan perkataan temannya itu. Sean dan Jimmy sudah berteman lama, mereka kuliah di Australia pun karena ingin pergi sedikit jauh dari Indonesia, pergi dari hiruk pikuk Jakarta, serta ekspektasi keluarga.

     Bukan sebuah rahasia lagi kalau Sean yang kelak akan menjadi penerus usaha besar orangtuanya. Kakaknya, Shawn Hartono sudah melepaskan posisinya sebagai pewaris utama karena Shawn lebih memilih menjadi seorang dokter. Beban pewaris utama pun jatuh ke pundak Sean, yang mengakibatkan Sean memiliki tanggung jawab lebih besar daripada kakaknya. Kebebasannya sudah hilang semenjak Shawn menjadi seorang dokter.

     “Sean, handphone lo bunyi tuh” Jimmy menepuk pundak Sean, membuyarkan segala lamunan Sean tentang kebebasannya di Australia.

     “Ah, bokap gue chat.”

Papi: Sean, ada yang harus papi omongin dan ini penting jadi harus ngomong langsung. Kapan papi bisa telepon kamu?

     Sean membaca chat dari Rudi Hartono, pemillik Hartono properties, pemegang saham utama di berbagai perusahaan besar dan bank-bank besar Indonesia yang juga merupakan Ayah dari Sean Hartono.

Sean: Hai, Pap! I will call you tonight. Kalau Sean udah pulang dari kampus, Sean akan telepon Papi.

     Tanpa berlama-lama Sean langsung mengirim balasan itu kepada ayahnya. Rudi Hartono bukanlah seseorang yang sabar, segalanya harus serba cepat untuknya. Kurang dari 5 menit, Sean kembali menerima pesan dari ayahnya, hanya 2 huruf : Ok, yang membuat Sean tidak punya alasan untuk membalasnya lagi.

     “Anyway, lo ngajak siapa ke party-nya Amie?” Sean melihat kearah Jimmy yang sibuk dengan handphone-nya.

     “I don’t know. Lagipula kita nggak harus bawa pasangan kan? We can find one there, you know what I mean laaah,” Jimmy menyikut lengan Sean dan Sean hanya tertawa memahami maksud temannya itu.

     “Let’s get back home,” Sean mengambil laptop dan memasukkannya ke dalam tasnya. Ia pun beranjak dari taman, tempat dimana dia sering bersantai-santai menonton film atau sekedar melihat sekitar. Sebentar lagi ia harus meninggalkan kota tenang, tanpa tekanan, dan hidup bebas ini. Sedikit tidak rela, tetapi disisi lain ada seseorang yang sangat ingin ia temui di Indonesia. “I have to go back there and pick her up no matter what” Tekad Sean sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil dan bergegas pergi ke apartement-nya.

                                                                            ***

     Kelip lampu disco dan alunan musik-musik yang memekakkan telinga memenuhi ruangan dimana Sean duduk sambil meminum cocktail yang baru saja ia pesan dari bar. Jimmy terlihat sedang menggoda wanita dengan baju berwarna hitam dan rambut hitam senada dengan dressnya di pojok ruangan.

     Bola mata Sean berputar melihat sekitarnya dan masih belum menemukan wanita yang ingin didekatinya.

     “Hey Sean!”

     “Amie! What a great party!” sahut Sean.

     “The girls keep asking me about you. If you are free, come join us in the pool okay?” Amie menepuk pundak Sean. Sean mengangguk dan tersenyum kepada Amie sebelum akhirnya Amie pergi menyapa tamu-tamu lain.

     “Why with that face?” Seorang wanita cantik duduk di sebelah Sean.

     “Oh, Hi. Nothing, I was just enjoying the moment” Sean menatap wanita itu dari atas sampai bawah. Perfect. Wanita dengan rambut blonde dengan tubuh seksi yang seolah menggoda semua cowok di ruangan ini untuk menggodanya. “You are Scarlett, right?” lanjut Sean.

     “Yeah, Sean. How do you know me?” Tanya Scarlett sambil meletakkan gelas cocktail yang dibawanya sedari tadi.

     “How can I not? I mean, look at you, you are so perfect. Are you alone?” Sean perlahan mendekat kearah Scarlett. Memperpendek jarak diantara mereka.

     “Not exactly” Jawab Scarlett singkat.

     “Oh, really? Who's the lucky guy?” tanya Sean. Perlahan tangan Sean mendekati tangan Scarlett.

     “You” Scarlett tersenyum. “Well I’m with you right now, if you want me to stay, tho” lanjutnya.

     “Of course! Do you have plans tonight? I mean, you can spend the night in my apartement.” tanpa sadar jarak mereka semakin dekat, lengan Sean bersentuhan dengan lengan mulus Scarlett.

     “Force me,” Scarlett menarik kerah baju Sean, membuat Sean semakin tertantang untuk mengajaknya ke apartement.

     “What do you.. wait a second” telepon Sean berbunyi tepat disaat Sean akan mengeluarkan rayuan mautnya. “I’m busy, call me later” ujar Sean begitu ia mengangkat teleponnya.

     “You better pull yourself together, Sean Hartono! I was waiting for your call. It’s almost midnight here!” Sean kembali melihat ke handphone-nya. “Oh, shit. Papi” Batin Sean.

     “I’m in the middle of party, pap. Talk to you later” Ujar Sean sambil sesekali melirik ke arah Scarlett yang terlihat mulai bosan.

     “Kamu jangan buang-buang waktu papi! Ada yang mau papi omongin, Sean!"

     “Pap, please, I’m busy right now, I don’t have time to talk with you.” Sean kembali melirik Scarlett yang sekarang memutar bola matanya dan beranjak meninggalkan Sean.

     “Scarlett! Wait!” Jerit Sean, beradu dengan kerasnya musik yang mengalun diruangan itu. Gagal sudah rencana Sean untuk bisa mendapatkan Scarlett malam itu dan sekaligus hancur pula segala mood-nya di pesta perpisahannya dengan teman-teman angkatannya itu.

     “Pap! What’s wrong with you! You ruined my mood, okay?! Talk to you later” Ulang Sean dan langsung mematikan telepon dari Ayahnya tanpa menunggu jawaban dari sang ayah. Sean tahu apa yang akan terjadi setelah ini, Ayahnya pasti akan mengamuk dan memblokir segala kartu kreditnya.

     Dengan perasaan kesal Sean memutuskan untuk pulang lebih awal, ini kali pertama seorang Sean Hartono tidak tinggal sampai larut di pesta yang diadakan pada akhir semester. “Hhhh fml!” Sean merebahkan dirinya dikasur setelah melewati jalanan Australia yang sebentar lagi akan ditinggalkannya.

                                                                          ***

     Dua hari berlalu sejak saat Sean bertengkar dengan Ayahnya. Sean merasa yang terjadi di pesta kemarin bukanlah hal besar yang harus diributkan. Tetapi dugaan Sean salah, ayahnya betul-betul marah sampai tidak hadir di acara kelulusannya. Hanya Shawn Hartono yang datang menyelamati dirinya.

     “Really? Papi sama Mami nggak ada yang mau datang?” Tanya Sean kepada kakaknya dengan toga dikepalanya.

     “You don’t even tell them about this event, Sean. What do you expect?” Jawab Shawn dengan jas warna hitam yang membuatnya semakin gagah.

     “I did!”

     “When?

     “I don’t know, I guess I told them already” Sean menyerah, ia sadar kalau selama ini dia tidak pernah bercerita apapun kepada kedua orangtuanya. “But they knew, didn’t they?” Lanjut Sean.

     “Yea of course, seorang Rudi Hartono pasti tahu apa yang terjadi di kehidupan anaknya, termasuk kemarin lo lagi di party dan seenaknya nutup telepon dari papi” Ujar Shawn. Sean mendengus. Lebay. Itu yang dipikirkan Sean.

     “Seriously? Papi marah cuma karena itu? Lebay amat sih” protes Sean.

     “You have to grow up, Sean. You knew he takes everything seriously. He was disappointed with you,” Shawn dengan sabarnya menasihati adiknya yang masih tidak tahu tanggung jawab itu. “You will inherit the company, you have to be responsible for everything” Ujar Shawn lagi. Ia melihat adiknya yang dulu sangat dekat dengannya itu. "Or if you don't want to, show them what you really did. Pursue your dream, Sean" lanjut Shawn. Rasa bersalah menghantuinya semenjak kejadian itu, dimana ia bertengkar hebat dengan Rudi Hartono karena memilih untuk mengejar cita-citanya untuk menolong orang-orang dengan menjadi Dokter. Jarak antara ia dan Sean yang dulunya tidak pernah ada, lama kelamaan makin terbentang ditambah lagi karena beban Sean yang makin banyak karena keegoisannya.

     “Whatever.” Ucap Sean sebelum para wanita berdatangan untuk meminta foto dengannya. Sean memang populer, selain karena ia tampan, Sean juga terkenal kaya dan atletis.

     "I'm sorry, okay?" ujar Shawn pelan, berharap adiknya masih bisa mendengar suaranya itu. Baru kali ini ia berani mengucapkan kalimat itu, kalimat yang selama ini ia pendam dalam-dalam.

     “Shawn, you can go back to Indonesia first, I will stay here for a while” lanjut Sean, yang sepertinya tidak bisa mendengar kata-kata yang sudah lama dipendam oleh Shawn.

                                                                           ***

     Sean membuka matanya, gorden tebal berwarna cokelat menyelamatkannya dari terik sinar matahari. Tidak terasa satu minggu berlalu sejak wisudanya. Hari-harinya ia jalani tanpa beban, bangun tidur, makan, jalan-jalan dengan wanita yang berbeda setiap harinya, makan, lalu tidur lagi. Tidak muluk-muluk, inilah surga bagi Sean, dimana ia bebas melakukan apapun yang ia inginkan.

     Ia beranjak dari tempat tidurnya. Masih tidak bisa lepas dari handphone-nya, Sean berjalan kearah dapur untuk mengambil secangkir air putih dan setelahnya memesan makanan dari restaurant dekat apartemennya. Sean menatap kosong kearah balkon apartemen, menatap birunya langit Australia. “Is she okay? What is she doing right now?” Batin Sean, sambil sesekali menyeruput air putih didalam gelas yang ia bawa sedari tadi.

     Lily was a little girl~

     Lagu Alan Walker yang berjudul Lily mengalun dari hanpdhone-nya, pertanda ada seorang spesial yang meneleponnya. Sean melihat ke layar handphone dan ia menyadari itu adalah nama yang selalu ia rindukan.

     “Hi” ucap suara diseberang sana.

     “Hai” Jawab Sean kaku. Pandangannya lurus kearah meja makan. Tidak tahu apa yang harus dia katakan.

     “How are you?” suara wanita itu selalu berhasil membuat Sean tenang. Sean tersenyum membayangkan wajah wanita itu saat menelepon dirinya.

     “Never been better,” Jawab Sean lagi. Ia menutup matanya berharap ia bisa berada disamping wanita itu sekarang, memeluknya.

     “Aku dengar kamu udah lulus, Sean?” Ucap wanita itu lagi. Sean mengangguk. “Sean? Hey, are you there? It’s me, Bian.. Bianca Liem” lanjutnya.

     “Yes, yes, Bian, How can I forget your voice?” Bian terkekeh.

     “Iya, aku udah lulus seminggu yang lalu. I’m sorry, I didn’t even tell my family, I forgot.. I’m sorry” Ucap Sean.

     “Sean? Kamu nggak papa? Kok suara kamu kayak lemes banget gitu?” Tanya Bian.

     “Nggak papa, Bian. Aku baru bangun. Kamu telepon kenapa?” Sean membuka pintu balkon apartemennya, membuat apartemennya dipenuhi bau laut dan matahari.

     “Kenapa kamu nggak pulang ke Indonesia, Sean? Kapan kamu mau pulang?”

     “Why should I?”

     “You have family and friends here, Sean, they miss you” Jawab Bian.

     “Do you miss me?” hati Sean berdebar. Entah mengapa menanyakan hal simple seperti itu pada Bian membuat hatinya tidak keruan.

     “A lot..” mata Sean terbelalak. What did she said?

     “Can you say that once again?” pinta Sean.

     “Sean Hartono, I miss you, so much, when can I see you again?” Bian melakukan apa yang dipinta Sean dan otomatis membuat wajah Sean memerah. Ucapan yang biasa ia dengar dari teman-teman kampusnya, wanita-wanita yang ia pacari saat di Australia tidak terasa sebegitu indah. Tidak seperti saat Bian yang mengatakannya.

     “I miss you, Bian..” Ucap Sean. Bian tertawa, tawa yang sangat dirindukan Sean. “I will go back to Indonesia tomorrow. Can you wait? Or should I buy a flight ticket for tonight?” Tanya Sean.

     “No, tomorrow is fine. I’ll see you at the airport, okey?” Ucap Bian.

     “Mm.. I miss you” ucap Sean lagi.

     “You said that already, fool.” Sean tersenyum, akhirnya setelah beberapa tahun menahan rasa ingin bertemu, ia bisa bertemu dengan seseorang yang sangat berarti untuknya. “Sean? I got something to do, I will call you again tomorrow, okay? Don’t forget to eat and pack your things now.” Lanjut Bian. Sean mengangguk lagi. Seolah ia lupa kalau Bian tidak bisa melihat anggukannya.

     “I can’t wait to see you, Sean. I.. ah nevermind. See you, Sean” Bian memutuskan pembicaraan mereka, dan Sean sama sekali tidak tersinggung. Ia masih tersenyum membayangkan wajah Bian, mengingat ketika Bian mengatakan bahwa Bian merindukan dirinya.

     “Gue nggak kangen sendiri.. hehe” gumam Sean. Dengan langkah enteng Sean berlari ke kamarnya, mengambil kopernya dan memasukkan baju-bajunya. Setelah itu Sean memesan tiket pesawat dari Australia ke Indonesia, besok jam 8 pagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status