Setelah menjelaskan semuanya di ruang pertemuan Gen Biru, ayah membawaku melewati beberapa istana kecil dengan mengendarai kabut. Semua istana kecil itu diselubungi kabut berwarna merah. Ada beberapa makhluk berwujud manusia kekar namun berkepala harimau yang terlihat berjaga di depan gerbang istana yang pertama kami lewati. Dua orang di depan pintu gerbang memegang trisula, dan sisanya menyilangkan satu pedang di depan dadanya. “Istana ini dihuni oleh Abraka, putra dari Lensana Merah,” kata Ayah ketika kami melewati istana itu. “Istana ini dibuat untuk penjagaan gudang senjata tempur.” Di samping istana itu ada sebuah bangunan yang cukup luas. “Apa ini gudangnya?” “Benar,” jawab ayah. Ayah melanjutkan ke istana kedua dan ketiga yang diantaranya terdapat gudang yang mirip istana emas namun tidak berpintu. “Istana kedua dan ketiga dihuni oleh Lindra dan Harda,” ayah menjelaskan sambil melihat bentuk kedua istana yang tidak berbeda dengan istana yang pertama, begitu juga penjaganya.
Entah bagaimana aku bisa memperkirakan gerakan lelaki itu dengan pendengaranku, dan hal itu benar-benar terjadi. Akan tetapi, serangan makhluk itu terlalu cepat meskipun aku bisa memperkirakan serangannya dengan begitu akurat."Aagh!" Aku kembali terhempas dan menabrak dinding marmer di tepi arena.Sorak sorai kembali memenuhi arena. Ketiga Lensana pun berdiri seraya bertepuk tangan. Senyum ayahku terlihat memudar ketika mendekatiku di arena bersama ketiga Lensana lainnya. Aku tahu ia kecewa karena aku dikalahkan.“Kamu memang perlu berlatih lagi nak,” kata ayahku.“Anakmu memang unik Ariuz,” kata Lensana Hijau kepada ayahku sambil memandangku. "Dia bisa bertahan melawan salah satu Panglima terbaik pasukan siluman."Pujian itu sempat membuatku berpikir kalau aku cukup tangguh, tetapi aku menyadari jika tak ada satupun dari bangsa Jin Hal yang pernah dikalahkan bangsa Siluman selain aku. Dan itu pasti cukup mencoreng nama Gen Biru.“Bersiaplah nak,” kata Lensana Merah padaku.“Jamuan m
Kami diturunkan di salah satu jembatan yang menuju ke Istana termegah, lalu kami berjalan menuju Istana ayahku. Sambil melangkah, aku bertanya kepada Pemuda yang mengaku sebagai kakakku itu, “Bisakah kau menghilang seperti ayah?”“Hahaha...” Nero terkekeh. Dan itu membuatku merasa bodoh telah bertanya. Namun setelah itu, Nero diam selama beberapa langkah, kemudian berkata, “Ketiga Lensana memiliki Mustika Dewa untuk menghilang dan berpindah tempat ke dimensi lain, dan untuk menggunakan mustika itu, Lensana Hijau yang terkenal sebagai Lensana terpintar membutuhkan waktu enam puluh empat tahun untuk menguasainya.”Ternyata untuk menghilang seperti itu bukanlah hal yang mudah, bahkan usia rata-rata manusia saat ini lebih sedikit dari waktu yang dibutuhkan para Lensana untuk bisa berpindah tempat secara ajaib.-o0o-Kedatanganku dengan kakakku ke ruang jamuan adalah yang paling bontot, karena selain kami, semua Lensana dan Putranya telah menempati kursi di dalam ruangan begitu kami tiba.
“Maaf Nando,” kata Alora. “Aku harus ikut menyelesaikan ini.”Kemudian gadis itu melangkah dan meninggalkan ruangan bersama Jin Hal yang lain, hingga di ruangan itu hanya aku sendiri dari generasi Jin Hal.“Sebaiknya kau ikut, gar kau mengetahui bagaimana situasi di luar sana,” kata ayahku. “Dan itu akan menjadi pertarungan pertama bangsa Jin Hal yang dapat kausaksikan. Apa kau mau melewati kesempatan itu?"“Baik ayah,” kataku dengan senang hati, kemudian meninggalkan ketiga Lensana di ruang Jamuan. Begitu keluar pintu, entah darimana Zeon—singa ajaibku menyambut di luar pintu, dan mengaum. Singa itu terlihat terlihat sedikit menatkutkan dengan taring kuningnya yang tajam.Sementara kakakku yang telah menunggangi singa bersayapnya menyeru kepadaku, “Ayo!”Beberapa detik kemudian, aku telah berhasil duduk di punggung singa pelindungku. Lalu singa itu meloncat dan melesat menuju ke tepi pantai.Di tepi pantai, nampak ksatria-ksatria Tumaya dari Bangsa Jingal tengah bertarung. Gen hijau
Beberapa hari berikutnya, aku mulai terbiasa dengan situasi di Tumaya. Semuanya terasa normal, hanya saja aku harus berusaha lebih keras untuk bisa beradaptasi di alam yang berbeda dengan alamku yang sebelumnya."Jangan terlalu memikirkan apa yang kau lihat di bawah, karena tanpa kau sadari hal itu akan semakin memberatkanmu sehingga kau tidak akan bisa meraih keseimbangan."Alora melatihku berjalan mengambang di udara, hal itu memang sulit dilakukan. Kalau saja gravitasi di alam tumaya tidak lemah, maka mungkin saja aku akan terpelanting ke dasar bumi dan menyebabkan tubuhku terpecah menjadi beberapa keping. Tetapi aku harus bisa melakukan gerakan seperti makhluk-makhluk lainnya yang tak memerlukan pijakan, karena tanpa bisa melakukan hal itu maka aku akan tetap menjadi pecundang di tempat ini.-o0o-Rutinitas yang paling aneh menurutku adalah belajar bahasa dari empat benua yang paling umum dengan sekelompok makhluk halus. Selain itu, aku belajar beberapa bahasa daerah dengan mereka
“Apa kau betah di tempat ini?” tanya Alora.Gadis itu selalu menemuiku ketika sore di sebuah jembatan yang telah menjadi tongkronganku jika telah tiba waktu sore. Kami duduk bersama di langkan jembatan sambil menyaksikan pendar merah di ujung lautan. Di tempat itu juga aku biasa menyaksikan rambut pirangnya yang berkilauan karena bertebaran tertiup angin sore.“Mungkin saat ini aku masih perlu waktu untuk beradaptasi,” jawabku sambil melempar pandangan ke ujung lautan.Alora tak mengucapkan sepatah katapun, matanya lurus ke ujung lautan. Lalu aku kembali bicara, “Aku selalu meragukan kedua orangtuaku, tetapi mereka selalu berusaha memahami aku sebagai anak yang berbeda dari anak-anak lain yang seusia denganku.”“Kau beruntung memiliki ibu, meskipun dia hanya sekedar ibu angkat,” kata Alora dengan mimik yang dingin, seperti sedang meniampakkan penyesalan dalam batin yang terdalam.“Memangnya paman Lensana Hijau tidak pernah menunjukkan ibumu?”“Semua Lensana akan merahasiakan keberadaa
Kukira aku akan hancur berkeping-keping, namun Alora berhasil menyambar tubuhku terempas ke darat. Ia tahu aku masih belajar beradaptasi, dan aku masih belum bisa mengambang di udara. Alora kembali membawaku ke Jembatan, lalu mendaratkanku di lantai. Aku yang telah terluka melihat wajah Jin Hal Merah itu seperti sedang terbakar.“Paman Lensana Biru bisa membunuhmu,” kata Alora setelah aku duduk setengah berlutut di lantai marmer. Itu pertama kalinya aku melihat wajahnya seserius itu ketika bicara, sama sekali tidak ada senyuman di wajahnya. Ia benar-benar marah karena aku telah dilukai.“Itu bukan salahku, Alora. Seharusnya dia bisa menghindari seranganku,” Letra masih bisa membela diri walaupun dia telah membuatku bersimbah darah."Aku hanya ingin tahu, apa dia pantas duduk berdampingan denganmu.""Siapapun pantas duduk berdampingan denganku, kecuali kamu!" Alora menunjuk ke arah Letra.“Okhok-okhok,” aku terbatuk.Dadaku terasa sesak, dan lututku semakin lemas. Aku juga merasakan pa
“Dia akan baik-baik saja, Ariuz.”“Benar kata Guinuz, anak ini akan menjadi kuat dengan cakar-cakar itu.”Suara beberapa orang bercakap bagai sekawanan burung berbisik berhasil membuatku membuka mata. Saat mataku mulai terbuka, semua mata seperti memburuku, dan kamarku yang biasanya sepi telah diramaikan Ayah, Lensana Merah, Lensana Hijau dan putrinya, Alora. Aku menjadi pusat perhatian kali ini, raut wajah mereka seperti telah mendamba kabarku.Alora yang duduk di sebuah kursi di samping ranjangku menjadi orang yang pertama menyapaku, “Bagaimana keadaanmu?” Wajah gadis itu terlihat cemas, jemarinya seperti mengunci di sela-sela jemariku.“Aku merasa baik-baik saja.”Kemudian ayah yang duduk di kursi sebelah Alora berkata, “Apa kau tidak merasakan sakit?”“Sama sekali tidak, Ayah.” Wajah ayah seharusnya tetap lega, namun sayangnya wajah lelaki beruban itu terlihat berlipat. Aku tahu ia masih menghawatirkanku. Dan hal itu cukup membuatku senang karena telah diperhatikan olehnya, meskip