Sudah tiga jam Emma berkutat di depan komputer. Sudah seperempat program dibuatnya. Mac melihat jam di pergelangan tangannya dan melihat ke arah pintu masuk.
“Trojan lama amat.” Mac mencoba menghubungi Trojan namun tidak di angkat. Tidak lama kemudian pintu terbuka dan Trojan masuk membawa begitu banyak kantong plastik dan paper bag. Tidak lupa pula ada tiga tangkai mawar di tangan kirinya. Peluhnya mengucur di seluruh tubuh.
“Ruby bantuin dong,” pintanya. Ruby langsung membantu Trojan membawa sebagian bawaannya.
“Kamu belanja banyak amat, Bro.” Ruby tidak tahu jika manajer merekalah yang memerintah Trojan.
“Di suruh sama pak Mac.” Trojan meletakkan bawaannya di atas meja. Ia bergegas menuju Mac yang berdiri menatapnya dengan wajah muram.
“Sudah saya belanja semuanya, Pak. Nawarnya juga.” Trojan menyerahkan kartu bank pada Mac. Dengan kesal Mac langsung menerimanya.
“Berapa ba
Ryan menelepon Ethand berulang kali namun tidak ada jawaban di sana. Ella dan Giorgino menunggu dengan was-was di ruangan kerja Ethand. Mereka tidak bisa menerima perlakuan Ethand yang pergi begitu saja. Padahal, perjodohan itu untuk memperbaiki hubungan Alves Corp dan Prima Corp seperti sedia kala.“Ini karena Mama selalu memanjakan dia.” Giorgino sedang menahan amarahnya. Ella hanya bisa tertunduk diam.“Kan mama sudah bilang, Pa. Dia tidak mau dijodohkan.”Giorgino membuang tatapannya jengah. “Kita seharusnya bersyukur sama pak Prima, Ma. Mereka dengan rela menikahkan putrinya dengan anak kita.”Ella lagi-lagi hanya bisa terdiam. Bagaimana pun, ia akan senantiasa di sisi putranya.“Bagaimana? Apa dia sudah bisa dihubungi?” tanya Giorgino ketika melihat Ryan masuk ke dalam ruangan.“Belum, Pak.”Melihat raut wajah penuh amarah dari Giorgino, Ryan hanya bisa kembali menelpon
Sudah pukul sepuluh malam. Emma merapikan meja kerjanya. Tidak lupa pula mawar di simpannya di tempat yang aman. Rekan kerja tim IT yang lainnya sudah bersiap untuk pulang. Tidak lama kemudian Ryan pun masuk.“Selamat malam, Pak.” Mac yang melihat kehadiran Ryan langsung menyambut kedatangannya.“Bagaimana hari ini? Lancar?” tanya Ryan.“Untuk back-end sudah selesai, Pak. Tinggal front-end besok akan diselesaikan.”Ryan nampak terkejut. Begitu cepatkah mereka mengerjakannya. “Luar biasa. Bravo.” Puji Ryan dengan senyum lebar di wajahnya.“Apakah Bapak juga lembur?” tanya Mac. Pertanyaannya mewakili rasa penasaran rekan kerja yang lainnya.“Iya. Ada yang harus diselesaikan.” Ryan menggaruk pelipisnya. “Saya di sini mau menjemput NN pulang.”Emma yang sedang menenteng tas nampak terkejut. Melihat raut wajah Emma, Ryan harus memutar otaknya untuk mencari
Seiring dengan ditutupnya pintu mobil dan mobil yang melesat pergi, Emma masih saja terdiam dan tidak mengerti dengan apa yang sudah terjadi. Genggaman tangan itu masih terasa di tangannya. Ia masih saja menatap kepergian mobil yang sudah berbelok ke jalanan umum.“Sampai kapan kamu akan berdiri di situ, Emma?” Suara Ester menyadarkan Emma dari lamunannya. Ia langsung membuka pintu pagar dan masuk ke dalamnya. Kakinya yang melangkah namun pikirannya tertuju pada kejadian beberapa menit yang lalu.“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Ester ketika melihat wajah Emma sedikit memucat dan terdiam. Biasanya Emma langsung memberikan salam ketika sampai di rumah.“Aku baik-baik saja, Bu. Sedikit kecapaian karena lembur pertama bekerja.” Emma berusaha bersikap normal dan berjalan menuju kamarnya. Ester ingin memarahi putrinya yang pergi begitu saja dari rumah sakit, namun ketika melihat wajah letih Emma akhirnya Ester mengurungkan niatn
Sebuah alarm dengan lagu Adele Easy On Me, terdengar nyaring di dalam ruangan kamar dengan nuansa monokrom. Emma menggeliat. Sinar matahari menerobos dan menampar wajahnya. Semalam ia sengaja membuka jendela kamar. Emma mengumpat dirinya dalam hati karena hari begitu cepat bergulir dan matanya menyipit karena silau. Hari ini adalah hari Sabtu. Ia sengaja membuat alarm di jam tujuh.Emma menguap lebar lalu bangun dari tidurnya. Ia membuang tatapannya ke taman. Beberapa mawar mekar dengan indahnya. Mawar sunsprite tertinggal satu batang dan sudah mulai menguncup. Mungkin Alin atau Ester yang sudah menyiramnya. Daun bunga di taman terlihat basah dan segar.Emma turun dari ranjang dan mulai mengambil sepatu olahraganya. Ia berniat untuk lari keliling kompleks hari ini. Tubuhnya terasa berat, ia harus meringankannya dengan berolahraga. Apalagi malam ini ia harus memakai gaun, jadi Emma harus terlihat segar dan cantik.Emma sudah bersiap setelah sikat gigi
“Ibu...” Suara Emma sejak sore sangat berisik di rumah itu. Ester sampai kebingungan menghadapi putri sulungnya ini. Ia senantiasa bertanya lipstik mana yang cocok, blush on mana yang bagus, sampai meminta di ajarkan cara menggambar alis. Ester saja sampai bingung dengan putri sulungnya, sudah dua puluh lima tahun namun belum bisa berdandan.Sudah pukul lima sore dan Emma baru saja mulai mandi. Ia segera berdandan. Berbekal tutorial di YouTube, Emma mulai mengikuti step step cara make up untuk berpesta. Ia memilih untuk make up natural. Karena menggambar alis merupakan hal yang rumit, Emma memutuskan untuk tidak menggambar alisnya.Empat puluh menit berlalu. Emma akhirnya tersenyum puas dengan dandanannya. Ternyata dandanan pertamanya terlihat liar biasa. Emma membuka lemarinya dan mengambil gaun yang diberikan atasannya.“Wow...” Emma terpana ketika melihat dirinya yang jarang mengenakan gaun terlihat sangat cantik ketika mengenakannya.
Akan ada suatu masa seorang wanita menutup pintu dari segala rasa cemas dan memberikan jaraknya dengan dunia disekitarnya. Terdiam, enggan menanggapi saat semua orang disekelilingnya tertawa bahkan mencemoohnya. Saat dia berusaha memulihkan diri dari rasa sakit yang terjangkit dan pelik yang seakan mengiris relung hati, kini harus dihadapkan pada kenyataan yang seharusnya tak ia hadiri.“Emma Liandra...” Suara Orlando menggema di ruangan itu. Emma tidak bisa berbuat apa-apa. Ia seperti seorang pencuri yang tertangkap basah. Pada saat itu juga ia teringat pertanyaan atasannya. Jadi inikah maksudnya?“Apa yang kamu lakukan di sini? Siapa yang mengundangmu?” Orlando dengan tatapan mencemooh. Begitu pula istrinya yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih tersebut. “Hay semua...” Orlando mengeraskan suaranya sehingga seisi ruangan melihat ke arahnya. “Lihatlah seorang mantan yang putus denganku beberapa waktu lalu kini dengan ti
Ethand dan Emma langsung mengerut mendengar perkataan Ryan. Eves The Hill Vunia adalah rumah Ethand dan Emma belum mengetahuinya.“Itu kan rumah orang kaya.” Batin Emma dengan dahi masih berkerut. Sedangkan Ethand hanya terdiam.“Bagaimana?” tanya Ryan lagi dan memastikan ke dua orang yang saling terdiam tersebut.Ethand langsung menjawabnya dengan instruksi tangan. Sedangkan Emma hanya menuruti saja.Sepanjang perjalanan, Ethand dan Emma saling diam. Ryan sesekali menengok ke arah spion sekedar memastikan ke dua insan itu masih bernapas. Sunyi dan senyap di dalam mobil tersebut hanya suara deru mobil yang memecah keheningan jalanan kota Vunia.Ryan ingin sekali memutar musik namun Ethand tidak menyukainya. “Bagaimana pekerjaanmu Emma? Apakah lancar?” Ryan memutuskan untuk mencari bahan pembicaraan.“Kalau back-end sudah selesai, Pak. Front-end masih dikerjakan oleh Sobig,” jelas Emma.&
Tentang perasaan seorang wanita, ia akan percaya bahwa tak ada cinta yang tak mulia. Kelemahan wanita adalah sulit membedakan cinta yang mulia dan cinta yang melenceng. Emma masih terluka karena patah hati akibat dari lelaki yang dikiranya memiliki cinta yang tulus untuk dirinya. Ternyata lelaki itu membalas perasaanya dengan cara yang perih dan pedih. Memberikan hati pada seorang lelaki namun berujung pilu. Namun dalam hati, Emma meyakini dan masih percaya bahwa cinta yang baik akan datang di waktu yang tepat dan terbaik. Emma sudah terlanjur kecewa pada lelaki yang menyepelekan komitmen dan membuat komitmen seakan tidak ada arti dan nilainya. Lalu mengapa tatapan dari pria dingin dihadapannya seakan tulus dan menenangkan?Hodeed eyes wanita jelita di hadapannya membuat Ethand enggan berkedip. Bagaikan mutiara yang bersinar terang dan kemilaunya mampu membuat netra siapa saja enggan berpaling. “Selama matahari masih bersinar dan orang sekitar masih mendukung dan menyay