Share

BAB 3 : Terbakarnya Sarang Pendosa

Setelah mengikat perjanjian dengan Cerano, Raveena mulai melepaskan kancing pakaiannya satu-persatu. Tindakannya itu membuat Cerano mengernyitkan keningnya dan bertanya, “Apa lagi yang ingin kamu lakukan?”

Raveena menatap Cerano dengan pandangan kosong. “Bukankah Anda berkata ingin meniduri seorang perawan? Sekarang saya sudah menjadi milik Anda, jadi tentu Anda dapat memanfaatkan saya sebaik mungkin.”

“Kapan aku berkata ingin meniduri perawan? Aku hanya berkata supaya kamu menemaniku malam ini. Cepat pasang kembali kancing bajumu,” perintah Cerano.

Tatapan mata Cerano terlihat serius, sehingga Raveena tidak berpikir bila pria itu hanya bercanda. Dia segera memasang kembali pakaiannya dan berdiri di hadapan Cerano, kepalanya menunduk sedikit sebagai simbolis bila dia hanyalah bawahan yang tak patut menatap wajah Cerano.

Setelah memastikan Raveena sudah berpakaian dengan benar, Cerano berjalan menuju bingkai jendela yang mengarah ke jalan setapak di Distrik Merah.

“Raveena, apa kau pernah takut mati?” tanya Cerano tiba-tiba.

“Saya tidak takut mati,” Raveena menjawab tanpa banyak berpikir. Tatapan matanya yang kosong memberi ilusi singkat bahwa Raveena hanyalah sebuah cangkang kosong tanpa jiwa.

Cerano menundukkan kepalanya, menatap ke arah para wanita yang sedang menjajakan tubuhnya di pinggir jalan. “Duniamu tampaknya begitu kacau. Bagaimana kamu bisa terjebak di dalam tempat ini?”

“Saya tidak ingat,” jawab Raveena.

Cerano menoleh. “Kamu tidak ingat?”

“Saya tidak bisa mengingat masa lalu saya sebelum datang ke tempat ini. Nama Raveena Hesper juga saya ketahui karena Tuan Wilson memanggil saya demikian.”

Seulas senyuman tipis tercetak di wajah Cerano, entah itu adalah jenis senyuman senang atau miris, Raveena juga tidak tahu. Cerano berkata, “Tidak apa-apa, terkadang ada baiknya kamu tidak mengingat masa lalu. Karena tidak semua masa lalu itu baik. Jika kamu tidak ingat, maka kamu tidak perlu terjebak di dalam masa lalu.”

“Tuan, saya tidak mengerti,” tukas Raveena.

Raveena memandang wajah Cerano di antara kemerlapnya cahaya lampu merah. Anehnya, warna merah begitu cocok dengan Cerano, seolah warna ini memang sudah melekat kuat di dalam jiwanya dan membuat sosoknya menjadi lebih menonjol.

“Apa yang kamu tidak mengerti?” tanya Cerano.

Raveena berkata, “Saya tidak tahu harus mengkategorikan Anda sebagai hitam atau putih. Moralitas yang Anda tunjukkan tidak sepenuhnya biadab, tapi tidak sepenuhnya baik.”

Cerano menyandarkan punggungnya ke dinding, lalu melipat kedua tangannya di depan dada. “Mengapa begitu?”

“Awalnya saya berpikir Anda adalah seorang iblis keji yang senang dengan kekerasan dan pembunuhan. Namun, hari ini saya melihat Anda terlihat tidak suka dengan Tuan Wilson karena dia menjajakan wanita di bawah umur. Saya juga berpikir Anda akan memanfaatkan tubuh saya, tapi Anda berkata hanya minta ditemani,” jelas Raveena.

Raveena menambahkan, “Jujur, tingkah Anda membuat saya bingung.”

Cerano lantas tertawa, jenis tawa lepas yang seolah-olah tengah mengejek ucapan Raveena, “Raveena, tidak semua hal di dunia ini dapat kau kategorikan sebagai hitam ataupun putih. Pada dasarnya semua manusia berdiri di garis batas antara hitam dan putih. Kita semua ini abu-abu, bisa menjadi jahat atau baik.”

“Lalu mengapa Anda begitu baik kepada saya?” tanya Raveena.

“Aku baik kepadamu?” Cerano bertanya balik.

Raveena mengangguk. “Anda bahkan langsung menyetujui penawaran saya, padahal saya tidak begitu berguna.”

Cerano tersenyum. “Berguna atau tidak, kita bisa melihatnya nanti. Kamu sudah memberikan penawaran, sebagai seorang iblis yang lapar, aku hanya ingin memakan persembahan yang telah diberikan.”

Raveena ingin mengatakan sesuatu, tapi berhenti saat telinganya menangkap suara langkah kaki yang ribut dari koridor, langkah kaki itu terdengar berat dan terburu-buru, pertanda bila ada sesuatu yang terjadi sehingga para penghuni rumah bordil berhamburan keluar.

“Kenapa mereka berlari?” tanya Raveena penasaran.

Raveena hendak membuka pintu, namun Cerano mencegahnya. “Jangan dibuka, waktunya sudah dimulai.”

Raveena menatap Cerano dengan heran. “Apa maksudnya?”

kepulan asap masuk ke dalam ruangan melalui celah pintu, membuat Raveena mundur beberapa langkah ke belakang. Matanya menoleh ke arah Cerano dan dia bertanya, “Apa ini perbuatan Anda?”

Cerano duduk di tepi jendela, dia mengeluarkan kepalanya keluar dan menatap kemerlapnya bintang di langit malam sebelum menjawab, “Kamu bilang, kamu ingin tempat ini dilenyapkan hingga tidak bersisa.”

“Jadi aku membakarnya,” lanjut Cerano.

Raveena membulatkan kedua matanya, dia baru saja mengajukan permintaan sekitar 15 menit yang lalu. Tapi sekarang tempat terkutuk ini mulai mengeluarkan asap.

“Bagaimana dengan para wanita di sini? Mereka adalah korban, Anda tidak berniat untuk membakar mereka juga, kan?” tanya Raveena dengan suara panik.

Cerano membalas, “Tidak, tentu saja tidak. Bukankah kau mendengar banyak langkah kaki tadi? Mereka sedang diselamatkan.”

“Oleh siapa?” tanya Raveena.

Cerano tersenyum, “Anak-anak buahku.”

Raveena terkesiap, “Artinya ada banyak pembunuh yang Anda bimbing?”

Cerano sedikit tertawa. “Mereka bukan pembunuh, dan aku tidak berasal dari organisasi pembunuh bayaran. Aku hanya membunuh bila diperlukan dan membiarkan orang hidup bila tindakan mereka dapat ditoleransi.”

“Lantas Anda ini siapa?”

Cerano menjawab, “Acheron. Nama lengkapku adalah Cerano Acheron dan aku berasal dari Acheron Familia.”

Sontak Raveena semakin terkejut, nama Acheron Familia tidaklah asing di pendengaran Raveena, terutama bagi seseorang yang terbiasa tinggal di lingkungan yang dipenuhi oleh dosa itu. “Kamu Mafia Sisilia?”

“Kamu bisa menyebutnya begitu,” ujar Cerano.

“Pria ini berbahaya,” batin Raveena.

Raveena mengakui itu, tapi dia tidak berniat untuk melarikan diri karena kematian bukanlah hal yang ia takuti.

Hidup atau mati sama saja. Bersekutu dengan iblis atau menjadi budak iblis tidak akan ada bedanya.

“Uhuk ... Uhuk ….” Raveena batuk beberapa kali saat asap semakin banyak masuk ke dalam ruangan, udara di sekitar mereka juga terasa semakin panas.

Teriakan panik dari para wanita mulai terdengar, begitu nyaring dan menusuk gendang telinga.

Cerano lantas mengulurkan tangannya ke arah Raveena, “Kemarilah, kita juga harus keluar.”

“Di koridor mungkin sudah dipenuhi oleh api,” balas Raveena.

“Bukan lewat koridor, tapi lewat jendela,” kata Cerano.

Walaupun Raveena terlihat ragu dengan jawaban Cerano, dia tetap melangkahkan kakinya untuk mendekati pria itu dan menggenggam tangan Cerano yang diulurkan kepadanya.

Tanpa mengatakan apapun, Cerano segera menarik tangan Raveena sehingga tubuh wanita itu menabrak dada bidang Cerano. Pria itu lantas meletakkan satu tangannya di punggung Raveena, sedangkan tangan satunya lagi berada di bawah lutut Raveena, kemudian dia mengangkat tubuh wanita itu dan melompat dari jendela.

Raveena melingkarkan tangannya pada leher Cerano dengan erat, kedua matanya membelalak kaget saat dia menjumpai langit malam begitu dekat di hadapannya. Terpaan angin dingin yang kuat menerjang seluruh tubuhnya, membuat Raveena sedikit menggigil.

Ketika dia melihat ke belakang, gelungan asap tebal berwarna hitam membumbung tinggi di atas langit, kobaran api perlahan menjalar ke seluruh bangunan, terlihat bagaikan sebuah api unggun raksasa yang dinyalakan di tengah kota.

Kemudian penglihatan Raveena terjun dengan cepat dan dia baru sadar bila mereka telah melompat dari jendela lantai empat. Hanya orang tidak waras saja yang bisa melompat dari ketinggian ini tanpa rasa takut dan Cerano tampaknya memang tidak begitu waras.

Buk!

keduanya mendarat di atas tumpukan matras yang tebal, sehingga Raveena diam-diam segera membuang napas lega. Tapi napasnya kembali tercekat tatkala melihat ada belasan pria berpakaian serba hitam tengah menatapnya di sekitar matras, tatapan mata mereka terlihat agak bengis sekaligus penasaran.

Secara naluri, tentu Raveena akan balik menatap mereka dengan sama bengisnya, seolah ingin menunjukkan bahwa dia tidak bisa mereka tindas begitu saja.

“Mundur, jangan menatapnya seperti itu,” kata Cerano. Pria itu berusaha bangkit dari tumpukan matras dan juga membantu Raveena untuk berdiri.

“Bos, katamu kau hanya ingin mencari perawan di rumah bordil?” tanya salah satu bawahannya.

“Ya, memang. Wanita ini adalah perawan,” tukas Cerano dengan intonasi santai.

“Lalu kenapa kau juga ingin kami membakar bangunan dan menyelamatkan seluruh wanita di dalamnya? Kami bahkan harus mengusir penduduk di sekitar supaya bisa memasang matras. Boss, kamu selalu penuh kejutan.”

Cerano tertawa. “Aku sudah membuat perjanjian dengannya. Aku akan melenyapkan tempat ini dan dia akan mengikutiku sampai mati.”

Suara Cerano perlahan menjadi samar-samar di telinga Raveena, karena wanita itu terlalu sibuk untuk memperhatikan proses terbakarnya rumah bordil di hadapannya. Lautan api melahap seluruh kolom-kolom penyangga yang terbuat dari kayu, membuat dinding menjadi retak dan jatuh. Para wanita penghibur yang selamat juga ikut memperhatikan rumah itu seperti Raveena.

Perasaan mereka terlalu rumit tentang rumah itu.

Rumah di hadapannya telah menyimpan banyak kenangan di dalam ingatannya. Setidaknya, Raveena sudah tinggal di sana sejak ia masih berusia 12 tahun. Dan selama 12 tahun pula dia terjebak di dalam rumah bordil tanpa bisa melarikan diri.

Siksaan demi siksaan telah mengisi hari-harinya, terukir kuat di dalam hati Raveena sampai mampu menumbuhkan kebencian yang begitu besar terhadap rumah ini.

Ada terlalu banyak kenangan di dalam sana, tapi kebanyakan dari kenangan itu hanyalah sebatas mimpi buruk.

Mimpi yang seharusnya tidak perlu Raveena hadapi.

Ketika Raveena kembali melirik ke arah sekumpulan wanita, dia baru menyadari sesuatu dan buru-buru bertanya kepada Cerano, “Di mana Hose Wilson?”

alih-alih menjawab langsung, Cerano malah memainkan kata-kata. “Kamu bilang tempat ini adalah neraka.”

“Ya, tempat ini adalah neraka,” balas Raveena.

Cerano berjalan untuk mendekati Raveena, kemudian berkata, “Selalu ada iblis yang bersembunyi di dalam neraka, dan iblis itu biasanya akan mati ketika tempatnya musnah.”

Raveena tertegun saat menyadari maksud Cerano. “Kamu tidak mengeluarkan Hose dari tempat itu?”

“Aku menyuruh seseorang untuk mengurungnya di dalam sebuah ruangan, mengikatnya, dan membiarkan dia terbakar di dalam kobaran api,” kata Cerano dengan acuh.

Raveena awalnya tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, sehingga Cerano berpikir mungkinkah dia keterlaluan. “Apa kamu ingin dia selamat?”

“Tidak!” seru Raveena, “Tidak. Tidak. Biarkan dia terbakar, dia memang seharusnya terbakar.”

Raveena tanpa sadar menaikkan ujung bibirnya, dia tersenyum lebar di hadapan kobaran api. “Hose Wilson memang pantas terbakar sampai mati! Hahaha, dia benar-benar akan mati!”

Raveena lantas tertawa, tertawa, dan tertawa. Tertawa begitu keras sampai Raveena harus menutup mulutnya menggunakan tangan. Para anggota Acheron yang berada di belakang Cerano menatap Raveena dengan heran, berpikir bahwa wanita itu pasti sudah gila sampai bertingkah seperti itu.

Setelah tertawa begitu lama, Raveena akhirnya berhenti tertawa. Dia mengangkat kepalanya ke atas, menyaksikan langit yang sudah dipenuhi oleh pantulan api dan gulungan asap hitam.

Perlahan air mata mulai menuruni pipinya, kemudian menetes jatuh ke tanah tanpa menimbulkan suara.

“Dia sudah mati dan sekarang aku bebas,” bisik Raveena.

Raveena Hesper akhirnya mampu menghirup udara luar dengan leluasa.

• •

Kobaran api membumbung semakin tinggi, orang-orang yang berjalan di sekitar area kebakaran berbondong-bondong pergi dan menyaksikan dari kejauhan. Mereka bertanya-tanya mengapa bisa api muncul begitu saja.

Mobil pemadam kebakaran membelah kerumunan manusia. Para petugasnya buru-buru menarik selang dan menyemprot air dalam kapasitas besar. Mereka juga mengecek kesehatan setiap wanita yang berasal dari rumah bordil itu untuk memastikan tidak ada yang terluka.

“Kita harus pergi,” kata Cerano.

Cerano memperhatikan jam tangannya, dia terlihat seperti orang yang kehabisan waktu. “Ada hal yang harus kita lakukan.”

Raveena segera tersadar dari lamunannya. “Apa yang ingin Anda lakukan?”

“Menghancurkan seseorang yang telah mengusikku. Ayo, cepat masuk ke mobil,” kata Cerano yang kemudian menarik lengan Raveena. Dia dengan cepat menuntun wanita itu supaya masuk ke dalam mobil hitam yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

Sebelum Raveena menaiki mobil itu, dia mendengar suara familier datang dari belakangnya. “Raveena!”

Raveena sontak menoleh dan mendapati sosok Vallerie tengah berlari ke arahnya. “Vallerie, kenapa kamu kemari?”

Vallerie memeluk Raveena. “Aku yang seharusnya bertanya. Ke mana kamu akan pergi? Kenapa kamu pergi bersama pria itu? Apa kamu dipaksa?”

Raveena mengusap kepala anak itu secara perlahan. “Tidak ada yang memaksaku, aku pergi dengan keinginanku sendiri.”

Vallerie mengangkat kepalanya, matanya tampak berair saat dia berkata, “Kalau begitu, apakah kamu akan meninggalkanku?”

“Maaf, Vallerie. Tapi sekarang kita harus berpisah. Kini Hose sudah tidak ada, kamu juga bisa pergi.”

“Ke mana aku bisa pergi? Aku tidak memiliki siapapun,” gumam Vallerie.

Cerano yang menguping pembicaraan mereka menimpali, “Pergilah ke Panti Asuhan yang ada di pinggir kota. Usiamu masih 15 tahun, pasti diperbolehkan untuk tinggal di sana.”

Raveena menatap Cerano dengan pandangan tidak percaya, dia hanya tidak menyangka Cerano akan memberikan saran kepada orang yang tak memiliki hubungan dengannya.

“Kamu dengar itu?” Raveena bertanya kepada Vallerie, “Pergilah ke panti asuhan, lalu jalani hidup dengan baik. Jangan pernah lagi kamu menginjakkan kaki di distrik merah.”

Raveena mengeluarkan kantung uang dari sakunya, jumlahnya tidak banyak, tapi setidaknya bisa digunakan untuk naik kendaraan umum. “Bawa ini juga, belilah makanan kalau lapar dan naik kendaraan umum untuk sampai ke pinggiran kota.”

Vallerie menerima pemberian itu, dia kemudian menangis dan bertanya, “Apa kita bisa bertemu lagi.”

Raveena tersenyum. “Jika takdir mengizinkan, maka kita bisa bertemu lagi.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Vallerie kayaknya bakal muncul ntar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status