Share

BAB 2 : Distrik Merah

Kensington Avenue, Philadelphia.

Lampu-lampu berwarna merah menyala terang dari bangunan-bangunan bertingkat empat yang berderet di sepanjang jalan setapak. Eksterior dari bangunan-bangunan itu tipikal, menggunakan dinding bata merah dengan hiasan tanaman rambat yang menjuntai hingga ke bawah. Pembeda dari semua bangunan itu hanyalah papan penanda yang menyala terang di atas pintu masuk.

Kawasan itu biasa dikenal dengan sebutan ‘Distrik Merah’, sebuah kawasan yang menampung manusia-manusia pencari dosa yang mampu menawarkan kenikmatan dunia. Di sudut-sudut jalan, ada banyak orang yang saling bertukar bubuk putih dan uang, mereka semua menghisap bubuk-bubuk itu seolah akan mati bila tidak menghisapnya.

Wanita-wanita dengan riasan tebal dan pakaian mini memenuhi pinggiran jalan setapak, berusaha menggoda setiap pria yang lewat dengan memperlihatkan belahan buah dada mereka yang menantang. Suara tawa memenuhi jalan, entah itu tawa menggoda atau candaan tak senonoh yang saling terlempar.

Seorang pemuda berjalan masuk ke salah satu bangunan yang menawarkan banyak wanita cantik sebagai penghibur malamnya. Papan penanda bertuliskan ‘Man’s Cup of Tea’ berkelap-kelip di atas pintu masuk, seolah mau mengundangnya untuk segera masuk.

“Nyonya, apa masih ada wanita yang kosong?” tanya pemuda itu kepada seorang wanita separuh baya yang menjaga meja resepsionis.

Permukaan kulitnya yang keriput bertambah keriput saat dia tersenyum. “Silahkan naik ke lantai 3, di sana masih ada banyak wanita-wanita cantik yang kosong.”

Pemuda tersebut lantas pergi ke lantai 3 dengan wajah sumringah, tidak sabar untuk menghabiskan malam panas dengan seorang wanita cantik. Tatkala kakinya memasuki lantai 3, dia melihat ada seorang wanita yang duduk di tepi jendela.

Namanya adalah Raveena Hesper, salah satu wanita penghibur yang ada di distrik merah tersebut.

Kedua mata Raveena memandang ke arah bawah, memperhatikan setiap laki-laki yang berjalan melewati rumah bordil sambil sesekali bersiul kepadanya. Dari pandangan para pria, sosok Raveena Hesper sangat menawan dan tampak seperti manekin yang sengaja diletakkan di pinggir jendela oleh pemilik rumah bordil.

Kulitnya secerah mutiara, terlihat berkilau setiap kali cahaya merah memantul di atas permukaan kulitnya yang mulus. Bentuk matanya tampak seperti persik, maniknya yang berwarna hazel mampu menjerat para pria yang menatap wanita itu dengan pandangan penuh nafsu.

Pakaian yang ia kenakan adalah sebuah dress hitam ketat tanpa lengan, sehingga permukaan kulitnya banyak yang terekspos keluar.

“Hei, cantik. Kamu masih kosong kan? Ayo temani aku di kamarmu, nanti aku akan memberikanmu banyak uang,” tegur pemuda di belakangnya.

Raveena menoleh, memperhatikan pria itu dari bawah ke atas sebelum menjawab dengan intonasi datar, “Pergilah, aku enggan bermalam dengan pria miskin.”

“Apa maksudmu?! Beraninya kau mengataiku miskin!” teriak pria itu.

Mata Raveena kembali menatap lurus ke arah pemuda di hadapannya, seolah tengah menghakimi pria itu. “Sepatumu barang imitasi, pakaian yang kau kenakan seluruhnya tidak mempunyai merk atau mungkin kau membelinya di pasar loak. Permukaan kulitmu tidak mulus, pertanda kalau kamu kerja di lingkungan yang keras, mungkin sebagai tukang angkat barang.”

Pemuda itu merasa kesal, lalu berteriak lagi, “Lantas kenapa jika aku orang miskin?! Setidaknya kau akan kubayar kalau menemaniku.”

“Besok kamu akan kelaparan jika menggunakan uangmu untuk menikmati wanita. Pulanglah dan beli bahan makanan untuk besok.”

“Wanita kurang ajar! Bisa-bisanya kamu menghina seorang pelanggan, aku akan mengajukan keluhan ke pemilik rumah bordil ini!”

Raveena mengacuhkannya dan kembali menatap hiruk pikuk perkotaan di bawah jendela. Pemuda itu pun akhirnya kembali turun untuk mengadu seraya menyentakkan kakinya di atas lantai.

Beberapa saat kemudian, pemilik rumah bordil, Hose Wilson mendatangi Raveena di lantai tiga. Suara langkahnya teramat berat, menyentak-nyentak seolah ingin memberikan isyarat bahwa dia sedang marah.

“Raveena! Kenapa kamu selalu saja membuat masalah dengan tamu?!” Hose berteriak keras, wajahnya merah padam dan ia begitu muak saat melihat wajah Raveena yang selalu membangkang.

“Dia miskin, aku tidak suka,” balas Raveena.

“Perduli setan jika dia memang miskin! Hal yang seharusnya kamu perdulikan itu hanyalah cara untuk memuaskan pelanggan! Sekarang usiamu sudah hampir 22 tahun, tapi belum satu pun tidur dengan pelanggan. Apa kau tidak merasa malu karena sudah makan di sini tanpa bekerja?!”

Raveena menurunkan kakinya ke permukaan lantai, kemudian menutup jendela di belakangnya. Keningnya berkerut sedikit saat dia berkata, “Bagaimana bisa kamu menganggapku tidak bekerja? Aku selalu membersihkan tempat ini setiap hari dan mencuci seluruh seprai yang dipenuhi oleh lendir busuk. Apakah itu tidak cukup?”

“Tempat ini adalah rumah bordil, bukan tempat untuk mendidik asisten rumah tangga!” hardik Hose.

Wajah Hose merah padam, pria itu tidak sanggup berdebat dengan Raveena di koridor, karena dia tidak mau pertengkaran mereka sampai membuat para tamu melarikan diri.

Hose akhirnya menarik tangan Raveena dan membawanya pergi ke sebuah ruangan yang terletak paling jauh dari ruangan para tamu. Begitu menutup pintu, Hose mendorong Raveena dengan kasar sampai wanita itu terjerambat jatuh ke lantai.

“Gunakanlah otakmu sedikit! Jika kamu ingin segera meninggalkan rumah bordil, maka kamu harus bekerja dengan melayani tamu supaya hutang pembelianmu dapat lunas!” bentak Hose.

Raveena menghela napas. “Percuma, mau bekerja sampai mati pun hutangku tidak akan lunas. Kamu mengambil 95 % dari hasil pekerjaan para wanita penghibur di sini, sehingga mereka tidak mampu menghasilkan banyak uang. Karena itu Tuan Wilson, lebih baik aku tidak perlu melayani para pria hidung belang itu sama sekali.”

“Kau!” Hose naik pitam, ia lantas mengambil sebuah tongkat rotan dan berteriak, “Hadapkan telapak tanganmu ke atas!”

walau Raveena merasa enggan, dia tetap menuruti perintah Hose. Lagipula, pria itu tetap akan melakukan cara lain untuk memaksa Raveena mengangkat tangannya jika dia tidak mau.

Tak!

tongkat rotan dipukulkan ke telapak tangan Raveena, begitu kuat dan terdengar nyaring hingga menggema di ruangan. Raveena meringis pelan, berusaha menahan rasa sakit yang sudah biasa ia terima.

“Kamu seharusnya tidak boleh membantahku!” teriak Hose.

Tak!

“Apa gunanya kamu di sini jika tetap perawan hingga berusia 22 tahun!”

Tak!

“Minggu lalu kamu bahkan berusaha kabur dari tempat ini! Apa hukumanku minggu kemarin masih belum cukup?! Apa membuatmu kelaparan tidaklah cukup?! Haruskah aku menguncimu di luar saat badai salju datang?!”

Tak!

Tak!

Tak!

tongkat rotan dipukulkan berulang kali tanpa kenal ampun. Bagian rotan yang kasar menggores kulit Raveena, membuat telapak tangannya mempunyai luka-luka kecil yang mengeluarkan darah.

Hukuman ini bukanlah hal yang baru untuk Raveena.

Dia telah tinggal di rumah bordil ini sejak berusia 12 tahun, telah menerima berbagai macam perlakuan buruk dari Hose karena Raveena menolak untuk melayani tamu yang datang. Jika Hose memaksanya, maka Raveena akan memukuli tamu yang menyewanya, berusaha supaya tubuhnya tidak disentuh oleh para pria berhidung belang.

“Mereka tidaklah layak,” batin Raveena.

Tok. Tok.

Suara ketukan pintu dari luar membuat Hose berhenti mengayunkan tongkat rotannya. Jika dihitung, Hose mungkin sudah memukul Raveena sebanyak lima puluh kali lebih, sehingga kedua telapak tangan wanita itu terasa kebas dan tampak bengkak.

“Ada apa?!” tanya Hose tanpa membuka pintu.

Pelayan yang berdiri di depan pintu membalas, “Ada seorang pria yang ingin menyewa seorang wanita cantik yang masih perawan.”

Hose, “Mengapa dia menginginkan perawan? Katakan kepadanya kita hanya menyewakan perawan dengan harga tinggi.”

“Anda tidak perlu khawatir,” pelayan itu berkata, “Dia sudah memberikan satu koper berisikan ratusan ribu dollar kepada resepsionis.”

Usai mendengar hal itu, buru-buru Hose membuka pintu dan menghampiri pelayannya. Dia berkata, “Cepat panggil seluruh perawan yang ada di rumah ini dan suruh mereka semua berbaris di lantai 3.”

“Saya mengerti.”

“Tuan Wilson, seluruh perawan di rumah ini masih berusia di bawah 18 tahun. Mereka terlalu belia untuk melayani seorang pria mesum sepertinya,” ujar Raveena.

Bayangan seorang pria berbadan tambun dan berpenampilan tua muncul di benak Raveena. Dia berpikir, hanya pria kaya dan mesum saja yang rela membayar mahal untuk para perawan. Raveena takut, pria itu akan berperilaku kasar dan membuat gadis-gadis di bawah umur itu trauma.

“Kamu tidak boleh menyerahkan mereka!” seru Raveena. Kedua manik matanya yang sebelum ini kosong jadi dipenuhi oleh kekhawatiran.

Hose tertawa, “Jika tidak mau anak-anak di bawah umur itu tidur dengan seorang pria kaya yang cabul, maka kamu harus mengajukan diri dan melayani pria itu dengan baik.”

“Raveena, ini adalah kesempatan terakhirmu untuk membuatku terkesan. Karena jika sampai besok kamu belum menghasilkan sepersen pun uang, aku akan melemparkan tubuhmu ke sungai dingin dan membiarkan kamu membeku sampai mati.”

Hose lantas berjalan keluar dan membanting pintu, meninggalkan Raveena seorang diri di dalam ruangan yang gelap itu. Raveena perlahan menutup matanya dan menghela napas. “Sepertinya menjadi perawan sampai mati memang mustahil untukku.”

• •

Raveena berdiri di paling pinggir barisan, terlihat ingin mengaburkan keberadaannya. Namun, wajahnya tetap saja tampak paling bersinar di antara wanita yang lain.

“Aku takut,” bisik seorang gadis di sebelah Raveena. Namanya adalah Vallerie, dia baru berusia 15 tahun, tahun ini.

Raveena mengelus kepala Vallerie. “Tidak apa-apa, kamu tidak akan dipilih.”

Netra Raveena lantas mengarah kepada gadis-gadis lain yang berbaris di sebelah Raveena. Semuanya masih berusia di bawah 18 tahun, biasanya Hose tidak akan menjual mereka sebelum berusia 18 tahun, tapi tamu kali ini menawarkan sejumlah uang yang sangat besar sehingga Hose tak lagi perduli dengan mentalitas para gadis di bawah naungannya.

“Siapapun yang ingin menyewa seorang perawan di bawah umur pastilah pria bejad,” pikir Raveena.

Suara langkah kaki yang menaiki tangga terdengar. Satu langkah terdengar ringan, sedangkan langkah satunya terdengar berat, pertanda bahwa orang itu mempunyai tubuh yang besar.

Raveena membantin, “Bagus, mungkin aku akan disewa oleh pria tua yang tambun dan buruk rupa.”

Akan tetapi, pemikiran buruk tentang fisik pria itu langsung terbantahkan begitu Raveena melihat Hose dan tamu itu muncul dari tangga.

Kedua pupil mata Raveena membulat, tangannya yang dibalut oleh perban bergetar hebat dan dia merasa kesulitan untuk bernapas.

Pria itu, Raveena pernah melihatnya.

“Cerano, dia adalah Cerano,” bisik Raveena, suaranya hampir tidak bisa didengar oleh orang lain.

Cerano.

Seorang iblis yang berjanji untuk mengikat perjanjian dengan Raveena apabila mereka bertemu kembali.

Penampilan Cerano tidak begitu mirip dengan penampilannya satu minggu lalu.

Jika di pertemuan pertama mereka Cerano terlihat dipenuhi oleh aura dingin dan kekejaman yang ketara. Kali ini auranya terlihat lebih ramah, meski tetap saja aura ketegasan yang menyeramkan itu masih tertinggal sedikit.

Tubuhnya yang menjulang tinggi dibalut oleh kemeja hitam dan mantel berwarna cokelat tua, membuatnya terlihat seperti seorang pemuda kantoran yang ingin mencicipi perawan untuk melepaskan stress.

“Kesepuluh wanita di sini adalah para perawan. Tuan tentu boleh memilih satu yang sesuai dengan selera Anda,” papar Hose.

Cerano melangkahkan kakinya dan melewati para gadis, matanya menatap mereka seperti seekor elang yang ingin mencengkram mangsanya. “Mereka masih sangat muda, mungkinkah masih di bawah 18 tahun?”

Hose mengejar langkah Cerano dan menjawab sambil berkata, “Ya, Anda benar! Bukankah lebih menyenangkan mencoba perawan yang masih belia? Mereka masih sangat segar dan tidak berpengalaman.”

Ketika berada di hadapan Vallerie, Cerano menghentikan langkahnya. Dia lantas memegang rahang Vallerie dan memperhatikan setiap sisi wajah dari gadis itu. “Berapa umurmu?”

“Lima ... Lima belas tahun, Tuan,” kata Vallerie dengan grogi. Tubuhnya gemetar hebat akibat merasa takut, tatapan Cerano yang tajam sangat membuat Vallerie tertekan.

“Muda sekali,” bisik Cerano. Dia kemudian menatap Hose dengan pandangan gelap. “ Kenapa kamu menawarkan anak-anak di bawah umur kepadaku? Apa kamu pikir aku adalah seorang pedofil?”

senyuman di wajah Hose berangsur-angsur memudar, dia akhirnya sadar bahwa Cerano tidak menaruh minat kepada anak-anak di bawah umur itu sejak awal.

Dia buru-buru menundukkan kepala dan meminta maaf. “Maafkan saya, Tuan. Sepertinya saya telah keliru. Tapi, rata-rata wanita perawan yang kami miliki berusia di bawah 18 tahun.”

“Aku tidak,” Raveena tiba-tiba bersuara, “Usiaku sudah 22 tahun, Tuan. Jika Anda berkenan, Anda bisa membawa saya.”

Hose sangat terkejut saat mendengar penuturan Raveena. Pasalnya wanita itu selalu melakukan segala cara untuk menolak pelanggan meski sudah dipaksa oleh Hose, tapi kini dia malah mengajukan dirinya sendiri.

Cerano memiringkan kepalanya, menatap Raveena dari ujung kaki hingga kepala. “Kamu benar-benar masih perawan?”

“Saya bisa menjaminnya,” jawab Raveena.

Raveena balas menatap Cerano, dia tiba-tiba merasa ragu apakah Cerano masih mengingatnya atau tidak. Sebab pria itu terlihat tidak menaruh minat kepada Raveena sejak awal.

Atau mungkin, sang iblis ingin mangsanya masuk ke dalam perangkap predator seorang diri.

Cerano mungkin saja ingin Raveena yang mengulurkan tangannya sendiri kepadanya.

“Jika kamu bisa menjaminnya, maka aku akan mengambil kamu untuk menemaniku malam ini,” kata Cerano.

Setelah mencapai kesepakatan, Hose mengantarkan Cerano dan Raveena ke sebuah ruangan paling besar yang terletak di lantai 4, lantai yang hanya menampung kamar-kamar mewah untuk para tamu spesial.

Ketika Raveena masuk ke dalam ruangan, dia bisa melihat sebuah tempat tidur berukuran besar yang diletakkan di tengah ruangan. Warna ruangan tersebut didominasi oleh warna merah dengan pencahayaan yang minim, begitu cocok digunakan oleh pasangan untuk memadu kasih.

Tatkala Hose meninggalkan mereka berdua di ruangan, Raveena segera berlutut di atas permukaan lantai yang dingin. Kedua tangannya bertumpu pada lantai, sedangkan kepalanya di angkat tinggi sehingga kedua matanya mampu memandang Cerano di hadapannya dengan jelas.

Cerano menundukkan kepalanya, lalu menatap Raveena dengan kedua mata dinginnya. “Apa yang kamu lakukan?”

“Anda pasti mengingat saya, kita pernah bertemu di atas atap beberapa hari yang lalu,” ujar Raveena.

“Siapa nama kamu?” tanya Cerano.

“Raveena. Nama saya Raveena Hesper.”

Raveena melanjutkan, “Tuan, saya ingin mengajukan sebuah permintaan kepada Anda.”

Cerano lantas tertawa karena melihat Raveena masih bersikeras untuk meminta bantuannya. “Permintaan seperti apa yang kau inginkan?”

Raveena, “Selamatkan saya dari neraka ini dan lenyapkanlah tempat yang dipenuhi oleh dosa ini tanpa tersisa.”

“Mengapa kamu ingin meleyapkan tempat ini?” tanya Cerano.

Raveena mengepalkan kedua tangannya saat berkata, “Selama saya tinggal di tempat ini, Hose Wilson telah melakukan berbagai macam tindak kejahatan yang melampaui batas. Dia akan mengambil upah para wanita begitu banyak dan tidak membiarkan mereka melunasi hutang, Hose juga seringkali menjual wanita di bawah umur untuk melayani para pria tua. Tuan Cerano, Anda berkata tidak dapat membunuh wanita dan anak-anak, maka artinya Anda pasti mampu membunuh seorang pria busuk.”

“Aku bisa melakukannya, tapi aku tidak melakukannya dengan gratis,” Cerano berkata, “Hadiah apa yang akan kau berikan kepadaku?”

“Segalanya.”

Cerano bertanya, “Segalanya?”

Raveena, “Ya, jiwa dan raga saya akan seutuhnya menjadi milik Anda.”

Cerano lantas melangkahkan kakinya mendekati Raveena, dia mengangkat dagu wanita itu begitu tinggi sampai mata mereka bertemu. “Maka selamanya kau akan menjadi milikku, Raveena Hesper.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Berhasil mancing kan C?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status