Share

5 | Deana Berubah Menyebalkan (?)

“Yang satu mendekat, yang satu menjauh pergi. Yang satu berusaha melindungi, yang satu memilih tidak peduli.” —The Endless Love

“Jangan buang waktu lo untuk ngelakuin hal untuk orang yang sama sekali nggak mencintai lo. Karena semakin lo berusaha, semakin lo ngerasa semuanya cuman bakal berakhir sia-sia.” — Delta.

Langit terlihat gelap, malam mulai menyapa dan beberapa bintang terlihat bermunculan menghiasi malam. Sambil memeluk lututnya, Deana duduk termenung di ayunan samping kolam renang. Pandangannya kosong, pikirannya melayang jauh pada Delta dan pembicaraan mereka kemarin malam. 


Deana tahu konsekuensi seperti apa yang akan di dapatnya. Tapi semua itu ia lakukan demi Delta—sahabatnya yang paling berharga. 


Larasathy yang melihat Deana termenung pun berjalan menghampirinya. Ia menyentuh pundak Deana lembut yang membuat gadis itu menoleh. 


"Ma—ma ...." 


Wanita itu tersenyum kemudian ikut duduk di samping Deana. "Anak Mama mikirin apa, hm? Delta?" tebaknya. 


Deana memandang Larasathy sesaat kemudian mengangguk. "Apa yang Anna lakukan ini sudah benar, Ma?" 


"Atau malah salah?" lanjutnya. 


"Nggak ada yang salah, Anna. Apa yang kamu lakukan ini sudah benar," ujarnya lembut penuh keibuan. 


Deana mendaratkan kepalanya dipundak Larasathy. "Anna hanya ingin menjaga Delta seperti Delta yang selalu menjaga Anna selama ini, Ma. Setidaknya sampai Delta menemukan seseorang yang pantas bersanding dengannya," ungkap Deana. 


"Mama mengerti dan mendukung sepenuhnya apapun keputusan kamu. Mama percaya kamu bisa menjaganya." Larasathy mengelus lembut kepala Deana. 


Deana menjauhkan kepalanya kemudian menatap Larasathy lekat. Ia tersenyum. "Terimakasih Mama selalu mendukung Anna." 


"Sama-sama sayang." 


"Anna, apa Mama boleh bertanya sesuatu?" 


"Tentu, Ma. Mama boleh bertanya apapun." 


Larasathy tersenyum. "Apa ... kamu melakukan semua ini benar hanya karena ingin melindungi Delta? Maksud Mama bukan karena kamu tidak memiliki perasaan lebih?" 


Mendengar itu Deana terdiam seketika. Perasaan lebih? Tidak. Deana tidak boleh memiliki perasaan lebih pada Delta. Meski beberapa kali perasaan aneh itu menjalar di hatinya, Delta tetaplah sahabatnya yang berharga. Sampai kapanpun.


Deana menggeleng. "Nggak, Ma. Anna nggak memiliki perasaan apapun pada Delta. Mama ... Mama jangan khawatir. Anna tidak  mencintai Delta sama sekali. Mama bisa pegang ucapan Anna." 


"Anna sayang ... dengarkan Mama," ujarnya. Ia menyelipkan tangan dikedua pipi Deana. "Mama tidak keberatan sama sekali jika hal itu terjadi. Bahkan, Mama berharap jika kalian bisa saling mencintai suatu saat Nanti. Mama menginginkan kamu sebagai pendamping Delta satu-satunya dan untuk selamanya," paparnya. 


"Mama ...." 


"Mama tahu ini sulit tapi ... Kamu tahu kan umur mama tidak akan lama lagi? Mama hanya ingin di sisa waktu Mama, kalian berdua bisa bersatu. Mama percaya kamu adalah pendamping yang terbaik untuk Delta." 


"Mama ... jangan bilang seperti itu. Anna sedih setiap kali Mama mengatakan hal itu," ujarnya lirih. 


Larasathy beralih menggenggam kedua tangan Deana. "Sayang ... berjanji satu hal sama Mama. Apapun yang terjadi, jangan pernah tinggalkan Delta. Ya?" 


"Ma ...." 


"Mama mohon. Anggap saja ini sebagai permintaan terakhir Mama," ujarnya sambil mengulas senyum. 


"Nggak, Ma. Tolong jangan bilang seperti itu ..." 


"Janji?" Deana menatapa Larasathy dalam. Wanita di hadapannya saat ini lebih dari sekedar wanita biasa. Lebih dari sekedar ibu angkat dan Deana paling tidak bisa menolak permintaannya. Mau tak mau Deana mengangguk, membuat senyum Larasathy kembali mengembang. 


"Deana janji, Ma." 


"Terimakasih, sayang." 


"Jangan bilang makasih, Ma. Anna akan melakukan apapun demi membuat Mama bahagia. Itu janji Anna." 

Minggu pagi, Deana sudah berada di apartemen Delta membuat cowok itu kesal dengan tingkahnya. Tapi apa peduli Deana? Sesuai dengan janjinya pada sang Mama, mulai hari ini ia tidak akan membiarkan Delta menghabiskan waktunya bersama Kenna sedikitpun. 


"Ayo, Ta. Anter gue ke toko buku pokoknya!" rengek Deana. 


"Gue nggak bisa, Na. Ada janji sama Kenna. Lo minta anter Mauren aja apa susahnya sih?" ujar Delta sambil menggulung kemejanya sampai sikut. 


"Ck! Mauren nggak bisa. Udah ada janji sama cowoknya." 


"Ya udah berangkat sendiri aja. Toh biasanya juga lo apa-apa sendirian. Jangan coba-coba ganggu hari gue sama Kenna, deh!" 


"Ta, lo itu tunangan gue dan kita akan menikah. Jadi stop buat berhubungan sama Kenna. Okay?"


"Anna gue males debat sama lo. Mendingan lo berangkat sendiri aja karena gue bener-bener nggak bisa." 


"Batalin janji lo sama Kenna, Ta. Gue nggak mau tahu!" 


Delta menoleh ke arah Deana. "Lo apaan sih Na? Hah? Kenapa lo jadi nyebelin kayak gini? Mana Deana yang gue kenal cuek dan nggak pedulian? Gue tahu kita tunangan dan bakalan nikah, mungkin. Tapi semua itu hanya saat di hadapan nyokap gue. Okay? Diluar itu, kita bukan siapa-siapa selain lo adalah sahabat gue," katanya dengan tatapan wajah kesal. 


"Fine! Gue bakal pergi sendiri," putus Deana akhirnya. Ia berjalan ke luar kamar Delta, mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. 


"Hallo Al, lo Free nggak hari ini?" tanya Deana saat telepon itu sudah tersambung. 


"...."


"Em, gue mau minta temenin ke toko buku. Bisa?" 


"...." 


"Serius? Ok. Bisa jemput gue di—" ucapan Deana langsung terhenti ketika Delta merebut telepon genggamnya dan mematikan sambungan telepon tersebut. 


"Lo apa-apaan sih Ta, main rebut-rebut aja?! Gue belum selesai ngomong tahu!" kesal Deana. Tidak lebih tepatnya ia berpura-pura kesal. 


"Lo yang apa-apaan! Ngapain lo nelepon Alden, hah? Kurang jelas omongan gue waktu itu?" tanya Delta sewot. 


"Ta, lo tenang aja. Gue nggak akan berpaling sama Alden. Gue cuman mencintai elo, kok." 


"Na ... gue nggak peduli tentang perasaan lo. Mau lo berpaling atau nggak, bukan urusan gue. Gue cuman nggak suka lo berhubungan sama Alden. Jadi, jangan coba-coba buat pergi sama dia!" ancamnya.


"Apa sih, Ta? Gue rela tuh pada akhirnya biarin lo pergi sama Kenna. Kenapa gue nggak boleh pergi sama Alden? Emangnya lo punya hak apa? Kan kita bukan siapa-siapa." 


Delta menghembuskan napasnya jengah. "Fine! Gue bakal temenin lo ke toko buku!" Ia meraih ponselnya, kemudian menelpon seseorang. 


"Iya hallo Kenn? Sorry aku nggak bisa pergi sama kamu hari ini. Mendadak  ada urusan. "


"...." 


"Iya. Aku bakal telepon kamu secepatnya," ucapnya terakhir kemudian mematikan teleponnya. 


"Puas?" katanya menatap Deana tajam.


Deana tersenyum puas. Rencananya berjalan dengan sangat mulus. "Gitu dong! Dari tadi, Kek. Gue kan jadi nggak perlu repot-repot telepon Alden." 


"Jangan sebut nama si brengsek itu lagi di depan gue!" katanya dengan tatapan yang masih tajam lalu berjalan melewati Deana untuk menuruni tangga.

Kenara membanting barang-barang yang ada di kamarnya kesal. Beberapa detik yang lalu, Delta baru saja menelponnya dan membatalkan janjinya. Rencana yang sudah ia susun untuk menjerat cowok itu pun kini tak berguna. 


Tiba-tiba, seorang cowok berkulit sawo matang dan  berperawakan tinggi, memasuki kamar Kenara dan mendekati gadis itu. Membuat Kenara refleks mundur perlahan hingga mentok ke tembok. Cowok itu lantas mengunci Kenara dengan satu tangannya. "Gue butuh lo!" katanya pendek.


"Gue nggak mau!" jawab Kenara sambil memalingkan wajahnya ke arah lain. 


"Gue nggak nerima penolakan, Kenna!" Ia mencengkram rahang Kenara kuat.


"Atau lo mau gue sebarin siapa lo sebenernya, hah?" seringai tajam tercetak jelas di bibir cowok tersebut. 


"Lo udah janji gak bakal ngelakuin itu!" 


“Kalau begitu, jangan pernah coba-coba buat nolak, Kenna!” peringatnya dengan nada tegas.


“Lo selalu kasar!” 


Seketika ia tersenyum miring. "Tapi lo menyukainya. Right?" 


Kenara mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia sungguh tidak bisa menatap cowok itu sekarang. Kenara tidak bisa mengelak jika hati kecilnya mengatakan jika ia memang menyukainya. Lelaki yang telah mengambil hal paling berharga di hidupnya itu sangat lihai dalam membuat Kennara menginginkannya lagi dan lagi.


"Lo bilang bakal berhenti buat jadi player. Tapi apa? Lo masih aja sama cewek lain. Gue enggak lebih dari sekedar pemuas lo aja!"


"Selama lo belum bisa penuhin syarat gue, gue masih akan tetap jadi Arash yang semua orang kenal. Paham?"


Cowok itu meraih dagu Kenara hingga menatapnya. "Dan, jangan pernah berkata kalau gue hanya mencari kepuasan semata karena faktanya lo juga menikmatinya, kan?”


Kennara menelan salivanya susah payah, masih menatap lekat lelaki di hadapannya. Bahkan ketika lelaki itu mendaratkan bibirnya lalu kemudian melumat bibir Kennara lembut, ia seolah kehilangan akal dan refleks mengalungkan tangannya di leher lelaki tersebut. Ia juga mulai balas melumat bibir kenyal lelakinya. 


“Lets replay our game!”Lelaki itu kemudian memapah Kennara ke ranjang dan menjatuhkan tubuh mereka diatasnya dengan posisi Kennara berada di bawah.

Setelah sekitar 4 jam berputar-putar di gramedia dan makan siang, keduanya memutuskan untuk pulang. Sepanjang perjalanan keduanya hanya saling diam. Deana sesekali melirik ke arah Delta yang sedang fokus menyetir. Sejak malam itu, Delta benar-benar merubah sikapnya. Nggak ada lagi Delta yang jahil dan menyebalkan, nggak ada lagi Delta yang memohon bantuannya mengerjakan tugas, nggak ada lagi Delta yang tiba-tiba membuatkan hot chocolate kesukannya, nggak ada lagi Delta yang mengganggunya. Yang ada kini hanyalah sosok cowok dingin dan ketus.


Wajar ... Deana bisa memahaminya karena cowok itu pun pasti merasa bingung dengan perubahannya yang tiba-tiba. Lagipula, ini adalah konsekuensi yang harus Deana terima. Setidaknya sampai Delta sadar jika  Kenna tidak sebaik yang lelaki itu kira selama ini.


Sekitar 45 menit, mereka sampai di rumah. Catat rumah. Bukan apartemen. Setelah memarkirkan mobilnya di halaman rumah, Delta keluar lebih dulu di susul oleh Deana. 


Di ruang tamu, terlihat Mamanya sedang berbicara dengan seorang perempuan. Sepertinya itu ada hubungannya dengan rencana pernikahan Delta dan Deana melihat beberapa gaun terpajang di dekat mereka. 


"Mama ...." panggil Delta lembut sambil mengalungkan tangannya di pundak Larasathy. 


"Delta, anak Mama. Syukurlah kamu datang di saat yang tepat. Anna mana?" 


"Anna di sini Ma," sahut Deana dari arah belakang. 


Larasathy menoleh dan tersenyum hangat. "Sini sayang. Ada yang Mama ingin bicarakan dengan kalian berdua," katanya. 


Anna berjalan mendekati Larashaty. Keduanya pun duduk di satu sofa yang sama. 


"Berhubung pernikahan kalian sebentar lagi, Mama sudah mempersiapkan semuanya. Lihat, ada beberapa contoh undangan. Coba kalian berdua pilih mana yang paling cocok," katanya sambil menyerahkan undangan itu pada Delta dan  Deana. 


"Ma ...." panggil Delta pelan. 


"Sonia, tolong kamu bantu pilihkan gaun yang cocok untuk calon menantu saya, ya?" 


Perempuan yang merupakan designer khusus keluarga Altheraldo itupun mengangguk. "Ayo, akan kubantu pilihkan beberapa gaun untukmu," katanya bersemangat. 


Deana mengangguk. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan mengikuti Sonia menjauh dari Delta dan Mamanya. Deana paham apa yang akan mereka bahas. 


Larashaty menggenggam erat lengan anak kesayangannya. Ia tahu ini tidak adil untuk Delta. Ia tahu ia memaksakan kehendaknya sendiri. Tapi, insting seorang ibu tidak akan pernah salah. 


"Delta, Mama tahu kamu pasti marah karena mama mengambil keputusan tanpa persetujuan kamu. Tapi Ta, kamu tahu kan umur Mama nggak akan lama lagi? Mama hanya ingin melihat kamu menikah di sisa umur Mama," paparnya. 


"Ma ... Mama ngomongnya kok gitu, sih?" 


"Memang benar, kan? Penyakit jantung Mama sudah sangat parah, Delta. Mama tidak yakin bisa melihat kamu menikah dalam kurun waktu 5-6 tahun yang akan datang."


"Tapi Ma, umur Delta masih sangat muda. Dan, Anna ... Delta tidak mungkin menikahi Anna, Ma. Mama tahu kan Delta sudah menganggap Anna seperti adik Delta sendiri." 


"Tapi Anna kemarin bilang kalau dia sebenarnya mencintai kamu Delta. Dan mama pikir dia cukup untuk kamu." 


"Ma ...." 


"Kalau kamu menolak pernikahan ini. Itu artinya kamu membuat Mama sedih dan waktu Mama meninggalkan dunia ini akan lebih cepat," ujarnya lirih. 


Delta mendesah. Ia paling tidak bisa membuat Mamanya sedih. Tapi haruskah dirinya melakuakan pernikahan tidak masuk akal ini? 


"Baiklah, Ma. Delta akan melakukannya untuk Mama," putusnya. 


Senyum mengembang serta binar bahagia terlihat jelas di wajah Larasathy. "Kamu serius?" 


Delta mengangguk. "Asal Mama selalu bahagia." 


Sonia entah pergi ke mana dan saat ini Deana kesulitan menarik resleting gaunnya. Ia sudah mencobanya tapi tetap tidak bisa. Namun tiba-tiba saja seseorang membantunya menaikkan resleting itu hingga punggungnya yang terkespos kini tertutup sempurna. Deana membalikkan tubuhnya dan mendapati Delta yang menatapnya datar. 


"Udah selesai ngomong sama Mamanya?" tanya Deana. 


"Iya," jawab Delta pendek. 


"Gue terima pernikahan konyol ini," ujar Delta tanpa diminta. 


"Baguslah. Lo emang harus terima mau nggak mau," timpal Deana cuek. 


"Gimana gaun ini menurut lo? Gue pantes gak pake ini? Hm?" 


"Na, gue datang ke sini bukan buat ngomentarin gaun lo. Ada yang mau gue bicarain." 


"Ok. Ngomong aja. Gue dengerin, kok." Deana masih sibuk mengamati gaun yang melekat pas di tubuhnya. 


"Gue bakal buat peraturan. Pertama, selama di apartemen kita nggak bakal tidur sekamar. Kita bakal tidur sekamar seandanya kita ada di rumah atau Mama Papa datang ke apartemen, dengan catatan lo tidur di sofa." 


"Ok." 


"Kedua, gue nggak mau lo halang-halangin gue buat dapetin Kenna lagi. Gue bakal tetep kejar dia sekalipun kita udah menikah. Karena setelah dapetin Kenna lagi, gue akan segera urus perceraian kita.”


"Nggak. Gue nggak setuju. Dan Mama juga pasti bakal shock berat kalau sampai tahu hal ini." 


"Gue nggak peduli lo setuju atau nggak karena gue gak minta persetujuan lo. Soal Mama, gue yakin Mama pasti ngerti," tukas Delta keras kepala.


"Ketiga ... Gue nggak mau denger apapun lagi yang berhubungan sama Alden. Jadi pastiin lo jauh-jauh dari dia." 


"Kenapa gue gak boleh sementara lo boleh?" 


"Karena gue udah anggap lo sebagai adik gue sendiri dan gue nggak mau sampai Alden ngerusak masa depan lo!" 


"Kalau gitu lo juga nggak boleh berhubungan lagi sama Kenna apapun alasannya. Suka gak suka. Terima gak terima. Karena Gue punya hak atas itu, Ta!" balas Deana sengit.


"Anna! Jangan egois. Gue udah setuju sama pernikahan ini. Jadi anggap aja point kedua adalah timbal balik yang gue dapetin." 


"Sekalipun gue mohon-mohon di kaki lo supaya berhenti berhubungan lagi sama Kena?" 


"Ana lo kenapa sih jadi segininya banget sama gue, hah? Lo berubah tahu, gak?! Dan gue nggak suka!" 


"Karena gue mencintai elo! Gue cinta sama lo, Delta!!!!" teriak Deana. 


Delta menatap datar gadis di hadapannya. "Saran gue, jangan buang waktu lo untuk ngelakuin hal buat orang yang sama sekali nggak mencintai lo. Karena semakin lo berusaha, semakin lo ngerasa semuanya cuman bakal berakhir sia-sia," katanya lalu berbalik dan melenggang pergi. Meninggalkan Deana yang terpatri di tempatnya. 


Sakit? Yah, Deana merasakan hal itu. Akhir-akhir ini, tiap kali mereka berdebat, hati Deana berdenyut nyeri entah karena alasan apa. Padahal dulu, sekalipun Delta mengatakan hal yang menyakitkan Deana merasa biasa saja dan tidak peduli. 


Maafin gue, Ta. Tapi gue ngelakuin semua ini demi lo. Gue nggak mau pada akhirnya nanti lo mengambil keputusan yang salah. Gue nggak mau lo terjebak sama orang yang sama sekali nggak menginginkan elo. 


Flashback on

Saat menunggu Mauren yang sedang ada keperluan dengan anak Teknik di gedung Teknik, Deana penasaran dengan Fakultas Teknik dan berjalan menyusuri koridor  untuk menjelajahi gedung tersebut. 


Sampai di lorong yang lumayan sepi, ia tidak sengaja mendengar pembicaraan dua orang yang salah satu suaranya terasa familiar di telinganya. 


Saat mendekat, ia melihat Kenara bersama seseorang yang tidak di kenalnya. Sambil bersandar pada tembok, Deana berusaha menangkap pembicaraan mereka yang sepertinya sangat serius. 


"Gimana? Lo udah dapetin Delta balik?" tanya cowok itu. 


"Belum. Sedikit lagi." 


"Bagus. Pastiin kalau pada akhirnya lo bisa bikin dia balik sama lo." 


"Buat dia nggak bisa berkutik sedikitpun. Kalau perlu, lo jebak dia dan setelah itu lo kuras hartanya sebanyak-banyaknya kemudian tinggalin dia. Itupun ... kalau lo mau jadi satu-satunya wanita di hidup gue. Gue juga janji nggak bakal jadi player lagi." 


"Janji?" 


"Gue janji." 


Flashback off.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status