Share

6 | SAH!

“Semakin pelik, berarti semakin besar kekuatan cinta itu diuji. Sampai dimana keduanya saling bertahan tidak mau mengakui.” — The Endless Love

Deana langsung meninggalkan kelas tepat ketika seorang dosen masuk bahkan tidak memperdulikan panggilan dosen tersebut. Menurutnya itu sama sekali tidak penting karena yang lebih penting sekarang adalah mama Larashaty. Tadi asisten rumahnya menelepon dan mengatakan jika keadaan mama Larashaty tiba-tiba saja memburuk kemudian tidak sadarkan diri.


Sepanjang jalan menuju gerbang utama, Deana terus berusaha menghubungi Delta yang sudah menghilang sejak mata kuliah kedua tadi. Tapi nihil, cowok itu tidak juga mengangkat teleponnya. Di panggilan ke 12 Deana menyerah, Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan buru-buru menyetop taksi yang kebetulan lewat di hadapannya.


Dalam perjalanan menuju rumah sakit, tak henti-hentinya ia merapalkan Doa untuk sang Mama. Memohon pada Tuhan agar semua tetap baik-baik saja. Deana belum sanggup jika harus kehilangan seseorang untuk kesekian kalinya apalagi jika orang itu adalah mama Larashaty. Di sisi lain, ia juga tak henti-hentinya mengucap sumpah serapah untuk Delta yang entah ada di mana, sedang apa, dan bersama siapa, sampai-sampai tidak mau mengangkat teleponnya.


Sekitar 30 menit, Deana sudah sampai di rumah sakit. Ia langsung berlari memasuki rumah sakit tersebut dan mencari ruang UGD tempat mama Larashaty di rawat.


Dari kejauhan, terlihat Bi Ratih, Asisten Rumah Tangganya yang sedang harap-harap cemas menunggu  dokter keluar di kursi tunggu. Deana pun langsung menghampiri Bi Ratih.


“Bi, gimana keadaan Mama?” tanyanya panik.


“Non Anna. Nyonya ... Nyonya lagi diperiksa sama Dokter, Non. Kita berdoa yang terbaik saja untuk nyonya.”


“Mama kenapa bisa sampai drop, Bi? Gimana awal mulanya?”


“Bibi juga enggak tahu, Non. Tadi bibi lagi di dapur bikinin teh buat nyonya. Pas nyampe kamar, Bibi kaget liat Nyonya udah pingsan di lantai,” paparnya singkat.


Deana mengusap wajahnya pelan. Ia benar-benar takut terjadi sesuatu pada Mama Larashaty.


Bersamaan dengan itu terlihat seorang dokter  keluar dari ruangan UGD, cepat-cepat Deana menghampiri dokter tersebut. "Dokter bagaimana keadaan Mama saya? Dia baik-baik saja, kan? Iya kan Dokter?"


Dokter menatap Deana dengan mata yang tidak menandakan bahwa ibunya sedang dalam keadaan baik-baik saja. Bahkan lebih dari itu. “Kita tahu bahwa jantungnya semakin melemah dan serangan seperti tadi bisa terjadi kapan pun. Saya tidak bisa mengatakan jika mamamu baik-baik saja, Anna,” ujarnya lembut seperti biasa.


“Apakah itu artinya ....” Deana tidak melanjutkan kalimatnya. Ditatapnya dokter itu lekat, meminta kepastian dan berharap jika dugaannya tidak benar.


“Tidak ada yang tahu sampai di mana umur manusia akan berakhir, Anna. Tetaplah di dekatnya dan buatlah ia selalu merasa bahagia.”


“Dokter ....” panggilnya dengan nada yang pelan.


Dokter tersebut tersenyum seolah menyalurkan kekuatan agar gadis itu sedikit lebih kuat. “Jangan khawatir ... nyonya Larasathy adalah wanita yang kuat. Buktinya ia bisa bertahan sampai sekarang. Masuklah, ia pasti menunggumu,” katanya kemudian berlalu meninggalkan Deana.


Tanpa menunggu lebih lama lagi, Deana langsung memasuki ruangan dan menghampiri mamanya yang terbaring tak berdaya di sana.


“Mama ....” panggilnya serak.


Digenggamnya lengan yang begitu lemah itu kemudian diusapkannya pelan pada pipinya. Hal yang paling ia takutkan adalah mengetahui wanita yang saat ini tengah tersenyum kepadanya pergi. Pergi untuk selama-lamanya dan Deana tidak bisa melihatnya lagi. Dirinya benar-benar tidak siap kehilangan orang yang disayanginya untuk kesekian kali.


“Anna ....”


“Anna di sini, Ma. Anna nggak akan kemana-mana.”


“Delta mana? Mama ingin bicara sama dia.”


“Anna ... Anna nggak tahu Delta di mana Mama. Anna tidak berhasil menghubunginya,” aku Deana jujur.


Seketika pancaran kesedihan terlihat begitu nyata dari wajah wanita paruh baya itu. Membuat Anna merasa sangat bersalah telah mengatakkan hal tersebut.


“Mama tolong, jangan sedih. Anna akan mencari Delta dan membawanya kemari. Ya? Anna nggak mau Mama kenapa-napa lagi. Anna takut ....” ujarnya dengan gelisah dan semakin mengeratkan genggamannya pada lengan sang Mama.


Larasathy tersenyum. “Terimakasih sayang.”


Deana membalas senyuman Mamanya. “Anna cari Delta sekarang. Mama jangan khawatir ya. Mama harus kuat.”


Setelah mengatakan itu, Deana mengecup kening Mamanya kemudian berjalan ke luar ruangan untuk mencari Delta.

Tempat pertama yang Deana datangi adalah apartemen Delta. Ia berharap jika lelaki itu ada di sana. Karena selain Alden, ia tidak tahu siapa teman-teman Delta yang lain sehingga dirinya sedikit kesulitan untuk mencari keberadaan Delta.


Sekitar 45 menit, akhirnya Deana sampai di tujuan utama. Deana langsung membuka helm, membayar pesanannya kepada kang ojol, lalu melesat memasuki kawasan apartemen.


Sampai di pintu apartemen, Deana langsung mengobrak-ngabrik tasnya untuk mencari kunci apartemen tersebut yang sialnya menghilang di saat genting seperti ini.


Astagaaaaa! Kemana sih perginya tuh kunci, gumamnya masih terus mencari-cari. Merasa tidak ketemu, Deana memilih untuk mengetuk pintu tersebut. Hal yang seharusnya ia lakukan sejak tadi.


Deana mengetuk pintu tersebut dengan kasar sambul terus memanggil nama Delta. Berharap lelaki itu benar ada di dalam sana.


“Taaaaaaa!!! Lo di dalem kan? Buka Ta, ini gawat!” ujarnya gusar.


“Delta!” Deana terus mengetuk pintu tersebut. Entahlah, instingnya mengatakan jika lelaki itu ada di dalam.


Deana tak kehabisan akal. Ia mengeluarkan ponselnya lalu menelfon Delta. Dan benar saja. Tak lama, terdengar suara ponsel lelaki itu berdering dari dalam.


Shit!


“Delta sialan! Buka pintunya, bego!” Teriak Deana sambil terus menggedor pintu tersebut. Kesabarannya sudah benar-benar habis. Pikirannya terus tertuju pada Mamanya yang saat ini sedang lemah di rumah sakit.  Bagaimana kalau ia terlambat membawa Delta ke hadapan Mamanya? Bagaimana kalau sampai— Deana tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri kalau sampai hal itu terjadi.


Deana kembali mengobrak-ngabrik tasnya. Mencari keberadaan kunci tersebut dan viola!!! Dia menemukannya.


Setelah berhasil, Deana langsung bergegas menaiki tangga ke lantai atas menuju kamar Delta. Tak ada waktu mengetuk pintu, ia langsung  membuka pintu tersebut dan wow! Untuk beberapa saat Deana terkejut melihat pemandangan di hadapannya.


“A—anna?” Delta terlihat terkejut. Ia langsung menyingkirkan Kenna yang saat ini berada di atasnya.


Emosinya memuncak seketika. Ia tak habis pikir. Bisa-bisa Delta mengabaikan panggilannya yang berkali-kali dan lebih memilih bermesraan dengan Kenna seperti.


“Lo mengabaikan gue gak papa, Ta! Lo berubah sikap sama gue, gue juga terima! Tapi tolong angkat telepon gue! Lo gak tahu paniknya gue nyariin lo, sialan!”  


Melihat Deana yang gusar dan sangat panik, Delta langsung menyingkirkan Kennara dan menghampiri Deana.


“Ana lo tenang dulu, Ok?” 


Deana menepis lengan Delta dari kedua bahunya. “Gimana gue bisa tenang kalau Mama masuk rumah sakit dan keadaannya semakin lemah! Hah?!”


“A—apa?”


“Mama masuk rumah sakit. Dia minta gue supaya bawa lo ke hadapan Mama sekarang juga!” 


Deana mengembuskan napasnya beberapa kali, mencoba mengontrol emosinya agar tidak menggampar lelaki itu. “Mendingan sekarang pake baju lo! Gue tunggu di rumah sakit!” Setelah mengatakan itu, Deana langsung berbalik dan melenggang pergi.


“Anna!”


“Anna tunggu, An!” Delta langsung meraih kaos, memakainnya cepat lalu mengejar Deana.


Delta berjalan cepat menuruni tangga, dengan cekatan ia menarik tangan Deana yang hendak keluar dari apartemennya, membuat gadis itu sontak berbalik menghadapanya.


“Anna gue minta maaf. Gue—” 


“Maaf?”


“Mama lagi lemah di rumah sakit dan lo malah berduaan sama Kena! Otak lo waras, hah?! Sinting lo!” jerit Deana pada akhirnya. Meluapkan kekesalan yang beberapa saat lalu di tahannya.


“Gue minta maaf, Anna. Demi Tuhan gue nyesel. Gue gak tahu kalau telfon lo sepenting itu. Gu—”


“Shut up, Ta! Lo gak tahu betapa berartinya hidup nyokap lo buat gue! Gimana kalau tiba-tiba mama nggak ada? Gimana kalau mama pergi sebelum gue berhasil bawa lo ke hadapannya bahkan sebelum gue menemukan elo, hah?!” untuk kedua kalinya, Deana meneteskan air mata dan lagi-lagi itu di hadapan Delta.


Delta langsung menarik Deana ke pelukannya, seperti yang pernah lelaki itu lakukan dulu saat Deana kehilangan kedua orangtuanya. Delta benar-benar menyesal telah mengabaikan pesan dan panggilan gadis itu.


Ia tahu dirinya bodoh.Harusnya Delta sadar ada yang tidak beres saat ponselnya terus-terusan berbunyi menampilkan pesan dan panggilan dari Deana. Bodoh! Sangat bodoh! Ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika terjadi apa-apa pada Mamanya. 


“Maafin gue, Na. Maafin gue,” sesalnya sungguh-sungguh.


Deana hanya diam tidak menanggapi. Dadanya masih terasa sangat sesak.


Delta merenggangkan dekapannya. “Kita ke rumah sakit sekarang. Ok?”


Tanpa menunggu jawaban Deana, Delta langsung meraih kunci mobilnya di meja kemudian menarik lengan Deana dan bergegas meninggalkan apartemen menuju rumah sakit.

“Darimana saja kamu? Hah?” Sebuah tamparan mendarat di pipi Delta tepat ketika ia dan Deana sampai di depan ruangan tempat di mana ibunya di rawat.


Saat hendak menampar untuk yang kedua kalinya, Deana langsung mencegah. “Pa, udah Pa. Jangan tampar Delta lagi. Yang penting Delta sekarang udah ada di sini. Ya Pa, ya? Anna mohon,” pinta Deana penuh peremohonan.


Papa Altheraldo yang masih terlihat ingin menerkam Delta pun mengurungkan niatnya. “Kalau bukan karena Anna, Papa pasti sudah membunuh kamu saat ini juga!” ujarnya kemudian memilih untuk kembali duduk di kursi tunggu.


“Masuklah. Mamamu nunggu kamu,” tuturnya lagi.


Delta mengangguk kemudian masuk ke dalam ruangan di temani oleh Deana.


Di sana, pada tempat tidur itu, Delta melihat ibunya yang sedang terpejam tidak berdaya. Penyesalan demi penyesalan itu kembali menyeruak kepermukaan membuat Delta durundung penyesalan yang seolah tak ada habisnya. Pelan, Delta duduk di kursi, diraihnya lengan ibunya lembut kemudian ditempelkannya pada pipinya.


“Mama ....” panggilnya pelan.


“Delta di sini, Ma ...” 


Tak lama, kedua mata itu terbuka dari tidurnya. Ia memiringkan kepala menghadap Delta. Menatap penuh sayang anak keduanya itu. “Delta ... anak Mama ...”


“Iya, Ma ... Ini Delta, anak Mama ....”


“Kamu di sini, Nak...” 


“Iya, Mama. Delta di sini sama Mama.”


“Sayang ... dengarkan Mama,” ujarnya dengan suara yang lemah.


“Waktu Mama sudah tidak banyak, Ta.”


“Ma ... Mama gak boleh bilang gitu. Delta nggak suka. Jangan ngomong yang aneh-aneh.”


Mama Larashaty menggeleng kemudian menatap lekat ke arah Deana.


“Sini sayang,” pintanya pada gadis itu agar mendekat ke sisinya. Deana menurut. Ia pun berjalan dan berdiri tepat di samping Delta.


Mama Larashaty kemudian menarik tangan Deana dan menyatukannya dengan tangan Delta. “Mama mau, sebelum Mama pergi, kalian sudah dalam ikatan pernikahan,” ucapnya diiringi dengan binar bahagia di kedua bola matanya.


“Ma ....” ucap keduanya bersamaan. Untuk sesaat keduanya saling menatap sebelum kemudian Mama Larashaty kembali berucap.


“Tolong, kabulkan permintaan Mama untuk yang terakhir kalinya, ya?”


Acara akad nikah yang dilangsungkan secara sederhana dan tertutup itu berjalan dengan khidmat dan lancar. Semua yang ada di ruangan tersebut memanjatkan doa setelah berlangsungnya akad. Mama Larashaty terlingat sangat bahagia melihat Delta dan Deana pada akhirnya resmi menyandang status suami isteri. Ia tahu mungkin hal ini termasuk kategori memaksakan kehendak, tapi Mama Larashaty percaya jika Delta dan Deana bisa saling menjaga satu sama lain. Dan soal cinta ... bukankah cinta datang karena terbiasa bersama? Ia percaya pada akhirnya mereka akan bahagia dengan cara mereka sendiri.


Mama Larashaty bahagia. Sangat bahagia. Ia tersenyum sebelum akhirnya menutup mata untuk selama-lamanya.

Semuanya terpukul, termasuk Deana. Meninggalnya Mama Larashaty menjadi pukulan terberat setelah kematian kedua orangtuanya. Bahkan, Deana beberapa kali tidak sadarkan diri. Ia tidak pernah berpikir akan kehilangan Mama Larashaty secepat ini. Bahkan di saat dirinya belum sempat membahagiakan beliau.


Ini sudah hari ke tujuh Deana mengurung diri di kamar sejak meninggalnya Mama Larashaty. Ia tidak mau makan, berbicara, bahkan bertemu dengan siapapun. Kehilangan Mama Larashaty benar-benar membuat Deana terpuruk.


Dari arah pintu, Papa Altheraldo menepuk bahu Delta. “Jangan tinggalin Anna, Ta. Dia butuh kamu. Kepergian Mama kamu masih menjadi pukulan berat buat Anna,” ujarnya pelan.


“Iya, Pa. Delta janji akan selalu ada di samping Anna.”


Papanya tersenyum tipis kemudian mengangguk. “Kalau gitu, Papa ke kamar dulu.” Setelah itu, Papanya berlalu meninggalkan Delta yang berdiri di pintu kamar Deana.


Delta dan Papanya bukan berarti tidak terpukul. Mereka terpukul, sama besarnya dengan Deana. Mereka sama-sama hancur atas kepergian Mama Larashaty. Tapi, keduanya memilih untuk menyembunyikan luka dan kesedihan tersebut. Memilih untuk saling menguatkan satu sama lain.


Delta memasuki kamar tersebut, mendekati Deana yang sedang duduk menghadap jendela kemudian duduk di sampingnya.


“Naaa ....” panggilnya pelan. Di elusnya lembut rambut Deana. 


Deana menoleh. Perlahan, ia mendaratkan kepalanya di pundak Delta. “Kenapa, Ta? Kenapa semesta selalu misahin gue sama orang-orang yang gue sayang?” protesnya lirih.


“Pertama orangtua gue, sekarang Mama Larashaty. Terus nanti—” Deana tidak melanjutkan kalimatnya. Terlalu pilu rasanya ketika harus membayangkan orang-orang dalam hidupnya akan meninggalkannya secara tiba-tiba. Seperti sebelumnya.


“Naaa ....”


“Bukan cuman lo yang sedih kehilangan mama. Gue, Papa, Kak Daniel, semuanya. Kita juga sedih kehilangan mama, Na. Kita semua terpukul,” ujar Delta parau.


“Tapi, kepergian mama udah jadi takdir yang maha kuasa, Anna. Kita nggak bisa maksa Tuhan buat mengembalikan orang yang udah nggak ada, kan?” lanjutnya.


Deana mengiyakan hal itu dalam hatinya. Ia tahu semua orang akan mati dan kehilangan. Tapi kenapa harus secepat ini?


“Jangan sedih lagi. Mama pasti ikut sedih ngeliat lo kayak gini. Mama butuh doa, Na. Bukan air mata.”


Mendengar itu, Deana merasa tersentak. Apa yang dikatakan oleh Delta benar. Mama Larashaty butuh doa bukan air mata. Ya Tuhan ... Deana benar-benar merasa egois sekarang. Selama seminggu ini, dirinya hanya memikirkan kesedihannya sendiri dan melupakan hal yang lebih penting: Mendoakan Mama Larashaty.


Air mata kembali membasahi pipi Deana. “Selain egois, gue juga nggak berguna ya, Ta. Gue cuman mentingin perasaan sendiri padahal Mama lagi butuh doa.”


Delta menarik Deana ke dalam dekapannya. “Sssst, udah jangan nangis. Gue ngerti perasaan lo.”


“Daripada nangis, mending lo mandi. Bentar lagi pengajian hari ke 7 Mama di mulai. Nanti kita ngaji bareng, ya?”


Dekapan itu pun terlepas. Deana menyeka sisa air matanya kemudian mengangguk. “Iya.”


“Nah gitu, dong ....” Delta kembali mengelus rambut Deana sambil tersenyum. “Gue tunggu di depan kamar, ya?”


Lagi, Deana mengangguk.


Delta kemudian bangkit dari posisi duduknya, memandang sebentar pada Deana kemudian berbalik menuju pintu. Ia akan menunggu Deana di luar untuk nantinya turun  bersama.

Hari ini menjadi hari pertama Deana kembali ke kampus setelah 10 hari melewati fase yang berat.  Deana juga  terlihat sudah lebih baik ketimbang hari-hari sebelumnya. Itu sebabnya Ayah dan Delta mengizinkan dirinya kembali ke kampus.


Delta masih setia berada di sampingnya. Lelaki itu berperan dengan begitu baik selama dirinya berada di masa-masa buruk. Padahal seharusnya, dialah yang mendampingi Delta di fase tersebut. Karena Deana tahu, hati lelaki itu lebih hancur dibanding dirinya. Hanya saja Delta berusaha menyamarkannya.


“Deanaaaaaa!” teriak seseorang dari arah belakang.


Deana dan Delta pun sontak menoleh ke arah suara. Di sana, di beberapa meter dari tempat keduanya berada, Mauren berjalan ke arah keduanya dengan senyum yang merekah kemudian memeluk Deana erat.


“Huaaaa Deanaaaaaaa! Gue kangen banget sama loooooo!” ujarnya.


“Gue juga kangen sama lo, Ren,” timpal Deana sambil membalas pelukan sahabatnya tersebut. Untuk sesaat mereka saling berpelukan, sekedar melepaskan rasa rindu.


“Lo udah baikan?” tanya Mauren saat pelukan keduanya terlepas. Ia terlihat khawatir.


“Udah. Kalau belum, gue gak mungkin ada di sini sekarang kali.”


“Iya, sih,” cengirnya. “Kantin, yuk?” ajaknya kemudian.


“Yuk!” jawab Deana cepat. Ah dia merindukan satu tempat itu.


“Ta, gue ke kantin, ya?” izin Deana pada Delta. Entahlah, tapi ucapan itu tercetus begitu saja dari mulut Deana. Padahal biasanya tidak pernah. Ke kantin yaa ke kantin aja. Gak pake embel-embel izin segala.


“Ya udah gue ke kelas duluan.” Delta mengalihkan pandangannya ke arah Mauren. “Ren, jaga Anna, ya.”


“Siap Boss!!!” ujarnya sambil hormat ke arah Delta. Setelah itu, Delta berlalu lebih dulu meninggalkan Deana dan juga Mauren.


“Yuk, Na? Lu pasti kangen kan gado-gadonya Bu Janah?”


Deana terkekeh. “Banget!”


Keduanya pun berjalan ke arah kantin.

“Naaa?” panggil Delta pelan.


Deana yang sedang sibuk membaca novel pun hanya menjawab pendek. “Hmmm.”


“Ada yang mau gue omongin.”


“Ngomong aja. Gue dengerin.”


Delta bangkit dari posisinya, mendekat ke arah Deana lalu merebut Novel tersebut hingga membuat si empunya novel terlihat kesal. “Apaan sih, Ta! Maen rebut-rebut aja! Balikin, gak?”


“Nggak. Kan gue udah bilang ada yang mau gue omongin,” katanya kemudian duduk di samping Deana.


Saat ini keduanya berada di ruang tamu apartemen Delta. Lelaki itu memutuskan agar untuk sementara Deana tinggal di apartemen sampai hati keduanya benar-benar siap untuk kembali ke rumah.


Deana mengalah. Ia merubah posisinya menjadi duduk bersila menghadap Delta. “Ok, lo mau ngomong apa? Gue dengerin.”


“Ini ... soal—”


“Pernikahan kita?” tebak Deana cepat. Lelaki itu mengangguk.


“Lo tahu kan seberapa sayang gue sama Kenna?”


Deana mengangguk. “Terus?”


“Gue pengen balik ke misi awal buat ngejar dia lagi, Na. Gue percaya kita saling mencintai,” imbuhnya beropini.


“Dan mengabaikan perasaan gue?” tanya Deana menatap Delta lekat.


“Na ... udahalah. Gue tahu lo nggak punya perasaan apapun sama gue. Lo lakuin itu cuman demi Mama kan, Na? Gue tahu itu.”


Awlanya. Awalnya semua yang dilakukan Deana memang demi Mama Larashaty dan alasan lain dirinya melakukan itu semua juga untuk melindungi Delta dari niat jahat Kenna. Tapi, semua seolah berubah seiring berlalunya waktu. Ia memang belum sepenuhnya mengerti akan perasaannya namun yang jeoas misinya akan tetap sama. Kenna bukan yang terbaik dan Deana akan lebih ikhkas jika Delta bertemu orang lain. Mungkin akan tidak apa-apa, asal bukan Kennara.


“Apa sih, Ta? Siapa yang bilang gitu? Gue serius sayang sama lo. Emangnya salah, ya?”


“Of course, salah!”


“Why?”


“Karena gue gak punya perasaan apapun sama lo! Dan gue gak mau bikin lo terluka cuman gara-gara perasaan sialan lo itu, Anna!”


“Ta?”


“Na? Please ....”


“Ok. Lo gak peduli sama perasaan gue, gak papa. Gue juga nggak minta lo peduli. Terus sekarang mau lo apa?”


“Anna, bukan gitu maksud—”


“Ya udah iya skip. Kita bahas mau lo aja apa?”


Delta menghela napasnya berat. Ia tahu, tidak ada gunanya berdebat dengan Anna yang cuek. Well, Anna-nya sudah kembali sekarang.


“Seperti yang gue bilang, Na. Gue pengen ngejar Kenna lagi. Setelah gue dapetin dia balik, gue bakal bilang ke Papa soal hubungan gue sama Kena dan ngusulin perceraian kita. Papa pasti ngerti.” Delta memaparkan topik rencananya.


“Dan kalau Papa gak setuju?”


“Gue tetep sama pilihan gue.”


Sinting! batin Deana. Ditatapnya lekat lelaki di hadapannya. “Butuh berapa lama sampai lo bisa dapetin Kenna?”


“Satu bulan. Gue yakin bisa dapetin dia dalam waktu satu bulan.”


“Fine! Kalau itu keputusan lo. Lakuin apapun yang menurut lo benar.” Deana bangkit dari duduknya. Mengambil Novel di tangan Delta dan berlalu pergi.


“Mau kemana?”


“Tidur,” jawab Deana pendek tanpa menoleh sedikit pun ke arah Delta.


“Anna?” panggil Delta, berhasil membuat gadis itu berhenti menaiki tangga. Kali ini ia menoleh.


“Hapus perasaan lo buat gue, ya? Karena sampai kapanpun gue gak akan bisa bales perasaan lo.”


Jleb!  Harusnya, Deana tidak merasa sakit, bukan? Tapi entah kenapa, saat Delta mengatakan kalimat tersebut, hatinya seolah ditusuk oleh pisau tajam berkali-kali.


Deana tidak menggubris. Ia kembali melangkahkan kakinya menuju lantai atas dengan perasaan yang tiba-tiba saja berubah alur dan dirinya benci keadaan ini. Sungguh!

Salam penulis amatir,

CHACHARAMEL

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status