Share

Kamu Cantik

  "Kau berat sekali," keluh Xavier menyadarkan Anan dari posisinya yang sungguh memalukan.

  Anan terlonjak beberapa langkah ke belakang, "Maafkan aku, Tuan. Aku tidak bermaksud kurang ajar," ujar Anan takut sekaligus malu. Bahkan bila saja lampu ruangan itu terang benderang pastilah dapat melihat wajah Anan yang kini telah merona dengan semburat merah muda yang menggoda.

  Xavier tidak menghiraukan permohonan maaf Anan. "Jam berapa sekarang?" tanya Xavier datar, seperti tidak terjadi apapun sebelumnya.

  "Sudah pukul lima lebih empat puluh dua menit, Tuan."

  Tanpa basa-basi lagi, Xavier langsung beranjak dari tempat tidurnya, meninggalkan Anan yang masih diam mematung di sisi tempat tidur tersebut.

  "Turunlah, dan siapkan sarapanku," perintah Xavier dengan suara bariton yang mampu membuat kembali menarik kesadarannya, untuk melaksanakan tugas selanjutnya.

  Anan dengan tergesa mengangguk, dan pergi meninggalkan kamar Xavier, dengan degub jantung yang masih belum beraturan seolah sejuta kupu-kupu sedang mengerubungi dan berputar menari di dalamnya.

  Anan melangkah menuruni satu persatu anak tangga dengan pikiran dan perasaan yang tak karuan. "Huuh, kenapa aku ini?" batin Anan mengeluh.

  Sesampainya di dapur, Anan bergegas membuatkan secangkir kopi untuk Xavier. Ini adalah kali pertama Anan melekasanakan tugasnya tepat waktu, setelah beberapa hari sebelumnya Anan setiap kali terlambat bangun. Sehingga tidak dapat melayani Xavier dengan sempurna.

  Sementara itu di dalam kamarnya, Xavier terus saja bersiul, seolah tengah berbahagia. Senyum yang membuat ketampanan wajahnya meningkat seratus kali lipat itu-pun, tak pelak menghiasi tanpa lelah.

  "Ternyata, kamu cantik Ananditha." gumam Xavier seraya menatap cermin.

  Xavier selesai mematut dirinya dalam beberapa menit setelahnya hingga kini, ia melangkah menuruni anak tangga menuju ruang makan, tempatnya akan menikmati sajian yang telah disiapkan oleh pelayan pribadi yang barusan di akui cantik olehnya tersebut.

  "Makanan apa yang kau buat untukku, Anan?" tanya Xavier menghampiri Anan yang masih sibuk menata piring dan gelas serta sendok untuk sang tuan muda.

  "Tuan," sapanya. "Aku menyiapkan roti tawar dengan beragam selai, ada juga sandwich tuna yang aku buat berdasarkan resep dari youtube, yang aku pelajari kemarin, dan ini nasi goreng daging sapi, serta secangkir kopi," terang Anan menunjukkan satu persatu hidangan yang ada di atas meja.

  Xavier mengangguk paham, dan mulai membalikkan piring di hadapannya, "Aku menginginkan sandwich tuna, buatanmu," pinta Xavier akhirnya.

  Dengan penuh kehati-hatian Anan memindahkan Sandwich tersebut ke atas piring Xavier. "Silahkan dinikmati Tuan."

  Xavier mengangguk dan mulai memasukkan makanan tersebut ke dalam mulutnya. Sebuah sensasi yang mampu memanjakan indera perasa Xavier yang pemilih itu, nyatanya cukup membuat Xavier puas dengan hasil kerja Anan sepagian ini.

  Xavier mengangguk, diiringi seulas senyum kepuasan yang terbit membuat hati Anan lega setelah debaran ketakutan di jantungnya kembali normal melihat ekspresi Xavier yang demikian. Sungguh beberapa hari dekat dan bekerja untuk Xavier, membuat Anan tidak saja harus menguras energi, namun juga hati dan pikirannya, yang kadang membuatnya lelah sebelum tugasnya usai.

  "Enak," puji Xavier disela kunyahannya.

  "Terima kasih, Tuan."

  "Mulai sekarang, kau bertugas menyiapkan makanan ku, pagi-siang-malam," perintah Xavier lugas.

  Anan tercengang, pasalnya itu adalah tugas koki dan juga Bi Surti. "Tapi Tuaaan ...."

  "Jangan membantah!" tegas Xavier memotong keluhan Anan yang belum selesai diutarakan.

  Anan menunduk, tak berani melanjutkan. Dalam pikirannya kini, hanyalah keraguan. Apa dirinya mampu memenuhi selera makan sang tuan muda? batin Anan

  "Hari ini, aku akan makan siang di rumah, jadi ... siapkanlah beberapa jenis makanan yang dapat kau siapkan," ujar Xavier lagi.

   Anan semakin bingung dibuat Xavier, namun apalah dayanya, hanya sebuah anggukan yang dapat Anan berikan sebagai jawaban.

*****

  Setelah Xavier berangkat ke kantor, Anan sibuk berkutat dengan telepon genggamnya, mencari beberapa menu yang kiranya dapat menjadi referensinya siang ini, sebagai sajian makan siang sang tuan muda.

  Sembari membersihkan kamar Xavier yang tidak terlalu berantakan hari ini Anan sesekali masih terus mencari jenis makanan dari youtube. Namun, entah mengapa matanya begitu lelah hingga tanpa dapat di tahan, perlahan Anan terlelap di sofa yang tadi malam menjadi tempat tidurnya, dan hal tersebut tidak lepas dari pantauan Xavier yang melihat segalanya melalui macbook yang terhubung langsung dengan CCTV di kamar pribadinya.

  "Haiss ... mengapa dia begitu mudah tertidur?" gumam Xavier sambil menepuk dahinya.

  "Seharusnya dia masih terus berpikir, makanan apa yang akan dia berikan padaku siang ini, bukan malah tidur," kesal Xavier bermonolog.

  "Permisi Tuan," suara Derryl menginterupsi pandangan Xavier yang terus terarah pada layar macbooknya.

  Xavier mengalihkan perhatiannya, "Ada apa Derryl?"

  "Siang ini, Tommy Hans melalui perwakilan Greatfull corp, memajukan pertemuannya. Apakah Anda bersedia?" tanya Derryl serius.

  "Mengapa?" Xavier mengerutkan dahinya.

  "Sebab pertemuan ini sudah di atur sejak bulan lalu, mengapa tiba-tiba mereka meminta untuk dimajukan dengan mengirimkan perwakilannya saja?" selidik Xavier.

  "Dan satu lagi  ... mengapa bukan Tommy yang datang, mengapa harus perwakilannya?" Kembali Xavier mengemukakan kecurigaannya.

  "Ayahku sedang ada pemeriksaan rutin Vier, akhir-akhir ini kondisi kesehatan jantungnya kurang baik," suara Bella menjawab pertanyaan Xavier.

  "Satu hal yang aku tidak suka darimu adalah masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu, apa tempatmu dulu menimba ilmu tidak memberikan pelatihan atau sejenis pendidikan attitude yang baik?" sindir Xavier sinis, membuat Bella merasa malu dan tersulut emosi.

  "Aakh ... maafkan aku, aku merasa hubungan kita lebih dari sekedar atasan dan bawahan ... sehingga kadang melupakan etika tersebut," dalih Bella.

  "Kita bersahabat Bella ... tapi itu tidak membuatmu memiliki hak istimewa untuk sembarang masuk, saat Derryl ada dalam ruanganku," ketus Xavier.

  "Baiklah Vier, maafkan aku ... aku tidak akan mengulanginyan lagi," sesal Bella lirih.

  "Ada apa?" tanya Vier, mengalihkan pokok pembicaraan.

  "Aku hanya ingin menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan yang kemarin," ungkap Bella, seraya mengangsurkan berkas yang di pegangnya. "Aku melihat tidak ada kesalahan di sana," lanjut Bella menerangkan.

  "Letakkan saja di sana, aku akan memeriksanya nanti," jawab Xavier datar. "Bila tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan masalah pekerjaan, kembalilah ke tempatmu Bella ... ada beberapa hal pribadi yang ingin aku bicarakan dengan Derryl," lanjut Xavier mengusir Bella dengan terang-terangan, membuat Bella pasrah melangkah mundur secara teratur.

  "Dasar sombong!" runtuk Bella dalam hati.

   Langkah Bella di paksa untuk segera berlalu dari ruangan kerja Bos besar sekaligus sahabat yang sangan di cintainya dengan penuh kesal.

   "Kalau bukan karena rasa cintaku yang begitu besar padamu, sudah pasti ayahku telah mengahncurkanmu sejak hari kematian ayahmu," gerutu Bella lagi dalam hati.

   Xavier terus memandang kepergian Bella, hingga punggung tubuhnya menghilang di balik daun pintu kokoh yang terbuat dari kayu jati asli tersebut, seraya melirik ke arah monitor yang ada di atas meja Xavier. Hanya Xavier dan Derryl yang tahu benda itu tertanam dengan rapi di balik meja kerja kaca Xavier.

   Layar itu memperlihatkan Bella yang masih berdiri di balik pintu tersebut, mencoba menggunakan indera pendengarannya untuk mendengarkan pembicaraan Derryl dan Xavier.

    "Aku melihat Bella semakin memperlihatkan kebodohannya akhir-akhir ini," ujar Xavier mengundang senyum miris Derryl.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status