Share

Perkenalan (2)

   "Aku suka kopi buatanmu malam ini, aku harap kau stabil meraciknya," pesan Xavier saat langkah Anan tersisa beberapa langkah lagi saja untuk segera keluar dari kamarnya.

   Anan kembali membalikkan tubuhnya, mengangguk, seraya memegangi jantungnya yang nyaris terlepas dari tempatnya, sebab keterkejutan yang di dapati dari suara bariton yang tanoa aba-aba tersebut. "Baik Tuan, saya pamit." balas Anan sopan.

  Sesampainya di dalam kamar Ananditha tak dapat tidur, padahal kasur di sini lebih bagus dan empuk di bandingkan dengan tempat tidur yang biasa ia tempati sebagai peraduan mimpi di rumahnya.

  Kata-kata "besok aku akan aku akan berkenalan lebuh lanjut"  yang Xavier ucapkan tadi, menjadi momok tersendiri baginya. Dalam bayangannya entah apa yang akan dilakukan oleh Tuan muda itu esok padanya.

  Kembali Anan merindukan sang ibu, malam ini meruoakan malam oertama baginya terpisah ribuan kilometer dari wanita yang telah membersamainya selama sembilan belas tahun lamanya, tak oernah meninggalkannya dengan alasan apapun.

  Kini, dimalam sunyi yang terus beranjak, di dalam ruangan berukuran tiga kali tiga dengan pendingin udara berupa sebuah air conditioner, harusnya Ananditha dapat beristirahat dengan nyaman dan tenang, mengingat seharian ini tubuhnya telah bekerja ekstra. Perjalanan selama empat jam, dan mempelajari tugas-tugasnya secara kilat yang di pandu oleh bi Ratna, harusnya cukup untuk membuatnya tubuhnya kini minta di pulihkan dalam tidur lelap.

  Namun sayangnya tidak, Ananditha masih terus terjaga dengan dengan tangis diam-diamnya. Gadis berparas ayu ini justru merindukan sang ibu dan kasur yang biasa ia tinggali. Hingga lelah itu benar-benar telah berada di ujung batasnya, Anan terlelap dalam tangisnya.

*****

  Matahari sudah beranjak tinggi, menyinari alam ... menebarkan kehangatan pada makhluk Tuhan yang tengah berjuang mendapati kebahagiannya hari ini.

  Anan masih bergelung dalam selimut putih tebal yang menghangatkan, udara yang dihasilkan oleh air conditioner nyatanya sangat mempengaruhi kenyamanan tidur seorang Ananditha.

  Sebuah ketukan pintu menjadi alarm pengingat untuk Anan, agar segera tersadar dan bangkit dari tidur tanpa mimpinya saat ini.

 Tok ... tok ... tok

  "Anan ... Ananditha ... Anan ...." sebuah suara yang masih asing untuk Anan kenali menjamah indera pendengarannya.

   Anan mulai menggeliat, tubuhnya ia renggangkan ke kanan dan ke kiri, sebelum akhirnya matanya mengerjap beberapa kali. Netranya perlahan memindai ruangan yang menjadi tempat istirahatnya tadi malam. Hingga netranya sempurna mengenali bahwa ini bukan rumahnya.

   Tubuh Anan spontan terlonjak, dengan tergesa bangkit hingga terjungkal menabrak sudut ranjang. Melihat jam dinding yangvterletak tepat di atas pintu kamar telah menunjukkan pukul sembilan waktu Indonesia bagian barat.

  "Astaga! Tamatlah sudah riwayatku, bahkan belum genap dua puluh empat jam," gumam Ananditha, seraya menggapai kenop, dan membuka daun pintu tersebut, dengan nafas yang tersengal seperti pelari marathon yang baru tiba di garis finish.

  "Apa kau baik-baik saja?" tanya Miana ... salah satu rekan kerja di rumah keluarga Rhys ini.

  "Aakh ... hmm-oh, ma-af ... aku terlambat bangun," Ananditha menmbalas dengan suara bergetar yang sangat kentara. Gugup dan rasa takut yang sangat menjadi alasan dibaliknya.

  Miana tersenyum lembut, memukul pelan lengan Ananditha. "Tidak apa-apa, kami tahu kamu pasti terlalu lelah, setelah kemarin seharian melalui perjalanan jauh, dan belum beristirahat dengan benar," terang Miana penuh pengertian.

  Anan mengangguk, rasa tidak nyaman itu kembali menghampiri hatinya. Pasalnya ini adalah hari pertama dirinya bertugas, naas kebiasaannya bangun siang, justru menjadi kesan pertama yang buruk.

  "Tu-an Xavier?" Anan memberanikan diri menanyakan sang  pemilik rumah.

  "Kenapa?" Miana balik bertanya.

  "Hmm ... maksudku, apa di bertanya tentangku? Marah padaku?" Jelas Anan lagi.

   Miana menggeleng, "Aku tidak tahu pasti ... bi Surti tadi yang menghampiri Tuan muda di kamarnya," jawab Miana lancar. "Bi Surti berpesan untuk tidak membangunkanmu hingga pukul sembilan, karena kau harus sarapan."

   Anan mengangguk paham. "Syukurlah," gumamnya dalam hati.

   "Tuan muda akan pulang pada jam makan siang, bersiaplah ... dirinya pasti akan merepotkanmu," ujar Miana lagi terkikik, seraya berlalu ... menyisakan Ananditha dan kebingungannya.

  Ananditha masih terus memandang langkah Miana, yang meninggalkannya dengan rasa bingung yang menggunung.

*****

   Xavier kembali kerumah tepat di waktu makan siang, seperti yang Miana katakan. Berbagai jenis hidangan western telah tersedia rapi. Soerang koki handal di rumah ini selalu di hadirkan di rumah ini untuk memenuhi kebutuhan selera tuan muda, dan bi Surti hanyalah pelengkap saja.

   "Pukul berapa dia bangun?" tanya Xavier pada bi Surti yang tengah menuangkan air putih kedalam gelas kristal miliknya.

   "Pukul sembilan Tuan, seperti yang anda perintahkan," jawab bi surti penuh hormat.

   "Setelah makan siang, perintahkan dia untuk masuk ke ruang kerjaku,"

    "Baik, Tuan." Bi Surti mengangguk seraya meninggalkan Xavier yang mulai menikmati santap siangnya.

    Dengan langkah yang di buat sehati-hati mungkin, hingga tanpa suara ... bi Surti kembali ke posnya di dapur bersih, yang terletak di sudut sayap kiri rumah besar tersebut.

    Ananditha tengah bersenda gurau dengan para pelayan yang lainnya tatkala Bi Surti datang menghampiri. "An, nanti setelah tuan makan siang, kamu di perintahkan untuk datangvke ruang kerjanya," ucap Bi Surti menyampaikan pesan tuannya.

    Ananditha mengerutkan dahinya, pikirannya mulai bercabang kemana-mana, tidak ada lagi senyuman yang mampu tersungging di wajahnya yang terlihat pias.

   "Apa mungkin ini adalah hari terakhirnya di rumah ini? Bahkan sebelum dirinya melakukan tugas-tugasnya dengan baik." batin Anan lirih.

*****

    Xavier telah menyelesaikan makan siangnya. Bersama Derryl kini dirinya kini telah berada di ruang kerja bergaya American classic dengan ornamen-ornamen kayu yang dominan, sungguh terlihat begitu mewah dan elegan.

    "Beritahu dia segala hal secara terperinci, aku tidak ingin kejadian tadi pagi terulang kembali," ujar Xavier pada Derryl mengingatkan.

    "Baik Tuan."

     "Sejak awal, aku sduah meragukan komitmennya dalam bekerja, usia dan porsi tubuhnya yang terlihat masih terlalu muda itu, ditambah sepertinya di anak gadis manja ... aaarrgh, sungguh bi Ratna membuatku harus menambah pekerja mentraining bocah ingusan seperti An." kesal Xavier.

   Kehilangan bi Ratna membuatnya seperti bebek kehilangan induknya. Sedari tadi pagi terus saja berkotek tak henti mengeluhkan Ananditha yang bangun kesiangan, hingga dirinya ikut terlambat menghadiri rapat dewan direksi pagi ini.

   "Aku sudah memperingatkannya, sejak malam ... bahwa dia harus menyiapkan segala keperluanku sejak jam empat pagi, dan kau tahu Der, hari ini dia bangun pukul sembilan!"

   "Mungkin saja Anan, masih terlalu lelah sehabis perjalanan kemarin Tuan,"

   "Hmm ... kita lihat saja besok, apa masih berulang atau memang alasan saja perjalanan itu."

   Tok ... tok ... tok ...

    Suara pintu di ketuk menginterupsi perbincangan Xavier dan Derryl.

    Derryl beranjak melangkah mendekati daun pintu dan menekan kenop pintu yang terkunci agar dapat terbuka.

    "Permisi, ma-af mengganggu ... apa Tuan Xavier ada di dalam?" tanya Ananditha gugup.

     Sejurus pandang, Derryl tertegun ... terpesona dengan kecantikan Anan yang alami. Menggunankan seragam maid,  dan ikat kepala serupa mahkota, beserta dengan cepolan rambut khas maid, membuat seorang Ananditha lebih cocok menjadi nyonya dari pada pelayan pribadi seorang Xavier.

   "Ma-af Tuan ...." tegur Ananditha tak nyaman di perhatikan dengan tatapan kagum Derryl seperti itu.

    "Anan ... Ananditha," kali ini giliran Derryl yang di buat salah tingkah karena kedapatan memperhatikan Anan dengan sedemikian rupa. "Oh ... iya, silahkan masuk. Tuan Xavier telah menantikan kehadiranmu," balas Derryl mulai kembali menguasai keadaan.

    "Terima kasih."

    Langkah Anan melambat, ragu dan sekali lagi ketakutan bertemu Xavier, agaknya menjadi sebuah masalah kepercayaan diri baru baginya.

    "Duduk!" perintah Xavier ketus membuat jantung Anan kembali ngilu, karena ritmenya yang kencang dan tidak beraturan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status