Share

The Beautiful Housemaid

  "Duduk!" perintah Xavier ketus membuat jantung Anan kembali ngilu, karena ritmenya yang kencang dan tidak beraturan.

   Ananditha patuh, dengan penuh kehati-hatian dirinya duduk di sebuah sofa berwarna maroon berbahan bludru yang begitu lembut, empuk dan sangat nyaman.

  Dengan penuh perhatian Xavier memindai pelayan pribadinya ini. Sangat berbeda dengan sang bibi ya yang telah berusia lanjut, Xavier justru merasa kedepannya, bukan Anan yang akan melayaninya, melainkan Xavierlah yang akan melayani Anan.

  "Cantik!" batin Xavier dalam hati.

  Sebuah senyum smirk tercetak sempurna di bibir Xavier, melihat betapa kikuknya Anan yang seperti di penjara berada dalam ruangan kerja mewah tersebut.

  "Salam kenal, nona Ananditha," sapa Derryl ramah, penuh senyum. "Saya Derryl Antoni, sekretaris pribadi, Tuan muda Xavier," terang Derryl masih dengan senyum menawan.

  Ananditha menyambut uluran tangan perkenalan dari Derryl dengan tenang. Perlahan namun pasti Anan mendapati keberanian, lewat sikap Derryl yang begitu bersahabat.

  "Aku, Ananditha ... keponakan bi Ratna, pelayan pribadi Tuan muda sebelumnya," terang Anan dengan lancar.

  Derryl mengangguk, menarik tangannya dan kembali pada ipad yang sedari tadi di pegang pada sebelah tangannya yang lain, kemudian menyerahkannya pada Ananditha.

  "Itu adalah perjanjian kerja antara Nona dan Tuan muda, selama masa uji coba beberapa bulan ke depan," Derryl menjelaskan.

   Ananditha membaca dengan penuh seksama tiap kalimat yang tertera di sana, sebelum menyetuju dan menandatangani perjanjian tersebut.

   "Tuan, saya memang mangalami kesulitan saat hatus bangun pagi," keluh Anan jujur.

   "Gunakan alarm pada telepon genggammu!" ketus Xavier.

   Ananditha mengalihkan pandangannya kepada Xavier yang terlihat duduk dengan penuh perhatian dari kursi kebesarannya. Ananditha menundukkan pandangannya, "Maad Tuan, tapi saya tidak memiliki telepon genggam."

   Seketika Derryl dan Xavier saling beradu pandang, " Seperti apa kehidupan gadis muda di hadapannya ini hidup di desa? Hingga sebuah ponsel genggam saja tidak punya," batin Xavier seraya mengerutkan dahinya.

   "Apa anda serius Nona?" tanya Derryl meyakinkan.

   Anan kembali mengangguk, "Benar, Tuan."

   "Lalu, bagaimana bi Ratna menghubungimu?" tanya Xavier tidak kalah penasaran.

   "Meminjam telepon kang Hasto," terang Anan polos.

   "Berapa usiamu? Bagaimana kamu berkomunikasi dengan teman-temanmu?" Xavier terus mencecar Anan dengan pertanyaan. Rasanya tidak mungkin, remaja masa kini tidak memiliki sebuah ponsel genggam yang merupakan sumber informasi peradaban dunia modern.

  "Di kampung, tidak perlu benda seperti itu untuk berkomunikasi, datang langsung ke rumah menjadi pilihan," jawan Anan serius.

  "Haiss ...." desah Xavier menyerah. "Belikan dia segera ponsel genggam ... agar aku mudah menghubunginya, bahkan bi Ratna saja, memiliki ponsel genggam pribadi," omel Xavier lagi.

   "Siap Tuan,"

   "Sudah, cepat tanda tangan ... dan laksanakan pekerjaanmu dengan baik." perintah Xavier lugas.

   Ananditha mengangguk, sekali lagi membacanya dan segera menandatangani perjanjian tersebut.

   "Terima kasih, Nona."

*****

   Malam beranjak dengan begitu cepatnya, seharian ini Anan menemani Xavier di kamarnya. Ternyata tidak mudah menjadi bi Ratna. Pekerjaan yang begitu sarat dengan tanggung jawab. Berulang kali harus keluar masuk kamar, menyiapkan makanan, dan kembali membawanya ke dalam kamar bernuansa monokrom milik sang tuan muda.

   Pantas saja bi Ratna terkena anemia, jam tidur yang kurang dapat menjadi alasan paling mendasar sebagai penyebabnya.

   Sore tadi, seperti yang telah di janjikan. Derryl kembali berkunjung untuk memberikan ponsel pesanan sang tuan muda tampan. Sebuah gawai berlogo apel tidak utuh kini menjadi milik Anan, untuk senantiasa bisa berhubungan langsung dengan pemberinya.

   Hanya ada dua nomor yang ada dalam daftar kontak. Tuan muda Xavier dan sekretaris Derryl. Sedangkan Anan sendiri, tidak tahu berapa nomor teleponnya.

   Sudah satu jam Anan berkutat dengan mainan barunya tersebut dan aplikasi kamera adalah yang tengah ia geluti saat ini. Berbagai gaya di depan kamera berukuran mini itu Anan tampilkan, menjadikannya wallpaper dan gambar profil di aplikasi pesannya.

   Sementara itu dilain tempat, Xavier masih terjaga ... dalam pikirannya masih terus terbayang wajah Ananditha dengan berbagai ekspresi saat menemaninya bekerja di kamar hari ini.

   Tanpa Anan sadari, Xavier mengambil beberapa foto Anan secara diam-diam, untuk dinikmatinya sendiri. Hingga tanpa sengaja, Xavier membuka aplikasi chat berwarna hijau miliknya, memeriksa kembali pesan yang masuk, hingga tanpa sengaja dirinya melihat Anan yang mungkin tanpa sengaja memampangkan foto selfi di status pribadinya, serta mengganti foto profil. Membuat Xavier tersenyum geli.

"Tidur!" Xavier mengirimkan pesan singkat pada Ananditha

   Di dalam kamarnya Anan terlonjat, kaget dengan suara pesan masuk yang berasal dari majikannya. Anan tidak menyangka, Xavier akan melihat status pribadinya. Anan mengira majikanannya tersebut telah terlelap dalam tidur dan mimpi indanhnya.

  "Baik, Tuan." balas Anan

   Xavier kembali tersenyum tanpa niat membalas pesan Anan. <span;>"The beautyfull house maid." gumam Xavier lirih.

*****

   Kicauan suara burung yang berasal dari ponsel genggam baru milik Anan, yang diatur sebagai melodi alarm untuk membangunkan Anan dari tidur lelapnya. Nyatanya tak begitu efektif, hingga berulang kali Derryl sendiri yang langsung menelepon Anan.

   Butuh sepuluh kali panggilan untuk membuat seorang Anan tersadar sekaligus terjaga.

   Anan terlonjak dari tidurnya pada panggilan ke sepuluh. "Oh ... oh, iya-iya Tuan ... maafkan aku," ujar Anan memelas kala mengangkat telepon Derryl. Rasanya ia ingin menangis menggeru karena kecerobohan dan kebiasaan buruknya ini.

   "Segeralah ke kamar boss, kamu akan dapat masalah besar, bila tidak segera ke sana,"<span;> jawab Derryl dari seberang telepon.

   "Baik, Tuan!" pungkas Anan, seraya menutup sambungan telepon.

   Anan berlari menuju kamar sang boss, dengan keceoatan penuh. Dalam perjanjiannya kemarin Anan di wajibkan bangun tepat pukul lima pagi, namun jam besar yang berada di sudut rumah tersebut, telah menunjukkan pukul lima lewat lima belas menit.

   Perlahan Anan membuka daun pintu kamar milik sang majikan setelah menekan beberapa digit angka yang telah di beritahukan sebelumnya oleh sekretaris Derryl kemarin.

   Xavier terlihat telah terjaga dan duduk di pinggiran kasur, menatap tajam ke arah pintu dengan wajah dingin yang menyeramkan. Membuat Anan, berniat untuk meninggalkan kamar itu sekarang juga.

   "Jam berapa sekarang?" tanya Xavier dengan suara bariton yang terdengar dingin, menyayat keberanian Anan.

    Anan kembali tertunduk, tidak berani menatap manika gelap mata indah Xavier. Tatapan bak mata elang itu, mampu membuat Anan gugup setengah mati.

   "Maafkan saya Tuan," lirih Anan memohon. Suara lembut Anan benar-benar tidak dapat di keluarkan dengan volume yang baik.

   "Jangan mengira kebaikanku ini tidak berbatas, kemarin aku membiarkanmu tidur sampai puas, karena masih menganggapmu manusia yang butuh istirahat. Tapi hari ini dan seterusnya, tidak ada lagi pengertian dan pemakluman seperti itu." Dengan intonasi yang sangat lugas Xavier menjelaskan rasa kesalnya.

   "Siapkan kebutuhanku!" perintahnya lagi.

    Anan mengangguk, walaupun kini buliran bening nan hangat telah menggenangi pelupuk mata, dirinya harus tetap melakukan pekerjaannya dengan baik, agar kemarahan dan kata-kata kasar Xavier menjadi sahabat dalam perjalanan karirnya menjadi seorang pelayan pribadi seorang taipan kaya raya, sekelas Xavier Rhys.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status