Share

10. Brady White

Olivia Finley

Aku selamat? Tidak juga.

Dia hanya mendorongku masuk ke kamar dan membiarkan aku sendirian di sini. Tanpa bisa melawan. Bodohnya kau, ZeeZee!

Kamar yang benar-benar sempit. Ini jelas kamar pelayan! Tidak ada celah untukku kabur. Sekarang apa? Tidur? Tidak, aku tidak bisa tidur di saat seperti ini. Walau aku justru merasa lelah dan mengantuk.

Sial sekali memang. Ponselku kehabisan daya baterai saat kucoba memeriksanya sedetik lalu.

Benar-benar sialan! Kutendang pintu berulang kali. Aku hanya cemas akan—

“Ada apa, Olive?” Pintu terbuka sedikit. Hanya menampilkan setengah tubuh pria berengsek itu.

“Katamu, kita akan bicara. Ayo, bicara sekarang. Aku tidak bisa menunggu sampai pagi. Aku harus pulang. Pekerjaanku banyak.” Aku melotot padanya. Kupegangi pundakku yang jadi pusat perhatiannya. Kemeja yang kukenakan dirobek olehnya di bagian pundak kananku.

“Oke. Tunggu sebentar. Kau perlu kemeja baru, bukan?” Suaranya melembut, begitu juga tatapannya.

Oh, jangan harap aku tertipu!

“Izinkan aku keluar juga.” Kubalas kelembutannya agar dia juga tertipu.

“Tidak.” Dia tersenyum jenaka. Lebih tepatnya mengejek. “Setiap kali kau berucap manis seperti itu, aku tahu kau merencanakan sesuatu atau sudah siap dengan tingkah burukmu.”

Sialan! Cepat sekali dia mengenali maksudku.

Dia menutup pintu. Menguncinya dari luar. Aku mondar-mandir cemas di kamar sempit yang bagiku memang tidak pantas disebut kamar.

Sudah jam sebelas malam. Perutku perih, lapar.

Hyra mungkin di penatu dan cemas karena popok lansia. Dia jelas tidak akan mencemaskanku, karena dari dulu dia selalu ingin melihatku keluar dari mesin cuci dan bersenang-senang hingga larut malam di luar rumah.

Pintu terbuka. Dia muncul. Masuk dan menutup pintunya kembali. Apa-apaan dia? Kenapa harus ikut masuk?

“Ini. Kenakanlah. Aku tidak akan melihat.” Dia melempar kemeja hitam tanpa motif padaku. Kemeja kebesaran. Sudah pasti itu miliknya.

Kutangkap dengan tepat. Memeganginya sesaat dan berpikir cepat, dihadapannya yang bersandar punggung dibalik pintu sembari melipat tangan di depan dada.

Baik! Akan kukenakan kemejanya tanpa melepas kemeja milikku. Enak saja! Yang boleh melihat tubuhku hanya Rhys seorang. Sejak dulu, sekarang, hingga nanti.

Dia terbahak karena ulahku. Benar-benar tergelak dan aku tidak peduli. Kubuka setiap kancing kemejanya hingga ujung. Aku memakainya dengan cepat, begitu pula dengan membiarkan kemejaku tetap di dalamnya.

Gerah? Tentu saja. Apalagi di kamar sempit ini tidak ada pendingin ruangan sama sekali.

“Ikuti aku.” Setelah tawanya berhenti, si berengsek ini membuka pintu dan keluar.

Selama perjalanan melewati lorong dan mengikutinya, aku melihat sekeliling. Baik. Tidak ada cara di sekitar sini yang bisa membuatku lari dengan gerak yang tidak terbaca—oh! Ah, yap! Aku harus kembali ke ruang pertemuan berjendela rendah tanpa jeruji itu.

Aku harus bisa melewati pandangan si sialan ini lalu melarikan diri.

“Masuk, Olive.”

Aku berhenti. Masuk ke sana? Ke sebuah ruangan yang pintunya sudah terbuka lebar. Ruangan yang lebih mirip seperti kantor atau ruang kerja di dalam rumah.

“Kita bicara di sini saja.” Aku menolak. Tetap berdiri tegak dihadapannya.

“Dan kau bisa melarikan diri dengan mudah. Begitu?”

“Tidak,” bantahku cepat.

“Jika tidak, masuklah. Sudah kuperingatkan kau untuk tidak macam-macam karena aku bisa menyentuhmu dan kau tidak suka itu, bukan?”

“Ya. Aku tidak suka itu. Jadi jangan pernah lakukan tindakan seperti itu lagi.” Aku mengancam lewat sepasang mataku yang melotot. Melangkah masuk karena ancaman dia akan menelanjangiku di tempat, benar-benar menggangguku.

“Baik. Kau juga. Jangan meludahiku lagi atau menyundul wajahku dengan kepalamu.”

Aku ingin tertawa. Lucu dan puas rasanya. Hanya tinggal menendang warisan masa depannya yang belum berhasil kulakukan. Tunggu saja. Akan kulakukan itu, andai dia berani menyentuhku lagi walau hanya memegang pergelangan tanganku.

Tanpa dipersilakan duduk, aku duduk di sebuah kursi tanpa sandaran berbantal empuk dan diam menatap lurus ke depan.

Kulihat dia menyusul dan duduk di depanku. Bukan di kursi, tapi di atas meja. Dasar gila perhatian.

Aku memundurkan kursi dan dia menahan pegangan kursinya dengan dua lengannya yang terjulur panjang di antara tubuhku.

Tegang dan sangat mengancam. Dia mengunciku di antara sorot mata dan kedua lengannya. Dua bola mataku sudah fokus di atas, menatapinya dengan isyarat protes.

“Jangan sampai kau menyentuhku.” Aku menggeram. Memperingatinya lewat mulutku yang tidak terbuka.

“Tidak akan!” Dia berseru, kemudian mengangkat kedua tangan tanda menyerah.

Diam-diam aku bernapas lega. Aromanya begitu kuat. Aku sampai tidak mampu mengenali harumnya yang berbanding terbalik dengan grapefruit dan pepper milik Rhys.

Akh, aku tidak ingin indera penciumanku terkontaminasi olehnya!

“Aku akan bertanya.”

“Silakan.” Akhirnya yang kutunggu tiba juga. Beberapa pertanyaan. Tidak sulit. Cukup ‘ya’ dan ‘tidak’ lalu aku bebas.

“Aku memintamu datang menemuiku di White Company. Kenapa kau tidak datang?”

Untuk apa? Mengemis padamu? Tidak akan pernah kulakukan!

“Tidak.”

“Beri aku jawaban yang benar, Olive. Ingat perjanjiannya.” Dia nyaris berteriak, tapi sudah membentakku.

Ternyata benar, dia pria yang mudah sekali marah. Tersulut emosi dengan cepat.

“Aku merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Jadi aku tidak perlu datang untuk memohon padamu.”

Dia mendengus. Sudah lebih dekat lagi denganku dan sekali lagi, aku memundurkan wajahku untuk berada sedikit jauh dari tatapannya.

“Besar sekali nyalimu, Olive. Kau juga sangat keras kepala. Entah siapa kau di masa lalu, tapi aku akan segera mengetahuinya.”

Silakan saja. Jangan terkejut saat kau tahu bahwa aku memiliki ksatria pelindung. Bahkan enam, bukan satu.

Aku tidak takut pada siapa pun, apalagi padanya. Hanya pria bersetelan jas yang duduk dibalik meja dan memerintah semua hal harus sempurna seperti yang dia inginkan.

Aku yakin, kau pria seperti itu. Sudah berulang kali aku hidup dengan rasa takut lebih dari ini. Ujung senapan di kening, hukuman mengerikan di keluarga Oxley, dan ikut andil membereskan orang-orang yang mengganggu bisnis ilegal keluarga angkatku.

Kau? Bukan apa-apa bagiku.

Hening. Kulihat dia mengusap wajahnya dengan cepat. Kenapa? Frustrasi? Itu bagus.

“Tuan Brady. Will ingin bertemu.” Ketukan serta suara seorang pria terdengar bersamaan dari luar pintu.

Pria ini, yang dipanggil ‘Brady’ segera berjalan melewatiku menuju pintu. Aku memantau keadaan saat dia fokus dengan pria yang berdiri di ambang pintu.

Aku bisa melihatnya. Ada satu pintu lain dibalik sebuah rak buku kayu setinggi tubuhku. Dengan gerak hati-hati, aku bergegas ke sana. Jika tertangkap, aku akan beralasan ingin ke toilet.

“Tuan Brady, Nona itu.”

Sialan! Arah si berengsek itu berdiri memang membelakangiku, tapi pelayan bodohnya itu menghadap ke dalam ruangan. Jelas dia tahu aku—

“Mau ke mana kau, Olive?”

Suaranya dekat, bahkan tangannya menimpa tanganku yang sedang menggenggam gagang pintu. Saat aku mundur, punggungku berakhir di tubuh bagian depannya.

“Akhirnya kita saling mengingkari janji. Ingat ini baik-baik, Olive. Kau yang mulai melanggar janji kita diawal. Kau paham bahwa mulai detik ini, aku akan melakukan apa yang kumau, bukan?”

Enak saja!

Menggunakan siku, aku menyikut perutnya. Dia mengerang, menjambak rambutku. Posisiku sudah berbalik, ini saatnya. Kutendang harta paling berharga miliknya. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi setelah ini, asal jangan berani-berani menyentuhku.

“Brady White, selamat menikmati nerakamu.”

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status