Olivia FinleyMemancing bersama Edgar batal dan aku pulang.Seberapa banyak aku berpikir selama perjalanan pulang untuk menghubungi Rhys dan mencoba mengingat-ingat nomornya, tetap berakhir buntu.Aku tahu, aku hanya perlu ke Yellowrin. Bertemu dan menjelaskan semua ini padanya. Itu yang paling kubutuhkan saat ini.Tanpa gangguan dari Brady sialan. Walau aku sangat lah tahu, itu nyaris mustahil terjadi.Di mana kakiku berpijak, di situ Brady White akan mengikuti.“Kau kembali?” ejek si sialan di depan pintu. Seolah sedang menyambutku.Kuabaikan dia dengan akhir yang selalu bisa kutebak. Dia akan menyentuhku dan menyudutkanku di dinding.Tepat!“Jangan pernah berani mengabaikanku, Olive.” Cengkeramanya berbeda. Penuh hasrat dengan tangannya yang berada di pinggangku.“Kau senang hanya dengan menjadi semena-mena padaku?” Kubiarkan dia saat bagian tubuh depannya menekan bagian yang sama denganku. Kata Edgar, aku mungkin harus terlihat jinak di depannya.Omong kosong! Aku tidak bisa!Kure
Olivia Finley “Kebebasanmu. Kau tuli, Olive?” Bukan kasar. Dia hanya tidak sabaran. Aku yakin, saat ini mataku pasti mengeluarkan banyak bintang-bintang yang bersinar. Berkilau. “Itu artinya, aku boleh pergi darimu? Dari rumahmu? Tanpa kau ikuti?” Brady sialan hanya fokus menatapku. Seolah sengaja mengabaikan si kurus cantik berambut pirang di depan kami. “Kita bicara nanti. Lakukan sekarang atau kau—” “Oke,” selaku cepat. Memang harus cepat, sebelum dia berubah pikiran. Kulingkarkan lengan kananku di pinggangnya. Balasan perbuatannya tadi. Namun kurasa, Brady sialan tidak akan puas dengan hanya apa yang kulakukan. Karena wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Sialan. Apa lagi yang salah? Si pirang mengulum senyum. Dia sadar aku bersandiwara yang terkesan dipaksakan. Mereka hebat. Pasti orang-orang yang biasa mengenakan topeng untuk mengelabui siapa pun yang ingin mereka tipu. Penipu yang tidak mungkin bisa ditipu. “Kami akan segera pergi. Tolong minta salah satu karyaw
Rhys Dimitri Oxley “ZeeZee?” Bukan kilat, apalagi petir yang menyambar di siang terik, lebih dari itu, aku terkejut melihatnya ada di sini. Di depanku. Tersenyum canggung. “Apa aku mengganggumu?” Dia terlihat sangat kaku, daripada marah. Aku segera pergi dari tempat dudukku. Ini memang pasti tidak akan menimbulkan kesalahapahaman, tapi apa yang sedang kulakukan, seolah memperlihatkan aku tengah menikmati makan malam bersama Diana Heller. Ini bukan seperti itu. Terlihat begitu, tapi tidak begini awalnya. “Sama sekali tidak, Sayang.” Kupeluk dia erat-erat. Kecemasanku mereda, ketika dia balas mendekapku. Kututup rasa ingin tahuku yang berharap bisa bertanya tentang banyak hal. Kenapa dia bisa sampai ke Yellowrin? Padahal setahuku, dia tidak ingin kembali ke sini dengan berbagai alasan. Paling membuatku bingung, kenapa dia tidak menghubungiku? Akh, untuk apa hal ini dipertanyakan lagi? Aku pun pergi tanpa pamit, sehari setelah hari pernikahan kami. Dan ... dan, demi apa pun! Ini
Olivia FinleyTidak ada yang terjadi semalam. Aku terlalu lelah. Terbangun pagi ini pun, tanpa Rhys di sisiku.Ke mana dia? Apa wanita yang semalam duduk di meja makan keluarga Oxley itu mencari kekasihku dan membangunkannya dari tidur di pagi buta?Persetan, ZeeZee!Jika Rhys menemukan kesenangan lain dengan cara seperti itu, mungkin aku harus coba bercermin pada diriku sendiri.Aku memiliki hubungan yang ‘sesuatu sekali’ dengan Brady White. Andai Rhys tahu, mungkin perang akan terjadi.Aku tidak suka itu. Sungguh. Sebisa mungkin aku akan mencegah hal itu terjadi, meski rasa bersalah akan mengikuti sepanjang hidup.Tapi, apa mungkin selamanya Rhys tidak akan tahu tentang apa yang terjadi padaku dan Brady? Rasanya, teramat sangat mustahil.Namun setidaknya, aku akan coba menaikkan kewaspadaanku.“Selamat pagi, Nona Olivia Finley.”Aku menoleh. Melihat sosok Lucas di sana. Masih sama. Walau tidak sebaik dari terakhir kali aku merasakan keramahtamahannya. Mungkin, dua tahun membuatnya j
Olivia Finley“Bisa beritahu aku kenapa kau sampai ada di rumah utama padahal biasanya, kalian tidak akan berkumpul tanpa perintah dari kakak tertua?” Tiba-tiba penasaran. Aku menanyakan ini karena mengingat ucapan Lucas.“Kata siapa? Aku sesekali pulang untuk berganti pakaian di kamarku. Pakaian di rumahku sendiri hanya ada beberapa yang sempat kubawa dari sini.”“Kau peduli soal itu?” Aku keheranan. Atau mungkin, aku saja yang tidak pernah tahu akan hal itu.“Ya. Aku peduli.” Meletakkan sandwich-nya kembali di piring, dia menatapku. “Waktu yang tepat sekali ketika pagi ini aku pulang, dengan niat untuk mengambil beberapa setelan jas dan malah bertemu denganmu.”Jadi, siapa yang bicara benar? Lucas atau Ludwig?Memangnya kau peduli? Ah, ya. Tidak. Aku tidak peduli. Itu urusan mereka. Aku pun berhak tidak mempercayai siapa pun di sini.“Kenapa kau kembali?”Sekarang, giliranku yang meletakkan sandwich dengan beberapa gigitan dariku itu, ke piring. “Karena aku merindukan Rhys.”“Jika i
Rhys Dimitri OxleyAku merasa aneh pada ZeeZee-ku yang tidak mempermasalahkan apa pun. Ya, oke. Kami memang sudah sepakat tentang hal itu malam lalu, tapi bukan berarti dia tidak sepeduli ini.Kurasa, dia agak dingin. Bukan, bukan. Nyaris rasa kepedulian itu sudah tidak lagi ada untukku.Begitukah?“ZeeZee Olivia Finley, apa yang ingin kau beritahu? Cepat katakan.” Menggesekkan daguku ke pundak telanjangnya, kuhirup aromanya yang menenangkan.Dia terkikik geli. Membalas sentuhanku dengan meraba secara intens. “Rhys, aku mencintaimu.”Sungguh hanya itu? Kenapa aku meragukan ucapannya? Serasa ada yang tertinggal. Kesannya, aku begitu memaksa. Padahal, mungkin benar hanya itu.“Aku juga mencintaimu, Sayang. Sangat.” Kusatukan diri kami pada akhirnya. Tidak bisa kubendung lebih lama lagi. Dia terlalu menggairahkan. Selalu seperti itu.“Rhys,” panggilnya serak. Padahal kami sedang bergerak. Dari dulu begitu. Senangnya bicara ditengah percintaan.“Hmm?” Kutatap matanya dalam-dalam. Meneliti
Olivia FinleyBukan bosan menunggu, aku hanya bergerak ke ruangan lain setelah melihat menu makanan di meja belum bisa disantap karena menanti Rhys menyusul ke sini.Aku memastikan bahwa semua yang ada di dalam setiap ruangan masih sama seperti yang terakhir kali kuingat, suasana yang persis serupa. Meski banyak pelayan baru dengan wajah yang asing bagiku berlalu lalang di dapur dan ruangan pelayan, tempat biasa mereka beristirahat.Dering telepon di ruang kecil yang biasanya dipakai untuk menyimpan berkas milik David Oxley, membuatku terkejut. Seingatku, telepon rumah tidak pernah diletakkan di ruangan itu. Padahal, itu ruang berkas tempat ayahnya Rhys biasa berlama-lama tanpa ingin diganggu.Masih berdering dan kuangkat gagangnya, menempelkan ke telingaku.“Halo.”“Saatnya pulang, Olive. Perlu kujemput?”Percaya lah. Aku mematung dengan rasa terkejut yang menyeretku jatuh bersama gemuruh ketakutan dalam diriku.Sungguh. Aku tidak menyangka dia menghubungiku ke telepon rumah Oxley. M
Olivia Finley“Kau tidak akan melakukan itu.” Tersenyum, kuusap pipi kanannya tanpa melepas tatapanku darinya.Rhys balas menatapku. Bagaimana jika dia mulai mencurigaiku dan benar-benar bersikeras melarangku kembali ke Halbur?Menghela napas, dia menyingkirkan gelas dari genggamanku. Caranya sedikit kasar. Mungkin dia marah. Aku membiarkannya. Tidak mengatakan apa pun ketika gelas itu terjatuh ke atas ranjang dan membasahi seprei serta kasurnya dengan air yang tadi masih penuh di dalam gelas. Menyerap cepat, tapi masih basah.Rhys mencumbuku. Meski marah sekali pun, dia tidak pernah benar-benar kasar padaku, terutama ketika dia menginginkanku.Kulingkarkan kedua lenganku ke lehernya. Menikmati segalanya yang terjadi, sebagai hal yang kurasa jadi paling baik dan menenangkan hatiku saat ini.Terlepas dari sesaknya rasa bersalah yang menghimpitku. Membuatku kacau dan terluka sendiri. Bahkan jika dia mengetahuinya, mungkin perasaan terlukaku bukan lah apa-apa.Di kepalaku hanya tertanam