Share

4. Hanya Dua Hari

Rhys Dimitri Oxley

“Aku membutuhkanmu di acara itu, Rhys.”

Apa keenggananku tidak terbaca jelas lewat ekspresi wajahku ini?

“Jangan gunakan Megan sebagai alasan,” kataku tegas. Dia, Audrey Mika Dawson harus diberi penolakan secara pasti jika tidak ingin menjadi duri dalam kehidupanku sejak dia muncul beberapa tahun lalu, di depan ZeeZee, ah, maksudku, Olive.

“Rhys, dengar ...” Mata gelapnya menatapku, tajam, “aku tidak peduli dengan rasa bersalah yang menggerogotimu karena mendiang Megan. Acara ini memang sudah jadi impiannya sejak dulu. Dia meminta kau turut serta di dalamnya. Apa perlu kutunjukkan surat wasiatnya padamu?”

Itu tidak perlu. Aku tahu itu tidak ada. Megan Laura Dawson, mantan kekasihku yang malang itu tidak pernah sempat menuliskan hal-hal tidak berguna, selain dari imajinasi liarnya yang tertuang menjadi novel fantasi yang justru berhasil membuatku lupa padanya dalam sekejap kepergiannya.

Kematian mendadaknya seolah jadi tidak berarti karena Adiknya sendiri. Audrey Mika sejenis wanita rapuh dan cengeng yang coba memasang topeng ketat di wajahnya untuk mengelabuiku.

Oke. Tidak masalah. Akan kucoba membuatnya terus berada di atas angin. Tapi, jangan harap aku akan terus diam jika dia coba menyusup lagi di antara hubunganku dan Olive.

Ah, sedang apa wanitaku itu? Ini hampir jam makan siang. Apa di sana sudah sore? Aku terlalu bodoh dan tidak peduli tentang perbedaan waktu yang terbentang nyata di atas jarak yang juga terpaut cukup jauh di antara kami.

Ini serius. Aku sengaja membuat diriku bodoh tentang hal itu untuk membuang jauh pikiran bahwa kini, sudah dua puluh empat bulan berlalu sejak kami terpisah jauh, tanpa bisa saling memeluk dalam tidur malam singkat kami.

“Kujemput kau nanti jam tujuh.”

Suara Audrey samar menjauh. Berpura-pura tidak mendengar, aku tahu dengan cara mendiamkannya seperti tadi, membuatnya sadar diri untuk segera menyingkir dari pandanganku.

Dia tidak akan pernah sama dengan Kakak perempuannya. Megan tetaplah Megan. Dan Audrey tetaplah Audrey Mika yang munafik.

“Tuan, Anda ditunggu Tuan Hugo di rumah.” Lucas muncul ketika aku melangkah keluar dari restoran. Ini makan siang paling tidak menyenangkan bagiku.

Di saat aku menikmati steak daging sapi terbaik milik restoran ini bersama salah satu rekan bisnis legalku, wanita itu muncul tanpa tahu malu.

“Ada apa?” Aku baru bertanya setelah Lucas membukakan pintu mobil untukku.

“Tentang penyelundupan senjata ke Halbur, Tuan.”

Jantungku berdebar ketika nama kota kecil itu disebut. Tempat kekasih hatiku memilih tinggal selamanya di sana. Yah, dia aneh memilih tinggal di kota senyap seperti itu.

ZeeZee berubah menjadi Olive. Itu lembut dan mengagumkan. Aku menyukai siapa pun dirinya. Sampai akhir. Ya, sampai akhir.

“Kenapa Hugo memilih kota itu? Menurutmu?” Kucoba meminta jawaban jujur dari Lucas, karena dia selalu bicara apa adanya, mungkin seperti menyuarakan apa yang tertulis di kepalanya.

Lucas hanya diam sementara aku memasang sabuk pengamanku sendiri. Sekarang aku sadar, mungkin pertanyaanku ini sedikit menyulitkannya.

“Katakan saja. Aku tidak akan membunuhmu hanya karena sebuah pendapat yang kau berikan.” Kuberitahu dia kembali tentang hal yang tidak akan pernah kulakukan padanya, mengambil nyawa di tubuhnya.

Dia sudah seperti salah satu sepupu bagiku, di antara banyaknya penjilat di Oxley dan Nixon—pihak Ibuku—yang terus berkembang layaknya jamur tumbuh di roti tawar basi yang ada di sarapan pagi milikku.

“Ini hanya perkiraan, Tuan. Benar-benar hanya dugaanku saja.”

“Aku paham, lanjutkan.”

Setelah menatapku sekilas dan kembali pada fokus menyetir, dia bicara nyaris bergumam. “Tuan Hugo memilih kota Halbur karena tindak kejahatan di sana sudah mulai marak terjadi beberapa bulan terakhir. Itu karena ada beberapa kebijakan pemerintah di sana yang berubah.

Kemungkinan kedua, Tuan Hugo penasaran akan keberadaan Nona Olivia Finley yang terduga berada di kota itu selama dua tahun terakhir.”

Ah, kemungkinan kedua itu sudah pasti. Aku tahu hampir keempat Adikku yang tersisa—selain Luigi—sedang sibuk membujuk satu sama lain untuk mencari tahu keberadaan ZeeZee mereka yang hilang, bukan mati.

Darah David Oxley dan Tessa Diane Nixon mengalir lancar di tubuh kami berenam. Jadi wajar saja, tidak ada satu pun yang percaya bahwa ZeeZee benar-benar mati karena terkena tembakan dariku.

Jelas mereka berempat, dan Luigi juga, tahu pasti perasaanku pada Adik perempuan kami itu.

Bahkan mendiang Ayah dan Ibuku mencurigai hal itu juga. Hanya saja, karena aku, Putra sulung mereka yang luar biasa nekat melawan jika keduanya berani menyentuh ZeeZee, terpaksa mengalah dan bungkam sampai akhir hayat keduanya.

Lupakan!

Membicarakan Ayah dan Ibu hanya menyisakan penyesalan terbesar dalam hidupku. Walau penentang hubunganku dan Olive sudah tidak ada, lenyap, aku tetap merasa tidak pernah berhasil menjadi Kakak yang baik untuk adik-adikku.

Kami tiba di rumah. Aku tidak perlu mendatangi Hugo, dia yang akan menghampiriku. Tetap sama. Keberadaanku masih semenakutkan dulu. Aku tahu, sempat memudar saat mereka menyadari bahwa aku sudah mulai menunjukkan rasa tertarikku pada ZeeZee. Memperlihatkannya pada dunia.

Mereka juga terkena hasutan mendiang Ayah Ibuku yang tidak mungkin merestui hubungan kami. Lagipula, sejak kapan ada restu yang kubutuhkan? Tidak ada. Aku sungguh tidak peduli, walau separuh bahkan seluruh dunia menentang hubungaku dan ZeeZee.

“Rhys.”

Aku baru akan menutup pintu ruang kerjaku saat wajah luar biasa tampan miliknya menahanku. Hugo Dimitri Oxley.

Kutinggalkan pintu, berjalan lebih dulu ke kursi. Duduk di sana dan menatap lurus pada Hugo yang tidak akan duduk sebelum aku memintanya.

Semua dari mereka memang seperti itu. Kami terbiasa hidup seperti lawan dalam satu darah. Harga diriku dan kelima Adikku memang dijunjung setinggi langit, hingga kupikir bisa menembus langit.

“Duduklah.”

Hugo menarik kursi dan duduk berjarak dariku, memberi kelonggaran di antara meja dan tempat duduknya.

“Rhys, aku akan berangkat langsung untuk mengawasi bahwa empat puluh empat kotak senjata api laras panjang itu sampai ke tujuan dengan aman, ke kota Halbur.”

Tidak ada ketegangan dalam suara dan sikapnya. Kutebak saja, ini seperti dialog yang terus menerus diulang di depan cermin kamarnya, sebelum dia memutuskan untuk mendatangiku.

Dia berlatih cukup keras. Kuakui itu. Aku mengenal semua adik-adikku. Tidak terkecuali Hugo yang hanya terpaut usia tiga tahun dariku.

Dulu, saat remaja—mungkin saat itu usiaku sembilan belas dan dia enam belas tahun—aku memergokinya sedang belajar memegang senapan laras pendek lengkap dengan ciri preman cilik yang terus coba dia sesuaikan berulang kali.

Saat itu, hal seperti itu mengundang tawa bagiku, tapi tidak dengan saat ini. Kami terlalu tidak peduli tentang satu sama lain untuk turut dicampuri. Kecuali, satu hal itu.

Aku yakin, dari kelima Adikku, ada beberapa yang begitu tertarik pada ZeeZee. Entah rasa suka, simpati, atau benar-benar tulus peduli, sungguh, aku tidak bisa membaca perasaan mereka jika itu terkait tentang lawan jenis.

Kami semua, berenam, memiliki perbedaan pasti mengenai hal itu.

Hugo masih menungguku berpikir. Dia tampak sabar. Aku suka itu. Membuatku berpikir, bahwa jika pun aku melarangnya, akan ada cara lain untuknya bertemu ZeeZee. Asal tidak terdengar dan tertangkap basah olehku, dia pasti melakukannya.

“Pergilah. Langsung kembali bersama yang lain. Waktumu hanya dua hari.”

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status