Share

5. Bertemu Dengannya

Olivia Finley

Tidak banyak yang berubah, kecuali satu hal itu. Dari ratusan pelanggan, hanya menyisakan belasan saja untukku.

Dan tentu saja, aku harus bekerja hingga tulangku terasa akan lepas di malam hari sebelum menjelang tidur, karena pagi hingga sorenya, aku bekerja sendirian di depan mesin cuci.

Seperti kataku, Hyra Lewis tidak pantas menderita karena kesalahanku, tapi tidak. Tidak, tidak, aku sangat tidak sudi mengakui kesalahan yang tidak pernah kulakukan. Dasar berengsek!

“Hei, Olive. Aku datang.”

Benar-benar panjang umur. Hyra muncul dengan bungkusan plastik berwarna ungu—lambang dari kafe tempatnya bekerja memang identik dengan warna itu—tersenyum, menggoyangkannya dihadapanku yang tengah telentang di sofa ruang istirahatku.

“Ini akhir pekan. Seharusnya kau pergi bersama kekasih, atau menemani Nenekmu seharian di rumah.” Walau berkata begitu, aku bersyukur dia berkunjung.

Dia duduk di sofa dekat kakiku. “Jangan banyak bicara, Olive. Harusnya kau yang pergi keluar dengan dandanan cantik sekedar jalan-jalan atau menikmati makanan enak untuk perutmu.

Dan lihat, oh mengerikan! Kau seperti wanita tua yang kehilangan suami juga anak-anakmu. Cepat bersiap, ayo pergi bersamaku.” Hyra menepuk-nepuk kakiku dengan desakan dari sorot matanya. Bungkusan plastik ungu itu ternyata berisi makanan beku. Hyra paling mengerti diriku yang malas berlama-lama di dapur untuk memasak. Kurasa ini cukup untuk beberapa hari ke depan.

Dan benar juga. Aku memang membutuhkan istirahat sejenak. Lagipula, biasanya para pelanggan yang tersisa hanya belasan orang ini jika di akhir pekan pasti mengantar pakaian kotor mereka menjelang makan malam.

Setiap orang mendahulukan liburan mereka di akhir pekan. Aku pun juga seharusnya begitu. Segarkan sepasang mataku dengan pemandangan lain, selain mesin cuci dan pakaian kotor.

Lalu yang terpenting, kenyangkan perutku dengan makanan-makanan enak. Hidup itu untuk makan, bukan?

Sekarang kami tiba di kafe tempat aku merekomendasikan Hyra untuk bekerja. Pemilik tempat ini ternyata kekasih dari Osen Murald—pria yang membantu mengubah identitasku—dan teman dari Luigi.

Jika Rhys datang berkunjung, sesekali kami juga menikmati makanan dan minuman di sini. Tapi beberapa kali itu saat kami di sini, tidak pernah kulihat Osen ada di tempat. Kurasa bukan karena dia takut pada Rhys. Bukan, sepertinya bukan karena hal itu.

“Bagaimana dengan Astrid Jenkins?” Itu kekasih Osen Murald.

“Kenapa dengannya?” Hyra sudah mengenakan apron khusus pelayan. Menyodorkan daftar menu ke hadapanku.

“Dia tidak menyulitkanmu, kan?” Aku khawatir, karena sepertinya, Astrid  menerima Hyra akibat dari desakan Osen. Paham benar betapa raut wajah dan gerakan tubuh wanita itu terkadang menyiratkan dia benci padaku.

Sungguh, aku berharap dia tidak menyakiti Hyra.

“Sama sekali tidak. Tapi kurasa karena masih sangat awal untuk menilai pribadi seseorang, aku akan bertahan untuk itu. Jika dia ternyata membenciku dengan cara yang tidak profesional, aku akan angkat kaki dari sini.”

“Itu bagus, Hyra.” Aku terbahak. Teringat Eri yang bahkan sepertinya akan mengambil keputusan yang sama seperti Hyra jika dihadapkan dengan situasi yang juga sama.

Senyum kemenangan Hyra terukir, dia membungkuk berbisik padaku. “Kusarankan kau memesan makanan termahal dan terenak di sini. Kau bebas makan sepuasnya di kafe ini karena Osen Murald. Dia sudah berpesan padaku tentang membebaskan biaya makanmu di sini, Olive.”

Aku tertawa senang. Osen termasuk pria tanpa banyak bicara dan setia. Tentu saja setia kawan dan setia pada Astrid.

“Baik. Tolong pesankan untukku makanan dan minuman termahal yang ada di sini.”

“Pilihan yang bagus, Nona Olive. Tunggu sebentar. Aku akan kembali dalam dua puluh lima menit.” Hyra memberitahu dengan gaya bicara khas seorang pramusaji.

Jenis pekerjaan seperti ini memang cocok untuknya. Tidak sia-sia aku merekomendasikan tempat ini padanya.

Selama Hyra pergi, aku menggunakan waktu untuk memeriksa ponselku. Tidak biasanya Rhys sama sekali tidak menghubungiku. Bahkan pesan singkat pun tidak masuk ke ponselku.

Baiklah, tidak apa untuk menyapanya lebih dulu. Mungkin dia terlalu sibuk di akhir pekan ini.

Mengetik pesan untuknya, sebuah nomor asing menggetarkan ponselku. Menunggu beberapa detik, aku mempersiapkan kemungkinan si pria sialan itu coba menghubungiku lagi.

“Halo,” sapaku. Ini suara yang tidak bersahabat, tidak juga lembut menggetarkan jiwa.

“Masih ingat denganku, ZeeZee?”

Aku mengingat suaranya dalam samar-samar ingatan di kepalaku. Mirip suara seseorang. Yang jelas, seseorang dari Yellowrin. Di masa lalu, aku tentu mengenalnya dengan sangat baik.

“Hugo?” Biar kutebak. Andai itu benar dirinya, jika bukan aku hanya perlu minta maaf.

Tawa kecilnya terasa dekat. Bahkan suara nyanyian merdu seorang wanita yang terdengar diseberang, persis sama dengan yang diputar di kafe tempatku duduk sekarang.

Dia di sini?

“Yap, Adikku. Kau baik-baik saja selama ini?”

Refleks aku mendorong kursi ke belakang. Keluar dari sana, bergerak menuju ke sisi luar kafe. “Kau di mana?” Kuabaikan pertanyaannya karena rasa penasaranku. Kulihat ke sekeliling, tidak ada tanda-tanda Kakak tertampan di antara yang paling tampan itu di sekitarku.

Apa ini hanya—

“Hai, Olivia Finley.”

Aku berbalik. Ternyata Hugo tepat berada dibelakangku. Ini benar-benar dia. Kakak tertua kedua setelah Rhys. Aku sampai tercengang meski bukan hal sulit bagi mereka untuk menemukanku.

Hugo masih saja tampan. Merentangkan tangan dan langsung mendekapku sebelum aku sempat melempar diriku ke pelukannya.

Pelukan hangat. Bagiku, dia masih seorang Kakak yang tampan dan senang bermain wanita.

“Kau tampak lebih kurus dan pucat, Adikku. Kau serius hidup dengan baik di sini?” Dia bertanya masih sembari memelukku erat.

Rasa-rasanya aku tersedot ke lubang cacing untuk melakukan perjalanan ke masa lalu, melihat dan mendengarkan Hugo Dimitri Oxley seperti dua tahun yang lalu.

Kenangan di Yellowrin, di kediaman Oxley tempat di mana aku tumbuh besar bersama enam Kakak laki-lakiku, yang bukan Kakak-Kakak kandungku, mengudara di atas kepalaku.

“Tentu saja. Aku merasa hidupku sempurna di sini.”

Aku melepas pelukan dan Hugo menilaiku dari tatapan kedua matanya yang tidak mirip dengan Rhys. Setelah aku tahu bahwa aku bukan Adik kandung mereka, mendadak aku menduga jika mendiang David dan Tessa juga membesarkan bukan Anak mereka selain Rhys yang kuyakini sebagai darah daging mereka.

“Dengan menjadi seorang tukang cuci?” Nada itu bukan menghina, lebih mirip tidak percaya.

“Hanya itu yang bisa kulakukan untuk saat ini. Lebih baik, daripada tidak sama sekali.” Kuangkat kedua pundak, berpura-pura tidak peduli. Namun bagaimana pun itu, aku selalu mencintai pekerjaanku.

Hugo menghela napas. Dua tahun menjadikannya lebih lembut saat bersikap, dan aku menyadarinya ketika dia mengusap puncak kepalaku sekarang.

“Kau bisa membuka penatu yang menggunakan sistem koin. Itu tidak akan menyulitkanmu.” Dia berucap lembut, malah teramat halus.

Apa dia sedang mengasihaniku?

Aku tersenyum masam. Dia pikir aku tidak memikirkan hal itu sebelum memulai? Apa dipertemuan kami setelah dua tahun berlalu hanya untuk membahas apa yang kukerjakan di kota Halbur?

“Ini kota kecil, Hugo. Lagipula, semua pelangganku berasal dari kalangan yang umumnya berusia lebih dari lima puluh tahun. Mereka tidak lagi memiliki tenaga untuk melakukan semua itu sendirian.”

Benar, ditambah lagi Nyonya Smith memiliki beberapa penyakit serius yang tidak memperbolehkannya terlalu lelah. Dan tentu saja, sisa pelangganku yang masih bertahan itu semua berasal dari kalangan orang-orang tua yang tidak mendapat perhatian Cucu, apalagi anak-anak mereka. Jadi mereka melakukan segala sesuatu nyaris tanpa bantuan keluarga yang lain.

Kebetulan atau memang sudah ditakdirkan seperti itu? Entahlah.

“Dan kau mulai berbuat baik sekarang?” Hugo tersenyum, menambah ketampanannya secara maksimal lewat sorot mata jenaka itu.

Aneh melihatnya jadi pria seperti ini. Apa sekarang dia juga memasukkan rencana menikah dalam perubahan tujuan hidupnya?

“Tidak juga.” Aku tersenyum, membalas tatapan jenaka Hugo yang tidak pernah kulihat selama ini. “Yang terpenting aku menikmatinya.”

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status