Olivia Finley
Tidak banyak yang berubah, kecuali satu hal itu. Dari ratusan pelanggan, hanya menyisakan belasan saja untukku.
Dan tentu saja, aku harus bekerja hingga tulangku terasa akan lepas di malam hari sebelum menjelang tidur, karena pagi hingga sorenya, aku bekerja sendirian di depan mesin cuci.
Seperti kataku, Hyra Lewis tidak pantas menderita karena kesalahanku, tapi tidak. Tidak, tidak, aku sangat tidak sudi mengakui kesalahan yang tidak pernah kulakukan. Dasar berengsek!
“Hei, Olive. Aku datang.”
Benar-benar panjang umur. Hyra muncul dengan bungkusan plastik berwarna ungu—lambang dari kafe tempatnya bekerja memang identik dengan warna itu—tersenyum, menggoyangkannya dihadapanku yang tengah telentang di sofa ruang istirahatku.
“Ini akhir pekan. Seharusnya kau pergi bersama kekasih, atau menemani Nenekmu seharian di rumah.” Walau berkata begitu, aku bersyukur dia berkunjung.
Dia duduk di sofa dekat kakiku. “Jangan banyak bicara, Olive. Harusnya kau yang pergi keluar dengan dandanan cantik sekedar jalan-jalan atau menikmati makanan enak untuk perutmu.
Dan lihat, oh mengerikan! Kau seperti wanita tua yang kehilangan suami juga anak-anakmu. Cepat bersiap, ayo pergi bersamaku.” Hyra menepuk-nepuk kakiku dengan desakan dari sorot matanya. Bungkusan plastik ungu itu ternyata berisi makanan beku. Hyra paling mengerti diriku yang malas berlama-lama di dapur untuk memasak. Kurasa ini cukup untuk beberapa hari ke depan.
Dan benar juga. Aku memang membutuhkan istirahat sejenak. Lagipula, biasanya para pelanggan yang tersisa hanya belasan orang ini jika di akhir pekan pasti mengantar pakaian kotor mereka menjelang makan malam.
Setiap orang mendahulukan liburan mereka di akhir pekan. Aku pun juga seharusnya begitu. Segarkan sepasang mataku dengan pemandangan lain, selain mesin cuci dan pakaian kotor.
Lalu yang terpenting, kenyangkan perutku dengan makanan-makanan enak. Hidup itu untuk makan, bukan?
Sekarang kami tiba di kafe tempat aku merekomendasikan Hyra untuk bekerja. Pemilik tempat ini ternyata kekasih dari Osen Murald—pria yang membantu mengubah identitasku—dan teman dari Luigi.
Jika Rhys datang berkunjung, sesekali kami juga menikmati makanan dan minuman di sini. Tapi beberapa kali itu saat kami di sini, tidak pernah kulihat Osen ada di tempat. Kurasa bukan karena dia takut pada Rhys. Bukan, sepertinya bukan karena hal itu.
“Bagaimana dengan Astrid Jenkins?” Itu kekasih Osen Murald.
“Kenapa dengannya?” Hyra sudah mengenakan apron khusus pelayan. Menyodorkan daftar menu ke hadapanku.
“Dia tidak menyulitkanmu, kan?” Aku khawatir, karena sepertinya, Astrid menerima Hyra akibat dari desakan Osen. Paham benar betapa raut wajah dan gerakan tubuh wanita itu terkadang menyiratkan dia benci padaku.
Sungguh, aku berharap dia tidak menyakiti Hyra.
“Sama sekali tidak. Tapi kurasa karena masih sangat awal untuk menilai pribadi seseorang, aku akan bertahan untuk itu. Jika dia ternyata membenciku dengan cara yang tidak profesional, aku akan angkat kaki dari sini.”
“Itu bagus, Hyra.” Aku terbahak. Teringat Eri yang bahkan sepertinya akan mengambil keputusan yang sama seperti Hyra jika dihadapkan dengan situasi yang juga sama.
Senyum kemenangan Hyra terukir, dia membungkuk berbisik padaku. “Kusarankan kau memesan makanan termahal dan terenak di sini. Kau bebas makan sepuasnya di kafe ini karena Osen Murald. Dia sudah berpesan padaku tentang membebaskan biaya makanmu di sini, Olive.”
Aku tertawa senang. Osen termasuk pria tanpa banyak bicara dan setia. Tentu saja setia kawan dan setia pada Astrid.
“Baik. Tolong pesankan untukku makanan dan minuman termahal yang ada di sini.”
“Pilihan yang bagus, Nona Olive. Tunggu sebentar. Aku akan kembali dalam dua puluh lima menit.” Hyra memberitahu dengan gaya bicara khas seorang pramusaji.
Jenis pekerjaan seperti ini memang cocok untuknya. Tidak sia-sia aku merekomendasikan tempat ini padanya.
Selama Hyra pergi, aku menggunakan waktu untuk memeriksa ponselku. Tidak biasanya Rhys sama sekali tidak menghubungiku. Bahkan pesan singkat pun tidak masuk ke ponselku.
Baiklah, tidak apa untuk menyapanya lebih dulu. Mungkin dia terlalu sibuk di akhir pekan ini.
Mengetik pesan untuknya, sebuah nomor asing menggetarkan ponselku. Menunggu beberapa detik, aku mempersiapkan kemungkinan si pria sialan itu coba menghubungiku lagi.
“Halo,” sapaku. Ini suara yang tidak bersahabat, tidak juga lembut menggetarkan jiwa.
“Masih ingat denganku, ZeeZee?”
Aku mengingat suaranya dalam samar-samar ingatan di kepalaku. Mirip suara seseorang. Yang jelas, seseorang dari Yellowrin. Di masa lalu, aku tentu mengenalnya dengan sangat baik.
“Hugo?” Biar kutebak. Andai itu benar dirinya, jika bukan aku hanya perlu minta maaf.
Tawa kecilnya terasa dekat. Bahkan suara nyanyian merdu seorang wanita yang terdengar diseberang, persis sama dengan yang diputar di kafe tempatku duduk sekarang.
Dia di sini?
“Yap, Adikku. Kau baik-baik saja selama ini?”
Refleks aku mendorong kursi ke belakang. Keluar dari sana, bergerak menuju ke sisi luar kafe. “Kau di mana?” Kuabaikan pertanyaannya karena rasa penasaranku. Kulihat ke sekeliling, tidak ada tanda-tanda Kakak tertampan di antara yang paling tampan itu di sekitarku.
Apa ini hanya—
“Hai, Olivia Finley.”
Aku berbalik. Ternyata Hugo tepat berada dibelakangku. Ini benar-benar dia. Kakak tertua kedua setelah Rhys. Aku sampai tercengang meski bukan hal sulit bagi mereka untuk menemukanku.
Hugo masih saja tampan. Merentangkan tangan dan langsung mendekapku sebelum aku sempat melempar diriku ke pelukannya.
Pelukan hangat. Bagiku, dia masih seorang Kakak yang tampan dan senang bermain wanita.
“Kau tampak lebih kurus dan pucat, Adikku. Kau serius hidup dengan baik di sini?” Dia bertanya masih sembari memelukku erat.
Rasa-rasanya aku tersedot ke lubang cacing untuk melakukan perjalanan ke masa lalu, melihat dan mendengarkan Hugo Dimitri Oxley seperti dua tahun yang lalu.
Kenangan di Yellowrin, di kediaman Oxley tempat di mana aku tumbuh besar bersama enam Kakak laki-lakiku, yang bukan Kakak-Kakak kandungku, mengudara di atas kepalaku.
“Tentu saja. Aku merasa hidupku sempurna di sini.”
Aku melepas pelukan dan Hugo menilaiku dari tatapan kedua matanya yang tidak mirip dengan Rhys. Setelah aku tahu bahwa aku bukan Adik kandung mereka, mendadak aku menduga jika mendiang David dan Tessa juga membesarkan bukan Anak mereka selain Rhys yang kuyakini sebagai darah daging mereka.
“Dengan menjadi seorang tukang cuci?” Nada itu bukan menghina, lebih mirip tidak percaya.
“Hanya itu yang bisa kulakukan untuk saat ini. Lebih baik, daripada tidak sama sekali.” Kuangkat kedua pundak, berpura-pura tidak peduli. Namun bagaimana pun itu, aku selalu mencintai pekerjaanku.
Hugo menghela napas. Dua tahun menjadikannya lebih lembut saat bersikap, dan aku menyadarinya ketika dia mengusap puncak kepalaku sekarang.
“Kau bisa membuka penatu yang menggunakan sistem koin. Itu tidak akan menyulitkanmu.” Dia berucap lembut, malah teramat halus.
Apa dia sedang mengasihaniku?
Aku tersenyum masam. Dia pikir aku tidak memikirkan hal itu sebelum memulai? Apa dipertemuan kami setelah dua tahun berlalu hanya untuk membahas apa yang kukerjakan di kota Halbur?
“Ini kota kecil, Hugo. Lagipula, semua pelangganku berasal dari kalangan yang umumnya berusia lebih dari lima puluh tahun. Mereka tidak lagi memiliki tenaga untuk melakukan semua itu sendirian.”
Benar, ditambah lagi Nyonya Smith memiliki beberapa penyakit serius yang tidak memperbolehkannya terlalu lelah. Dan tentu saja, sisa pelangganku yang masih bertahan itu semua berasal dari kalangan orang-orang tua yang tidak mendapat perhatian Cucu, apalagi anak-anak mereka. Jadi mereka melakukan segala sesuatu nyaris tanpa bantuan keluarga yang lain.
Kebetulan atau memang sudah ditakdirkan seperti itu? Entahlah.
“Dan kau mulai berbuat baik sekarang?” Hugo tersenyum, menambah ketampanannya secara maksimal lewat sorot mata jenaka itu.
Aneh melihatnya jadi pria seperti ini. Apa sekarang dia juga memasukkan rencana menikah dalam perubahan tujuan hidupnya?
“Tidak juga.” Aku tersenyum, membalas tatapan jenaka Hugo yang tidak pernah kulihat selama ini. “Yang terpenting aku menikmatinya.”
Bersambung.
Olivia FinleyHugo tampak cukup menikmati makan siangnya bersamaku. Setelah memperkenalkan pria tampan sejagat raya ini pada Hyra Lewis, aku dan Hugo pergi mengelilingi taman bunga tidak jauh dari tengah kota Halbur.Dia banyak bertanya tentang Halbur dan aku menjawab apa yang kutahu.“Hubungan kalian tampak tidak akur.”Saat itu juga aku menoleh untuk menatap tajam padanya. “Kenapa itu harus jadi urusanmu?”Hugo terbahak. Lalu menusuk pipi kananku menggunakan telunjuknya dengan perlahan. “Aku hanya berkomentar. Sama sekali tidak bertujuan untuk mencampuri urusanmu.”Dengan wajah masam, aku hanya tersenyum kecut. Untuk itu dia memperhatikanku melalui sepasang mata teduhnya.“Aku mencemaskanmu, ZeeZee.” Nadanya serius, tapi aku tidak tahu itu benar-benar serius atau hanya ucapan di bibir saja.“Karena pria itu Rhys?”Hugo mengangguk. &
Olivia FinleyBocah ini benar-benar mengacau. Dia berguling-guling di tanah yang berkerikil hingga tubuhnya yang tidak terlindung kaus juga celana usangnya, tergores di sana sini.“Hei, berhenti berguling!” Aku sudah membentak karena tidak tahan melihat ulahnya yang disengaja. Semua mata mengawasiku seolah aku bukan ibu yang becus menjaga seorang bocah.Dia bukan anakku! Aku terlalu muda untuk anak seusia bocah ini.Ingin sekali aku berteriak marah pada setiap orang yang melirik tajam ke arahku.Dia bukan bocah enam tahun, tapi sepuluh tahun! Dia cukup pintar untuk sekedar mengingat jalan menuju rumahnya. Terutama bersandiwara seperti sekarang ini.“Bawa aku ke tempat pamanku!” Teriakan dan tangisnya semakin menjadi-jadi.Aku kehilangan kesabaran walau dua puluh lima menit belum berlalu dan aku masih bertahan. Hebat!Setelah menghembuskan napas kasar, aku sengaja berbalik meni
Olivia FinleySi bocah nyatanya menjerit-jerit minta dilepaskan sembari meronta. Aku memang tidak bisa melihatnya, tapi telingaku mendengar dengan jelas bagaimana berisiknya si bocah coba melepaskan diri.Mansion ini sepi tanpa penjaga. Membuatku curiga bahwa memungkinkan sekali jika ini hanyalah jebakan. Tapi untuk apa? Siapa yang ingin dijebak?Perlahan sembari melihat ke kiri dan kanan, aku berjalan cepat dengan kedua ujung kaki berjinjit.Sekarang aku sudah masuk melalui sebuah jendela besar rendah tanpa jeruji atau penghalang apa pun. Seolah jendela ini bisa digunakan sebagai pintu untuk masuk ke mansion ini. Menggunakan jalur lain, selain pintu depan.Daripada mansion, tempat ini lebih mirip seperti rumah tua yang ukurannya cukup besar dengan halaman yang tidak kalah luasnya.Aku berjalan hati-hati. Melihat sekeliling dan kuyakin ruangan ini pasti digunakan untuk acara pertemuan atau rapat bahkan mungkin hal lainnya.
Rhys Dimitri Oxley“Apa ini?” Aku tegak berdiri saat Audrey Mika Dawson menghadangku di loby hotel tempat aku akan menghadiri pertemuan dengan salah satu rekan bisnis legalku.“Kenangan terakhir kakakku untukmu.” Dia tersenyum manis, menyodorkan sebuah kotak berukuran sedang padaku.“Siapa yang memintamu melakukan ini?” Kutatap tajam dia dengan tujuan agar mulai detik ini, berhenti mengikutiku di setiap dia memiliki kesempatan sekecil apa pun itu.Audrey Mika yang sangat tidak mirip dengan mantan kekasih lamaku yang sudah tiada itu, tersenyum sinis.“Tentu saja aku melakukan apa yang tidak pernah sempat dia lakukan untukmu, Rhys. Untuk semua rasa sakit yang dia terima darimu.”“Kau ingin balas dendam?”“Itu rahasia.”“Bagus. Coba saja.” Aku berjalan melewatinya. Sudah ada Lucas yang akan mengatasi Audrey untukku.
Olivia FinleyAku selamat? Tidak juga.Dia hanya mendorongku masuk ke kamar dan membiarkan aku sendirian di sini. Tanpa bisa melawan. Bodohnya kau, ZeeZee!Kamar yang benar-benar sempit. Ini jelas kamar pelayan! Tidak ada celah untukku kabur. Sekarang apa? Tidur? Tidak, aku tidak bisa tidur di saat seperti ini. Walau aku justru merasa lelah dan mengantuk.Sial sekali memang. Ponselku kehabisan daya baterai saat kucoba memeriksanya sedetik lalu.Benar-benar sialan! Kutendang pintu berulang kali. Aku hanya cemas akan—“Ada apa, Olive?” Pintu terbuka sedikit. Hanya menampilkan setengah tubuh pria berengsek itu.“Katamu, kita akan bicara. Ayo, bicara sekarang. Aku tidak bisa menunggu sampai pagi. Aku harus pulang. Pekerjaanku banyak.” Aku melotot padanya. Kupegangi pundakku yang jadi pusat perhatiannya. Kemeja yang kukenakan dirobek olehnya di bagian pundak kananku.“O
Olivia FinleyEntah dari mana aku menyimpulkan itu sebagai namanya, yang jelas aku bisa berlari keluar ruangan ini sekarang. Si pelayan yang berdiri di ambang pintu, tercengang menatapku tanpa bisa melakukan apa pun selain menerima jari tengahku yang teracung untuknya.Sembari tertawa puas dalam hati, aku coba mengingat di mana ruangan mirip tempat rapat itu dan berhasil menemukannya dengan cepat. Aku sudah melompat keluar jendela ketika suara bocah itu memanggilku.“Kakak? Kenapa Kakak ada di sini?” Dia berdiri didekat jendela, sementara aku sudah di luar.Aku tersenyum sekilas padanya. “Aku mencemaskanmu. Kupikir tadi kau diculik, ternyata dia pamanmu kan?”Si bocah mengangguk, tapi wajahnya menyiratkan sesuatu. “Sebenarnya, aku tidak menyukai paman Brady. Aku memintamu mengantarkanku ke tempat paman Jonathan.” Dia beralasan.Aku melihat melewati kepala mungilnya. Belum ada tanda-tand
Olivia Finley “Jika kau sudah selesai, sebaiknya segera antarkan aku pulang. Aku juga tidak keberatan andai kau meminjamiku ponselmu agar aku bisa memesan taksi.” Mengalihkan haus dan lapar, sebaiknya aku mendesaknya untuk membiarkanku pergi. “Aku belum selesai.” Dia mendorong piring kosongnya ke kanan, dan menarik piring berisi hidangan penutup. “Tidak perlu memanggil taksi. Aku yang akan mengantarkanmu pulang.” “Oke. Kutunggu lima menit lagi. Jika kau inggar, aku akan pulang sendiri tanpa perlu bantuanmu lagi.” Aku mengancam dengan rasa cemas yang bersarang di dalam diriku. Bagaimana jika dia benar-benar tidak akan mengantarkanku pulang? Aku hanya cemas karena ini terlalu larut untuk seorang wanita berada di rumah pria. Sekuatnya diriku, tetap akan kalah dari seorang pria. Kecuali aku itu seorang pahlawan wanita super. Ah, tidak tidak. Berpikirlah positif, ZeeZee! “Ayo, pulang.” Di
Rhys Dimitri OxleySelesai. Masalahnya selesai tidak dengan mudah. Aku harus menggertak dengan mengacungkan pistol ke wajah satu persatu orang yang kulihat di ruangan itu, karena ternyata mereka lebih gigih dari yang kukira. Segigih Audrey Mika Dawson. Mereka cocok menjalin kerjasama.“Rhys!”Si jalang ini muncul dari mana? Apa salah satu dari mereka menghubungi dia dan memberitahu bahwa aku sudah berhasil membatalkan rencana mereka?“Rhys, tunggu.” Audrey menyentuh lenganku, aku menepisnya.“Bicara dari situ.” Aku memperingatkan, mundur, dan membuat jarak nyata.“Kau sungguh egois. Kenapa membatalkan apa yang akan kami kerjakan?”“Kau kesulitan keuangan?” Kuhina dia dengan tatapan mengasihani. “Jika kau membutuhkannya, beritahu pada Lucas. Orang yang setiap hari mengusirmu kala kau mengusikku itu, sudah bersedia menanganimu lebih jauh lagi mulai sekarang.