Olivia Finley
Kacau!
Benar-benar kacau!
Siren Davies mengaku bahwa penatu milikku telah menghancurkan dua dress mutiara miliknya yang seharga satu mobilku.
Bukan lagi Chevrolet Colorado pull me over red yang selalu kubanggakan saat di Yellowrin dulu. Entah, jika Rhys masih memelihara mobil itu. Si merah mencolokku.
Sekarang aku memilih sedan kecil tidak terlalu tua, untuk kukemudikan di jalanan kota Halbur yang kecil ini.
Dan contoh berita di artikel yang akan diterbitkan itu juga sama persis isinya dengan yang diucapkan di video oleh Siren Davies.
Benar-benar sangat berniat!
Dia ingin menggangguku dan berharap aku meladeninya? Tidak akan. Aku lelah hidup seperti di Yellowrin.
“Segeralah temui pria ini, Olive.” Ini saran kesekian kalinya dari Hyra Lewis. Dia begitu khawatir. Mirip nenek-nenek usia tujuh puluhan.
“Tidak perlu. Aku akan menghubunginya saja. Di mana kartu namanya?” Aku mengeluarkan ponselku. Kulihat tangan Hyra dengan cepat mengambil satu kartu nama di atas meja.
White Company
“Kau tahu ini perusahaan apa?” Sambil menempelkan ponsel di telinga, menunggu panggilanku dijawab, kutatap Hyra.
Entah karena takut mengganggu aku yang bahkan belum berbicara dengan seseorang diseberang, atau karena khawatir akan hal lainnya, aku membaca gerakan bibirnya yang tanpa suara.
Kucoba mengejanya. Pe-ru-sa-ha-an pa-kai-an.
Ah, perusahaan pakaian.
“Ya, halo. Apa ini Nona Olivia Finley dari Olive Dry and Cleaning?”
Suara itu, penuh penghinaan. Aku merasakan harga diriku diinjak habis menempel ke tanah hingga lengket.
Yap! Ini aku, berengsek! Tapi tidak kukatakan. Berhentilah menjadi ZeeZee Dimitri Oxley si pemberontak dan pembuat onar.
“Ya, ini aku. Apa aku bicara dengan orang yang tepat?”
Tawa riang diseberang menandakan itu memang dia, si berengsek yang menjebakku di kamar hotel Oceana.
“Apa kabar, Olive? Kupikir kau tidak akan pernah menghubungiku sampai berita itu diturunkan.”
“Oh, begitu. Jadi apa gunanya kau mengirim semua ini padaku, Tuan yang sangat luar biasa? Apa sebaiknya aku berdiam diri saja?”
Hening. Aku mulai berpikir, bisa jadi dia musuh Rhys di masa lalu atau lawan dari anggota keluarga Oxley yang lain. Tapi mengingat pria gila ini bekerja untuk sebuah perusahaan pakaian, bisa jadi bukan. Ah ya, semua kemungkinan terkadang mencekikku. Entah itu di masa lalu atau masa kini.
Berdeham, dia menyebut namaku dengan suara serak yang khas. Itu terdengar bagus, tapi seperti apa pun bagusnya, suara indah yang paling menyenangkan ketika berbisik di telingaku hanya suara Rhys seorang.
“Hei, Olive. Apa kau tidak mendengarku?”
Oh, aku lupa!
“Ya? Aku mendengarmu. Katakan.”
“Datang kemari dan memohonlah padaku. Akan kuhapus semua pengakuan Siren, video, artikel, apa pun itu. Tapi itu akan kulakukan jika kau benar-benar datang ke kantorku di lantai dua White Company dan melakukan apa yang sudah kuminta darimu.”
Tidak menjawab, tidak mengatakan apa pun, apalagi berpamitan. Aku memilih mengakhiri panggilan. Kulihat Hyra menatapku gelisah dari balik meja kasir.
Lima ratus juta. Aku tidak memiliki uang sebanyak itu jika dia memintanya sebagai biaya ganti rugi. Dan apa? Memohon padanya? Tidak akan!
Sungguh, aku serius. Aku tidak akan melakukannya.
*****
Sudah tiga hari berlalu sejak ancaman si pria kurang kegiatan dan kurang perhatian itu coba merusak pekerjaanku. Tidak ada yang terjadi. Mungkin belum. Tapi aku senang dengan pendirianku yang setegar karang, menggelikan.
Namun sepertinya hanya tiga hari damai sebelum pria itu menjatuhkan bom ke penatu milikku. Terbukti ketika Hyra berlarian panik menuju ke arahku yang sudah memegang pintu mobil, siap mengantar pakaian pelanggan, perasaanku mendadak suram.
“Olive! Berita dan videonya sudah tersebar!”
Kepanikan Hyra bersama lengkingannya menembus telingaku dengan cepat. Firasatku benar. Walau selalu ada harapan baik, kemungkinan buruk juga selalu mengintai.
Kuperhatikan ponsel Hyra yang menampilkan video Siren Davies yang persis sama dengan yang kulihat tiga hari lalu di komputerku. Oh, kau benar-benar menggangguku pria sinting!
“Olive, kau sungguh akan diam saja?” Hyra mengguncang lenganku, lebih tepatnya, dia menancapkan beberapa kuku jari terawatnya ke kulitku. Padahal dia bekerja di penatu, kenapa sempat merawat kuku?
Malas, enggan, muak. Ya, memang seperti itulah yang kurasakan sekarang. Mungkin beberapa hari lalu aku masih memikirkan biaya lima ratus juta sebagai ganti rugi, memusingkan rating dan reputasi Olive Dry and Cleaning, bahkan ketakutan jika mendadak aku bangkrut lalu harus gulung tikar.
Dan semua itu sekarang musnah. Aku lebih pasrah, daripada berusaha berjuang dengan hasil yang kuyakini pasti sia-sia.
Dia, si berengsek itu, jelas memiliki tingkatan tertinggi dalam hal apa pun bentuk finansial yang dia punya. Percuma aku membela diri. Mari nikmati saja kejatuhanku sedikit demi sedikit.
Aku masih bisa berusaha lagi dari nol. Meski sekarang aku miskin, tapi aku tidak kehilangan pendukung. Rhys, jadi pendukung pertamaku.
“Hyra Lewis, dengarkan aku.” Kutatap dia, meraih tangannya yang bergetar.
Di Yellowrin aku memiliki Eri, maka di sini, ada Hyra Lewis yang tidak berbeda jauh dengan Eri yang naif dan bisa memiliki masa depan yang lebih baik dari sekedar bekerja di penatu milikku.
“Jangan lakukan apa-apa, tetap diam dan terima saja. Kau tidak perlu membantah apa pun yang nanti pelanggan katakan padamu.”
“Olive!” Hyra mengguncangku lagi. Kali ini dia lebih marah daripada panik. “Kau gila? Membenarkan kesalahan yang tidak kau lakukan sama sekali? Siapa pria itu? Kenapa kau begitu enggan menemuinya? Apa dia cinta masa lalumu sebelum Rhys?”
Wah, kepalaku ingin meledak rasanya diserang oleh pertanyaan bertubi dari gadis berkulit eksotis ini. Dan apa? Cinta masa lalu sebelum Rhys? Yang benar saja!
“Hyra, apa kau berniat membuatku semakin kesulitan, hah?” Aku bertanya, tapi tidak membentak. “Ikuti saja ucapanku. Kau akan kuberikan pekerjaan baru dalam sepekan ini. Bersabarlah, oke?”
Hyra memberiku tatapan sinis. Dia sangat tidak setuju dengan keputusanku, aku tahu. Tapi tetap saja, aku tidak suka menyeret orang lain di saat aku tersandung masalah. Diriku ini bersedia jatuh sendirian, aku sekuat itu. Hyra pantas mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Dia punya seorang Nenek yang tua renta untuk diurus.
Mengantarkan pakaian keluarga Smith, aku beruntung mereka tidak mempedulikan berita itu, dan lebih memilih memastikan keadaanku.
“Tidak apa-apa, Nyonya Smith. Hal seperti ini memang biasa terjadi.” Aku tersenyum menenangkan. Sungguh, andai ada sepuluh pelangganku saja yang seperti dia, maka itu cukup untuk tetap membiarkan penatu milikku beroperasi seperti biasa.
“Bukankah itu pencemaran nama baik?” tanya Nyonya Smith, meski itu pertanyaan untukku, tapi wajahnya mengarah lurus ke televisi yang digantung hampir menyentuh langit-langit atap rumahnya yang memang sedikit rendah.
Nyonya Smith masih menikmati siaran ulangan berita Siren yang mengeluhkan dress mutiara sialannya itu.
Untuk pencemaran nama baik, kurasa lawanku tidak tepat. Aku tidak ingin menerbangkan Rhys ke sini hanya untuk masalahku. Ini bisa kuatasi sendiri.
Bersambung.
Rhys Dimitri Oxley “Aku membutuhkanmu di acara itu, Rhys.” Apa keenggananku tidak terbaca jelas lewat ekspresi wajahku ini? “Jangan gunakan Megan sebagai alasan,” kataku tegas. Dia, Audrey Mika Dawson harus diberi penolakan secara pasti jika tidak ingin menjadi duri dalam kehidupanku sejakdia muncul beberapa tahun lalu, di depan ZeeZee, ah, maksudku, Olive. “Rhys, dengar ...” Mata gelapnya menatapku, tajam, “aku tidak peduli dengan rasa bersalah yang menggerogotimu karena mendiang Megan. Acara ini memang sudah jadi impiannya sejak dulu. Dia meminta kau turut serta di dalamnya. Apa perlu kutunjukkan surat wasiatnya padamu?” Itu tidak perlu. Aku tahu itu tidak ada. Megan Laura Dawson, mantan kekasihku yang malang itu tidak pernah sempat menuliskan hal-hal tidak berguna, selain dari imajinasi liarnya yang tertuang menjadi novel fantasi yang justru berhasil membuatku lupa padanya dalam sekejap kep
Olivia FinleyTidak banyak yang berubah, kecuali satu hal itu. Dari ratusan pelanggan, hanya menyisakan belasan saja untukku.Dan tentu saja, aku harus bekerja hingga tulangku terasa akan lepas di malam hari sebelum menjelang tidur, karena pagi hingga sorenya, aku bekerja sendirian di depan mesin cuci.Seperti kataku, Hyra Lewis tidak pantas menderita karena kesalahanku, tapi tidak. Tidak, tidak, aku sangat tidak sudi mengakui kesalahan yang tidak pernah kulakukan. Dasar berengsek!“Hei, Olive. Aku datang.”Benar-benar panjang umur. Hyra muncul dengan bungkusan plastik berwarna ungu—lambang dari kafe tempatnya bekerja memang identik dengan warna itu—tersenyum, menggoyangkannya dihadapanku yang tengah telentang di sofa ruang istirahatku.“Ini akhir pekan. Seharusnya kau pergi bersama kekasih, atau menemani Nenekmu seharian di rumah.” Walau berkata begitu, aku bersyukur dia berkunjung.D
Olivia FinleyHugo tampak cukup menikmati makan siangnya bersamaku. Setelah memperkenalkan pria tampan sejagat raya ini pada Hyra Lewis, aku dan Hugo pergi mengelilingi taman bunga tidak jauh dari tengah kota Halbur.Dia banyak bertanya tentang Halbur dan aku menjawab apa yang kutahu.“Hubungan kalian tampak tidak akur.”Saat itu juga aku menoleh untuk menatap tajam padanya. “Kenapa itu harus jadi urusanmu?”Hugo terbahak. Lalu menusuk pipi kananku menggunakan telunjuknya dengan perlahan. “Aku hanya berkomentar. Sama sekali tidak bertujuan untuk mencampuri urusanmu.”Dengan wajah masam, aku hanya tersenyum kecut. Untuk itu dia memperhatikanku melalui sepasang mata teduhnya.“Aku mencemaskanmu, ZeeZee.” Nadanya serius, tapi aku tidak tahu itu benar-benar serius atau hanya ucapan di bibir saja.“Karena pria itu Rhys?”Hugo mengangguk. &
Olivia FinleyBocah ini benar-benar mengacau. Dia berguling-guling di tanah yang berkerikil hingga tubuhnya yang tidak terlindung kaus juga celana usangnya, tergores di sana sini.“Hei, berhenti berguling!” Aku sudah membentak karena tidak tahan melihat ulahnya yang disengaja. Semua mata mengawasiku seolah aku bukan ibu yang becus menjaga seorang bocah.Dia bukan anakku! Aku terlalu muda untuk anak seusia bocah ini.Ingin sekali aku berteriak marah pada setiap orang yang melirik tajam ke arahku.Dia bukan bocah enam tahun, tapi sepuluh tahun! Dia cukup pintar untuk sekedar mengingat jalan menuju rumahnya. Terutama bersandiwara seperti sekarang ini.“Bawa aku ke tempat pamanku!” Teriakan dan tangisnya semakin menjadi-jadi.Aku kehilangan kesabaran walau dua puluh lima menit belum berlalu dan aku masih bertahan. Hebat!Setelah menghembuskan napas kasar, aku sengaja berbalik meni
Olivia FinleySi bocah nyatanya menjerit-jerit minta dilepaskan sembari meronta. Aku memang tidak bisa melihatnya, tapi telingaku mendengar dengan jelas bagaimana berisiknya si bocah coba melepaskan diri.Mansion ini sepi tanpa penjaga. Membuatku curiga bahwa memungkinkan sekali jika ini hanyalah jebakan. Tapi untuk apa? Siapa yang ingin dijebak?Perlahan sembari melihat ke kiri dan kanan, aku berjalan cepat dengan kedua ujung kaki berjinjit.Sekarang aku sudah masuk melalui sebuah jendela besar rendah tanpa jeruji atau penghalang apa pun. Seolah jendela ini bisa digunakan sebagai pintu untuk masuk ke mansion ini. Menggunakan jalur lain, selain pintu depan.Daripada mansion, tempat ini lebih mirip seperti rumah tua yang ukurannya cukup besar dengan halaman yang tidak kalah luasnya.Aku berjalan hati-hati. Melihat sekeliling dan kuyakin ruangan ini pasti digunakan untuk acara pertemuan atau rapat bahkan mungkin hal lainnya.
Rhys Dimitri Oxley“Apa ini?” Aku tegak berdiri saat Audrey Mika Dawson menghadangku di loby hotel tempat aku akan menghadiri pertemuan dengan salah satu rekan bisnis legalku.“Kenangan terakhir kakakku untukmu.” Dia tersenyum manis, menyodorkan sebuah kotak berukuran sedang padaku.“Siapa yang memintamu melakukan ini?” Kutatap tajam dia dengan tujuan agar mulai detik ini, berhenti mengikutiku di setiap dia memiliki kesempatan sekecil apa pun itu.Audrey Mika yang sangat tidak mirip dengan mantan kekasih lamaku yang sudah tiada itu, tersenyum sinis.“Tentu saja aku melakukan apa yang tidak pernah sempat dia lakukan untukmu, Rhys. Untuk semua rasa sakit yang dia terima darimu.”“Kau ingin balas dendam?”“Itu rahasia.”“Bagus. Coba saja.” Aku berjalan melewatinya. Sudah ada Lucas yang akan mengatasi Audrey untukku.
Olivia FinleyAku selamat? Tidak juga.Dia hanya mendorongku masuk ke kamar dan membiarkan aku sendirian di sini. Tanpa bisa melawan. Bodohnya kau, ZeeZee!Kamar yang benar-benar sempit. Ini jelas kamar pelayan! Tidak ada celah untukku kabur. Sekarang apa? Tidur? Tidak, aku tidak bisa tidur di saat seperti ini. Walau aku justru merasa lelah dan mengantuk.Sial sekali memang. Ponselku kehabisan daya baterai saat kucoba memeriksanya sedetik lalu.Benar-benar sialan! Kutendang pintu berulang kali. Aku hanya cemas akan—“Ada apa, Olive?” Pintu terbuka sedikit. Hanya menampilkan setengah tubuh pria berengsek itu.“Katamu, kita akan bicara. Ayo, bicara sekarang. Aku tidak bisa menunggu sampai pagi. Aku harus pulang. Pekerjaanku banyak.” Aku melotot padanya. Kupegangi pundakku yang jadi pusat perhatiannya. Kemeja yang kukenakan dirobek olehnya di bagian pundak kananku.“O
Olivia FinleyEntah dari mana aku menyimpulkan itu sebagai namanya, yang jelas aku bisa berlari keluar ruangan ini sekarang. Si pelayan yang berdiri di ambang pintu, tercengang menatapku tanpa bisa melakukan apa pun selain menerima jari tengahku yang teracung untuknya.Sembari tertawa puas dalam hati, aku coba mengingat di mana ruangan mirip tempat rapat itu dan berhasil menemukannya dengan cepat. Aku sudah melompat keluar jendela ketika suara bocah itu memanggilku.“Kakak? Kenapa Kakak ada di sini?” Dia berdiri didekat jendela, sementara aku sudah di luar.Aku tersenyum sekilas padanya. “Aku mencemaskanmu. Kupikir tadi kau diculik, ternyata dia pamanmu kan?”Si bocah mengangguk, tapi wajahnya menyiratkan sesuatu. “Sebenarnya, aku tidak menyukai paman Brady. Aku memintamu mengantarkanku ke tempat paman Jonathan.” Dia beralasan.Aku melihat melewati kepala mungilnya. Belum ada tanda-tand