Share

"Mara pengen mamah baik ke Mara,"

Selepas pulang sekolah Tamara pasti menyempatkan diri untuk menengok toko bunga miliknya dan merawat bunga-bunga yang ada. Seselesainya, ia kembali menuju rumah ibu kosnya, membersihkan diri dan mulai mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.

“Hari ini ada tugas bahasa Indonesia sama sejarah peminatan, wow banyak-banyak banget pula,” ucap Tamara yang tengah memperhatikan tugas yang diberikan oleh guru mata pelajarannya hari ini.

“Okee habis ngerjain tugas nanti langsung nggosok baju aja deh,” ucapnya pada dirinya sendiri.

Mengerjaakan tugas selepas pulang sekolah adalah schedule kegiatannya sehari-hari, sebagai siswa yang menyandang peringkat terbaik ia pasti selalu mengupayakan untuk mempertahankan nilai baiknya. 

Selepas selesai membersihkan diri dan melanjutkan untuk mengerjakan tugas, Tamara masih terus berkutat pada buku-buku di hadapannya dan juga laptop yang terpampang dalam menayangkan video yang berkaitan dengan materi tugasnya. 

“Gila udah jam 8 tapi tugas gue belum ada tanda-tanda kelar juga, mana belum review materi sama belajar lagi, oke lah malem ini kudu siap tempur buat begadang.” Beginilah nasib bersekolah di sekolah yang memiliki akreditasi terbaik, beban tugas serta tingginya nilai KKM merupakan hal yang harus dipertahankan serta diterima.

Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, ia baru saja selesai dalam mereview materi yang diajarkan oleh gurunya hari ini.

“Ya Allah gue masih belum belajar buat materi besok, gimana ya? Mana gue cape banget lagi.” Kemudian Tamara menelungkupkan tangan dan kepalanya ke meja belajar yang ada di hadapannya, ia memutuskan untuk memejamkan matanya sebentar dan beristirahat selepas mengerjakan tugas dan juga mereview materinya, ia berniat untuk bangun kembali selepas ia sudah merasa cukup dalam istirahatnya, namun tanpa sadar Tamara tidur terlelap dan lupa kembali bangun untuk belajar. 

***

Keesokan paginya waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 dan ternyata Tamara bangun kesiangan.

“Hah jam tengah enam? Gila gue bangun siang banget!”

Jika bagi beberapa remaja pukul setengah enam masih tergolong pagi namun bagi Tamara ini sudah termasuk siang, ia bahkan selalu bangun pukul empat pagi untuk melakukan pekerjaan rumah, dan saat ini ia justru bangun pukul setengah enam pagi.

“Aduh gila, mana gue belum nyuci baju, sama nyetrika seragam lagi.” tanpa berpikir panjang Tamara langsung menyetrika pakaiannya karena ia takut terlambat.

Tamara pun memasangkan kabel setrikanya ke stop kontak yang terpampang, selepas selesai menyetrika seragamnya ia bergegas menyuci sebagian bajunya dan juga mandi. 

Selesai mandi Tamara melihat jam dinding. “Hah tengah tujuh? Aduh mana gue belum sarapan lagi.” Ia terkejut mengetahui waktu sudah cukup siang. Dengan tergesa-gesa ia segera menyiapkan dirinya.

“Ya udah gue ngga sarapan dulu kali ini deh.” sebetulnya Tamara khawatir maag yang dia miliki akan kambuh, namun tidak ada jalan lain dari pada ia harus terlambat ke sekolahnya. 

Waktu menunjukan pukul 06.35, dengan waktu yang sesingkat ini Tamara tidak akan sempat untuk membeli makanan atau sekedar membeli roti untuk mengisi perutnya, ia ingin meminta tolong pada Rayyan namun ia sendiri sungkan, Tamara takut merepotkan Rayyan padahal hari masih pagi. 

Tentu saja dalam keadaan panik seperti ini ia teringat dengan rumahnya, meskipun tidak ada kehangatan yang ia dapatkan disana tapi paling tidak ada tempat bernaung yang membuatnya merasa cukup aman. Tidak merasa sendiri seperti saat ini.

“Mara kangen rumah,” begitu batinnya. 

Dulu saat Tamara masih memiliki rumah, ia pasti akan memakan sarapan yang sudah Bi Ijah siapkan, Bi Ijah setia sekali untuk membantu keperluan rumah tangga orang tuanya, atau jika ia terlalu gugup paling tidak ada sepotong roti untuk dia makan sebagai pengganjal perut.

Sekarang tidak lagi, tidak rumahnya pun tidak juga suasana keluarganya tidak ada yang bisa ia pertahankan dan harapkan untuk kembali.

Mungkin, mungkin saja jika ia memiliki ibu yang tulus seperti ibu kebanyakan kepada anaknya ia tidak akan mengalami hal seperti ini,  ia tidak akan bangun kesiangan karena ada ibu yang senantiasa menjadi alarm tanpa diminta, mungkin saja ia tidak akan repot harus menggosok baju seragamnya setiap pagi dan bangun pukul 4 setiap harinya hanya untuk mempersiapkan keperluannya, mungkin saja ibunya akan tulus menyiapkan sarapan untuknya sehingga ia tidak khawatir akan penyakit yang dimilikinya kambuh sewaktu-waktu. 

Kemudian orang tuanya akan menyambutnya berangkat ke sekolah di depan pintu rumah lengkap dengan sosok ayah yang akan mengantarnya sampai gerbang sekolah, “Mah.. Mara pengen mamah baik ke Mara, Mara pengen dirawat juga.”

Tak lama kemudian air matanya pun menetes, 15 menit perjalanan dari tempatnya tinggal sampai ke sekolah Tamara habiskan untuk berpikir tentang ibunya.

Iri sekali rasanya, ia hanya ingin lahir di keluarga yang setiap anggota keluarganya menerima dan menginginkan kehadirannya. Tapi rasanya terlalu nihil.

Sesampainya di sekolah Tamara pun mengikuti kelas, ia berusaha untuk fokus meskipun ia tau sebentar lagi maag yang dideritanya akan menyiksa dirinya, ia sendiri sadar ketahanan perutnya dalam keadaan kosong hanya bertahan 4 jam saja, saat waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh tepat pergantian jam pelajaran ke empat ia merasa perutnya seperti digerogoti, dan benar saja maagnya kambuh, Indri yang melihat wajah Tamara seperti tidak nyaman akan sesuatu pun bertanya.

“Mara lo kenapa?” Tamara kemudian meremas baju bagian perutnya, Indri sudah hafal jika begini tandanya sahabatnya sedang kambuh.

"Astaga lo sakit? Maag lo kambuh lagi pasti, ayo ke UKS.” kemudian Indri pun merangkul Tamara menuju UKS, tentu saja Tamara tidak menolak ia sendiri tahu jika mendengarkan pelajaran dengan keadaan seperti ini hanya sia-sia saja karena tidak akan ada materi yang masuk ke dalam otaknya.

Begitu sampai di UKS, Indri lantas membaringkan tubuh Tamara. "Gue mau ambil obat maag dulu di kotak P3K, sebentae ya Mar.” baru saja Indri ingin berlalu, Tamara langsung mencegahnya.

“Ndri gue udah siap sedia obat.. di tas gue,” dengan lemas Tamara berusaha memberi tahu Indri.

“Ohh obat lo di tas? Oke-oke sebentar biar gue ke kelas.” 

Saat Indri sedang pergi ke kelas untuk mengambilkan Tamara obat, tak lama kemudian Rayyan datang.

“Mar kamu kenapa?” tanya Rayyan saat menghampiri Tamara.

“Ngga apa-apa Ray, maagku kambuh.” 

“Kamu udah minum obat?” Dengan lemas Tamara hanya menggelengkan kepalanya. Wajah dan bibir Tamara terlihat pucat karena maagnya.

“Sebentar ya Mara, aku mau beliin kamu roti sama air minum, obatnya udah diambili Indri kan?” Tamara mengangguk dan Rayyan pun segera pergi menuju mini market untuk membeli roti dan air mineralnya. 

Begitu Rayyan pergi, Indri pun datang membawakan obatnya, dan membantu Tamara untuk meminum obatnya.

“Ini Mar,” sembari membangunkan badan Tamara.

“Lo yang ngabarin Rayyan Ndri?” 

“Iya lah Mar kalo ngga gue emang dia bisa cenayang?”

Setelah beberapa saat menunggu Rayyan pun datang menenteng plastik berisi makanan yang baru saja ia beli.

“Obatnya udah dikasih Ndri?” Rayyan bertanya kepada Indri yang dibalas dengan anggukan, kemudian Rayyan membantu Tamara untuk meminum air mineralnya dan membukakan bungkus roti yang sudah Rayyan beli.

“Mar, kok bisa maag kamu kambuh?" tanya Rayyan.

“Semalem aku begadang ngerjain tugas Ray, sebenernya tugasnya udah selesai jam 10, tapi aku ngotot ngelanjutin buat review materi. Niatnya aku cuma istirahat sebentar, eh aku malah ketiduran dan bangun jam setengah enam tadi, dalam keadaan aku belum nyetrika baju sama nyuci baju, alhasil aku ngga sarapan supaya ngga telat, tadi aja aku berangkat mepet bel.” 

“Astaga Mara.. Kenapa kamu ngga bilang aku? Seenggaknya aku bisa beliin kamu makanan dari tadi.”

Tamara menggeleng, “Maaf ya Ray, tapi aku ngga mau ngrepotin kamu pagi-pagi.”

Rayyan menegakkan bahunya dan menatap Tamara. “Mar, aku ngga pernah merasa direpotkan sama kamu, inget Om Danis udah mempercayakan aku untuk ngejaga kamu. Kalau sampe Om Danis tau anaknya kenapa-kenapa dan aku ngga tau bisa habis aku Mar sama dia.” 

Tamara melengoskan pandangannya dengan malas. “Apa si Ray kok kamu malah bawa-bawa dia?"

“Engga Mar, bukan maksud aku mau mengingatkan kamu sama dia. Kamu harus nangkep poinku. Tolong ya mulai saat ini dan seterusnya kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk minta tolong aku.”

Indri pun membantu Rayyan meyakinkan Tamara, “Ra, yang Rayyan sampein ngga ada salahnya kok. Kita disini tuh ada buat bantu lo, kalau lo ngga merasa membutuhkan kita gimana kita bisa menganggap kita udah jadi temen yang baik, nurut ya?” 

“Iya-iya Ndri, Ray aku tadi juga lagi kalut kebawa pikiran, makanya ngga sempet buat ngabarin kalian.” 

“Ya udah kalo gitu lo istirahat aja Mar, nanti gue ijinin ke guru.” Tamara hanya mengangguk.

Sebelum Rayyan pergi ia menyempatkan untuk mengusap lembut kepala Tamara, 

“Sehat selalu kekasih,” begitu batin Rayyan.

To be continue . .

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status