Share

Deep talk

Setelah bel pulang berbunyi Tamara pun segera kembali namun kali ini ia diantar oleh Rayyan karena Rayyan yang memintanya, takut-takut jika keadaannya tidak bisa dikondisikan saat di jalan.

“Ray kamu ngga apa-apa bolak balik?” tanya Tamara saat berada di parkiran sekolah.

“Ngga masalah Mar.”

Tamara sedikit berpikir karena sebetulnya ia amat tidak ingin membuat repot kekasihnya.

“Ayo Mar, cepet pulang biar kamu cepet istirahat. Ada baiknya kamu jangan terlalu cape dulu yaa selama beberapa hari kedepan. Supaya lebih cepet pulih juga." 

"Maaf sebelumnya kalo harus bikin kamu repot nganter aku bolak-balik Ray."

"Asal kamu baik-baik aja, aku ngga akan keberatan akan apapun." Rayyan pun segera mengantarkan Tamara menuju tempat kos.

***

"Makasih banyak ya Ray udah mau nganter aku sampe rumah," Tamara menyampaikan rasa terima kasihnya setelah sampai di tempat kosnya.

"Iya Mara, sama-sama. Jangan lupa obatnya diminum, dan jangan telat makan lagi yaa? Istirahat yang cukup, jangan terlalu memforsir diri kamu." Rayyan mengacak puncak kepala Tamara. "Ya udah, aku balik duluan yaa."

"Iyaa, hati-hati Ray," Tamara melambaikan tangannya.

Baru saja selangkah ia memasuki kamarnya Tamara teringat bahwa hari ini ia harus mengerjakan beberapa pekerjaannya. 

“Aduh sisa cucian masih kurang setengah lagi, apa gue istirahat dulu ya?” Namun saat Tamara melihat jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore, kebetulan langit di luar sedang terik meski sudah sore.

“Kalo ngga nyuci sekarang nanti malah ngga kering.” Alih-alih memutuskan untuk istirahat Tamara pun memutuskan mengurungkan niatnya tersebut, ia pun langsung menuju kamar mandi kosnya dan mencuci sisa pakaiannya. 

Di saat-saat seperti ini ingatannya akan hidup yang terjamin di rumahnya dahulu selalu berputar. Dimana ia hanya perlu melaksanakan kegiatan-kegiatan pokoknya tanpa memperdulikan hal-hal seperti cuciannya yang tak akan kering jika terlalu malam mencucinya.  Tentu saja ini juga pengaruh dari hidupnya yang dibalut dengan kemewahan selama 15 tahun Tamara hidup.

Di tengah aktifitasnya Tamara pun menyuarakan isi hatinya pada dirinya sendiri, “Hidup papah pasti sekarang enak ya? Ngga kaya hidup Tamara, coba aja kalau di hati papah ada Mara, kalau aja kasih sayang papah dari dulu tulus pasti Tamara masih baik-baik aja kan? Begitu juga sama mamah.”

Pekerjaan yang Tamara lakukan menjadi tak kunjung selesai karena ia menangis. Ia tidak mungkin hidup seperti ini. Mungkin hari ini cerita hidupnya boleh menyedihkan, namun ia harus bertekad bahwa suatu saat nanti keluarganya akan hidup bahagia, “Mungkin gue ngga bisa hidup dari keluarga yang harmonis. Tapi gue akan berusaha melahirkan keluarga yang harmonis suatu saat nanti," dengan yakin Tamara berujar pada dirinya sendiri mengenai masa depannya.

Seselesainya Tamara mencuci dan menjemur pakaiannya ia pun menghubungi Rayyan melalui WhatsAppnya.

Ray, sibuk ngga? | 16.21

16.43 | iyaa beb, aku lagi part time dr jam 4 tadi sampe jam 9 nanti, maaf baru bales ya cantik <3

 Typingmu kaya buaya wkwk | 16.43

 Nanti bisa keluar bentar? | 16.43

16.56 | bisaa2 ngga lama tapi yaa, uda malem, okke?

Iyaa Rayyan, dahh nanti lagii| 16.56

Tamara beberapa kali kerap keluar dengan Rayyan saat malam untuk sekedar duduk di taman dan memakan camilan ringan yang mereka beli, Riyyan sudah hafal jika seperti ini keadaannya pasti ada yang ingin Tamara utarakan, sebagai sepasang kekasih yang saling mendengarkan satu sama lain pastinya mereka perlu obrolan lebih dekat atau deep talk agar lebih memahami satu sama lain. 

***

Sementara itu di tempat Rayyan bekerja ia sedang melayani seorang pembeli yang memesan di kedai kopinya, “Aku pesen Americano 1 shot ya.” Rayyan yang menerima pesanan tersebut pun mengangguk.

Namun sebelum Rayyan kembali menuju meja raciknya langkahnya tertahan.

“Ray temenin gue lagi kali ini ya?” Rayyan berbalik sekedar menatap seseorang yang memintanya untuk menemaninya. 

Setelah selesai menyiapkan pesanannya Rayyan pun kembali dan duduk di sebelah seseorang yang memintanya untuk menemaninya, untuk mencairkan suasana Rayyan membuka suaranya.

“Gimana sekolah lo?”

Gadis itu menimpali, “Mm.. baik-baik aja, gue juga masih sering ambis, as you see gue bolak-balik ke kedai ini cuma buat ngopi dan belajar kan?” 

Rayyan mengernyit. “Ngga tuh, setiap lo ke sini lo selalu minta buat gue temenin, padahal gue juga sibuk kerja.” 

“Ray, kedai ini yang punya om gue kali, kenapa lo harus seserius itu si?” perempuan itu terkekeh dan masih terlihat santai.

“Sorry, gue orang yang punya tanggung jawab.” 

Di luar topik gadis itu pun membalas kata-kata Rayyan dengan nada yang dinaikkan, “Lo mau sampe kapan si bersikap dingin kaya gini ke gue?”

“Lo mengharap sikap baik gue? Gue ngga mau ngasih itu karena gue paham ada sesuatu lebih yang lo harapkan dari sikap baik gue,” Rayyan pun beranjak untuk melanjutkan pekerjaanya sebagai seorang barista.

“Lo mau kemana? Gue minta lo buat nemenin gue kan?” gadis itu berusaha menahan langkah Rayyan.

“Gue mau kerja, emang lo pikir kerjaan gue di sini buat nemenin lo?” Rayyan berlalu begitu saja meninggalkan gadis itu kesal setengah mati. Lagi-lagi gadis itu merasa kalah untuk menaklukan perasaan Rayyan. 

***

5 jam berlalu Rayyan telah menyelesaikan pekerjaanya di bar barista itu, sesuai janjinya ia berniat untuk bertemu dengan Tamara karena Tamara memintanya, Riyyan bersiap-siap untuk menuju tempat Tamara tinggal.

Begitu sampai di tempat Tamara tanpa berbasa-basi Rayyan membawa Tamara menuju tempat dimana mereka biasa hampiri, mereka duduk di salah satu kursi taman yang menghadap ke danau, 

“Kamu mau pesen apa Mar?” Tamara menolehkan pandangannya ke Rayyan.

“Bukannya di sini ada jagung bakar ya? Aku mau jagung bakar sama thai tea.”

Rayyan hanya mengangguk, saat ia beranjak dari duduknya untuk memesan apa yang Tamara inginkan, Tamara menahan lengan Rayyan, “Kenapa Mar?” 

Tamara tersenyum, “Aku tau kamu udah cape kerja Ray, gantian ya? Biar aku aja yang pesen.” di saat-saat seperti inilah hati Rayyan kerap kali luruh, perlakuan kecil Tamara yang memahami keadaannya membuat Rayyan selalu terenyuh.

Selepas penat bekerja dan menghadapi gadis tadi ia jadi berada dalam mood yang tidak cukup baik, namun dengan inisiatif Tamara membuat dirinya seolah meringankan beban Rayyan. 

Beberapa saat kemudian Tamara kembali membawakan pesanan miliknya dan Rayyan, sebelum mengarah kepada pembicaraan mereka menyantap jagung bakar dan thai tea yang mereka pesan. 

“Kamu lagi kenapa Mar? There’s something want to tell?"

Tamara mengangguk. “Sebenernya kalau dibilang cerita aku lagi ngga kenapa-kenapa kok, aku cuma mau curhat aja.” 

“Then?” tanya Rayyan.

“Ray, aku udah ngejalanin hidup aku seperti biasanya, dan kalau boleh jujur, kadang aku masih belum bisa ikhlas kenapa hidupku begini, kenapa aku harus lahir? Aku susah buat mensyukuri hidupku sendiri, aku cape Ray.”

“Mar aku tau setiap manusia punya batas capenya masing-masing, kalau cape istirahat ya? Jangan terlalu dipaksain.” 

“Istirahat Ray? Gimana caranya? Bukannya istirahat itu berhenti sebentar dari aktifitas kita? Kalau aku berhenti siapa yang mau gantiin kerjaan aku sehari-hari coba Ray?” mereka berdua sama-sama diam tak bergeming setelahnya. 

 

Hidup dalam kemewahan selama 15 tahun, dan setelahnya Tamara harus bertahan tanpa siapapun yang menjadi keluarganya di sisinya, jelaslah bukan hal yang mudah karena Tamara merasa tidak terbiasa.

“Meskipun begitu, aku ngga mau berhenti," ucap Tamara tiba-tiba. Rayyan menolehkan pandangannya kepada Tamara, mengetahui bahwa ada semangat yang muncul dari suara Tamara, “aku mau berusaha supaya hidupku ngga begini lagi suatu hari nanti. Aku mau punya keluarga yang harmonis dimana kami saling menyayangi satu sama lain tanpa meninggalkan, aku janji sama diriku sendiri anakku ngga akan ngerasain apa yang aku rasain kelak.” 

Mendengar tekad Tamara Rayyan pun tersenyum lega, ia menghargai usaha kekasihnya dan berusaha mendukung itu, “Aku bersyukur Mar kamu bisa mengambil pelajaran di setiap cerita hidup kamu. Meski suatu hari belum tentu aku yang jadi pendamping hidupmu paling engga kamu harus hidup bahagia ya Mar.” 

Netra milik mereka beradu dan terukir garis lengkung di sudut bibir mereka masing-masing, jika orang-orang berpikir hanya salah satu di antara mereka yang merasa beruntung tentu saja itu tidak benar, mereka seperti sudah digariskan untuk bertemu dan saling menguatkan satu sama lain.

To be continue . .

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status