~ Aru ~
"Ngak kesini?" Ara mengirim pesan.Aku akan membalas 'tidak' sebenarnya, sebelum pesan susulannya yang ke dua datang dan merubah pikiranku.
"Aku sendirian, btw"
Kata sendirian di pesan itu mengganggu pikiranku. Seperti medan magnet yang menarik kuat, aku tak bisa menghindar. Tapi tak ingin ini terlalu mudah baginya.
"Tasya?"
"Kencan"
"Aku agak lelah. Kau saja yang kesini" aku masih jual mahal.
"Zein di rumah?"
"Ya"
"Klo gitu, kau saja yang kesini"
"Why?"
"Ngak enak sama Zein"
"Nonsense"
"Kau saja yang kesini. Aku masak buat kamu juga, nih. You're invited"
"Aku makan disini aja yah"
"Aru, please! 🙏 Sayang klo dibuang. Aku dah masak lho ini. Hargai dong!"
"Tapi aku dah sama kamu terus lho dari kemarin. Zein juga ngak lama disini"
"But I miss you" diapun membuat ini tidak mudah untuk ku hindari.
Sekalipun rindunya hanya text, tapi semua itu mampu menggetarkan lagi hatiku. Satu kalimat sederhana yang mampu meluluhkanku. Dia tahu itu.
"Besok saja, OK?"
Aku masih jual mahal. Sekalipun hatiku berkata 'ya' tapi aku mempersulitnya.
"No, Aru! It's like so bad. Real bad"
Sekali lagi dia membujuk dengan kalimat mahalnya yang tak selalu bisa ku dengar setiap hari, setiap waktu. Pernah ku bilang, kan? Jika dia sangat tertutup jika soal perasaannya padaku. Mungkin itulah kenapa rindunya jadi hal yang mahal untukku. Sebab dia tak mengobralnya dengan baik. Kini, tidak ada alasan lain lagi untuk menghindar.
"OK. I'll be there really quick. So you will never ever feel so lonely, I guess?"
"YEAH, gO Aru... quick and hurry!"
"Happy Ra?"
"Mmm, YAASS"
"Need something? 👉 👈 Aku bisa mampir toko klo kau perlu sesuatu"
"Just you, I guess. It's more than enough. 15 minutes, can you?"
"OK. C.U.S"
"C.U"
Tak perlu waktu lama untuk sampai di Kondo milik Ara. Dia mempersiapkan makan siang kami dengan sederhana. Tanpa lilin, bunga, benda romantis lain. Keromantisan bagi kami ialah saat kita bisa memahami satu sama lain dengan baik. Membantu meringankan tugas satu sama lain dengan baik, bukan dengan mawar, coklat batangan, atau emas. Terlebih Ara bukan tipe perempuan romantis, dia juga bukan tipe penyuka kesederhanaan.
"Ehmmm, wanginya sedap"
"Kau datang? Jangan hanya berdiri saja melihatku. Ayo duduklah"
Alih-alih duduk, aku malah mendekat dan melingkarkan tangan ke perutnya.
"Mm, aromanya membangkitkan nafsu"
Ara menyandar senang dalam pelukku.
"Makan?"
"Ya, nafsu makan. Keliatannya enak"
Ara mengambil sendok dan menyuapiku testernya.
"Bagaimana?"
"You never fail, Nyonya. Sesuai seleraku"
Dia tersenyum mendengar pujianku.
"Bisa bantu aku ULEG Sambal?"
"Tentu"
Aku mencium rambut kepala Ara, sebelum melepas peluk. Dia senang menerimanya.
"Ra ..."
"Mmh?"
"Bisa kau katakan sekali lagi?"
"What?"
"That you miss me so bad" godaku, tapi Ara menggeleng. Menggodaiku balik.
"Oh come on, Ara"
"Nohhh"
"Plis, katakan sekali saja!"
"I miss you" katanya patuh, tapi cepat.
"So bad?" mintaku secara lengkap.
"Not bad"
"So bad!"
"Not that bad" godanya. Tetap kekeh mengelak. Aku gemas dalam diri.
OMG. BATU BANGET SIH!
"You said that you miss me so bad before"
"Tapi sekarang kau sudah disini, Aru. So, it's not so bad anymore like before"
Tapi aku tetap senang mendengarnya.
"Bisa aja ngereceh, huh?"
"Dan aku tahu kau suka hal-hal receh seperti itu"
Kami lantas berbagi tawa bersama.
"Ru ..."
"Mmm?"
"Kapan Zein balik shanghai?"
"Entahlah. Kenapa?"
"Klo dia balik, kau tinggal disini lagi ya? Kan bentar lagi Tasya juga balik KL"
"Kenapa? Takut ya sendirian?"
"Lebih kesepian aja sih. Ngak ada temen ngobrol dan tukang pijat aku"
"Huh, dasar. Kurasa alasan kedua yang membuatmu ingin aku tinggal disini. Pijat gratis"
"Tahu ajah"
"Ra, bagaimana klo kali ini tidak gratis?"
"Mmhh? Apa imbalan yang kau mau?"
"A kiss maybe?" godaku mencandainya.
"Nope!"
Sekalipun aku tahu dia akan menolak, tetap saja hati ini jadi sedikit nyeri.
"Favorit banget sih bilang NO ke aku?"
"Kau, kenapa favorit banget pengen menciumku?" celotehannya balik.
Aku menarik pipinya, "Karna GEMAS!"
Ara mencubit tanganku ganti dan aku melepaskan tanganku dari pipinya.
"Masak? Sama Quin ngegemesin mana?"
"Oh sh*t!" air dari cabe rebus yang ku uleg masuk ke mataku.
"Kenapa? Terganggu yah?"
"Mataku pedih tahu. Kena cabe!" aku membasuh mataku dengan air.
"Coba kulihat"
Dia berjinjit dan meniup mataku. Aku bisa merasakan kasih dan perhatiannya yang lembut padaku. Tapi apa kau juga bersikap seperti ini pada Arnold?
"Hei, kau mengundangku kesini bukan untuk nge-roasting aku dan Quin, kan?"
Ara berhenti dan tersenyum bahagia.
"Kau lebih menggemaskan darinya saat ini, okay?"
"Hanya saat ini?"
"Jangan serakah ...." aku mencolek hidungnya, "Aku tak bisa memprediksi perasaanku besok padamu apa masih gemas seperti ini, atau jadi sebal esok hari. Yang jelas aku masih cinta"
"Tapi kenapa aku tak merasa kau begitu padaku?"
"Mmmh mungkin, karena kau tidak lagi tertarik padaku" gurauku lagi.
"Uhmm, SARKASME BANGET SIH!"
Ada jeda hening yang kami gunakan untuk mempersiapkan semua makanan di atas meja.
"Ra..."
"Mmhh. Apa lagi, sekarang? Mau minta cium lagi?" Ara duduk di kursinya,
"Aku tegasin lagi yah sama kamu, NO ARU. NO, OKAY!"
"Bukan itu. Aku tahu akan ditolak klo minta itu lagi. Aku tak mau mengulang sakit hati lagi"
"Terus?"
"Kita main tanya jawab aja ya? Jawab tanyaku dengan cepat, okay?" mintaku.
"Kau ingin menjailiku? Maaf aku bukan Quin yang selalu menerima tantangan darimu"
"Masih cemburu juga? Dia udah pulang. Rumah udah adem, jangan dibikin panas lagi dong"
"Abis kamu yang mulai sih"
"Kok aku sih? Kan kamu yang mulai. Aku hanya ingin tanya jawab cepat"
"Apa ini semacam kuis cerdas cermat? Atau apa? Kenapa aku harus jawab cepet, ngak santuy aja?"
"Yah. Mungkin. Aku ingin tahu reflek cepat kepandaian mu seberapa"
"Kau ingin membandingkan aku dengan Quin, begitu?"
"Ya, ampun. Enggak! Ngak ada sangkut pautnya juga dengan Quin. JUST STOP THINKING ABOUT HER, YA!"
Dia hanya diam, malas.
"Jadi mau ngak?"
"Sebenarnya kau ingin mengujiku atau meremehkan kemampuanku?"
"Kita akan tahu nanti. Kau bisa menjawabnya dengan cepat atau tidak"
"Okay. Baiklah. Mainkan!"
"Yeah. Jawab cepat lho yah"
Ara mengangguk. Aku membuang nafas cepat. Menyiapkan diriku sendiri juga.
"Oke, kita mulai. Katakan aku ganteng!"
"What?"
"Refleks mu payah" ejekku.
"Itu karena permintaan mu terlalu narsis"
"Sekalipun begitu, klo kau memutuskan bermain maka ikuti peraturannya. Jangan banyak membantah atau kau akan dinyatakan kalah"
"Iya.. iya, oke. Ulangi sekali lagi!"
"Oke. Jawab cepat, fokuslah pada ucapan juga perintahku. Paham?"
"Iya!"
"Katakan aku ganteng" aku mengulang.
"Kau ganteng"
"Sebut tiga hal yang kau suka dariku!"
"Tidak ada"
"TIDAK ADA? SERIUS??"
"Sekarang kenapa kau yang protes? Kau memintaku menjawab dengan cepat"
"Tapi pertanyaannya sebutkan tiga yang kau suka dariku. Sungguh tidak ada?"
Ara tersenyum, meminta damai.
"Baik, smart dan... penyayang. Puas?"
Aku mengangguk senang.
"Sebut tiga nama orang terdekat mu"
"Tasya, Aru, Ar- Texxi"
Aku memandangnya curiga. Kurasa Ara baru saja akan menyebut Ar-no. Aku tahu hatiku mulai terpengaruh kesal. Tapi aku tak oleh meledak dan merusak keharmonisan kecil ini.
"Sejak kapan Texxi jadi orang?"
"Dia seperti anakku, Aru"
"Tapi aku tidak mau jadi Papa Anjing"
Dia terbahak begitu senang.
"Lanjutkan permainanmu"
"Katakan sebuah kebohongan"
"I hate you Papa Anjing" aku tersenyum mendengar gurauannya.
"So, tell me something true"
Aku berharap dia akan bilang 'I love you.'
"This game is funny"
Aku kecewa, jawabnya tak seharap denganku.
"Thank you. Then tell me a secret, Ara"
"Aku akan menikah" jawabnya spontan.
"MENIKAH?"
Dan permainan terhenti dengan wajah buram di raut kami.
Akupun spontan menyeringai keruh berbalut luka sekali lagi. Aku tak bisa mengantisipasi perasaan canggung yang kian cepat menjalar kemana-mana.
Sekalipun itu bukan lagi kabar baru. Tapi mendengarnya langsung dari mulut orang yang kusayang adalah hal yang menyakitkan hatiku. Kehangatan kecil ini jadi aus dalam sekejap.
"Aru... Aru, I'm so sorry. Sorry!"
"Untuk apa?" aku berusaha tenang.
"Semua. Aku tak bermaksud menyakiti dan merusak momen ini"
"But you did it so well. You ruin my heart so well. Congrats Ara. I wish you happy" kataku sambil berusaha pergi.
"Aruuu... please... dengerin aku dulu..."
"Apalagi?" kataku lelah.
"Kau tak perlu menjelaskan apapun. Kita sudah tak bersama juga. Lagipula, aku juga tahu posisi sulitmu. Ya, aku SANGAT PAHAM. Tak perlu ada penjelasan lagi!"
"Aru... Kita lurusan ini semua ya!"
"Semua sudah jelas. Aku sudah kalah"
"Bisakah kita tidak seperti ini?"
"Lalu seperti apa?"
"Kita bicarakan ini dengan baik-baik. Tak perlu bertengkar"
"Apa menurut mu, kita bertengkar? NO! I'm chill, Ra. I AM SO CHILL!"
"NO, you're not!"
Ara mengapitkan tangannya di leherku, lantas mencium pipiku dengan cepat.
Dia menyapu semua emosi dalam diriku seketika redam. Aku menenang dalam sekejap. Tidak hanya itu, aku pun jadi lemah dan bimbang dibuatnya.
"Kita tidak bisa menghabiskan waktu kita dengan terus bertengkar seperti ini. Aku lelah. Sungguh sangat lelah dengan semua keadaan ini juga. Aku... aku akan jelaskan semua, tapi bisakah kita tetap baik seperti ini?"
"I SAID NO! JANGAN MENJELASKAN APAPUN PADAKU. ITU AKAN SEMAKIN MELUKAIKU. TIDAK BISAKAH KAU PAHAM ITU?!"
"You're not chill at all" Ara menangis.
"Sorry, my bad"
Aku mendekapnya. Menenangkannya.
"Sungguh, kau sudah seyakin itu dengannya? HUBUNGAN KALIAN SUDAH SESERIUS ITU??"
"Entahlah, Ru. Aku juga tidak merasa baik dengan ini semua. Aku hanya merasa semakin tertekan dan pening"
"Tapi kau tetap tak bisa berbuat apa-apa untuk menolaknya?"
Ara mengangguk-angguk di pelukku.
"Ara..., apa cintaku tak pernah cukup untuk melengkapimu? Hingga harus ada orang lain diantara hubungan kita?"
Dia semakin terbenam dalam tangis.
"Kau tahu, Ru. Masalah kita bukan itu. Ini bukan lantaran cintamu tidak cukup untukku atau aku tak lagi mencintaimu. Bukan itu Aru!"
"Klo begitu, jangan menikah dengannya"
Matanya jadi berkaca-kaca karena mendengar permintaanku yang tak sederhana, tapi dia hanya diam dalam gemuruh di hatinya.
"Kenapa?"
"KENAPA??"
Aku terluka dengan tanya Ara itu.
"Kenapa tidak bisa hanya aku saja, Ra?"
"Lalu, kau bisa menikahiku?"
*****
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen