Dua minggu sudah Lintang dan Wulan berada di kota. Meski tidak mudah, mereka mulai membiasakan diri. Tidur tanpa kasur, hanya di atas tikar. Makan makanan sangat sederhana. Untuk mandi, Lintang pergi ke kamar mandi umum, meski harus membayar. Daripada di sungai, dia tidak bisa. Kasihan Wulan juga. Hanya mencuci pakaian yang dia lakukan di sungai.
Bu Fani, sangat baik pada mereka. Di rumahnya, saat sedang bekerja, mereka diberi makanan yang enak. Lintang dan Wulan bekerja serajin mungkin. Mereka sangat berterima kasih karena sudah diberi pekerjaan. Seminggu mereka dibayar tiga ratus ribu. Buat Lintang itu besar sekali.
Yang membuat Lintang dan Wulan betah di rumah Bu Fani, Bu Fani punya anak balita yang lucu. Fenna Namanya. Cantik, berumur empat tahun. Lincah dan suka menyanyi. Sesekali Lintang dan Wulan ikut menjaga Fenna. Sedang suami Bu Fani baru dua kali Lintang dan Wulan melihatnya, karena dia selalu bekerja di siang hari.
Di rumah itu juga ada ayah mertu
Malam itu Praja dan Rasti berusaha membujuk Lintang dan Wulan agar mau memaafkan Mito dan bersedia pulang. Tapi tetap saja tidak berhasil. Kedua gadis itu kekeh, tidak akan pulang. Mereka terlanjur luka dan sakit dengan perlakuan Mito selama ini.Pagi-pagi sekali Lintang dan Wulan bangun. Mereka berniat akan pergi dari gubuk itu. Uang yang Lintang punya sekarang mungkin cukup untuk mencari kamar kos yang kecil saja. Kalau makan mereka pasti bisa berhemat. Dengan tas di pundak, mereka cepat-cepat pergi."Kak, kita mau ke mana?" tanya Wulan."Kita lihat saja nanti. Yang penting kita pergi. Mas Mito pasti akan kembali mencari kita," jawab Lintang.Mereka pergi ke mana saja kaki membawa, pergi beli mie ayam untuk sarapan, lalu berjalan lagi menyusuri jalanan yang mulai ramai.*****Pagi jam tujuh jalanan memang padat. Orang-orang berjejalan di atas aspal ingin segera tiba di tempat tujuan masing-masing. Hari ini cerah, matahari tid
Lintang dan Wulan terus saja berjalan masuk gang demi gang. Sejauh mungkin dari rumah Fani. Entah sudah belok berapa kali, sudah berapa gang mereka lewati. Sampai mereka tiba di sebuah rumah kosong. Terlihat rumah itu sudah lama ditinggalkan. Banyak bagian rumah yang rusak. Atapnya bolong-bolong, temboknya beberapa bagian retak, dan terlihat rapuh. Mereka bersembunyi di sana. Mereka takut jika mereka ada di jalan, sangat mungkin Mito akan menemukan mereka. "Kak, kita mau ke mana lagi? Kita gak ada tempat," kata Wulan. Dia hampir menangis. "Lan, maafkan Kakak." Lintang memegang tangan adiknya. Hatinya sedih sekali Wulan harus menderita seperti ini. "Kenapa ibu harus mati, Kak? Sekarang kita jadi gelandangan. Kita ga punya rumah. Ga bisa sekolah. Kenapa kita ga seperti Mas Bimo? Punya ibu dan ayah yang baik dan sehat yang sayang sama dia. Kenapa, Kak?" Wulan tak tahan lagi. Dia benar-benar menangis. Bahunya sampai berguncang-guncang karena rasa pedih yang begitu dalam. Lintang seketi
Lintang berjalan cepat masuk gang di depannya. Rumah-rumah sudah gelap. Hanya satu atau dua rumah yang lampunya menyala. Itu pun hanya di satu ruangan. Di mana Wulan? Pria itu tinggal di rumah yang mana? Dengan rasa cemas Lintang memperhatikan satu per satu rumah yang masih menyala lampunya. Tapi rumah yang mana? Apa Lintang harus mengetuk setiap pintu rumah? Ini tengah malam!!Rasa cemas dan takut makin mendera Lintang. Tapi dia harus menemukan Wulan. Tak peduli jika itu Mito sekalipun ternyata yang membawa Wulan. Dia harus menemukan adiknya. Dingin terasa menusuk kulit. Jaket tipis Lintang tidak terlalu menolong mengatasi dingin dan angin malam. Dengan kebingungan, Lintang memandang ke sekeliling pada rumah-rumah dengan lampu menyala."Uhuukk ... uuhukk ...." Terdengar suara batuk."Wulan?" bisik Lintang. Itu seperti suara batuk Wulan. Lintang menghentikan langkah, memasang pendengarannya. Lintang berdiri di depan sebuah rumah yang tak terlalu besar. Lampunya
Wajah gadis ini cantik, tapi lusuh, dan terlihat begitu sedih. Matanya indah meskipun sayu. Itu yang tampak di mata David. Lintang menghiba memohon belas kasihan padanya. Yang ada dalam pikiran Lintang tidak lain adalah kesembuhan Wulan. Hanya itu. Dokter tampan ini harapannya. Dia akan lakukan apa saja agar Wulan bisa sembuh kembali. "Dokter, kekurangan biaya akan saya bayar dengan bekerja. Saya bisa kerjakan apa saja. Menyapu, mengepel, memasak, mencuci. Apa saja. Tolong, Dokter," kata Lintang lagi. Suaranya terdengar pedih dan memilukan. David merasa begitu iba melihat Lintang sangat kacau. Tampak jelas Lintang sangat takut jika terjadi sesuatu yang buruk pada Wulan. "Tentu. Aku akan mengobati Wulan. Tugas dokter menolong orang sakit. Aku yang membawa Wulan ke sini. Jadi aku tidak akan meminta bayaran apa-apa. Simpan saja uang kamu." David mengatakan itu dengan tulus, bukan hanya karena ingin menenangkan Lintang. "Tapi, saya dan Wulan ... kami tidak punya tempat tinggal. Saya mi
Lintang membangunkan adiknya. Saatnya Wulan makan dan minum obat. Wulan mencoba duduk, bisa, tapi masih terasa lemas badannya. Lintang mulai menyuapi Wulan. Sementara mengunyah makanan, Wulan teringat pada majikan mereka Bu Fani. Bu Fani orang yang sangat baik. Mungkinkah David dan Diana sama seperti majikannya itu? "Kak, apa mereka baik seperti Bu Fani?" tanya Wulan. "Iya, Lan. Kak dokter bilang kamu akan dirawat sampai sembuh," jawab Lintang. Dia meniup bubur lalu menyuapi Wulan lagi. Wulan memandang Lintang. Setelah dia sembuh, apa yang mereka akan lakukan? Kembali ke jalanan? Tidur di pinggir jalan? Pekerjaan juga sudah tidak ada. Bagaimana nasib mereka nanti? Ingat hari-hari berat yang telah dia jalani, juga sakit yang mendera hingga seperti mau mati, Wulan merasa pahit di hatinya.
David telah berangkat ke rumah sakit. Lintang memandang ke seluruh ruangan di rumah itu. Senyumnya lebar karena sangat gembira. Masih tidak percaya dia diberi kesempatan boleh bekerja di rumah ini! Segera dia ke kamar belakang ingin memberitahu Wulan. Tapi ternyata dia tidur. Nanti saja kalau Wulan bangun Lintang akan memberitahu adiknya. Nah, ayo, mulailah bekerja. Tunjukkan pada pemilik rumah ini, mereka tidak akan kecewa. Menit berikut, Lintang sudah mulai bergerak, membersihkan rumah dari bagian depan sampai ke belakang. Dia berhati-hati sekali agar tidak ada barang yang rusak. Dia bekerja dengan semangat dan senyum lebar. Jika dia berhasil bekerja dengan baik, dia bisa tinggal di sini. Karena hati yang gembira waktu berjalan sekian lama tidak terasa. Tidak juga terasa Lelah. Selesai membereskan semuanya, dia memasak untuk makan siang. Wulan tidak boleh telat minum obatnya. Lintang membuat sup untuk Wulan. Saat dia masuk ke kamar, adiknya sudah bangun dan duduk bersandar pada ban
Malam harinya, David dan Diana bicara tentang dua gadis malang itu. Mereka bicara di ruang kerja. "Aku ga masalah. Anaknya juga sopan. Pekerjaannya rapi. Sekalian menolong mereka. Ga mungkin mereka tinggal di jalanan lagi," kata Diana. "Iya, Kak. Aku kepikiran Ulan kalau harus kembali ke jalan setelah sembuh," ujar David. "Aku ingat masa lalu jadinya." Diana mendesah. David dan Diana adalah anak yatim piatu. Kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Diana usia delapan tahun, sedang David baru masuk empat tahun. Tidak ada yang bisa mengasuh mereka, aparat desa menyerahkan Diana dan David ke sebuah panti asuhan. Bukan hal yang mudah untuk kakak beradik itu. Mereka beruntung beberapa tahun kemudian, Mama Devi seorang janda kaya, mengadopsi mereka. Mereka dirawat dan diasuh sampai mandiri. Bahkan rumah yang mereka tempati adalah rumah kenangan yang tidak mungkin mereka lupakan. "Kakak benar. Aku bahkan ga tahu sama sekali ayah dan ibu. Yang aku tahu orang tuaku hanya Mama Devi."
Berdiri di depan cermin, dengan seragam SMA, rasanya keren. Lintang menyisir rambutnya hingga rapi. Dia siap memulai perjuangan di kelas terakhir di SMA. Wulan juga siap dengan seragam dan tas sekolahnya. Cantik, rambutnya terurai sebahunya. Lalu keduanya keluar kamar, menemui Diana dan David. "Wah, sudah siap belajar. Cantiknya!" Diana tersenyum lebar menatap Lintang dan Wulan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lintang dan Wulan ikut tersenyum. "Hari ini aku bisa antar. Besok Kak Di yang antar. Sepertinya kalau pagi saat berangkat bisa bareng Kak Di, waktu pulang aku yang jemput,” kata David. "Selamat belajar, semangat, ya ...." Diana melambai dari teras. Mobil meninggalkan rumah. Pagi ini David akan mengantar k