Share

Culture Shock

Matahari belum begitu menyengat saat Jihan keluar rumah untuk pergi menjelajahi kota kecil tempatnya sekarang tinggal.

Dengan mengenakan tank top putih dibalut dengan jaket kulit berwarna dark brown dan zip front mini skirt berwarna senada sebagai bawahannya, gadis itu melangkah mantap memasuki mobil berwarna hitam metalik miliknya.

"Jangan pergi begitu jauh, kau belum mengenal baik kota ini."

Sebuah pesan dari Anita terlihat di notification box pada layar depan ponsel Jihan.

"Siap bos! " Balas Jihan.

"Mari kita lihat seperti apa kota kecil ini." gumamnya.

Satu jam berlalu, matahari sudah beraksi dengan memancarkan cahaya yang begitu menyilaukan dan udara yang terasa memanas.

"Hey kenapa kalian begitu menyebalkan?! " Pekik gadis cantik itu dari dalam mobilnya ketika Ia terjebak dalam kemacetan di dekat sebuah pasar tradisional.

Terlihat semrawut jalanan di area Pasar Rau tersebut. Di tengah kemacetan yang amat sangat, semua kendaraan seolah berlomba untuk berdesakan dan saling menyalip satu sama lainnya. Hingga tak sengaja seorang wanita paruh baya dengan daster berwarna pink dan jilbab panjang berwarna mocca yang ikut beraksi dalam ajang saling salip itu pun menggores mobil Jihan dengan motornya.

"Hey ma'am! Tidak bisakah kau berhati-hati??"

Jihan berteriak sembari membuka kaca jendela mobilnya dengan penuh emosi. Tapi ketika semua orang di sekitarnya memandangnya dengan tatapan tajam, nyalinya langsung menciut. Gadis itu kembali menutup kaca jendelanya sambil terus mengomel pelan.

"Sial. Kenapa aku harus terjebak di kota aneh ini?!"

Amarahnya meledak-ledak di dalam mobilnya.

Seorang anak kecil yang sedang dibonceng ayahnya menatap aneh pada gadis remaja yang sedang memukul-mukul kemudi mobilnya dengan kesal itu. Jihan menyadari hal itu dan menghentikan aksinya, Ia tersenyum manis dan melambaikan tangan pada bocah kecil tersebut seolah tak terjadi apapun. Di luar dugaan, bocah itu justru mengejeknya dengan menjulurkan lidah dan mengarahkan jempol tangannya ke bawah sebagai tanda bahwa bocah itu sama sekali tak menyukai Jihan yang menurutnya sangat aneh itu.

Jihan yang terkejut melihat respon bocah kecil tersebut justru membalas ejekannya dengan menatap tajam pada si bocah dengan sedikit melotot padanya hingga bocah itu merasa takut dan mengalihkan pandangan ke arah sebaliknya. Jihan tersenyum tipis, merasa menang atas pertandingan sengit yang baru saja terjadi.

Setelah beberapa lama menjelajah kota dengan mobilnya, akhirnya Jihan berlabuh di sebuah mall. Tak lupa gadis itu melihat bagaimana kondisi mobilnya setelah kejadian di jalan tadi. Benar saja, mobilnya tergores hingga sepanjang 5 cm. Jihan menghela nafas dalam mencoba bersabar menghadapi kekonyolan yang terjadi di awal harinya itu.

"Aku tidak peduli bahkan jika hari ini aku mati karena kesal pada kota bodoh ini. Yang penting aku akan mati setelah berbelanja hahaha" ucapnya dengan ekspresi wajah aneh bak orang yang hilang akal.

Gadis itu benar-benar sudah muak dengan tempat tinggal barunya itu.

Benar saja, tak perlu waktu lama bagi gadis itu untuk keluar masuk berbagai toko pakaian dan aksesoris.

Semakin lama, semakin banyak pula paper bags yang dibawanya. Tapi hal itu tak menjadi masalah baginya.

Ia hanya berpikir untuk melampiaskan kemarahannya hari ini dengan melakukan apapun yang disukainya.

Tak terasa lima jam sudah berlalu, rasa lapar mulai terasa di perutnya.

Jihan memutuskan pilihannya pada sebuah restoran yang menawarkan menu khas provinsi Banten, yaitu Sate Bandeng.

Sembari menunggu makanannya datang, pandangan matanya mengarungi setiap sudut restoran tersebut hingga pandangannya tertuju pada sebuah papan yang tergantung di dinding salah satu sisi restoran.

Terdapat puluhan foto yang ditempelkan di papan tersebut. Terlihat foto beberapa artis ibukota yang pernah singgah ke restoran tersebut. Ada juga foto yang menampakkan berbagai pertunjukkan seni tradisional Banten seperti Pencak Silat, Rudad, dan tak lupa pertunjukkan Debus.

"Wah..."

Tanpa sadar gadis itu mulai hanyut dalam setiap foto yang ada di papan tersebut.

Terlebih saat Ia melihat beberapa foto dengan judul "Makam Sultan Maulana Hassanudin, Banten."

Seperti yang diketahui, Sultan Maulana Hassanudin merupakan seorang pendiri Kesultanan Banten yang juga adalah putera dari Sunan Gunung Jati, salah seorang penyebar agama Islam di Tanah Jawa yang tergabung dalam Walisongo.

Meski sudah hampir lima ratus tahun sejak wafatnya Sang Sultan, masyarakat Banten masih selalu mengenang dan mengagungkannya dengan secara rutin berziarah dan berdoa di makamnya.

Ziarah ke makam Sultan Hassanudin adalah agenda rutin sebagian besar masyarakat Banten.

Oleh karenanya, setiap adanya hari besar atau bahkan hanya setiap kamis malam mereka selalu menyempatkan diri untuk berziarah dan mengaji di makam Sang Waliyullah.

Jihan sendiri pernah beberapa kali berziarah ke makam Wali Allah ketika Ia masih kanak-kanak.

Dan salah satunya adalah berziarah ke makam Sunan Gunung Jati.

Kini pun, Ia berencana untuk suatu hari nanti berziarah ke makam Sultan Hassanudin.

"G-Ace? Kau G-Ace, kan?"

Seorang pria muda bertubuh tinggi besar memecah lamunan Jihan.

Pemuda itu mendekatinya dengan ekspresi wajah yang sumringah.

Jihan tersenyum dan memperkenalkan dirinya.

"Hai, kau mengenaliku?" Tanyanya, terkejut karena Ia tak menyangka akan ada yang mengenalinya di sini.

Pria itu mengangguk dengan bersemangat.

"Tentu saja, Aku adalah salah satu dari penggemarmu. Aku juga menonton penampilan terakhirmu di Jakarta kemarin melalui live streaming di akun Youtubemu."

Mendengarnya, Jihan juga ikut bersemangat. Setidaknya ada seseorang yang mungkin bisa menjadi teman barunya di kota ini.

"Nong, makanannya siap." kata seorang wanita pelayan restoran ketika meletakkan piring-piring berisi makanan yang dipesan Jihan sebelumnya.

Jihan tersenyum ramah sembari menghampiri wanita tersebut.

"Iya, terima kasih."

"Nong? Apa keningku jenong?" tanyanya pada Jay, pria muda yang baru saja ditemuinya.

Jay terkekeh mendengar perkataan Jihan "Hey, 'Nong' adalah panggilan kecil untuk seorang gadis muda di Banten. Panggilan itu seperti panggilan sayang dari orang tua untuk anak mereka"

"I see, itu seperti kata 'Neng' di Jakarta."

Jihan mengangguk mengerti.

"By the way, setelah pindah ke sini, apa yang akan kau lakukan?" tanya Jay di sela-sela waktunya menyeruput jus jeruk pesanannya.

"Ya, hal-hal biasa. Seperti pergi ke sekolah, bermain dan lain-lain."

"Kau sudah menentukan dimana akan melanjutkan sekolahmu?" tanya Jay.

Jihan mengangguk "Ya, aku akan melanjutkan pendidikanku di SMA Nurul Iman."

Mendengarnya, spontan Jay menggebrak meja tempat makanan mereka diletakkan "Seriously? Hebat! Kita akan bersekolah di tempat yang sama."

Jihan terkejut sekaligus senang mendengar kabar baik itu.

"Benarkah? Bagus sekali. Ini adalah hal baru bagiku untuk bersekolah di sekolah yang berbasis agama, jadi mungkin akan sedikit sulit."

"Tenang, aku akan membantumu dengan senang hati." jawab Jay sembari mengukir senyum tengil khas dirinya.

Beberapa menit berlalu dengan obrolan panjang antar mereka. Sebelum berpisah, tak lupa Jihan meminta Jay untuk berfoto bersama dan mengunggah foto tersebut ke media sosial miliknya lengkap dengan akun I*******m Jay juga tertera pada foto tersebut.

Seperti biasa, foto yang diunggah dengan deskripsi "Teman baru untuk pengalaman baru" itu pun mendapatkan banyak respon dari para pengikut Jihan.

Bahkan berkatnya, Jay juga mendapatkan beberapa followers baru.

"Wah melihat ini, aku akan lebih sering mengunggah foto bersamamu, Jihan. Dengan begitu aku akan ikut terkenal." kata Jay dengan diselingi tawa kecilnya.

Kring kring

Sebuah panggilan masuk di ponsel Jay dengan nama "Ardhy" tertulis di layar depannya.

"Aku sudah di depan rumahmu dan bibi bilang kau tidak ada. Apa kau sudah lelah bernafas??" Terdengar suara pria di seberang sambungan telepon.

"Astaga, aku sedang dalam perjalanan. Bersabarlah sedikit lagi, dasar pria tua." sahut Jay.

Mendengarnya, Jihan mengernyitkan dahinya.

"Dia adalah temanku, bukan pria tua sesungguhnya." kata Jay.

"Cepatlah!" Ardhy kembali meninggikan nada bicaranya lalu memutus sambungan telepon.

"Dia tidak benar-benar marah. Maksudku, mungkin dia marah karena aku sudah terlambat 1 jam, tapi dia bukan seorang pemarah. Tadi adalah cara kami bergurau satu sama lain hehe" jelas Jay.

Jihan mengangguk mengerti.

Lalu mereka berpisah setelah saling bertukar nomor ponsel tentunya.

Hal itu sangat dibutuhkan Jihan karena nantinya mereka akan bersekolah di tempat yang sama dan pastinya Jay adalah satu-satunya temannya untuk kurang lebih selama beberapa hari sebelum dirinya bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya itu dan mendapatkan beberapa teman lainnya.

- To Be Continued -

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status