Di alun-alun kuta raja sedang diadakan pesta rakyat untuk menyambut masa panen tiba. Biasanya tempat itu akan ramai oleh warga dari seluruh penjuru negeri untuk menyaksikan hiburan atau sekedar untuk berjalan-jalan saja. Sebagai pengantin baru Utari ingin sekali datang ke sana bersama Damar. Selain untuk jalan-jalan, Utari juga ingin pamer kemesraan pada para gadis di desanya yang selama ini menggandrungi Damar, ia ingin menunjukkan pada mereka bahwa sekarang Damar adalah miliknya, mereka tak bisa lagi menggoda suaminya seperti yang mereka lakukan dulu sebelum Damar menikahinya.
Untuk menyenangkan hati istrinya, sore itu Damar mengiyakan ajakan Utari. Mereka pergi dengan menunggangi kuda, Utari duduk di belakang sementara Damar di depan memegang kendali. Sepanjang jalan Utari tak sedikit pun melepaskan kedua lengannya dari tubuh Damar. Para gadis yang menyaksikan pemandangan itu hanya bisa menatap iri sambil sesekali berbisik membicarakan kemesraan mereka berdua. Walau
"Putri ..." Pangeran Respati segera berlari untuk menyelamatkan putri. Ia merasa sangat bersalah karena telah meninggalkan putri seorang diri. Jika sampai terjadi sesuatu pada putri, ia tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti saat ia melihat seorang pria berhasil menghalau dahan pohon itu. Akhirnya Pangeran Respati bisa sedikit bernafas lega saat melihat putri baik-baik saja.Putri membuka matanya. Sementara itu di hadapannya seorang pria sedang berdiri mengerahkan seluruh tenaganya menghalau batang pohon agar tak sampai menyentuh kulit putri. Putri masih belum bisa berkata-kata, untuk beberapa saat ia hanya terpaku memandangi pria yang berdiri di hadapannya itu. Tak disangka tatapan mata pria itu mampu membuat jantung putri berdebar."Kau ... Gelang ... Candi," kata putri sambil berusaha mengingat wajah pria itu di antara dedaunan yang jatuh berguguran. Damar sedikit terkejut, ia tak menyangka ternyata putri masih mengingat pertemu
Siang hari yang cukup terik, Mpu Geger meminta Parwan untuk memandikan kuda miliknya di sungai. Sungai itu lumayan jauh namun Parwan begitu bersemangat mengemban tugas itu. Selain tempatnya sejuk jika beruntung ia juga akan bertemu dengan bidadari-bidadari sungai yang sedang beraktifitas di sana, mandi atau mencuci pakaian. Karena tak kunjung kembali, Damar meminta ijin Mpu Geger untuk menyusulnya, ia khawatir kalau-kalau sahabatnya itu diculik oleh bidadari penghuni sungai. Mpu Geger hanya tertawa, ia mengerti apa maksud Damar, lalu mempersilahkan menantunya itu untuk segera menjemput Parwan di sungai. Damar tahu Parwan pasti baik-baik saja, ia hanya ingin keluar sebentar karena setelah menikah dengan Utari ia jarang menghabiskan waktu di luar seperti dulu.Damar menghampiri Parwan diam-diam. Saat itu Parwan sedang menebar pesona pada gadis-gadis yang sedang mencuci pakaian di seberang sana. Damar melempar air dengan beberapa batu sehingga cipratannya membasahi pakaian
Putri diam-diam menunggangi kudanya keluar istana menyamar menjadi rakyat biasa. Ia mengambil kesempatan ini selagi ratu masih belum sehat. Jika ketahuan setidaknya ibundanya itu tak akan memarahinya karena ia sedang sakit. Itu sudah biasa ia lakukan namun kali ini berbeda, ada satu hal yang tak bisa dijelaskan dengan akal, bisa dibilang itu panggilan hati. Daripada terus menerus tak bisa tidur, lebih baik ia mengikuti kata hatinya."Permisi, Ki. Apa benar ini jalan menuju rumah Mpu Geger ?" tanya putri pada seorang pencari rumput yang kebetulan berpapasan dengannya."Betul. Rumahnya ada di ujung jalan sana, Nyai," jawab lelaki tua itu yang tak lain adalah Ki Suro, ayah Damar."Baiklah. Terimakasih banyak, Ki."Putri segera melanjutkan perjalanannya. Sementara Ki Suro masih terus memperhatikan putri dari kejauhan. Perasaannya sedikit terganggu setelah bertemu dengan putri. Memang ia tak bisa mengenali wajah putri di balik cadarnya, namun pria tua itu memi
"Kau baik-baik saja ?" kata Damar masih sambil menopang tubuh putri dengan kedua tangannya.Jantung putri seolah berhenti berdetak, ia pandangi wajah pria yang sedang mendekap tubuhnya itu. Untuk sesaat ia kehilangan fokus karena saking terkejutnya Damar tiba-tiba berdiri di hadapannya, hingga akhirnya ia tersadar saat para perampok mulai menyerang mereka berdua. Damar dan putri bekerja sama melawan para perampok itu. Keduanya terlihat kompak walau mereka belum pernah berlatih bersama sebelumnya. Dengan ilmu bela diri yang Damar miliki serta keahlian pedang yang putri kuasai akhirnya para perampok itu berhasil dibuat lari tunggang langgang. Lagi-lagi Damar berhasil menyelamatkan hidup putri dari mara bahaya."Kaki Nyai ..." Damar menatap khawatir."Ah, kakiku sedikit terkilir tadi.""Duduklah, aku akan membantu mengobati kaki Nyai."Putri duduk di sebuah batu, sementara Damar mengurut kakinya yang terkilir. Dari balik cadarnya, putri memperhatikan
Ibu Suri Suhini berbincang dengan Pangeran Wiguna, putra pertama Raja Widharma di ruangan pribadinya. Mereka membahas masa depan Kerajaan Welirang serta penobatan Putri Sekar Ayu sebagai ratu yang tak lama lagi akan segera dilaksanakan. Pangeran Wiguna merasa khawatir jika Kerajaan Welirang dipimpin oleh seorang wanita akan terjadi banyak pemberontakan karena menganggap lemah ratu yang berkuasa. Ibu suri yang mulai terhasut akhirnya menyetujui rencana Pangeran Wiguna untuk mengumpulkan suara dari para raja dan adipati di bawah kekuasaan Kerajaan Welirang untuk bersatu menolak penobatan Putri Sekar Ayu dengan dalih menjaga kejayaan kerajaan.Setelah Pangeran Wiguna keluar dari kediaman ibu suri, kini giliran Senopati Ageng yang menghadap. Ibu suri marah besar karena Senopati Ageng tak mengindahkan larangannya untuk tidak lagi mengajarkan ilmu pedang pada Putri Sekar Ayu."Ampun Gusti, Gusti Putri Sekar Ayu adalah calon ratu Kerajaan Welirang. Bukankah seoran
Mpu Geger meminta Damar untuk datang menemuinya. Siang itu ia sedang bekerja seperti biasanya bergulat dengan besi-besi dan palu di depan tungku perapian. Namun karena mertuanya memanggil, terpaksa ia menghentikan pekerjaannya. Saat itu di teras depan rumah Mpu Geger ada dua orang tamu yang mengaku sebagai utusan dari kerajaan. Mereka membawa kabar tentang pemilihan prajurit yang sedang diadakan di istana, dan Damar adalah salah satu yang beruntung mendapatkan undangan langsung karena jasanya yang sempat beberapa kali menyelamatkan putri. Damar sedikit terkejut sekaligus senang karena mendapatkan kesempatan emas yang tak mungkin ia dapatkan dua kali dalam hidupnya. Setelah dua orang utusan itu pergi, Damar tampak duduk termenung memikirkan tawaran itu. Menjadi abdi negara adalah pekerjaan impian para pemuda di desanya. Jika ia bisa mendapatkan posisi di istana, itu akan menjadi suatu kebanggaan untuknya dan keluarganya. Namun ia khawatir jika diterima bekerja di istana lalu
Damar bersiap untuk mengikuti seleksi dengan beberapa kandidat lainnya. Proses ini diawasi langsung oleh Senopati Ageng sebelum keberangkatannya ke perbatasan utara. Jika biasanya proses seleksi bisa memakan waktu beberapa hari, kali ini hasil seleksi akan langsung diumumkan pada hari itu juga, mengingat Senopati Ageng yang tak mempunyai banyak waktu lagi di istana. Senopati bergegas menyaring bakat-bakat unggul yang kelak akan menjadi pengawal putri. Mereka dinilai dari kekuatan fisik, kecerdasan dan ilmu bela diri. Banyak yang berhasil banyak juga yang akhirnya tumbang. Dari puluhan orang yang mengikuti seleksi, hanya akan ada enam orang saja yang akan dinyatakan lolos. Sementara Damar menjadi salah satu kandidat yang lolos. Satu per satu tahapan seleksi berhasil ia lalui hingga ia sampai di tahap akhir. Setelah itu keputusan ada di tangan Senopati Ageng.Sore harinya Senopati Ageng mengumumkan nama-nama siapa saja yang dinyatakan lolos. Semua orang tampak cemas menanti nam
Pagi hari yang cerah, penghuni istana telah menyibukkan diri dengan tugasnya masing-masing. Para abdi dan dayang sibuk menyiapkan keperluan istana sementara para penjaga bersiap di posnya masing-masing. Damar pun begitu, ia telah siap dengan tugas barunya. Damar berjalan menuju keputren untuk menemui putri sesuai arahan dari senopati. Pagi itu putri sedang menikmati secangkir teh jahe di halaman belakang istananya. Itu adalah rutinitas pagi yang selalu putri lakukan sebelum beraktifitas di istana. Kali ini putri tampak berbeda, ia mempersiapkan dirinya dengan baik, berpakaian indah serta berhias di pagi hari yang biasanya masih enggan untuk melakukan apapun."Ampun, Gusti. Seorang utusan yang dikirim oleh Senopati Ageng telah berdiri di luar keputren," kata seorang penjaga melapor."Persilahkan dia masuk," jawab putri sambil menahan senyum di bibirnya. Seandainya Galuh ada di sana senyum putri tak akan selamat dari mata tajam abdi setianya itu."Baik, Gust