Lumiere bergeming karena dirinya sedang didandani oleh dua orang pelayan yang disewa oleh kakaknya, Lucius. Tentunya setelah memberikan upah lebih untuk tutup mulut, jika mereka memergoki sesuatu yang aneh di kediaman ini. Karena pada dasarnya, Wisma Wysteria tidak memiliki banyak pelayan perempuan. Bahkan pelayan laki-laki pun hanya mempekerjakan Ashen dan Reynox. Juga Lucian bertugas sebagai kepala pelayan.
Alhasil, jika ada keperluan wanita mendadak seperti ini, menghadiri sebuah pesta dansa yang mengharuskan Lumiere memakai gaun, mau tidak mau Lucius pun harus menyewa beberapa pelayan wanita selama sehari, untuk membantu persiapan adiknya untuk menghadiri pesta dansa. Seperti pada hari ini.
“Kulit nona memang sebagus ini, ya? Bisa-bisanya nona merawat diri pada saat Anda sendiri disibukkan dengan urusan kampus dan juga meneliti tesis,” celetuk salah satu pelayan bertubuh tinggi yang sedang mengolesi wajah Lumiere denga
“Tuan Earl Lucius Crowe Wysteria, bersama sang adik, Lumiere Crowe Wsyteria, telah tiba di pesta dansa!”Para tamu undangan yang terdiri dari pria dan wanita bangsawan, yang memenuhi setiap sisi ballroom itu, secara kompak mengalihkan pandangan mereka ke arah sumber suara. Seorang butler berpakaian rapi, baru saja mengumumkan kedatangan dua tamu yang namanya sedang hangat diperbincangkan di pergaulan kelas atas. Dua detik setelah pengumuman tersebut terdengar, dua orang pemilik nama tersebut akhir muncul.Kemunculannya terlihat begitu meriah dikarenakan penampilan sempurna kakak beradik tersebut. Sang kakak, Lucius, terlihat sangat tampan dengan rambut yang tertata rapi dan memamerkan dahi seksinya. Sementara sang adik, Lumiere, terlihat sangat cantik dengan balutan gaun berwarna putih dan biru. Bagian pinggangnya mengembang, mempercantik penampilan bagaikan seorang putri kerajaan. Rambut cokelat madunya
Baik Peter maupun Lumiere, keduanya sama-sama membulatkan matanya terkejut begitu mendengar teriakan tersebut. Keduanya saling bertukar pandang sejenak, sebelum kemudian mereka bergegas keluar dari ruang istirahat, meninggalkan Jeremy yang tidak sadarkan diri dengan begitu saja di sana.Keduanya mendapati kegaduhan terjadi di sekitar mereka dan juga di lantai bawah sana. Terdengar suara isak tangis juga teriakan para butler yang tampak sedang berusaha mencari-cari pelayan yang menyerahkan minuman beralkohol pada pada Marquess Illona.“Bangsawan Kriminal lagi?” gumam Peter yang tanpa sadar didengar oleh Lumiere yang kini menatap sang pria, “Tapi, Marquess Illona tidak memiliki gosip buruk yang berkaitan dengan kemanusiaan— tidak.” Mata kelabunya kemudian menatap Lumiere yang senantiasa masih memandangi Peter, “Dia memandangimu dengan tatapam cabul. Itu sudah pasti Marquess Illona memiliki kejahatan terhadap w
Suara cuitan burung menjadi teman pengantar Reynox yang berjalan sempoyongan menyusuri lorong Wisma Wysteria di London. Setelah aksi mereka semalam, meracuni Marquess Illona tanpa meninggalkan petunjuk pelaku, Reynox dan Ashen langsung pulang tanpa meninggalkan sedikit pun kecurigaan.Mereka menyelinap di antara para pelayan bersama dengan Miya. Berbaur seperti pelayan sewaan yang lain dan berkat hal tersebut, mereka dapat melakukan pekerjaan dengan lancar tanpa menaruh kecurigaan.“Sebotol wine di pagi hari sepertinya enak,” gumam Reynox seraya menggaruk perut dari balik kemeja putih yang ia kenakan. Langkah kakinya masih sempoyong, dengan sekuat tenaga ia mendorong sebuah pintu cokelat, lalu masuk ke dalam ruangan tersebut.Matanya yang masih setengah terpejam itu kemudian mendadak terbelalak, terkejut karena melihat betapa ramainya ruang baca yang biasa dipakai oleh mereka, Kelompok Wysteria atau Bangsawan Kr
Lumiere tersenyum maklum ketika mendengar kegaduhan dibalik pintu cokelat berdaun dua yang merupakan kamar yang di sewa oleh Peter, menurut penuturan Miss Rawless. Sepertinya putra bungsu Keluarga Spade tersebut sedang membereskan kekacauan di dalam sana. Mungkin ingin mencari muka di hadapannya.Mungkin saja.Tak lama kemudian, mata Lumiere mengerjap ketika salah satu dari pintu tersebut terbuka, agak tergesa, seolah-olah sang pemilik kamar tersebut tidak mau membuat tamunya menunggu lebih lama lagi. Peter kemudian muncul dari balik pintu, terengah, juga terdapat satu bulir sebesar jagung keringat yang mengalir di pelipis pria bersurai kelabu tersebut.“Maaf, aku belum selesai membereskan kekacauan di kamarku ketika kamu datang kemari,” ujar Peter kemudian mempersilakan Lumiere untuk masuk ke kamar sewanya.Disebut kamar, tidak juga. Mungkin jika di masa lalu, sekitar abad 21, kamar yang disewa oleh Peter bi
Mata biru seindah langit di siang hari milik Lumiere itu membulat sempurna. Terkejut dengan apa yang baru saja terjadi setelah Peter mengatakan hal tersebut.Ia tidak menyadari ketika jarak di antara wajah mereka semakin terkikis, Lumiere disibukkan dengan pikirannya sendiri untuk menyembunyikan rona merah di kedua pipi. Hingga ia tidak menyadari jika Peter mengikiskan jarak di antara wajah mereka, kemudian menyatukan kedua bibir mereka dan membawa Lumiere ke dalam sebuah ciuman penuh kelembutan. Lumiere dapat merasakan kehangatan yang membuat tubuhnya dibanjiri perasaan asing, terasa menggebu-gebu yang perlahan mengaburkan akal sehat.Peter melumat bibir Lumiere dengan penuh kelembutan namun terasa intim, bergerak lembut menginvasi bagaikan seseorang yang sudah ahli melakukannya. Pergerakannya halus, tidak menggebu dan tanpa tersirat sebuah gairah bernamakan nafsu untuk bercinta. Keduanya larut dalam ciuman lembut yang memabukkan tersebut. Bahkan samp
Peter rasanya ingin mengumpati sesosok pria jangkung yang berstatus kakak sekaligus kepala Keluarga Spade tersebut. Di saat ia sedang dibingungkan dengan kasus kematian Charlotte Wilhemia, Oscar justru memanggil dirinya untuk bertemu. Pria yang lebih tua lima tahun darinya tersebut mengatakan, ada suatu hal yang ingin ia bicarakan sebagai seorang pekerja pemerintahan dan detektif konsultan.Namun, jika dilihat dari berita yang tersebar di surat kabar, Peter sudah bisa menebak apa yang ingin kakaknya tersebut bicarakan dengannya. Sampai-sampai menyatakan bahwa pembicaraan mereka sebagai orang asing. Bukan sebagai keluarga.“Terkadang media massa itu menyeramkan,” gumam Peter seraya melayangkan pandangannya ke luar jendela kereta kuda yang sedang ia naiki tersebut, “Charlotte Wilhemia hanyalah seorang bangsawan baru, gelarnya saja ia beli setelah mampu untuk membelinya. Mana mungkin Bangsawan Kriminal membunuhnya. Bahkan, catatan kejaha
Mata biru jernih, sejernih langit biru di siang hari, milik Lumiere memandang jauh ke horizon di atas sana. Pandangan matanya terlihat kosong, seolah-olah pikirannya sedang melayang jauh hingga ke dimensi lain. Atau justru karena pikirannya bercabang, hingga membuatnya tampak seperti sedang melamun.Namun, pikirannya tidak kosong.Gadis itu kemudian menurunkan pandangannya, menatap hamparan air Sungai Thames yang kecokelatan dan terlihat tenang. Pukul dua siang. Waktu yang cukup bagus untuk berkunjung di tempat terbuka seperti taman yang menghadap langsung ke sungai yang membelah kota London tersebut.“Di sinilah kamu berakhir ... ya?” gumam Lumiere melembutkan tatapan matanya dan tersenyum tipis. Ekspresi wajahnya menyendu, merefleksikan sebuah gagasan yang menyayangkan kematian Charlotte Wilhemia. “Yard langsung menutup kasusmu tiga hari setelah jenazahmu ditemukan. Itu ... tidak adil, bukan?”Embusan an
Michelle mengerang. Dapat ia rasakan seluruh tubhnya terasa nyeri dan mati rasa. Jantungnya pun terasa berdetak lemah. Wanita itu merasa tidak berdaya sekarang. Telinganya telah bisa mendengar suara-suara di sekitar, walaupun masih terdengar samar. Namun, matanya enggan terbuka. Seolah-olah seseorang memberikan lem di kelopak matanya.Suara-suara berisik itu semakin terdengar jelas. Begitu juga dengan matanya yang perlahan terbuka. Pandangannya masih memburam, namun ia dapat melihat siluet sebuah adegan seseorang yang melakukan tindak penganiayaan terhadap seseorang.Michelle membulatkan matanya ketika semua indra di tubuhnya kembali berfungsi dengan baik. Wanita itu hendak beranjak dari duduknya, namun kembali terduduk dan menyadari jika tangannya terikat di belakang kursi ini. Michelle juga berteriak panik, namun suaranya teredam oleh sebuah lakban hitam. Teriakannya hanya terdengar sebagai gumaman tidak jelas oleh seseorang. Kepanikan benar-benar te