Teng! Tong! Teng! Tong!
Suara bel berdenting keras masih bisa didengar oleh telinga Lumiere walaupun ia sudah meninggalkan area universitas sejauh 1km. Sang gadis berjalan dengan santai sembari sesekali melirik jam saku miliknya, menghitung berapa waktu yang harus ia tempuh dari universitas ke vila.
"30 menit jalan kaki dari kampus sampai rumah. Bukankah itu jarak yang pas untuk sekedar berjalan-jalan menikmati pemandangan kota kecil ini?"
Mata Lumiere tidak sengaja menatap seorang pedagang buah yang lapak jualannya cukup ramai dikunjungi oleh pembeli. Mendadak Lumiere ingin memakan apel ketika melihat setumpuk apel merah yang terlihat segar dan menggugah selera makannya.
Dengan langkah anggun khas seorang bangsawan, Lumiere berjalan menghampiri lapak pedagang buah tersebut. Menembus celah kerumunan pembeli untuk menanyakan buah yang akan ia beli.
"Ada apel?" tanya Lumiere seraya memamerkan senyuman ramahnya kepada penjual buah tersebut.
"Ada. Mau beli berapa buah?"
Para pembeli dan juga pedagang buah tersebut yang seorang wanita tua tampak terkejut dengan kehadiran Lumiere yang memamerkan senyuman hangatnya. Di mata mereka, terlihat jelas dari pakaiannya bahwa sang gadis adalah seorang nona bangsawan.
"Yang mau beli buah apel, Anda? Nona bangsawan?" tanya si wanita tua tersebut dengan wajah bingung bercampur tidak percaya. Ia tidak percaya, seorang bangsawan membeli buah secara langsung tanpa meminta pelayannya yang membelikan.
Lumiere memasang ekspresi bingung yang sangat terbaca oleh si wanita tua tersebut, "Benar. Lalu, siapa lagi kalau bukan saya?"
"Baru kali ini aku menjual buah ke bangsawan secara langsung tanpa perantara." Ah. Jadi itu maksud dari pertanyaannya.
Lumiere hanya tersenyum canggung tanpa berniat membalas ucapan si wanita tua tersebut yang mulai mengambilkan beberapa buah apel dan memasukkannya ke dalam kantung kertas.
"Oh! Kamu yang namanya Profesor Wysteria itu ya? Pagi ini aku melihatmu diantarkan oleh Si Hendrik ke kampus. Bisa juga ya kamu memintanya! Hahaha"
"Tapi... aku benar-benar terkejut. Seorang bangsawan membeli sesuatu secara langsung tanpa perantara pelayannya? Itu pertama kali kulihat dari bangsawan yang biasanya bersikap congkak dan sombongnya setinggi angkasa," ujar si wanita tus tersebut seraya menyerahkan kantung kertas berisi apel kepada Lumiere.
Lumiere lantas langsung menerimanya, "Kami baru pindah ke sini. Jadi, belum merekrut pelayan untuk bekerja di kediaman kami. Lagi pula, kami hanya tiga bersaudara. Tidak ada satu pelayan pun tidak masalah."
"Bukankah Anda harus dibantu oleh pelayan ketika berganti pakaian? Para nona bangsawan yang aku tahu begitu." Ucapan si wanita tua membuat sudut bibir Lumiere terangkat sedikit. Seakan-akan ia ingin segera melepaskan tawanya begitu mendengar kalimat tersebut.
"Itu tidak benar. Saya mandiri dan pakaian yang saya pakai sederhana. Tanpa perlu menggunakan korset yang ketat dan juga gaun berumbai," sahut Lumiere tersenyum hangat sekali lagi yang membuat si wanita tua itu tampak tertegun.
"Tapi ya... seberapa mandirinya kalian, kalian itu makhluk yang berbeda dari kami. Selamanya tak akan menjadi bagian dari kota ini yang didominasi oleh rakyat jelata."
Mata Lumiere perlahan terbuka. Sesuatu seperti air es tumpah di atas kepalanya begitu ucapan si wanita tua itu terdengar di telinganya. Secara tidak langsung, Lumiere mendapatkan peringatan untuk menjaga jarak terhadap mereka sesuai dengan norma sosial yang berlaku.
Tatapan mata Lumiere sejenak menyendu dan kemudian kembali menajam, membawa wibawa khas seorang bangsawan.
"Sepertinya, semua orang di kota ini mempunyai penderitaan yang sama akibat dari tingkah laku seorang bangsawan pemilik tanah di sini."
Si wanita tua itu tampak bingung dengan penuturan Lumiere yang terkesan tenang namun menusuk. Tanpa memperlihatkan bahwa ia penasaran dengan apa yang akan sang gadis kembali ucapkan, wanita tua itu melirik cukup tajam pada Lumiere.
"Maukah Anda mendengar cerita saya?"
"Ya? Apa maksud And—"
"Selain pengajar, sebenarnya saya punya satu pekerjaan lain."
Sebelah alis si wanita tua terangkat, ia menjadi penasaran dengan kelanjutan kalimat yang akan Lumiere ucapkan.
"Saya juga seorang konsultan pribadi," sambung Lumiere tersenyum tulus, "Kalau Anda punya masalah yang rumit, saya akan bantu untuk memecahkannya."
Si wanita tua itu tampak tersenyum mengejek namun tidak sepenuhnya ia mengejek si nona bangsawan ini.
"Hoo... anak sombong, berani ngomong seperti itu ke orang tua?" tanya sang wanita tua tersebut melepaskan tawa yang cukup keras dan kemudian ekspresi wajahnya menyendu bersamaan dengan tawa itu mereda, "Kota Durham ini turun temurun dikuasai dua keluarga bangsawan. Satunya itu merupakan pemilik vila yang kalian beli. Nasibnya cukup malang untuk kalangan bangsawan. Putus turunan bertahun-tahun lalu. Begitu si bangsawan mati, ia tidak memiliki ahli waris dan terpaksa mengakhiri riwayat keluarga lalu menjual rumah itu."
Lumiere terdiam, menjadi pendengar yang baik bagi sang wanita tua yang bersiap untuk melanjutkan ceritanya.
"Satunya lagi adalah Baron Rogue. Dia tinggal menyendiri di utara kota ini. Orang-orang di sini selalu disengsarakan oleh mereka berdua. Namun, orang-orang semakin disengsarakan oleh Baron Rogue."
" ‘Iblis menggoda manusia dalam wujud roh kudus.’ Apakah kutipannya benar? Aku dengar kutipan itu sudah sejak 2000 tahun yang lalu." Si wanita tua itu tertawa jenaka saat ia menyinggung sebuah kutipan yang sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu.
Si wanita tua itu kembali melanjutkan ceritanya, "Pendahulu mereka awalnya menyewakan tanah kepada kami dengan harga murah, serta membelikan peralatan untuk bertani dan dibayar secara bertahap. Tapi, semenjak beberapa generasi. Sewa tanahnya naik. Begitu di generasi Baron Eugene Rogue, buruh tani mulai ditarik pajak. Menyisakan sedikit uang sekadarnya agar kami tak mati. Dengan kata lain, kami hanyalah budak di mata mereka."
***
Lumiere berjalan pelan, ia tampaknya masih memikirkan ucapan si wanita tua penjual buah dan membuat perasaannya kacau.
“Aku tak bilang semua bangsawan itu jahat. Tapi, seberapa ramah pun kamu bersikap kepada kami. Kamu tetap bagian dari mereka. Jadi, jagalah jarak dengan rakyat jelata seperti kamu dan jalankan saja Noblesse Oblige mu.”
Ekspresi Lumiere semakin menggelap ketika ia mengingat kalimat terakhir dari cerita panjang sang wanita tua tersebut.
“Ini merupakan saran dari orang yang sudah lama menjalani kehidupan yang keras.”
Dengan kata lain, secara tidak langsung, wanita tua itu mengatakan bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Semua hal yang terjadi di dunia ini adalah mutlak, seakan-akan tidak akan pernah bisa diganti oleh seseorang. Dan jujur saja, Lumiere merasa marah terhadap kenyataan yang wanita tua itu gunakan untuk menampar batinnya.
Namun, bukan Lumiere jika menyerah hanya karena ucapan seorang wanita tua. Lumiere kembali menumpuk rasa percaya dirinya dan berusaha kembali optimis terhadap dunia ideal yang akan ia wujudkan.
Lumiere mendongak, mendapati sang kakak tengah berhadapan dengan 3 orang pria paruh baya yang masing-masing dari mereka memegang sebuah kantung yang sepertinya berisi uang.
"Kakak!" panggil Lumiere, membuat Lucius menoleh kepadanya.
"Oh! Selamat datang, Lumie," balas Lucius tersenyum lembut kepada sang adik.
"Sedang apa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Lumiere begitu ia mendekati Lucius dan 3 pria paruh baya tersebut.
"Mereka adalah buruh tani dan sepertinya lahan mereka ada di wilayah kita," jawab Lucius kelewat tenang tanpa memalingkan sedikit pun wajahnya dari Lumiere.
Lumiere lantas menatap ketiga pria paruh baya tersebut. Mereka masih memegangi kantung uang dengan tangan yang penuh luka. Hal tersebut semakin membuat emosi Lumiere semakin memuncak. Padahal, dia sudah cukup tenang. Tapi sekarang?
"Mereka datang membawa uang sewa lahan bulan ini. Tapi, sepertinya tidak cukup ya," sambung Lucius yang menangkap ekspresi tidak enak di wajah sang adik. Maksudnya, Lucius jarang sekali melihat ekspresi ini. Merasa marah namun tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Kau bisa menyebutnya ekspresi kekecewaan.
"Kontrak yang ada, kita batalkan! Hari minggu nanti kita lakukan survei tanah dan kemudian menetapkan ulang harga sewa tanah berdasarkan luasnya. Isi kontrak yang sekarang benar-benar di luar akal dan terlalu menguntungkan satu pihak!"
3 pria paruh baya hanya terdiam, tidak tahu harus membalas seperti ucapan Lumiere yang terdengar seperti sedang memarahi mereka.
"Baiklah kalau begitu, kami akan datang kembali hari minggu nanti."
"Kami permisi dulu."
Ketiga pria paruh baya tersebut membungkuk, memberi hormat sebagaimana norma sosial yang berlaku dan kemudian mereka pergi meninggalkan kediaman Keluarga Wysteria. Lucius kembali memperhatikan sang adik, merasa asing dengan ekspresi yang dikeluarkan sang gadis saat ini. Seperti, ah jarang sekali aku melihat ekspresi kekecewaan ditampilkan di wajah cantiknya itu.
“Tumben sekali kamu berekspresi seperti itu? Apa ada sesuatu?" tanya Lucius seraya menyilangkan kedua tangannya di dada dan menatap kepergian ketiga pria paruh baya tersebut yang sudah menjauh.
"Tidak. Hanya ada seseorang bilang kepadaku, aku tak bisa apa-apa sebaik apa pun yang kulakukan."
Lucius kembali memusatkan seluruh perhatiannya. Kali ini ia dibuat terkejut dengan tatapan sendu yang sang adik pancarkan dari mata biru langitnya. Angin berhembus, membuat surai coklat keemasan dan hitam pekat milik kedua kakak beradik itu menari-nari. Alam seakan mendukung suasana suram yang menyelimuti mereka.
"Dan karena itu kau berekspresi suram seperti itu?" Lucius kembali bertanya. Sebelah tangannya menopang dagunya, merupakan kebiasaan sang kepala keluarga Wysteria ketika akan memasuki area percakapan serius, "Kita dapat melihat bagaimana perlakuan tuan tanah sebelumnya kepada mereka."
"Itu mata orang diperbudak." Mata Lumiere tampak sedikit melebar saat Lucius mengatakannya.
"'Neraka sudah kosong dan semua iblis ada di dunia'"
Lucius kembali menoleh kepada sang adik. Sebuah senyuman lembut kembali terpatri di bibir tebal sang Adam, "Kita mendapatkan undangan makan malam di kediaman Baron Rogue. Bersiap-siaplah!"
***
Kedua alis Lumiere saling bertaut. Gadis bersurai cokelat madu tersebut tampaknya sangat tidak menyukai apa yang baru saja ia dengar.Inggrid Rovein, pria yang menjadi target misi mereka kali ini tersebut, sedari tadi melontarkan bualan tentang kesehatan dan sumber ketakutan manusia. Pria beralis tebal tersebut pria tersebut mengatakan, kematian merupakan sumber ketakutan palin dasar yang diderita oleh manusia. Meskipun seorang manusia telah menjaga kesehatannya, dan bahkan memiliki kekayaan yang banyak, mereka tidak dapat menghindari kematian yang kedatangannya tidak bisa diprediksi tersebut.Dan hal yang semakin membuat Lumiere merasa muak adalah, pria itu dengan santainya mengatakan bahwa, ia telah menemukan cara untuk hidup kembali setelah mengalami kematian. Perhatian Lumiere pun kini tertuju pada sebuah peti mati yang telah terbuka, menampilkan sesosok mayat seorang perempuan, usianya diperkirakan baru menginjak delapan belas tahun. Kulitnya terl
Miya, bahkan sampai Lucian pun memandang takjub kapal pesiar mewah dan berukuran besar di hadapan mereka.“Jadi ... ini adalah kapal RMS Titanic yang pernah karam ribuan tahun yang lalu?” tanya Miya seraya memalingkan pandangannya ke arah Reynox. “Kau beruntung sekali bisa ikut naik ke kapal besar itu.”Reynox berdecak, memilih untuk mengabaikan Miya. Kedua netra emasnya yang tajam itu mengamati seluruh bagian dari tubuh kapal berukuran super besar tersebut. Reynox tahu soal tenggelamnya sebuah kapal, yang kisahnya menjadi legendaris hingga ribuan tahun tersebut. Dan Reynox sendiri menjadi ragu, apakah kapal kedua dari RMS Titanic ini akan memiliki nasib yang sama seperti kakaknya, atau tidak.“Tolong antarkan barang bawaan kami di kamar nomor A12 kelas satu,” ujar Peter pada seorang petugas kapal yang menghampirinya. Setelah memastikan petugas kapal tersebut mengangkut barang bawaannya dan Lumiere, Peter meng
Lumiere membenarkan kembali letak topeng pesta yang sedang dipakai olehnya. Gadis bersurai cokelat madu tersebut kemudian memantapkan kembali hatinya, memantapkan niatnya untuk mengunjungi pasar gelap yang dikelola oleh pemerintah Inggris.“Tidak perlu takut,” bisik Peter yang memaksa untuk ikut. Pria itu membantu istrinya tersebut untuk merapikan penampilannya tersebut. “Kita hanya perlu melakukan penyelidikan, tanpa membuat keributan apa pun selain mau membeli manusia yang akan dijajakan oleh mereka.”Lumiere mengangguk, mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah tampan Peter yang bersembunyi dibalik tudung jubah yang pria itu kenakan tersebut. “Sepertinya, setelah ini kamu harus memotong rambutmu.”“Benarkah? Sayang sekali kalau dipotong,” ujar Peter seraya menaik turunkan alisnya, bermaksud menggoda Lumiere. “Padahal kamu sangat menyukai rambut panjangku ini.”“Atau uba
“Ini informasi terkait Inggrid Rovein yang kamu minta.”Lumiere menerima satu bundel dokumen yang diserahkan oleh Ashen tersebut. Gadis bersurai cokelat madu itu langsung membacanya. Tenggelam dalam ribuan kosa kata yang tertulis di sana, menyampaikan informasi tentang sesosok Inggrid Rovein yang terasa misterius sekaligus terasa tidak asing tersebut.“Dia ... satu jenis dengan Charles Evanescene,” ujar Ashen yang membuat Lumiere dan Peter menatapnya terkejut. “Ada sedikit perbedaan di antara mereka. Charles melakukan pemerasan untuk melihat kesengsaraan orang lain. Sedangkan Inggrid ... dia murni melakukannya untuk mendapatkan seseorang.”“Hah?” Kedua alis Peter terangkat, merasa bingung dengan maksud dari perkataan Ashen tersebut. “Apa maksudnya?”“Perdagangan manusia,” jawab Ashen dengan wajah yang menggelap karena menahan amarahnya. “Inggrid melakukan hal te
Darius menggigiti kuku-kuku jari tangannya. Pria paruh baya tersebut terlihat cemas lantarana putra dan calon menantunya tersebut menghilang sejak kemarin.“Sayang, sudahlah,” ujar Viona terlihat santai memandangi jari-jari tangannya yang terlihat indah tersebut. “Mereka pasti sedang pergi ke suatu tempat untuk menikmati waktu bersama. Sebentar lagi juga mereka akan pulang.”“Ini sudah hampir siang hari, Viona!” bentak Darius yang membuat Viona tersentak terkejut. “Mana mungkin mereka pergi selama ini.”“Ya terus kita harus bagaimana? Mencari mereka? Kita saja tidak tahu mereka pergi ke mana!” Viona balik membentak, karena merasa kesal setelah dibentak oleh Darius tersebut. “Kita tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini. Lebih baik kamu duduk tenang dan menunggu kedatangan mereka. Mereka pasti pulang.”Perdebatan mereka kemudian terhenti saat mendengar suara ketukan p
Kediaman Keluarga Wysteria, sekaligus markas MI6, digegerkan oleh kedatangan Arnold Rudeus yang membuat keributan di pagi hari. Bahkan pria bertempramen buruk itu sampai merangsek maju dan menerobos masuk. Sampai-sampai membuat Reynox harus turun tangan karena sama-sama bertubuh besar.Tujuan Arnold melakukan hal tersebut adalah, untuk merebut kembali Alyn yang diculik oleh Lucius kemarin pagi. Namun pada kenyataannya, Lucius hanya menyelamatkan Alyn dan kekejaman Arnold. Yang tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan terhadap wanita.“Tenangkan dirimu, Bung!” bentak Reynox seraya menahan tubuh besar Arnold yang hendak menerobos masuk semakin dalam. Bahkan, Reynox harus mengeluarkan seluruh kekuatan tubuhnya agar bisa menghentikan pergerakan Arnold.“Minggir! Aku harus membawa pulang Alyn!” rutuk Arnold berusaha terus melangkah maju.“Jangan membuat kekacauan di kantorku, Tuan Muda Rudeus!”Ba