Share

8. Ritual Pertama

Kesakitanmu adalah candu ternikmat yang kuresapi secara perlahan.

***

"My Lord, persiapannya sudah selesai." Adrien menghampiri Leon yang tengah memandang keindahan langit malam, dan salah satu kota di Devil Reign dari balik dinding kaca di kastilnya. Pelayan tua itu menunggu tenang di belakang. Tidak ingin mengganggu kesenangan tuannya.

"Lihatlah Adrien..." Leon mendesah dramatis seraya merentangkan lebar kedua lengannya. "... satu lagi keinginanku akan terkabulkan sebentar lagi," ucapnya dengan gairah yang meletup-letup. Wajah Leon menampakkan kepuasan. Ia menjilat sensual bibir merah gelapnya, merasakan euforia menyenangkan yang menggelegak di dalam dirinya. 

"Tentu saja, My Lord. Karena kau memang tidak terkalahkan." Adrien membalas dengan bangga.

Kali ini Leon tertawa renyah. Ia mengulum senyum lebar. "Kau memang pelayan terbaikku, Adrien." Tubuh Leon berbalik menghadap pelayan tua itu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana bahan. Netra keemasan Leon menyorot dingin Adrien. "Pergilah, Adrien. Aku akan menjemput sendiri pengantinku," lanjutnya mengusir.

"Baik, My Lord." Adrien menunduk dan berlalu pergi dari hadapan Leon.

Sekali lagi Leon melirik ke atas, ke langit malam berbintang. Bibirnya mendesis pelan menahan gejolak gairah yang meletup. Matanya terpejam erat. "Ah... Felenia. Kau hampir saja membuatku kehilangan kontrol hanya dengan memikirkanmu," desah Leon mendamba. Seringai kejam tampak terpatri manis di bibirnya. 

Leon melangkah pelan, namun tegas ke arah kamar Felen. Di sepanjang lorong gelap yang hanya diterangi cahaya bulan, ia bersiul senang. Lalu, ketika tangan iblis itu mengibas pelan, kemeja hitamnya berganti dengan setelan jas berwarna hitam yang membalut rapi tubuh tinggi kekarnya. Menampakkan otot-otot keras yang menggoda. Leon menikmati setiap detik perjalanan pendek menuju kamar pengantinnya.

Terlihat prajurit Bunny hitam berjaga di setiap sisi. Wajah imutnya memang menarik perhatian, namun jangan salah, mereka lebih mengerikan dari iblis-iblis lain di kastil Leon. Pikiran mereka sudah terprogram untuk menyerang siapa pun yang memiliki niat jahat ketika memasuki kastilnya.

Di ujung lorong, tepatnya di depan kamar Felen terdapat dua Bunny putih dan dua Bunny hitam. Mereka langsung membukakan pintu untuk Leon. Nuansa kamar tersebut didominasi oleh biru dan coklat gelap dengan arsitekturnya khas kerajaan jaman dahulu. Penerangan di dalam yang hanya menggunakan parafin, membuat ruangan tersebut tampak temaram. Di atas ranjang bercorak ukiran rumit bunga, Felen tertidur di sana. Tampak damai, dan tidak terganggu oleh kehadiran Leon.

Leon menyelusupkan lengan ke punggung dan lutut Felen, lalu menggendongnya ala bridal style. Lagi, Leon melakukan teleportasi hingga kurang dari satu detik, ia sampai di depan altar gereja. Atap langit yang tinggi membuat ruangan tersebut sangat dingin sampai menusuk kulit. Dindingnya berwarna putih dengan ukiran emas. Bagian atap berbentuk lingkaran dengan lukisan para malaikat bersayap hitam. Sama seperti kamar Felen dan ruangan lain di kastil Leon, altar tersebut hanya di terangi oleh parafin temaram. Deretan kursi kosong di sisi kanan dan kiri menambah hawa mencekam yang membuat bulu roma merinding.

Leon merebahkan tubuh Felen di atas meja persembahan yang terletak di depan altar. Tepat ketika itu, kelopak mata Felen yang dihiasi bulut mata lentik terbuka, dan menatap sayu. Leon ikut duduk di atas meja itu.

"Leon ... ?"

"Hai, sayang. Selamat pagi."

Dahi Felen mengernyit ketika melihat keadaan sekitar. "Ini di mana?" tanya gadis itu seraya mengusap pelan matanya yang masih mengantuk. Ia mencoba untuk duduk, tetapi Leon justru mendorongnya, membuat kepala belakang Felen terbentur keras ke atas meja. Ia meringis pelan, memegangi kepala.

"Sssst ... " Telunjuk Leon menempel di bibir Felen. Ringis Felen seketika berhenti. Netra hijaunya menatap Leon kebingungan. "Kau masih mengingat yang terjadi pada ibumu?" tanyanya misterius.

Sedetik kemudian seringai kejam tercetak di bibir tipis Leon membuat Felen secara refleks mengangguk. Sosok Leon yang kini berada di hadapannya sedikit berbeda. Seolah jika Felen mengatakan tidak, nyawa yang menjadi taruhannya.

"Great!" balasnya puas. Leon mengusap pipi Felen dengan punggung tangannya. "Jangan pernah melupakan kebencian itu karena itulah yang membuatmu terlihat indah," lanjutnya.

"Kau mau melakukan apa padaku?" 

"Hanya ritual biasa yang akan meresmikanmu menjadi calon pengantinku." Leon mengendikan bahunya. Ia lalu mengambil gelas emas di atas kepala Felen, menggoyangkannya pelan. Di simpannya gelas itu di atas meja. Telapak tangan pria itu terangkat ke atas, lalu muncul lah sebilah belati dengan gagang emas berukiran gambar kuno. Leon mengiris lengannya, membiarkan darah menetes ke dalam gelas.

" ... Apa?" Felen membeo dengan mulut terbuka.

"Minumlah." Gelas tersebut disodorkan ke bibir Felen, tetapi gadis itu justru memundurkan tubuhnya, menolak tanpa kata. Terlihat dari wajahnya yang enggan untuk meminum cairan menjijikkan itu.

"Aku tidak mau!" tolaknya keras karena Leon terus menyodorkan gelas tersebut.

Seketika raut wajah Leon mengeras. Ia mencengkeram kuat rahang gadis kecil itu, dan meminumkannya dengan paksa. Mau tidak mau Felen menegak cairan kental berbau amis tersebut.

"Uhuk ... !" Felen terbatuk keras merasakan tenggorokannya terasa terbakar. Tangan gadis itu mencakar-cakar leher, berharap hal yang dilakukannya bisa mengurangi rasa sakit. Namun, rasa terbakar itu semakin parah dibarengi perih yang menyiksa. Kaki Felen bergerak menendang dengan tubuh menggelinjang resah.

"Sa ... kit ..." Tatapan Felen terlihat memohon. Leon menyorot dingin tidak peduli. Bahkan ketika gadis bergaun putih itu mulai merintih dan menjerit kesakitan, Leon tidak mengubah raut wajahnya. Ia justru dengan kejam merobek gaun putih Felen, membiarkannya dalam ketelanjangan.

"Panas ..." Felen terisak pelan. 

Lalu, suara derak tulang yang beradu ngilu mulai terdengar seiring dengan jeritan pilu Felen. Tubuhnya meringkuk seperti janin di atas meja persembahan. Peluh membanjiri seluruh tubuh gadis itu. Rasa sakit yang mendera Felen terlalu luar biasa, melewati batas toleransi. Rambut panjangnya awut-awutan karena ia terus bergerak tak tentu arah.

"Akh ... ! Sakit ..." teriak Felen keras. Tangan mengais ke arah Leon, mencoba meraih pria itu yang kini melangkah mundur. Felen semakin histeris ketika merasakan tulang-tulangnya seperti patah, bahkan remuk dan terpisah satu dengan yang lainnya. Seluruh tubuh gadis itu terasa dicabik-cabik.

Leon yang melihat itu mengerang bergairah. Bibirnya mendesis nikmat. Ia menghempaskan tubuhnya di atas kursi yang tiba-tiba muncul begitu saja di tengah altar. Leon merasakan panas di intinya. Bagian tubuhnya itu terasa membengkak hanya dengan memandang raut tersiksa Felen.

"Rasakanlah, sayang. Rasakan kesakitan itu, dan jadikan pengingat untuk menumbuhkan bibit kebencian." Leon mendoktrin Felen dengan kalimat-kalimat. Walau pria itu mengucapkannya dari jauh, tetapi Felen yang mendengarnya, merasa Leon tengah berbisik dari dalam telinga. 

"Bencilah ketidakadilan Sang Pencipta padamu." Suara manisnya menghipnotis Felen untuk jatuh semakin dalam.

Senyum Leon semakin lebar. Saat yang ditunggunya akhirnya datang. Pentagram di atas meja persembahan bersinar terang. Perlahan tubuh Felen mulai dihiasi simbol-simbol yang saling terhubung satu sama lain dengan pusat di dada gadis itu, mengarah tepat ke jantung. Kemudian, jalinan tali merah yang berukuran tipis mengelilingi organ tubuh pentingnya tersebut.

Leon tertawa keras. Kepalanya menengadah ke atas dengan tangan terentang. "Benar, terus seperti itu sayang. Buat aku semakin bergairah." Teriakan kesakitan Felen seakan menjadi melodi indah di telinga Leon. Lantunan kesengsaraan yang membuat dirinya merasakan panas menyenangkan.

"Nyalakan lagunya, Adrien!" seru Leon lantang. Walau tidak terlihat, Adrien sebenarnya ikut mengawasi ritual tersebut bersama Leon. Berdiri tenang di sudut, dalam bayang-bayang kegelapan. Lalu, entah datang dari mana, Requiem Dies Irae mulai diputar. Rintihan dan jerit kesakitan Felen saling bersahutan dengan requiem tersebut, menambah suasana sakral ritual yang meresmikan Felen menjadi calon pengantin Leon pada malam itu.

Prosesi mengerikan yang dilalui Felen selama hampir sepanjang malam, dan selama itu pula Leon hanya berdiam menikmati tontonan menarik tersebut. Sesekali ia ikut bersenandung mengikuti irama requiem. Sepenuhnya mengabaikan penderitaan Felen, dan tatapan nyalang penuh kebencian yang tertuju padanya dari iris hijau gadis itu.

Bahkan ketika Felen merasa dirinya akan pingsan, ia tetap terbangun dengan tubuh segar untuk kembali merasakan kegilaan yang terjadi pada tubuhnya. Menghempaskan semua akal dan logika yang gadis itu pegang erat.

Leon menghampiri meja persembahan ketika dirasa proses tersebut akan segera berakhir. Memerhatikan Felen yang tergeletak lemah dengan tubuh polos tanpa sehelai benang pun menempel. Sesaat sebelum kegelapan menyambut, suara lirih dan tatapan berbinar Leon adalah hal terakhir yang diingat Felen.

"Happy Birthday!" ucap Leon dengan aksen british yang kental.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
ya namanya juga iblis
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status