แชร์

8. Ritual Pertama

ผู้เขียน: Alvern Gyan
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2021-06-17 19:11:41

Kesakitanmu adalah candu ternikmat yang kuresapi secara perlahan.

***

"My Lord, persiapannya sudah selesai." Adrien menghampiri Leon yang tengah memandang keindahan langit malam, dan salah satu kota di Devil Reign dari balik dinding kaca di kastilnya. Pelayan tua itu menunggu tenang di belakang. Tidak ingin mengganggu kesenangan tuannya.

"Lihatlah Adrien..." Leon mendesah dramatis seraya merentangkan lebar kedua lengannya. "... satu lagi keinginanku akan terkabulkan sebentar lagi," ucapnya dengan gairah yang meletup-letup. Wajah Leon menampakkan kepuasan. Ia menjilat sensual bibir merah gelapnya, merasakan euforia menyenangkan yang menggelegak di dalam dirinya. 

"Tentu saja, My Lord. Karena kau memang tidak terkalahkan." Adrien membalas dengan bangga.

Kali ini Leon tertawa renyah. Ia mengulum senyum lebar. "Kau memang pelayan terbaikku, Adrien." Tubuh Leon berbalik menghadap pelayan tua itu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana bahan. Netra keemasan Leon menyorot dingin Adrien. "Pergilah, Adrien. Aku akan menjemput sendiri pengantinku," lanjutnya mengusir.

"Baik, My Lord." Adrien menunduk dan berlalu pergi dari hadapan Leon.

Sekali lagi Leon melirik ke atas, ke langit malam berbintang. Bibirnya mendesis pelan menahan gejolak gairah yang meletup. Matanya terpejam erat. "Ah... Felenia. Kau hampir saja membuatku kehilangan kontrol hanya dengan memikirkanmu," desah Leon mendamba. Seringai kejam tampak terpatri manis di bibirnya. 

Leon melangkah pelan, namun tegas ke arah kamar Felen. Di sepanjang lorong gelap yang hanya diterangi cahaya bulan, ia bersiul senang. Lalu, ketika tangan iblis itu mengibas pelan, kemeja hitamnya berganti dengan setelan jas berwarna hitam yang membalut rapi tubuh tinggi kekarnya. Menampakkan otot-otot keras yang menggoda. Leon menikmati setiap detik perjalanan pendek menuju kamar pengantinnya.

Terlihat prajurit Bunny hitam berjaga di setiap sisi. Wajah imutnya memang menarik perhatian, namun jangan salah, mereka lebih mengerikan dari iblis-iblis lain di kastil Leon. Pikiran mereka sudah terprogram untuk menyerang siapa pun yang memiliki niat jahat ketika memasuki kastilnya.

Di ujung lorong, tepatnya di depan kamar Felen terdapat dua Bunny putih dan dua Bunny hitam. Mereka langsung membukakan pintu untuk Leon. Nuansa kamar tersebut didominasi oleh biru dan coklat gelap dengan arsitekturnya khas kerajaan jaman dahulu. Penerangan di dalam yang hanya menggunakan parafin, membuat ruangan tersebut tampak temaram. Di atas ranjang bercorak ukiran rumit bunga, Felen tertidur di sana. Tampak damai, dan tidak terganggu oleh kehadiran Leon.

Leon menyelusupkan lengan ke punggung dan lutut Felen, lalu menggendongnya ala bridal style. Lagi, Leon melakukan teleportasi hingga kurang dari satu detik, ia sampai di depan altar gereja. Atap langit yang tinggi membuat ruangan tersebut sangat dingin sampai menusuk kulit. Dindingnya berwarna putih dengan ukiran emas. Bagian atap berbentuk lingkaran dengan lukisan para malaikat bersayap hitam. Sama seperti kamar Felen dan ruangan lain di kastil Leon, altar tersebut hanya di terangi oleh parafin temaram. Deretan kursi kosong di sisi kanan dan kiri menambah hawa mencekam yang membuat bulu roma merinding.

Leon merebahkan tubuh Felen di atas meja persembahan yang terletak di depan altar. Tepat ketika itu, kelopak mata Felen yang dihiasi bulut mata lentik terbuka, dan menatap sayu. Leon ikut duduk di atas meja itu.

"Leon ... ?"

"Hai, sayang. Selamat pagi."

Dahi Felen mengernyit ketika melihat keadaan sekitar. "Ini di mana?" tanya gadis itu seraya mengusap pelan matanya yang masih mengantuk. Ia mencoba untuk duduk, tetapi Leon justru mendorongnya, membuat kepala belakang Felen terbentur keras ke atas meja. Ia meringis pelan, memegangi kepala.

"Sssst ... " Telunjuk Leon menempel di bibir Felen. Ringis Felen seketika berhenti. Netra hijaunya menatap Leon kebingungan. "Kau masih mengingat yang terjadi pada ibumu?" tanyanya misterius.

Sedetik kemudian seringai kejam tercetak di bibir tipis Leon membuat Felen secara refleks mengangguk. Sosok Leon yang kini berada di hadapannya sedikit berbeda. Seolah jika Felen mengatakan tidak, nyawa yang menjadi taruhannya.

"Great!" balasnya puas. Leon mengusap pipi Felen dengan punggung tangannya. "Jangan pernah melupakan kebencian itu karena itulah yang membuatmu terlihat indah," lanjutnya.

"Kau mau melakukan apa padaku?" 

"Hanya ritual biasa yang akan meresmikanmu menjadi calon pengantinku." Leon mengendikan bahunya. Ia lalu mengambil gelas emas di atas kepala Felen, menggoyangkannya pelan. Di simpannya gelas itu di atas meja. Telapak tangan pria itu terangkat ke atas, lalu muncul lah sebilah belati dengan gagang emas berukiran gambar kuno. Leon mengiris lengannya, membiarkan darah menetes ke dalam gelas.

" ... Apa?" Felen membeo dengan mulut terbuka.

"Minumlah." Gelas tersebut disodorkan ke bibir Felen, tetapi gadis itu justru memundurkan tubuhnya, menolak tanpa kata. Terlihat dari wajahnya yang enggan untuk meminum cairan menjijikkan itu.

"Aku tidak mau!" tolaknya keras karena Leon terus menyodorkan gelas tersebut.

Seketika raut wajah Leon mengeras. Ia mencengkeram kuat rahang gadis kecil itu, dan meminumkannya dengan paksa. Mau tidak mau Felen menegak cairan kental berbau amis tersebut.

"Uhuk ... !" Felen terbatuk keras merasakan tenggorokannya terasa terbakar. Tangan gadis itu mencakar-cakar leher, berharap hal yang dilakukannya bisa mengurangi rasa sakit. Namun, rasa terbakar itu semakin parah dibarengi perih yang menyiksa. Kaki Felen bergerak menendang dengan tubuh menggelinjang resah.

"Sa ... kit ..." Tatapan Felen terlihat memohon. Leon menyorot dingin tidak peduli. Bahkan ketika gadis bergaun putih itu mulai merintih dan menjerit kesakitan, Leon tidak mengubah raut wajahnya. Ia justru dengan kejam merobek gaun putih Felen, membiarkannya dalam ketelanjangan.

"Panas ..." Felen terisak pelan. 

Lalu, suara derak tulang yang beradu ngilu mulai terdengar seiring dengan jeritan pilu Felen. Tubuhnya meringkuk seperti janin di atas meja persembahan. Peluh membanjiri seluruh tubuh gadis itu. Rasa sakit yang mendera Felen terlalu luar biasa, melewati batas toleransi. Rambut panjangnya awut-awutan karena ia terus bergerak tak tentu arah.

"Akh ... ! Sakit ..." teriak Felen keras. Tangan mengais ke arah Leon, mencoba meraih pria itu yang kini melangkah mundur. Felen semakin histeris ketika merasakan tulang-tulangnya seperti patah, bahkan remuk dan terpisah satu dengan yang lainnya. Seluruh tubuh gadis itu terasa dicabik-cabik.

Leon yang melihat itu mengerang bergairah. Bibirnya mendesis nikmat. Ia menghempaskan tubuhnya di atas kursi yang tiba-tiba muncul begitu saja di tengah altar. Leon merasakan panas di intinya. Bagian tubuhnya itu terasa membengkak hanya dengan memandang raut tersiksa Felen.

"Rasakanlah, sayang. Rasakan kesakitan itu, dan jadikan pengingat untuk menumbuhkan bibit kebencian." Leon mendoktrin Felen dengan kalimat-kalimat. Walau pria itu mengucapkannya dari jauh, tetapi Felen yang mendengarnya, merasa Leon tengah berbisik dari dalam telinga. 

"Bencilah ketidakadilan Sang Pencipta padamu." Suara manisnya menghipnotis Felen untuk jatuh semakin dalam.

Senyum Leon semakin lebar. Saat yang ditunggunya akhirnya datang. Pentagram di atas meja persembahan bersinar terang. Perlahan tubuh Felen mulai dihiasi simbol-simbol yang saling terhubung satu sama lain dengan pusat di dada gadis itu, mengarah tepat ke jantung. Kemudian, jalinan tali merah yang berukuran tipis mengelilingi organ tubuh pentingnya tersebut.

Leon tertawa keras. Kepalanya menengadah ke atas dengan tangan terentang. "Benar, terus seperti itu sayang. Buat aku semakin bergairah." Teriakan kesakitan Felen seakan menjadi melodi indah di telinga Leon. Lantunan kesengsaraan yang membuat dirinya merasakan panas menyenangkan.

"Nyalakan lagunya, Adrien!" seru Leon lantang. Walau tidak terlihat, Adrien sebenarnya ikut mengawasi ritual tersebut bersama Leon. Berdiri tenang di sudut, dalam bayang-bayang kegelapan. Lalu, entah datang dari mana, Requiem Dies Irae mulai diputar. Rintihan dan jerit kesakitan Felen saling bersahutan dengan requiem tersebut, menambah suasana sakral ritual yang meresmikan Felen menjadi calon pengantin Leon pada malam itu.

Prosesi mengerikan yang dilalui Felen selama hampir sepanjang malam, dan selama itu pula Leon hanya berdiam menikmati tontonan menarik tersebut. Sesekali ia ikut bersenandung mengikuti irama requiem. Sepenuhnya mengabaikan penderitaan Felen, dan tatapan nyalang penuh kebencian yang tertuju padanya dari iris hijau gadis itu.

Bahkan ketika Felen merasa dirinya akan pingsan, ia tetap terbangun dengan tubuh segar untuk kembali merasakan kegilaan yang terjadi pada tubuhnya. Menghempaskan semua akal dan logika yang gadis itu pegang erat.

Leon menghampiri meja persembahan ketika dirasa proses tersebut akan segera berakhir. Memerhatikan Felen yang tergeletak lemah dengan tubuh polos tanpa sehelai benang pun menempel. Sesaat sebelum kegelapan menyambut, suara lirih dan tatapan berbinar Leon adalah hal terakhir yang diingat Felen.

"Happy Birthday!" ucap Leon dengan aksen british yang kental.

***

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
ya namanya juga iblis
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • The Lucifer's Bride   Epilog

    "What is a being like you doing in the sanctuary of the sleeping souls?" A short boy with blond hair greeted Leon at the entrance to the Spirit Realm. Even though the child was small in stature, an aura of dexterity emanated from him, as if to emphasize to anyone who came that he was not a being to be underestimated. "Tell me your goal!" said the boy proudly. Leon sighed lazily. He was quite annoyed with the arrogant attitude of the half-hearted creature. But he refrained from destroying the place, it was all for the sake of regaining half of Felen's soul that was confined in the Spirit Realm.If Leon made such a fuss there, it was certain that he would not be able to enter and his plan to obtain Felen's soul failed. "I came to retrieve the soul of someone who was accidentally sent here," Leon answered straightforwardly. The boy's eyes narrowed sharply. He scanned Leon from top to bottom. There was nothing unusual about the man's appearance, silver hair that was almost white with

  • The Lucifer's Bride   63. Rest in Peace

    Barend yang tengah memerhatikan langit-langit, beralih menatap Felen dan Abelard, dan untuk pertama kali selama hidupnya ia memberikan senyum tulus pada kedua anaknya itu. "Terima kasih ... aku akhirnya bisa bersatu kembali dengan Aghnya."Keheningan mengambil alih. Hanya suara rintihan pelan serta napas putus-putus Barend yang terdengar. Setelah beberapa menit berlalu, tubuh Barend tidak lagi bernapas. Pria itu pergi dengan senyum damai di bibir.‘Semudah itu?’ Hati Felen menjerit pilu. Antara senang dan sedih, ia tidak bisa menentukan. Ia tertawa kosong. Belati yang berada di tangan jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi nyaring yang menyentak Abelard dari lamunan.Secara refleks Abelard segera menahan tubuh Felen yang hampir luruh ke lantai, bergetar tak terkendali hingga membuatnya khawatir dengan keadaan psikologis gadis itu. "Felenia?" panggilnya hati-hati setelah mendudukkan Felen di kursi."Kau tahu, Abelard? Aku mempersiapkan semua

  • The Lucifer's Bride   62. Pembalasan Dendam

    Felen mengacungkan belati ke leher Barend. Sedikit saja ia maju, leher pria itu pasti langsung robek. "Cukup. Hentikan omong kosongmu itu!" serunya keras. Air mata yang tadi berkumpul di pelupuk mata sudah leleh ke pipi.Ocehan Barend seketika terhenti.Semakin Felen membiarkan Barend berbicara, semakin pria itu mengatakan banyak hal yang membuat ia muak. "Apa yang Abelard katakan ternyata salah." Suaranya sedikit bergetar, tetapi penuh dengan ketegasan."Kau hanya memedulikan dirimu sendiri." Felen bangkit dari kursi, masih dengan belati yang mengacung kurang dari lima sentimeter di leher Barend. Perlahan ia bergerak memutari meja agar memudahkan dirinya untuk menyerang Barend apabila pria itu bertindak anarkis. Ia bisa langsung menancapkan belati tersebut jikalau hal itu terjadi.Perkataan Barend sebelumnya yang mengatakan bahwa Aghnya wanita murahan membuat Felen geram. Memang benar pria itu telah meminta maaf, tetapi permintaan maaf tersebut terdengar

  • The Lucifer's Bride   61. Ketenangan Sebelum Badai

    Ketika Felen membuka mata, ia telah berdiri di pelataran manor keluarga Leister. Bangunan itu tampak megah, tetapi diliputi oleh kekosongan layaknya bangunan tak berpenghuni. Tak terlihat satu pun pelayan yang lalu lalang. Aura yang menguar dari bangunan tersebut juga tampak sangat suram dan gelap."Apa-apaan ini?" Leon lebih dahulu bersuara. Dahinya berkerut dalam dengan mata menyipit tajam.Bukan hanya Felen yang merasakan keanehan di manor itu, tetapi Leon juga menyadari bahwa sesuatu telah terjadi di sana. Energi hitam yang saling bertubrukan di sana terlihat sangat kacau dan aneh seolah dilakukan dengan sengaja. Terlebih, ia merasakan energi saudara-saudaranya, para pangeran kegelapan.Leon maju beberapa langkah dengan tangan terulur ke depan. Ketika tangannya menyentuh udara kosong, tiba-tiba saja muncul listrik statis yang melukai tangannya hingga melepuh. Seolah terdapat prisai tak kasat mata yang menolak kehadirannya untuk lebih dalam memasuki manor.

  • The Lucifer's Bride   60. Penggalan Kisah

    Rencana makan siang dengan Abelard batal dilaksanakan, dan sebagai gantinya Felen diajak sarapan bersama. Hanya mereka berdua yang berada di ruang makan tersebut. Leon memilih diam di dalam kamar bersama Gruga dengan alasan ingin memberi Felen, dan Abelard untuk berbicara berdua dengan leluasa.Sarapan Felen telah habis. Saat ini ia tengah minum teh dengan Abelard. Suasana di ruang makan sangat hening. Hanya embusan napas pelan milik Felen dan Abelard yang menjadi satu-satunya suara. Para pelayan telah lama pergi memberi ruang bagi kedua manusia itu, tetapi sejak tadi Abelard belum juga mengeluarkan suara. Meningkatkan kecemasan dalam diri Felen kian menguat. Beberapa kali ia melirik ke arah Abelard, lalu ke arah jam yang anehnya tidak berdetak. Seolah waktu terhenti di dalam ruangan itu."Aku menagih hal yang mau kau sampaikan kemarin, Abelard." Abelard tidak tampak berniat untuk segera menjelaskan perihal perkataannya waktu itu, hingga Felen berinisiatif sendiri. Sua

  • The Lucifer's Bride   59. Para Pengkhianat

    Felen menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Meski tidak melakukan kegiatan berat yang menguras tenaga, energinya terasa habis tak tersisa setelah berbicara panjang lebar dengan Abelard. Apalagi setelah makan siang, adiknya itu ingin mengutarakan hal lain yang tidak kalah penting. Helaan napas lelah pun tanpa bisa ditahan keluar dari sela bibir.Saat ini Felen berada di vila milik keluarga Leister. Awalnya ia menolak, dan ingin langsung menghampiri Barend. Terutama setelah mengetahui kebusukan yang telah dilakukan ayahnya itu. Namun, atas saran Abelard dan perintah Leon, Felen menunda niat tersebut.Kedua mata Felen yang tadi terpejam, terbuka perlahan. Ia melirik pada Leon yang bergeming sembari menatap keluar jendela. Tetesan air yang turun dari langit perlahan mulai membasahi bumi. Suaranya yang konstan memberi kenyamanan di ruangan yang diterpa keheningan tersebut."Aneh melihatmu hanya diam sejak tadi." Felen memecah kesunyian di antara mereka setelah meli

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status